Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 21

そら の いろ


Sudah hampir satu bulan aku sadar, namun selama itu pula aku tak mendengar ada kabar baik yang dating menghampiriku. Kabar tentang donor jantung yang mereka katakan pada awal-awal kesadaranku dulu. Bang Yudha selalu saja berkilah setiap kali aku menanyakan hal tersebut, mama juga tak ada respon, hanya sebuah senyuman dan sebuah kata klise yang kerap kali kudengar dari bibirnya ketika kutanyakan hal tersebut. Seolah tak ingin aku terluka oleh sesuatu. Dokter Raka juga sama saja seperti mereka. Padahal awalnya aku mengira dokter itu mau memberitahukanku mengenai apa yang mama dan bang Yudha coba sembunyikan dariku, tapi ternyata aku salah. Kurasa mereka bertiga berkomplot untuk tidak memberitahuku mengenai hal yang sedang mereka coba sembunyikan dariku itu. Hanya Rara yang selama ini terus memberiku suntikan semangat, tetap menyuplai kadar harapan yang aku yakin telah menipis.



Tak jarang aku melihatnya menerawang jauh, seolah tak yakin dengan apa yang ia sampaikan padaku. Ia sama halnya denganku sekarang, tak mengerti kenapa hal baik tersebut tak kunjung dating padaku. Mulai meragukan harapan 0,01% yang dulu sempat membumbung tinggi. Kalau kejadiaannya seperti ini, lebih baik aku tak pernah mendengar berita baik itu!!



&&&



“Jadi keputusanmu sudah final Wan?” Tanya dokter Raka untuk mempertegas kembali keputusan yang telah disampaikan salah satu pasiennya tersebut.



“Iya dok. Akhir bulan ini saya akan langsung berangkat ke Singapore seperti yang telah dokter katakan tempo hari.” Jawabnya yakin.



“Baguslah. Semua syarat yang kamu perlukan juga sudah terkumpul semua. Semoga saja ini menjadi keputusan yang terbaik untukmu.” Ujar dokter Raka dengan senyum lebar. Ia bersyukur pada akhirnya pasiennya yang satu ini telah mengambil keputusan yang tepat untuk hidupnya.



“Tapi dok, bagaimana dengan nasib pasien dokter itu?” Tanya Awan ragu.



Dokter muda itu tampak menghela napas lelah. “Kamu nggak usah khawatir, saya yakin Ksatria pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik.” Jawabnya lelah.



“Apa dokter belum memberi tahunya kalau donor jantung yang semuala sudah ada kini ditarik kembali?” selidik Awan dengan raut yang sedikit cemas. Pasalnya, ia tak ingin keputusannya ini mengecewakan harapan orang lain. Mendonorkan jantungnya untuk seseorang yang sangat membutuhkan.



“Saya belum siap untuk memberi tahunya tetang semua ini. Setiap kali melihat pancaran harapan dari matanya, membuat saya tidak tega untuk mengatakan kalau donor jantung itu telah ditarik.” Katanya lemah.



“Dokter harus secepatnya memberti tahu dia tentang semua ini. Kalau tidak, saya khawatir dia akan terlalu kecewa nanti.” Saran Awan.



“Saya mengerti maksud kamu. Nanti lah pada saat dia check up, akan saya beri tahu semuanya.” Ujar dokter Raka dengan senyum tipis.



“Saya yakin dokter pasti bisa melakukan hal itu, dan saya yakin dia akan dapat menerima semua ini dengan lapang dada,” sahut Awan, memberi penguatan untuk dokter Raka yang terlihat lelah.



@@@



Hari ini aku bertekad untuk mencari tau apa yang terjadi. Aku tak mau terlalu lama hidup dalam harapan palsu seperti ini. Kalau memang donor jantung yang mereka katakan itu sudah ada, mengapa sampai sekarang aku tak pernah menjalankan pemeriksaan lebih lanjut? Dokter Raka juga tak pernah menyinggung-nyinggung masalah ini saat check up.



Kalau memang abang, mama dan dokter Raka telah bersekongkol untuk merahasiakan hal ini semua padaku, maka harapan satu-satunya tinggal dokter Ravi. Aku yakin dokter senior itu mau memberi tahuku tentang pendonoran jantung tersebut. Selama ini hanya dokter Ravi lah yang selalu jujur mengatakan hal-hal yang menyangkut kondisiku, tanpa ditutup-tutupi seperti dokter yang dilakukan dokter Raka.



Aku melangkah tergesa ke arah ruangan dokter Ravi, tak kuhiraukan beberapa suster yang menyapaku, beberapa di antara mereka tampak mengerutkan kening. Mungkin mereka heran kenapa hari ini aku ada di rumah sakit padahal tidak ada jadwal check up. Aku tersenyum ke beberapa dokter yang kebetulan berapasan denganku. Aku tak punya banyak waktu untuk beramah tamah dengan mereka.



Sebentar lagi aku sampai di ruangan beliau, semoga saja hari ini beliau tidak terlalu sibuk. Kupercepat langkahku saat pintu ruangan yang berseberangan dengan ruangan dokter Raka itu mulai terlihat. Kupanjatkan doa dalam hati, semoga saja dokter itu tak berkomplot dengan mereka juga.



Melewati ruangan dokter Raka, samar aku seperti mendengar seseorang sedang bercakap-cakap dengannya. Dari sela pintu yang tak tertutup rapat aku dapat melihat gesture tubuhnya yang membelakangiku. Aku tak begitu memperhatikannya, bagiku yang terpenting sekarang adalah segera bertemu dengan dokter Ravi.



Baru saja aku akan mengetuk pintu di hadapanku, aku dikejutkan dengan isi pembicaraan yang tadi tak kuhiraukan. Pelan kudekatkan telingaku untuk menangkap lebih banyak suara. Sejujurnya aku tak berniat untuk mencuri dengar pembicaraan mereka, namun setelah sekilas tadi aku mendengar mereka mengungkit masalah donor jantung, entah kenapa rasa penasaranku timbul.



Ku dekatkan tubuhku menuju ke celah samar yang tercipta karena seseorang tak menutup pintu itu dengan benar. Kutajamkan pendengaranku agar aku tak melewatkan satu kata pun dari pembicaraan mereka. Untung saja keadaan di sekitar ruangan itu sepi, tak banyak yang berlalu lalang di sekitar situ. Jadi tak akan ada yang mencurigaiku kalau aku tengah mencuri dengar pembicaraan tersebut.



Sepertinya pembicaraan yang terjadi diantara mereka cukup serius, berkali-kali kudengar dokter Raka menghela napas. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?! Kucoba untuk lebih dekat lagi, lumayan. Dari jarak ini aku dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Namun sebelum aku dapat mencerna apa yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba saja bahuku ada yang menepuk dari belakang.



“Eh dokter…” sahutku gugup. Dapat kubayangkan wajahku sekarang sudah mirip layaknya wajah maling yang tertangkap basah.



“Apa yang sedang kamu lakukan di sini Ksat? Kenapa nggak langsung masuk saja?” Tanya dokter Ravi dengan senyum menggoda.



“Ah, saya nggak ada jadwal buat ketemu dokter Raka dok. Malah sebaliknya, ada yang ingin saya tanyakan pada dokter,” jawabku berkilah.



“Kalau begitu kita bicarakan di ruangan saya saja,” kata dokter Ravi, seraya melangkah menuju ke ruangannya.



“Baik dok,” sahutku. Sebelum mengikuti dokter Ravi masuk ke ruangannya, sempat kulihat wajah lelah dokter Raka dan senyum lelahnya tercetak di bibirnya. Tetap saja aku masih penasaran dengan isi pembicaraan mereka.



“Lho Ksat, katanya tadi ada yang mau ditanyakan. Ayo,” tegur dokter Ravi dari balik pintu ruangannya.



“Ah, iya dok,” sahutku yang langsung berjalan ke ruangannya, aku tak ingin membuat dokter yang sudah cukup berumur itu menungguku lebih lama lagi. Lagi pula nanti kan aku bisa bertanya langsung pada dokter Raka mengenai isi pembicaraan tadi. Semoga saja saat itu mood beliau sedang baik.



&&&



“Baiklah kalau begitu saya permisi pamit pulang dulu dok. Masih banyak yang harus saya persiapkan.” Ujar Awan seraya bangkit dari duduknya.



“Ya, jangan lupa obatnya diminum. Jangan sampai kamu sudah tiba di sana malah tambah ngedrop.” Nasehat dokter Raka seraya menjabat tangan Awan.



Awan hanya tersenyum sekilas. “Pasti dok,”



Setelah mengantarkan pasiennya keluar, dokter muda itu kembali ke kursinya. Ia menghela napas panjang, ia merasa lelah dengan semua beban yang ditanggungnya. Pikirannya melayang pada percakapan yang terjadi beberapa waktu yang lampau. Tepat sebelum Ksatria sadarkan diri.



&&&



“Kami telah memutuskan dok,” ujar wanita paruh baya itu berat.



Dokter Raka menatap kedua anak beranak itu dengan pandangan menyelidik. “Ada apa lagi ini, kenapa wajah mereka terlihat semakin sedih?” sebuah Tanya terbentuk dalam hatinya.



“Memutuskan apa bu?”



“Kami sudah memutuskan untuk tidak menerima donor jantung untuk Ksatria.” jawab Yudha tegas.



“Menolak? Apa mereka tahu seberapa pentingnya donor jantung itu bagi Ksatria? Kenapa mereka tiba-tiba memutuskan hal sepenting ini begitu cepat? Apa mereka tak memikirkan akibat dari keputusan mereka?” lagi-lagi setumpuk pertanyaan bersarang di benaknya.



“Menolak? Bukankah kita semua tahu kalo Ksatria benar-benar membutuhkan jantung ini?”



“Benar dok, tapi bukan donor yang seperti ini yang kami harapkan.” jawab Yudha lugas. Sementara wanita paruh baya itu hanya tertunduk di sebelahnya dengan sesekali menyusut air mata yang mencoba jatuh kepipi tuanya dengan ujung sapu tangan kusamnya.



“Yang seperti apa maksud kamu?” Tanya dokter itu tak mengerti.



“Sebelumnya maaf dok, bukan maksud saya untuk lancang. Tapi beberapa hari yang lalu saya tak sengaja mendengar percakapan dokter dengan pendonor itu. Awalnya saya tak percaya dengan apa yang saya dengar. Namun, setelah saya tanyakan sendiri dengan orangnya langsung, ternyata pendengaran saya saat itu nggak salah.” Jelasnya hati-hati.



“Memangnya apa yang waktu itu kamu dengar?” selidik dokter Raka.



“Saya tak begitu memperhatikan pada awalnya. Namun, pada saat terakhir-terakhir itu saya sempat menangkap kalau sebenarnya donor itu tidak ada. Bukannya donor seperti yang selama ini kami sangka, tetapi malah donor itu berupa pertukaran jantung.” Jawabnya dengan pandangan lurus.



Dokter Raka menghela napas panjang. Di satu sisi ia merasa bersalah karena tak memberitahukan hal yang sebenarnya pada mereka. Namun di sisi lain dia tak bisa berbuat apa-apa karena terhalang oleh kode etik. Dokter itu terlihat memijat pelipisnya pelan. Kepalanya mendadak pening diserang permasalahan baru yang tak pernah Ia bayangkan.



“Kami tidak mau kalau satu-satunya harapan yang kami punya dipermainkan dok. Kami lebih memilih tidak menerima donor tersebut daripada Ksatria harus menerima jantung orang lain dan hidup dengan menggunakan jantung itu. Mungkin benar dia akan hidup lebih lama dengan itu semua, dia juga akan kembali menemukan kepercayaan dirinya, tapi apakah kami dapat merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dia rasakan dok? Sedangkan kami tahu jantungnya sendiri tengah berdenyut di tempat lain. Dokter dapat membayangkan bagaimana rasanya jika menjadi kami?” lanjut Yudha dengan sebuah keyakinan yang kuat. “Menyakitkan dok. Lebih baik Ksatria hidup seberapa lamanya ia dapat bertahan dengan jantungnya sendiri, daripada harus hidup dalam waktu lama dengan jantung orang lain. Lagi pula kami tak akan sekejam itu untuk mengorbankan orang lain yang masih ada harapan hidup demi kelangsungan hidup Ksatria dok. Cukup kami saja yang merasakan bagaimana hidup dalam bayang-bayang kesedihan.”



Dokter itu tampak berpikir sejenak, seolah mengingat sesuatu yang terlupa. Wajah kuyunya tampak sedikit bersinar ketika mengingat hal yang tadi sempat terlupa. “Ternyata ini sebabnya Awan memutuskan untuk melakukan operasi yang dulu pernah ia tolak!?” gumam dokter muda itu lega.



Sebentuk kelegaan memenuhi rongga dadanya. Hal tersebut tercetak jelas di wajahnya yang kembali bersinar. Dia bersyukur bahwa keluarga Ksatria dapat mengambil keputusan yang berat ini dengan bijak. Sebelumnya ia nyaris putus asa untuk mencegah Awan melakukan hal konyol dengan jantungnya. Semisal pertukaran jantung tersebut.



“Apa ibu dan juga nak Yudha sudah memikirkan baik-baik tentang masalah ini? Bisa jadi ini akan menjadi harapan terakhir Ksatria untuk hidup. Entah kapan lagi kita akan mendapatkan donor yang sesuai untuknya.” Ujar dokter Raka mengukur seberapa kuat tekat mereka.



“Kami sudah ikhlas dengan segala resiko yang akan kami tanggung dok. Termasuk kepergian Ksatria yang sudah tak lama lagi.” Kali ini wanita paruh baya itu mencoba mengungkapkan keteguhan hatinya disela isakan kecilnya. Ketegaran dan keikhlasannya terpancar dari sorort matanya yang kuyu.



“Apa ibu sudah memiikirkan hal ini masak-masak?” Tanya dokter muda itu lagi.



“Sudah dok. Kami sudah memikirkan segala konsekuensinya.” Jawab Yudha tegas. Pancaran matanya yang tegas memperkuat pernyataannya tersebut.



“Baiklah kalau memang keputusan ini telah dipikirkan masak-masak. Saya tidak akan mendesak lebih jauh lagi. Segera saya akan mengurus semua pembatalan ini,” ujar dokter Raka dengan seulas senyum.



“Terima kasih dok,” kata wanita paruh baya itu seraya menjabat tangan dokter Raka erat.



&&&



Ia menghela napas panjang, mengurut perlahan pelipisnya yang terasa berdenyut memusingkan. Sekarang dua minggu telah berlalu dan hingga sekarang mereka masih dapat menyembunyikan semua ini dari Ksatria. Satu kesalahan yang mereka lakukan adalah tidak melibatkan orang yang saat itu dekat dengan Ksatria dalam pembicaraan beberapa waktu yang lalu. Sehingga orang tersebut belum mengetahui perkembangan terbaru mengenai pendonoran jantung yang sekiranya batal dilakukan.



Dokter muda itu mencoba memejamkan matanya, ia merasa sangat lelah walaupaun hari itu tak banyak pasien yang harus ditanganinya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari ini. Sudah berkali-kali Ksatria tampak tak semangat ketika datang check up, dan beberapa kali sempat tertangkap oleh matanya ia terlihat seakan memikirkan sesuatu.



Tak sekali ataupun dua kali ia menanyakan hal yang sama. Kapan ia akan menjalani operasi bedah jantung yang dijanjikan pada awal kesadarannya dulu. Namun, berkali-kali itu juga dokter muda itu menolak untuk menjelaskan. Kala itu sebelum Yudha dan mamanya meninggalkan ruangannya. Mamanya sendiri meminta kepada dokter Raka untuk merahasiakan hal tersebut dari Ksatria.



Ia mendesah panjang. “Sampai kapan aku harus menyimpan ini semua? Harapan yang sempat timbul itu kini telah meredup lagi. Ksatria, suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkan donor itu lagi. Kumohon jangan pendam harapanmu itu,” bisiknya dalam hati.



@@@



Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan dokter Ravi. Berada lama-lama di sana hanya akan semakin membuat emosiku meluap. Aku masih belum percaya dengan apa yang kudengar tadi. Penjelasan dokter Ravi mengenai ketiadaan rencana operasi bedah jantung yang kuharapkan. Pembatalan pendonoran dari keluargaku sendiri. Kemunduran dari pihak pendonor, benar-benar membuatku merasa dipencundangi. Semua harapan yang selama ini kugenggam, ternyata hanyalah sebuah harapan kosong yang diciptakan oleh orang-orang terdekatku untuk membuatku bersemangat. Harapan 0,01% itu ternyata memanglah sekedar harapan, mimpi manis ditengah pahitnya kenyataan hidup yang harus kujalani. Mimpi selamanya hanya akan menjadi mimpi, takkan pernah beruwujud.



Lalu untuk apa mereka repot-repot menyusun kebohongan tingkat tinggi seperti ini?! Agar aku bisa lebih bahagia di tengah nasib burukku yang terasa tak pernah berakhir? Aku tertawa miris dalam hati, mungkin saja semua sudah lelah mengurusku, menjagaku, dan mendukungku dengan semua harapan-harapan yang selama ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diriku. Sehingga memaksa mereka untuk membuat satu kebohongan jenis baru yang mereka tahu dengan kebohongan tersebut semangatku akan terpacu dengan sendirinya. Operasi donor jantung, sebuah rangkaian kata yang benar-benar menjadi madu dalam hidupku beberapa minggu ini.



Tapi, kalau memang benar operasi itu sempat ada, lalu kenapa mereka membatalkan semua itu?! Apa alasannya?! Apa mereka senang melihatku cepat meninggalkan mereka?! Apa aku tak cukup berharga bagi mereka, sehingga mereka berpikir, lebih baik aku segera pergi dari dunia ini daripada berlama-lama tanpa guna?!



Memikirkan itu semua membuatku penat. Aku kecewa dengan mereka semua, setelah perjuanganku selama ini, setelah upayaku untuk kembali bangkit dengan sisa-sisa harapan yang sering timbul tenggelam. Kenapa mereka tega melakukan hal ini padaku?! Apa salahku dengan mereka!!?



Membayangkan senyuman-senyuman palsu dan kata-kata muluk mereka setiap hari membuatku muak. Ternyata selama ini aku hanya dibodohi oleh harapan palsu yang mereka tanamkan padaku. Aku tertawa sumbang memikirkan kebodohanku yang sampai begitu mudah percaya dengan ucapan-ucapan manis mereka. Ternyata aku telah salah menilai mereka, mereka yang sejak dulu begitu mendukungku ternyata tak seujung jari pun berpihak padaku. Donor itu, bukankah mereka tahu selama ini aku hidup hanya demi satu kata itu? Tega sekali mereka mengkhianati perjuanganku selama ini!



Lelah, aku sudah benar-benar lelah sekarang. Lelah dengan semua kebohongan ini. Lelah pada diriku sendiri yang tak cukup tegar dengan kondisi yang semakin menggerogoti tubuhku. Lelah dengan takdir yang seolah selalu menertawaiku. Lelah dengan nasib yang seakan tak pernah habis mempecundangiku sedemikian rupa.



Palsu! Semua harapan itu ternyata tak lebih dari bualan tukang obat semata. Senyuman mereka, motivasi mereka, uluran tangan mereka. Semua itu tak lebih dari omong kosong salesman yang menawarkan berbagai kemudahan dan kebahagiaan hidup dari produk-produk yang mereka tawarkan. Ternyata hidupku tak lebih berharga dari barang-barang dagangan para salasmen dan tukang obat, hingga mereka-orang tuaku sendiri, abangku sendiri, bahkan dokter kepercayaanku sendiri-tega menggadaikan kebahagiaanku demi kebahagiaan semu yang beberapa saat lalu sempat kurasakan.



Aku melangkah mengikuti hembusan angin. Aku tak peduli pada teriknya matahari, tak peduli dengan seluruh hiruk pikuk yang terjadi di sepanjang trotoar yang kulewati. Bahkan langkah penat pada kakiku pun tak kuhiraukan. Aku hanya ingin pergi menjauh dari segala kurungan hidup yang kurasakan semakin memenjara hidupku.



Tak ada yang benar-benar memihakku sekarang. Tidak ada satupun yang dapat kupercaya. Bahkan angin yang berhembus semilir pun terasa mengkhianatiku. Terik matahari yang bertahta di atas sana seolah mengabarkan bahwa semilir yang ku rasakan itu hanyalah salah satu bentuk kepalsuan. Tak adakah harapan yang dapat kugenggam lagi selain mati?!



Kuhentikan langkahku disebuah jembatan yang menerbitkan aroma tak sedap dari bawahnya. Tumpukan sampah yang tersendat dan genangan-genangan air kotor menimbulkan aroma yang mencekik hidungku. Namun aku tak peduli dengan semua itu. Seandainya bisa ingin aku terjun ke bawah sana, tenggelam ke dalam kubangan busuk sampah-sampah yang ada di sana. Melupakan seluruh pengkhianatan yang ada disekelilingku. Menyerahkan diriku seutuhnya pada bangkai-bangkai yang berkalang tanah di sana. Meleburkan diri dengan kebusukkan yang tercipta oleh kumpulan-kumpulan bakteri, hingga seseorang menemukan mayatku tergeltak tanpa harga di tengah tumpukan sampah tak berharga.



“AAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHH…………!!!!!!!!” teriakku tak peduli, kukeluarkan seluruh amarah dan kekecewaanku pada hidup dan harapan kecil yang selama ini kupercaya. Berharap dengan itu semua seluruh beban ini akan terangkat. Melupakan sederet kebohongan yang tercipta di sekeliligku. Berharap bahwa saat ini aku tak sedang berada di atas jembatan berdebu, tetapi sedang berada di rumahku yang nyaman, duduk bersantai dengan segala kebahagiaan yang ditawarkan. Kenyataan pahit yang baru saja ku dengar ternyata mampu mengkikis habis seluruh energy positif dalam diriku. Menggantinya dengan sebuah luka yang menganga dan segar. Entah kapan luka tersebut dapat terobati.



Aku tersengal sebentar ketika udara busuk itu menyeruak menembus paru-paruku. Denyutan nyeri terasa begitu menyakitkan dan nyata. Perlahan kuraba bagian kiri dadaku. Detakannya terasa tak beraturan seakan mengabarkan kalau sakit itu masih ada, luka itu mulai terbuka. Hanya detakan menyakitkan ini yang masih setia menemaniku, hanya denyutan nyeri ini yang tak kan pernah meninggalkanku, hanya sebongkah daging sebesar genggamanku ini yang tak kan pernah mengkhianatiku. Beberapa menit terlewat, tanpa kusadari setetes air mata turun membasahi pipiku.



Aku tertawa parau, air mata. Untuk apa air mata ini ada?! Untuk pengkhianatan mereka atau untuk harapan kosong yang selama ini kupercaya?! Satu tetes lagi, untuk apalagi ini?! Untuk usaha mereka yang telah membuatku memiliki harapan hidup palsu?! Untuk perjuangan mereka yang selama ini telah menemaniku?! Untuk apa?! Untuk apa air mata ini harus menetes?! Bahkan mereka tak berhak mendapatkan air mataku!!



Kuusap mataku kasar, perih. Mataku, hatiku, dan hidupku. Sangat perih hingga air mata yang telah surut berebut untuk keluar. Menangis. Masih pantaskah aku menangisi semua ini?! Setelah semua pengkhianatan, kepalsuan, kepura-puraan yang terjadi?! Memikirkan itu hanya membuatku tertawa sinis, dan entah kenapa air mata itu terus mengalir, menembus semua kekecewaanku. Seiring dengan luka yang kian berdenyut perih, ditingkahi oleh detakan nyeri yang berasal dari dada kiriku.



Biarlah mereka menganggapku gila. Biarlah mereka mengolokku lemah. Biarlah mereka mengejekku banci. Aku tak akan peduli lagi. Mereka saja tak peduli denganku, kenapa aku harus peduli pada mereka?!! Kembali aku tertawa sumbang. Dapat kurasakan beberapa orang melihat bahkan memperhatikanku. Apa peduliku, toh mereka tak mengenalku dan aku pun tak mengenal mereka!!



&&&



Gadis itu baru saja keluar dari tempat kursus menjahitnya. Setelah sekian lama berdiri menunggu angkutan kota yang akan membawa pulang dan ternyata setelah sekian lama itu apa yang ia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya ia memutuskan untuk berjaan kaki sembari menikmati keadaan di sekitarnya.



Panas begitu menyengat saat ia mulai melangkah meninggalkan naungan pohon-pohon yang ada di sepanjang trotoar. Berkali-kali ia usap peluh yang menetes dipelipisnya. Buku panduan kursus menjahit yang ia jadikan pelindung ternyata tak sanggup menghalangi teriknya matahari yang memang siang itu sedang semangat-semangatnya menyinari Bumi.



Saat ia sedang mengeluh tentang cuaca yang tak bersahabat itu, ia dikejutkan oleh sebuah tawa sumbang yang terdegar tak jauh darinya. Kepalanya mencari-cari dari mana asal suara tawa itu. Setelah menemukan sumber suara tawa yang tiba-tiba itu, ia tertegun sejenak.



Tak jauh dari tempatnya berdiri tampak seorang pemuda kurus pucat yang sedang tertawa ke arah segerombol awam di atas sana. Ia seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan tak peduli dengan kerumunan-kerumunan kecil yang terbentuk karena sebuah rasa penasaran yang sama terhadapnya. Siapa pemuda itu? Sebentuk Tanya bercokol di benaknya.



Perlahan gadis itupun melangkah mendekati pemuda yang masih asyik dengan dunianya sendiri tersebut. Tertawa sumbang dan parau ditengah deru kendaraan bermotor yang berlalu lalang di sekitarnya. Matanya menangkap sesuatu dari mata pemuda itu. Air mata!? Walau tak jelas namun gadis itu dapat mengenali benda bening yang tersebut. Ya, pemuda itu ternyata sedang menangis. Lalu mengapa ia tertawa begitu rupa?!



Langkahnya semakin cepat kala melihat pemuda itu mulai menaiki jembatan tempatnya berdiri. Kerumunan itu semakin merapat, orang-orang sudah mulai berkasak-kusuk di sekitarnya. Namun, masih seperti yang tadi. Pemuda itu seolah tak peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya.



“JANGAAAANNN………!!!!” teriak gadis itu ketika melihat pemuda itu mulai membentangkan kedua tangannya, seolah menantang angin yang berhembus keras ke arahnya. “Jangan bunuh diri di sini!!” teriaknya dengan napas tersengal setelah ia sampai di dekat pemuda itu.



Pemuda itu seakaan tak mendengar teriakan gadis di sebelahnya. Sekarang ia malah memejamkan kedua matanya. Seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. “Jangan!!” lagi-lagi gadis itu mencoba menggagalkan usaha apapun yang akan pemuda itu lakukan.



Setelah berkali-kali teriakannya dan juga seruan-seruan dari orang-orang yang sekarang telah mengerumuni mereka tak berhasil menggoyahkan niat pemuda itu. Gadis itupun menarik paksa pemuda yang tengah tersesat dalam dunianya sendiri tersebut untuk turun.



Pada saat itulah pemuda itu seakan baru menyadari di mana ia sedang berada. Ia pandangi gadis yang terlihat khawatir di sisinya. Peluh berderas-deras membasahi pelipisnya. Tampilannya yang berantakan benar-benar membuat kening pemuda itu mengerut. Lalu ia edarkan pandangannya pada kerumunan orang-orang di sekitar mereka yang menatapnya penuh dengan tanda Tanya. Sebagian di antara mereka asyik berkasak kusuk dengan orang di sebelahnya.



“Jangan bunuh diri di sini,” ujar gadis itu dengan tatapan khawatir.



Pemuda itu hanya menatap tajam ke arahnya. Seakan tak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan oleh gadis itu. “Kalau kamu mau bunuh diri, jangan di sini. Kali di sini airnya Cuma selutut, lagipula kali ini kotor banyak sampah di sana. Memangnya kamu mau mayatmu nanti bau busuk karena sampah?” lanjut gadis itu mencoba mencairkan suasana.



“Betul itu dek, kalau mau bunuh diri jangan di sini. Bikin repot orang-orang di bawah sana nanti,” timpal seorang yang lain.



“Iya mas, lagipula hari gini masih mau bunuh diri?!” sahut seseorang yang berseragam SMP tak jauh darinya.



Kerumunan itu pun sahut menyahut membenarkan ucapan dari orang sebelum mereka. Pemuda itu tampak kebingungan dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Niatnya yang semula ingin melepaskan beban, kenapa malah melebar menjadi bunuh diri?!



Seakan tak peduli dengan apa yang dibicarakan mereka, dengan kasar ia menyibak kerumunan itu dengan bersungut-sungut. “Bunuh diri?! Emang siapa yang mau bunuh diri!? Nggak usah bunuh diri juga gue bentar lagi mati!!” teriaknya ke arah kerumunan itu yang disahuti oleh koor “Huuu…” oleh orang-orang yang ada di sana.



Kerumunan itupun akhirnya membubarkan diri, satu sama lain saling membicarakan pemuda itu, tak jarang ada umpatan-umpatan yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan gadis yang tadi bersusah payah berlari ke sana hanya terbengong-bengong dengan apa yang terjadi.



“Jadi, dia tadi bukan mau bunuh diri?” katanya dalam hati.



Dengan langkah gontai, ia pun meneruskan perjalanannya. Berbagai tanda Tanya masih saja tersimpan di benaknya. Ia masih penasaran dengan pemuda itu, sorot mata kosongnya, raut pucatnya, dan selapis air bening yang tadi sempat menghiasi matanya. Seakan mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang mungkin saja mirip dengannya. Terutama badan kurus dan wajahnya yang pucat. Gadis itu yakin kalau pemuda yang tak sengaja ia temui tadi sedang mengalami masalah yang begitu berat, sampai-sampai dia melakukan hal gila seperti tadi.



“La!!” sapa seseorang yang terasa begitu dekat dengannya.



Gadis yang disapa tadi sedikit berjingkat, terkejut dengan sapaan yang tiba-tiba. “Awan, ngagetin aja lo! Gue kira siapa,” sahutnya dengan sebuah senyum lebar.



“Darimana lo, jalan sambil ngelamun. Kesambet lho ntar.” Tanya pemuda yang menyapanya itu dengan seriangai jahil.



“Dari kursus, lo sendiri dari mana?” ujar gadis itu balik bertanya.



“Dari rumah sakit. Mau pulang?” jawab Awan singkat.



Gadis yang bernama Pelangi itu pun mengangguk. “Kalau gitu naik deh, gue anter. Sekalian gue mau ketemu kakak lo,” lanjutnya seraya menyerahkan helm ke arah Pelangi yang disambut dengan cengiran lebar darinya.

colour of sky 20

そら の いろ


Aku mengerjapkan mataku sejenak, memandang linglung keadaan di sekelilingku. Ku pandangi matahari yang perlahan telah bergulir ke peraduannya. Ternyata sudah hampir seharian ini aku tertidur. Semilir angin yang membuai membuatku benar-benar terlena. Hingga aku tak sadar telah terlelap dalam buaiannya.



Setelah kurasa cukup segar kembali, aku bangkit berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa kaku, ku pandangi lagi perjalanan matahari yang semakin lama semakin mendekati batas cakrawala. Sekonyong-konyong aku kembali teringat dengan pesan terakhir ayah sebelum sosoknya menghilang bagai debu. Kalau aku tak ingin terjebak selamanya di tempat ini maka aku harus mengulang kembali permintaanku tepat pada waktu sinar matahari memenuhi mega, dan kurasa saat yang kunantikan itu akan segera tiba.



Aku siapkan hati dan pikiranku agar tetap fokus untuk menanti saat itu datang. Aku ragu dari tempat ini dapat melihat seluruh mega tersiram sinar jingga matahari senja. Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada sebuah tempat di kastil yang kata ayah adalah tempat yang pas untuk menyaksikan matahari terbenam.



Mengingat hal tersebut, aku memacu langkahku untuk kembali memasuki bangunan kuno nan megah yang berdiri menjulang di hadapanku. Kakiku kembali berlari menyusuri setiap lorongnya yang remang-remang. Mengira-ngira di mana tempat yang dimaksud ayah. Aku mengumpat dalam hati, merutuki kebodohanku yang tak mendengarkan penjelasannya dengan baik, dan malah asyik dengan pikiranku sendiri.



Dengan ingatan samar-samar aku kembali melewati tikungan dan lorong-lorong yang seperti labrin tikus mondok. Akhirnya setelah beberapa kali salah kamar, aku berhasil menemukan kamar yang dimaksud. Dan benar apa yang ayah bilang, dari sini aku bisa melihat kemegahan senja, walau sekarang matahari masih belum bertemu dengan cakrawala, tapi aku bisa melihat kalau memang kamar inilah kamar yang dimaksud ayah.



Aku mengatur napasku yang tersengal akibat berlari, setelah agak tenang aku melangkah mendekati satu-satunya jendela yang ada di kamar tersebut. Memandangi keindahan alam yang ada di sini, memanjatkan syukur karena aku sudah mengalami serangkaian keajaiban selama di sini, dan merenungi nasibku yang masih tak kumengerti kenapa aku sampai bisa terdampar di tempat ajaib seperti ini.



Kedamaian yang tercipta dari tempat ini sering membuatku enggan untuk meninggalkannya dan kembali ke rutinitasku di alam yang lain. Kembali berkutat dengan segala bentuk pengobatan, yang tak jarang membuatku bosan setengah mati. Tak perlu dipusingkan dengan segala aturan yang ada, membuatku jauh merasa lebih nyaman di dunia ini daripada di dunia sana.



Namun, seakan tak sejalan dengan apa yang kupikirkan, salah satu sudut hatiku bergolak memberontak. Ada sesuatu yang menarikku untuk segera kembali ke sana. Ada yang menungguku, walau sampai saat ini aku tak tau siapa dan mengapa. Setelah aku sampai di dunia ini, entah mengapa aku jadi tak dapat mengingat siapa-siapa yang berinteraksi denganku di sana. Yang dapat aku ingat hanyalah sebuah perasaan yang tak menyenangkan, sebuah kerinduan yang amat sangat akan sesorang di sana.



Perasaan inilah yang menuntunku hingga sampai di tempat ini, menanti dengan setia sang Matahari untuk kembali ke peraduannya. Menikmati setiap detik kebosanan yang menyelinap, menghalau segala bisikan yang membuatku terlena dengan segala kedamaian yang tersaji.



Aku menghela napas panjang, sejak sampai di sini perasaan yang membuatku resah sedari tadi seakan menjelma semakin nyata, menanti waktu untuk segera diwujudkan. Aku mendesah berat untuk kesekian kalinya. Suara-suara yang dari awal kuabaikan, kini mulai bergema semakin keras. Bertalu seirama dengan denyut jantungku. Membuatku tak tahu lagi bagaimana cara menghalau suara-suara tersebut.



Aku menggelengkan kepalaku cepat, mencoba mengusir pergi suara-suara yang semakin menyiksaku. Kembali kutatap Matahari di ujung sana, perlahan tapi pasti ia telah menyelusup ke dalam rengkuhan horizon. Mega-mega pun telah mulai berubah warna. Aku menanti dengan tak sabar perubahan apa yang akan kujumpai setelah benda buat terang itu tenggelam sebenuhnya dalam cakrawala. Detik-detik itu bagaikan genderang perang yang ditabuh bertalu, memacu jantungkku untuk berdetak lebih cepat.



Keringat dingin membasahi pelipisku, dapat kurasakan kedua telapak tanganku mendingin karena tegang. Kututup mataku bersamaan dengan tenggelamnya bintang paling besar itu ke dalam rengkuhan sang malam. Sinar megahnya memenuhi seluruh langit, mega-mega telah berubah warna seutuhnya. Aku panjatkan sebuah doa tulus dalam hatiku berkali-kali seiring dengan tarikan napas, sesuai apa yang diinstruksikan oleh ayah tadi. Berkali-kali hingga sebuah sinar terang menghampiriku, menyelimuti seluruh raga, membutakan mataku yang terpejam, dan akupun tak ingat apa-apa lagi.



&&&



“Dokter… Dokter…” Suara gaduh yang berasal dari kamar 503 itu mengejutkan beberapa suster dan orang yang berlalu lalang di sekitar lorong. “Suster tolong panggilkan dokter Sus! Dokter!! Dokter!!”



Beberapa suster dengan sigap segera mencari dokter yang dimaksud wanita tersebut. Beberapa orang lagi menghampiri wanita itu dan meginterogasinya serta berusaha membuat wanita paruh baya tersebut menenangkan dirinya, seorang suster menghampirinya dan segera masuk ke dalam kamar 503 untuk kemudian memeriksa setiap detail dengan cekatan. Sementara wanita paruh baya yang berteriak kalut tadi memandang dengan penuh kecemasan ke arah suster yang tengah melakukan tugasnya.



Tak lama berselang seorang dokter datang dengan tergopoh dan mendengarkan dengan baik hasil laporan awal yang telah dibuat oleh suster yang tadi memeriksa pasiennya. Menatap khawatir sejenak pada pasiennya, dan melakukan serangkaian pemeriksaan lagi dengan cekatan dan hati-hati. Menginstruksikan untuk mencatat beberapa hal yang dirasa penting kepada suster yang dengan sigap langsung membubuhkan beberapa tulisan di notenya. Dan tak lama berselang, dokter itu pun telah selesai mengobservasi keadaan pasiennya.



Suster yang tadi memeriksa sudah pergi, menyisakan dokter tersebut dan wanita paruh baya yang sejak tadi tak berhenti berkomat-kamit. Sejenak, tampak dokter tersebut mengusap peluh yang bergulir dari pelipisnya. Tersenyum lega walau raut kecemasan membayangi wajahnya yang masih tampak muda. Melangkah penuh keyakinan ke arah wanita paruh baya yang sekarang memandangnya dengan penuh pengharapan.



“Ksatria baru saja melewati masa kritisnya. Mudah-mudahan sebentar lagi ia akan siuman.” Ujarnya pasti.



Mata wanita itu membulat sempurna, terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan dokter muda tersebut. “Benarkah dok?!” Sahutnya tak yakin.



Dokter itu hanya mengangguk kecil dengan senyum lelah yang masih menghiasi wajahnya. “Benar bu. Ini berkat doa kita semua.” Tegasnya.



Bibir lemahnya berkali-kali mengucap syukur, wajah kuyunya kini telah sedikit bersinar. Segera ia jabat tangan dokter yang sudah lama menangani anaknya tersebut. “Terima kasih dokter… Terima kasih…” ujarnya berkali-kali dengan air mata berderai.



“Jangan berterima kasih kepada saya bu. Berterima kasihlah pada Tuhan, karena berkat Dia-lah Ksatria dapat melewati ini semua. Saya hanya membantu saja.” Kilah dokter muda itu dengan sebuah senyum tulus. “Kalau begitu saya pamit dulu bu, masih banyak pasien yang harus saya tangani.”



“Iya dok… Sekali lagi terima kasih dokter…” Sahut wanita itu mengiringi kepergian dokter muda itu dari kamar 503.



Sepeninggal dokter Raka, dengan langkah ragu wanita itu menghampiri putranya yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Deru napasnya kembali teratur setelah tadi tiba-tiba saja putaranya tersebut seperti terkena sesak napas. Bunyi kardiogram di sampingnya pun kembali berdetak teratur. Ia pandangi wajah pucat putranya yang sudah hamper satu bulan ini tergolek tanpa daya, air mata itu masih membayangi wajah kuyunya. Ia tak menyangka kalau saat yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Setelah sekian lama ia berpikir kalau saat-saat kesadaran putaranya ini tak lagi akan terwujud.



Ia belai rambut pemuda itu penuh saying dengan jari-jari tuanya yang gemetar. Bibir lemahnya mengucap syukur yang tak henti. Ia bisikkan kalimat-kalimat kebahagiaan pada tubuh yang masih tergolek tanpa daya. Hingga hari kembali berselimut malam, wanita paruh baya itu masih setia mendampingi putra bungsunya dengan air mata yang telah mongering dan bibir yang tak henti-hentinya melafadzkan syukur.



***



Akhirnya kabar yang dinanti-nantikan itu datang juga. Setelah hampir satu bulan ini kami menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya kemarin Ksatria sadar juga. Walau masih terlihat sedikit linglung, namun kondisinya perlahan-lahan sudah kembali pulih. Kata dokter Raka ia masih perlu penanganan lebih lanjut, terutama melulihkan kembali kemampuan fisiknya. Karena tertidur cukup lama ia masih kaku dalam melakukan beberapa hal yang berhubungan dengan kegiatan motoriknya.



Walau begitu, aku senang melihatnya kembali seperti ini. Orang yang paling senang mendengar berita ini tentu saja bukan hanya aku, ada seorang lagi yang berbahagia mendengar kabar gembira ini. Seseorang yang sejak dulu menantikan kesadarannya. Kedua bola mata gadis itu berkaca-kaca saat aku memberitahunya kabar ini. Bibir mungilnya mengucap syukur berkali-kali.



Kini, kami berdua sedang berada di kamar 503. Kegiatan rutin kami beberapa hari ini adalah membantu Ksatria memulihkan kembali kepercayaan dirinya dan membantunya untuk memulihkan kembali kemampuan motoriknya. Walau masih sedikit kaku dan kurang luwes, namun sekarang dia telah mengalami banyak kemajuan.



“Gimana keadaan lo pagi ini?” Tanyaku setelah berbasa-basi sejenak dengan dokter Raka yang baru saja selesai memeriksanya.



“Lumayan.” Jawabnya singkat.



“Udah minum obat?” tanyaku lagi.



Dia hanya mengangguk lemah. Walau dia sudah kembali sadar, namun, pembicaraan yang terjadi di antara kami masih sekaku kawat jemuran. Mungkin karena kami sudah lama tak berinteraksi secara langsung, sehingga membuat kami seolah menjelma menjadi dua orang asing yang mencoba saling mengenal. Tak jarang aku melihatnya seakan sedang melamun, memikirkan sesuatu yang aku tak tahu, kadang aku mendapati tatapan kosong yang terpancar dari kedua manik hitamnya. Apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan?



“Ehm, Lang, tadi aku bawa bubur ayam… Kamu mau nyicip nggak?” Sebuah pertanyaan bernada ceria terlontar dari gadis manis yang sekarang sedang merapikan beberapa barang bawaannya.



“Gue udah makan,” sahut Ksatria dingin.



“Oh…” Balas gadis itu lemah, sekilas tampak sebuah raut kekecewaan membayang di wajahnya. “Emm… Kalau satu sendok aja mau kan?”



“Gue udah kenyang,”



“Ya udah deh kalau gitu nanti aja,” Sahutnya pasrah dengan sebuah senyum yang dipaksakan.



Aku hanya dapat menghela napas berat. Sudah beberapa hari ini Aura mendapatkan perlakuan dingin seperti itu. Jujur, aku tak tega melihatnya diperlakukan seperti itu, walau hubungan terakhir di antara mereka tak berjalan dengan baik, namun tak seharusnya gadis ini menerima perlakuan dingin seperti itu.



“Oh ya Ksat, kata dokter Raka besok lo udah boleh pulang,” Kataku mencoba mencairkan suasana.

Ia melirikku sejenak dan menggumam tak jelas sebagai jawabannya. “Setelah lo pulang, mama punya rencana mau buat syukuran kecil-kecilan. Lo nggak keberatan, kan?” lanjutku.



“Terserah,” jawabnya sambil lalu.



Aku mendesah pelan melihat reaksinya yang tak acuh seperti itu. Kalau begini ceritanya lebih baik dia tak bangun-bangun saja sekalian! Umpatku dalam hati. “Ya udah, gue ke apotek dulu, nebus obat sekalian ngurusin administrasi buat kepulangan lo besok.” Putusku yang sudah tak tahan menghadapinya.



Lagi-lagi dia hanya mengguman sebagai jawabannya. “Ra, gue tinggal dulu ya,” Pamitku pada gadis manis yang sedang membereskan nakas.



“Iya kak,” Sahutnya ceria. Syukurlah kalau dia masih bisa bersikap seperti biasanya. Sekali lagi kupandangi Ksatria yang sedang memandang kosong ke luar jendela, menghela napas panjang, dan akhirnya dengan langkah-langkah berat aku meninggalkan kamar 503 tersebut.



@@@



Sudah hampir satu minggu aku kembali terbangun dari tidur panjangku. Walau kesadaranku telah kembali namun belum sepenuhnya aku sadar dengan apa yang terjadi pada diriku sendiri selama hampir satu bulan ini. Aku masih bingung dengan keadaan di sekelilingku sekarang. Semua ini masih seperti mimpi bagiku. Sebuah ingatan samar yang acap kali melintas dalam mimpi, membuatku tak mampu berpikir jernih. Seolah sebagian nyawaku masih tertinggal di tempat itu.



“Emm… Kamu mau aku kupasin buah apa Lang? Apel apa jeruk?” Sebuah pertanyaan ringan mengusik lamunanku.

Kupandangi gadis yang duduk tak jauh dariku. Sudah berhari-hari ia di sini. Tanpa bosan selalu menawariku hal-hal yang sering kali aku tolak. Membalas seluruh perkataan tak perduliku dengan sebuah senyum manis, walau terkadang tak jarang aku merasa senyum itu menyiratkan sebuah kesedihan.



“Gue masih kenyang,” Jawabku singkat, kembali kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Entahlah, aku tak kuasa berlama-lama memandanginya, ada sebagian hatiku yang terasa berdenyut menyakitkan saat memandang wajah polosnya.



“Aku seneng deh… Akhirnya kamu bisa sadar juga.” Ujarnya lirih, aku dapat merasakan sebuah senyuman dari ucapannya itu. “Kamu tau nggak, waktu kak Yudha ngasih kabar kalau kamu udah siuman rasanya tuh nggak karuan. Seneng, terharu, campur-campur deh…”



Aku mendesah panjang, tak mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut. Aku masih tak memandang gadis itu, aku merasa pemandangan di balik jendela lebih menarik ketimbang gadis di sampingku ini. “Malemnya aku sampai nggak bisa tidur tau, kebanyang-banyang terus gimana besok kalau ketemu kamu. Apa kamu bakal ngenalin aku. Gimana perasaan kamu waktu ngeliat aku. Macem-macem deh… Sampai-sampai kebawa mimpi.” Lanjutnya dengan diselingi sebuah tawa ringan.



Aku tak menyangka kalau kesadaranku ini akan sangat berpengaruh padanya. Tawa renyahnya entah kenapa malah membuatku tersenyum miris. Suara ini adalah suara-suara yang selalu mengusikku ketika aku tak sadarkan diri. Suara ini jugalah yang menuntunku untuk menemukan kesadaranku, namun entah mengapa saat suara tawa itu menjelma menjadi nyata, malah sakit yang kurasakan.



“Tapi, waktu aku tahu kalau kamu jadi seperti ini, aku sedih. Kadang aku nggak ngerti apa yang salah dari ini semua. Apa karena aku kamu jadi kayak gini. Atau ini semua karena kita udah lama nggak ketemu. Atau karena kamu kelamaan tidur. Atau…” Kalimatnya terputus tiba-tiba. Saat aku berpaling sebuah pemandangan yang paling tak ingin ku lihat terpampang jelas di depan mata.



Gadis itu terisak tanpa suara. Wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangannya, bahunya berguncang pelan seiring dengan tarikan napasnya yang tak teratur. Lagi-lagi sebelah hatiku berdenyut menyakitkan. Aku menghela napas panjang, lelah dengan semua ini. Tertidur begitu lama ternyata mengikis sebagian memori dalam benakku, menggerus rasa yang mengendap dalam jiwa.



Perlahan ku angkat wajahnya yang masih menunduk dalam, dengan hati-hati kuurai kedua tangannya yang masih menutupi wajah. Kupandangi lekat-lekat wajah berurai air mata di hadapanku. Isaknya masih ada, namun masih seperti tadi. Tak ada suara, hanya air matanya yang meluruh semakin deras.



Perlahan kuusap kedua pipinya pucatnya, mencoba menghalau sungai air mata yang tercetak di sana. Ia memandangku dengan tatapan terkejut dan tak mengerti. Aku pun tak mengerti dengan apa yang ku lakukan sekarang. Yang aku tahu, aku memang harus melakukan hal ini. Aku tak suka melihatnya menangis.



“Kenapa sih lo harus nangis Cuma gara-gara orang macem gue?” Ujarku lirih, selirih angin yang berbisik lewat ventilasi.

“Gue nggak pantes lo tangisin.”



Dia menggeleng lemah, wajahnya menyiratkan kalau aku tak seharusnya berkata seperti itu. “Gue emang Cuma bisa ngasih kesedihan ke orang-orang di dekat gue. Harusnya dari dulu gue sadar… Maaf, udah bikin lo nangis gara-gara gue.” Ujarku pelan.



“Nggak. Kamu nggak boleh ngomong gitu Langit.” Sahutnya parau, air mata itu kembali mengalir, seperti tadi, aku kembali menghapusnya.



“Lo terlalu baik buat gue sakitin. Dari dulu harusnya gue udah buang kebahagiaan yang ada di tangan gue. Nggak seharusnya gue serakah dengan apa yang gue punya sekarang.” Aku menarik napas panjang. Aku tak tahu akan semenyakitkan ini mengatakan apa yang selama ini aku tahan. Mengungkapkan yang selama ini membebani hatiku, kekhawatiranku pada apa yang perlahan kuyakini. Pada sesuatu yang mengikatku untuk tetap bertahan di dunia ini.



“Kamu ngomong apa sih?! Aku nggak suka kalau kamu ngomong kayak gitu?!” protesnya lemah.



“Kalau kebahagiaan ini Cuma bisa nyakitin orang lain. Buat apa gue pertahanin lagi?! Lebih baik gue buang! Dari dulu juga gue harusnya sadar, kalau kata bahagia nggak pernah ada dalam kamus gue!” ujarku tajam. Kembali, setelah berminggu-minggu tenggelam dalam mimpi ternyata sanggup membuatku kembali pada diriku yang dulu. Pesimis, egois dan tak mau mengerti. Kembali merasakan setiap detik waktu yang semakin menyempit. Berkubang dalam kemalangan yang selama ini melingkupi hidupku.



Tanpa kusangka sebelumnya, tiba-tiba saja ia memelukku erat, membenamkan kepalanya di dadaku dan terisak dengan hebat di sana. Lagi-lagi aku membuatnya menangis. Kali ini dengan isakan pilu yang benar-benar membuat hatiku tak nyaman. Aku benar-benar merasa jadi orang paling kejam sedunia!



“Aku nggak mau kamu ngomong gitu lagi Lang. Kamu nggak boleh ngomong gitu lagi. Setelah sekian lama, aku, kak Yudha, tante berusaha bikin kamu berubah jadi lebih baik, kenapa kamu kayak gini lagi Lang? Aku nggak suka kalau kamu menjauhi bahagia seperti dulu lagi.” Isaknya pilu, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Perlahan aku menguraikan pelukannya, memandangi wajahnya yang menyiratkan sebuah kesedihan yang teramat sangat. Jangan berikan aku wajah terlukamu Ra!



“Kalau emang kamu udah lupa gimana rasanya bahagia, aku bakal ngasih tahu kamu. Kalau kamu udah lupa arti bahagia, aku akan ngajarin kamu buat nemuin kebahagiaanmu lagi. Tapi kamu harus janji, jangan pernah kembali seperti dulu. Aku nggak suka!” Lanjutnya lagi, masih dengan air mata yang menderas.



Aku menghela napas panjang, lelah. “Apa gue masih punya banyak waktu buat ngerasain apa yang lo bilang tadi? Waktu gue udah nggak banyak lagi, yang gue mau Cuma kedamaian. Kalau emang tanpa bahagia gue bisa damai, gue bakal lakuin itu.” Jawabku pasti. Ya, kedamaian. Satu kata yang baru-baru ini membuatku tersadar dengan semua yang terjadi. Aku perlu sebuah kedamaian.



Mimpi-mimpi itu ternyata bukan sekedar sebuah bunga tidur belaka. Tempat yang selalu sama, padang rumput luas itu, seakan mengudangku untuk kembali berada di sana. Tak ada kesakitan, tak ada kesedihan, dan tak ada lagi kegalauan. Hanya kedamaian, ketenangan, dan yang aku inginkan hanya lah satu kata itu. Damai.



“Nggak!! Waktu kamu masih panjang Lang! Sebentar lagi… Tunggu sebentar lagi…” Ujarnya lirih namun tegas.



“Sebetar lagi itu seberapa lama? Gue udah nggak sanggup lagi, Ra! Mimpi-mimpi itu… Padang rumput itu… Ayah… Semua itu seakan udah jadi kenyataan dalam hidup gue?!” Kataku tajam.



Lagi-lagi ia menggeleng tegas. “NGGAK!! Semua itu Cuma mimpi!! Mimpi…” teriaknya kalap, ia kembali tertunduk dan terisak. Lagi-lagi tanpa sadar aku merengkuhnya, membenamkannya dalam pelukanku. “Itu semua Cuma mimpi…” racaunya tak jelas.



“Mimpi itu semakin hari semakin terasa nyata Ra…” Lirihku, berbisik pada angin yang menerobos sela-sela ventilasi. Ia menggeleng keras dalam pelukanku, berkali mengatakan mimpi, dan tidak secara berulang.



Kami bertahan seperti ini untuk beberapa saat, mencoba menelaah akan seberapa menyakitkan pembicaran ini nantinya. Setelah ia sudah mulai tenang, perlahan ia menguraikan pelukanku. Ia memandangku dengan pancaran mata penuh ketegasan seakan menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting dan terlupakan, tak lama ia terkekeh geli sendiri. Aku memandangnya tak mengerti, mengapa ia tiba-tiba saja berubah seperti itu. Ia mengeringkan air matanya, dan memandangku dengan sebuah keyakinan.



“Nggak Lang. Itu semua Cuma bunga tidur. Nggak akan jadi kenyataan.” Ujarnya yakin. Aku masih memandangnya dengan seribu tanda Tanya.



“Maksud lo?”



“Hampir aja aku lupa ngasih tau kamu kabar bahagia ini.” Ujarnya dengan senyum mengembang.



Aku mengerutkan dahi tanda tak mengerti dengan apa yang dia bicarakan. “Kamu udah dapet donor jantung.” Ujarnya singkat dengan mata berbinar.



Aku membeku seketika, dapat kurasakan tubuhku kaku. Mataku membulat sempurna. Donor. Jantung. Dua kata itu bahkan sudah musnah dari ingatanku. Benarkah apa yang ia katakan?! Aku. Donor jantung?! Tiba-tiba saja aku tak dapat menahan tawaku. Lelucon apa lagi ini?!



“Lo bercanda kan?” tanyaku sinis.



“Nggak Lang. Mana mungkin aku bercanda untuk urusan yang satu ini.” Sahutnya serius.



Berarti hidup hingga 50 tahun lagi itu bukan lagi mimpi bagiku?!



“Lo serius?!” Tanyaku masih tak percaya.



Ia hanya mengangguk mantab, melihat binar di matanya, senyum di bibirnya, seketika itu juga aku yakin dengan apa yang dia katakan. Kuraih ia dalam pelukanku, melampiaskan kebahagiaanku dalam pelukannya. Berkali-kali bibirku mengucap syukur. Akhirnya harapan yang selama ini kurasa mulai mengkhianatiku, kini kembali menyapa. Kata bahagia yang tadi kulupakan, kini menjelma kembali. Ternyata 0,01% itu tak meninggalkanku.



***



Aku terpaku di tempatku berdiri, tak sengaja aku mendengar pembicaraan Ksatria dan Aura. Haruskah aku masuk dan menjelaskan kenyataan yang sebenarnya? Namun, aku tak tega merusak kebahagiaan yang baru saja tercipta. Aku tak ingin merusak suasana bahagia itu. Tawa cerianya, semangat hidupnya dapat kembali hanya dengan satu kalimat yang sudah lama ia lupakan.



Aku masih dapat mendengar letup kebahagiaan itu bahkan saat aku telah jauh meninggalkan kamar 503. Aku termangu dalam perjalanan menuju mushola tempat mama sedang beristirahat setelah melaksanakan ibadahnya. Secepatnya aku harus mendiskusikan hal ini padanya.



“Lho Yudh, kok balik lagi?” Tanya mama heran yang melihatku kembali menghampirinya.



“Ma, ada yang mau Yudha omongin sama mama. Penting.” Jawabku masih sedikit ragu.



“Ada masalah sama bagian administrasinya?” Selidik beliau.



“Bukan Ma, ini masalah donor untuk Ksatria,” Jawabku lemah.



“Bukannya kita udah sepakat untuk tidak menyetujuinya?” sahut mama tak mengerti.



“Ksatria udah tau ma, kalau dia akan dapat donor jantung,” Ujarku lemah.



“Apa Yudh?! Tahu dari mana dia? Kita kan udah sepakat nggak akan bahas masalah ini?” Kata mama terkejut, ia memandangku penuh selidik.



“Dia tahu dari Rara, ma. Tadi waktu Yudha mau balik ke kamar, nggak sengaja Yudha denger obrolan mereka.” Jawabku lemah.



Mama mendesah panjang, ia sama tak mengertinya denganku. Tak mengerti harus berbuat apa. Tak tahu harus memasang ekspresi yang bagaimana saat ia nanti menanyakannya. Aku benar-benar dibuat bingung dengan ini semua.



“Gimana tanggapan dia Yudh?” Tanya mama lemah.



“Seneng banget ma. Yudha nggak tega kalau harus ngerusak kebahagiaan itu dengan apa yang sebenarnya terjadi.” Jawabku tak kalah lemah. “Apa yang harus kita lakuin ma?”



“Mama nggak tahu Yudh. Kita hadapi aja sama-sama. Tapi kalau bisa lebih baik dia jangan sampai tahu dulu kalau kita membatalkan donor jantung untuknya.” Kata mama tegas. Aku rasa mama juga tak mau merusak kebahagiaan Ksatria dengan berita menyedihkan ini.



Aku hanya mendesah pelan menanggapi ucapan terakhir mama. Kulayangkan pandanganku ke arah koridor yang mulai ramai. Berusaha tak menggubris suara riang yang hingga kini masih terngiang-ngiang dalam benakku. Biarlah ia menikmati kebahagiaan ini sejenak. Semoga saja ia tak akan terluka dengan kenyataan pahit yang akan dihadapinya nanti.



&&&



“Jadi bagaimana keputusan kamu Wan?” Tanya dokter Raka, serius.



“Saya akan mengikuti saran dokter. Mungkin memang belum saatnya saya menyerah.” Jawab Awan dengan penuh ketegasan.



“Bagus kalau kamu merubah keputusanmu. Berbuat baik untuk orang lain memang mulia, tapi bukan dengan cara menyakiti diri kamu sendiri Wan,” Nasehat dokter Raka yang kini tampak lega dengan keputusan Awan.



“Iya dok.” Sahutnya lirih. “Oh ya dok, apa keluarga mereka sudah diberitahu dengan keputusan saya ini?”



“Kalau untuk masalah ini saya belum memberi tahukan pada mereka. Mungkin nanti,” Jawab dokter Raka seraya memeriksa beberapa file yang ada di meja kerjanya.



“Saya dengar dia sudah sadar dok,” Kata Awan sambil lalu, sebelum ia meninggalkan ruangan dokter muda penuh talenta itu.



“Iya, sudah satu minggu ini sadar. Sekarang kondisinya sudah mulai membaik, walau masih belum pulih sepert sedia kala,” Jawabnya dengan seulas senyum tipis. “Apa kamu akan melihatnya?”



Pemuda itu hanya tersenyum samar menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan dokter Raka padanya. “Syukurlah,” Desahnya lega, seraya menutup kembali pintu ruangan perpelitur cokelat itu.

colour of sky 19

そら の いろ


Aku menimang dua benda yang kin ada digenggamanku. Satu buah box VCD dan sepucuk surat. Aku kembali teringat pada permintaaan Ksatria beberapa waktu lalu. Apakah sekarang saat yang tepat untukku memberikan dua benda ini padanya? Apakah saat-saat seperti sekarang ini yang dimaksud oleh Ksatria, saat yang tepat?



Kupandangi dan kubolak balik dua benda di tanganku. Tak sekali pun aku mencoba untuk mencari tahu apa isi dari dua benda tersebut. Pernah sekali waktu aku tertarik untuk mengetahui isi daris alah satu benda tersebut. Namun, keinginan itu urung kulaksanakan. Mengintip barang yang bukan milikmu adalah salah bentuk kejahatan. Mungkin memang aku harus memberikan dua benda ini padanya, besok.



Aku memasukkan kedua buah benda tersebut di dalam tas selempang kecil yang memang sering kugunakan untuk bepergian. Semoga saja aku tak salah prediksi. Setelah memastikan sekali lagi kedua benda itu tersimpan aman dala tasku. Akhirnya aku merebahkan tubuh lelahku.



Masalah yang datang bertubi-tubi dalam beberapa hari ini cukup membuatku kelelahan. Baik fisik maupun mental. Pandanganku menerawang ke arah sebuah gitar yang tergantung indah di salah satu sudut kamar. Sejak Ksatria menghibahkan gitar itu padaku belum sekalipun aku menyentuh atau memainkannya.



Pikiranku kembali berkelebat mengenai keputusan penting yang akan kami lakukan. Kembali menimbang baik dan buruknya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Setelah berpikir sekian lama, akhirnya malam ini aku tau harus mengambil keputusan yang mana. Pilihan ini adalah pilihan paling tepat untuknya, dan untuk kami.



Aku tersenyum lega dengan apa yang baru saja menjadi keputusanku. Semoga saja mama setuju dengan pendapatku. Bagiku membiarkan Ksatria hidup lebih lama adalah sebuah keputusan yang tepat. Megenai segala macam perubahan yang akan terjadi setelahnya, itu akan menjadi urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah Ksatria bisa kembali pulih seperti sedia kala.



Aku menghembuskan napas lega. Satu masalah selesai, tinggal dua masalah lagi yang harus aku selesaikan. Mudah-mudahan saja dua masalah ini akan selesai esok hari. Aku menguap lebar, penat ini semakin mendera. Perlahan aku mengatupkan kedua mataku sebelum akhirnya terlelap.



&&&



Pagi ini terlalu cerah baginya yang sedang diliputi kebimbangan. Menimbang kembali keputusan besarnya. Sekian tahun mendertia penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuatnya memutuskan untuk melakukan hal terbesar bagi hidupnya. Hidup dalam kungkungan penyakit adalah hal yang paling menyiksa baginya, dan ia tak ingin merasakan siksaan itu lebih lama lagi.



Sebenarnya ia bisa saja terbebas dari penyakit mematikan ini seandainya saja ia mau membuang pangkal penyakit yang membuatnya menjadi seperti ini. Namun, keadaanlah yang memaksanya untuk tidak membuangnya dan malah menambahkan satu penderitaan lagi baginya.



Belasan tahun hidup sendiri tanpa mengenal kasih sayang orang tua membuatnya sedikit tak peduli dengan hidupnya. Bukan hanya kasih sayang orang tua yang tak ia dapatkan, mengenal siapa kedua orang tuanya pun tidak. Sejak kecil ia sudah hidup terasing, menjalani kerasnya cobaan hidup dengan berpindah tempat tinggal. Ia tumbuh dengan tempaan cobaan dan kerasnya kehidupan.



Hingga ia bertemu dengan sesorang yang dapat membuat hidupnya lebih baik. Badai. Ia lah yang telah mengangkat derajatnya, membawanya terlepas dari kubangan kotor kehidupan hingga ia dapat menikmati sisa hidupnya dengan ebih tenang. Semua yang ada padanya adalah hasil dari kemurah hatian sahabat sekaligus keluarganya. Maka dari itu, pada awal-awal saat ia memutuskan untuk melakukan donor jantung membuatnya berselisih dengannya.



Akhirnya, setelah menjelaskan panjang lebar pada sahabatnya itu, mengapa ia berani melakukan hal gila tersebut. Badai tak dapat berkata apa-apa lagi. Setelah mendapatkan persetujuan dari sahabatnya, akhirnya ia mencantumkan namanya dalam salah satu pendonor. Mengumpulkan sedikit-sedikit rupiah untuk menambah biaya operasi yang tidak sedikit. Walau ia tahu sebagian besar dari dana operasi itu berasal dari keluarga Badai.



Ia menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah awan-awan yang berarak indah di angkasa. Pertemuannya dengan pemuda itulah yang membuatnya berani mengambil keputusan besar ini. Perjuangannya untuk hidup, pesimistisnya dalam hidup. Mendorongnya ingin merubah hidup pemuda itu, agar ia dapat merasakan kehidupan lebih lama lagi, agar ia keluar dari kungkungan pesimitis yang selama ini mengkangnya, membatasi geraknya.



Ia seperti melihat cerminan dirinya pada diri pemuda itu. Cerminan dirinya yang dulu, sebelum akhirnya di temukan oleh Badai. Ia tak mau melihat pemuda itu tumbuh tanpa semangat dan akhirnya pergi karena dikalahkan oleh penyakitnya. Seandainya ia tak bertemu dengan Badai, mungkin saja nasibnya akan sepeti pemuda itu.



Kehilangan semangat hidup dan memusuhi hidup, dan setelah menyelidiki lebih lanjut tentang pemuda itu, akhirnya ia tau kalau apa yang akan ia lakukan untuk pemuda itu adalah benar. Memang seperti itulah takdirnya, untuk menghidupkan ornag yang telah mati dalam hidup.



Ia tersenyum pada beberapa awan yang membentuk suatu pola-pola tertentu. Sekarang ia telah benar-benar yakin dengan apa yang menjadi keputusannya. Ia tak akan menyesali keputusan tersebut. Walau masih ada sedikit ganjalan di hatinya, namun itu bukanlah suatu halangan baginya. Ia akan segera menyelesaikan masalah tersebut.



Setelah puas memandangi alam, ia pun memutuskan untuk segera menemui orang yang harus diberi pengertian mengenai keputusan besarnya tersebut. Semoga saja orang itu dapat menerima dengan lapang hati. Ia benar-benar tak ingin membuat orang tersebut berharap terlalu banyak padanya. Harapan yang terlalu besar hanya akan menyakiti dirinya sendiri.



***



Aku sudah bertekad akan menyerahkan dua benda itu pada Rara hari ini. Untuk itulah, aku datang lebih pagi ke rumah sakit. Hanya untuk meminta izin pada Ksatria, kalau memang saat inilah waktu yang ia maksud. Sekali lagi aku memeriksa isi tasku, dua benda itu masih ada di dalam. Tersimpan rapi dan tak ada kurang satupun.



Aku berjalan perlahan di sepanjang lorong, menikmati aktivitas pagi rumah sakit yang jarang ku lihat. Ada beberapa keluarga pasien yang baru saja terbangun dari mimpinya, ada anak-anak kecil berlarian saling mengejar, beberapa petugas kebersihan yang sudah memulai membersihkan lantai sekitar lorong, dan ada pula beberapa pasien yang sedang duduk-duduk menikmati udara pagi yang segar bercampur aroma obat.



Aku menghentikan langkah ketika melihat pintu kamar rawat Ksatria membuka secelah. Siapa yang datang sepagi ini untuk menjenguknya? Kami memang sudah lama tak menunggui Ksatria di rumah sakit. Kami membiarkan dia sendiri di sini, awalnya kami tak tega berbuat seperti itu, namun setelah menimbang dari berbagai sisi, akhirnya kami memutuskan untuk menemaninya dari pagi hingga malam.



Aku melangkah ragu menuju pintu berplang 105, aku mengintip sejenak untuk mengetahui siapa penjenguk yang datang pada pagi hari seperti ini. Berbagai pikiran buruk melintas di kepalaku, namun segera ku singkirkan. Melalui celah sempit ini aku dapat melihat seseorang yang sedang berdiri mengamati Ksatria.



Aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan di sana, dia hanya berdiri diam diujung ranjang. Siapa dia? Sosoknya begitu asing di mataku. Karena sudah tak tahan hanya mengintip seperti ini, akhirnya aku memutuskan untuk langsung masuk dan bertanya padanya.



&&&



Pemuda itu datang lebih pagi dari yang ia rencakan, ia datang sepagi ini hanya untuk menghindarkannya dari bertemu anggota keluarga pasien yang akan ditemuinya. Setelah memastikan bahwa orang yang dia tuju berada di kamar 105, ia pun masuk dengan langkah hati-hati, mengantisipasi seandainya saja ada keluarga pasien yang sedang berjaga di dalam.



Setelah memastikan dugaannya tidak benar, ia bernapas lega. Dengan langkah hati-hati ia berjalan menuju ujung ranjang. Dari sini ia bisa mengamati keseluruhan sosok yang seolah tidur dihadapannya. Sejenak pandangannya beralih pada kardiogram yang berbunyi teratur.



Ia mendesah pelan, melihatnya seperti itu, terbaring lemah tanpa daya. Membuatnya miris, mungkin itulah yang akan terjadi padanya, seandainya saja ia tak mendapat biaya perawatan dari keluarga sahabatnya. Mungkin saja ia akan tergolek seperti itu, namun bukan di rumah sakit, melainkan disebuah sudut perkampungan kumuh.



Membayangkan ia tergolek lemah sendirian di sana tanpa ada yang mengetahuinya, hingga lama-kelamaan ia akan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa membuatnya bergidik ngeri. Beruntung sekarang ia dapat meminimalisir efek yang ditimbulkan oleh penyakitnya. Semua itu berkat bantuan sahabat baiknya.



Baru saja ia hendak melangkah pergi, ia dikejutkan oleh derit pintu yang membuka. Ia menoleh pada orang yang baru saja masuk dan melihatnya tak mengerti. Ia coba untuk tersenyum pada orang yang berjalan mendekatinya, sekedar bermah tamah pada keluarga pasien.



“Maaf, lo siapa ya?” sebuah pertanyaan terlontar dari orang tersebut. “Lo temennya Ksatria?” sambungnya.



Pemuda itu tersenyum simpul. “Bukan, gue Cuma kebetulan mampir aja.” Jawabnya ramah.



Yudha memandang pemuda di depannya dari atas ke bawah, mencoba mengenali sosok asing yang kini tersenyum ramah padanya. Setelah sekian lama, akhirnya Yudha merasa tidak asing dengan pemuda tersebut. Setelah menyadari hal tersebut raut wajahnya langsung berubah masam.



“Lo ngapain di sini?” tanya Yudha datar, setelah mengenali siapa pemuda di hadapannya ini.



“Gue Cuma mampir aja,” jawabnya singkat.



“Ada urusan apa lo ke sini?” kejar Yudha, yang masih menyimpan dendam pada pemuda dihadapannya.



“Gue Cuma mau jengukin dia doang kok.” Jawabnya dengan seulas senyum ramah.



“Lo kenal Ksatria di mana?” lagi-lagi pertanyaan menyelidik terlontar dari bibir Yudha.



“Jadi dia namanya Ksatria?” sahut pemuda itu seolah terkejut.



“Nggak udah sok peduli deh lo! Kalo emang udah nggak ada urusan lagi, mendingan lo keluar sekarang. Sebelum kesabaran gue habis!” sentak Yudha.



“Santai aja bro... Gue kesini juga nggak mau ngajakin lo ribut. Gue Cuma mau jengukin dia doang.” Sahut pemuda itu dengan sebuah senyum sinis, seraya berjalan menuju pintu keluar.



Yudha memandang sinis kepergian pemuda itu. Baru saja ia hendak mendekati Ksatria ia dikejutkan oleh perkataan pemuda itu sebelum ia menutup pintu.



“Gue heran, apa bagusnya lo sih sampai-sampai Anggun segitunya sama lo.”



&&&



Sementara itu, di sebuah taman tak jauh dari sebuah kompleks perumahan mewah. Tampak dua orang sahabat sedang berbincang akrab. Tak jarang tawa renyah keduanya terdengar. Namun, walau mereka sedang tertawa salah satu diantara mereka ada yang masih nampak murung.



“Eh iya Ra, gimana sekarang keadaan si ksatria bergitar itu? Udah ada perubahan belom?” tanya Mega setelah tawanya mereda.



Aura menghela napas lelah. “Yaa... Masih gitu-gitu aja Ga. Belum ada tanda-tanda dia bakal siuman,” jawabnya lemah.



“Ya ampun... Lo yang sabar ya Ra. Gue yakin sebentar lagi dia pasti sadar.” Hibur Mega, seraya merangkul pundak sahabatnya.



“Makasih Ga...” sahutnya lirih.



“Eh iya, kapan lo ke sana lagi?” tanya Mega tiba-tiba.



“Ke mana?”



“Rumah sakitlah... Gue mau ikut dong kalau lo ke sana.” Jawab Mega antusias.



“Tumben lo mau ikut?” selidik Aura.



“Ya kan selama ini gue belum jengukin dia Ra. Siapa tau dengan gue jengukin dia, besoknya dia langsung sadar.”

Seloroh Mega.



“Bisa aja lo!” sahut Aura seraya mendorong bahu sahabatnya pelan.



“Ya kali aja bisa gitu Ra. Eh, tapi kalau emang bisa gitu, lo juga kan yang seneng...” balas Mega, seraya mengedipkan satu matanya.



Aura yang melihat ulah sahabatnya itu hanya tertawa kecil. “Ntar gue kabari lagi, kapan gue ke sana lagi.”



“Sip... Gue tunggu kabar baik dari lo.” Sahut Mega dengan mengacungkan ibu jarinya.



Menghabiskan waktu bersama sahabat seperti Mega membuat Aura dapat sedikit melupakan beban yang menggelayutinya. Tertawa bersama seperti ini membuatnya lebih rileks. Mungkin dia harus sering-sering bercanda dengan sahabatnya itu, agar dia bisa kembali seperti Aura yang dulu. Aura yang selalu ceria walau seberat apapun masalah yang sedang dihadapinya.



***



Aku termangu di samping ranjang Ksatria, kembali memikirkan ucapan pemuda tadi. Aku masih belum yakin dengan apa yang baru saja terdengar. Ia mengatakan hal ersebut seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Dan apa maksud ucapannya tadi? Anggun, ada apa dengannya?



Aku mengacak rambutku dengan frustasi. Semua masalah ini benar-benar membuatku gila. Anggun! Ya, aku harus segera menemuinya untuk meminta kejelasan. Sebelum semua ini menjadi jelas, kurasa aku akan terus-terusan stress seperti sekarang.



Aku menghela napas panjang, kupandangi Ksatria yang masih saja terpejam. “Mau sampai kapan lo tidur terus Ksat? Buruan bangun napa? Ada banyak yang mau gue ceritain ke lo.” gerutuku pada sosok yang hanya terdiam di hadapanku.



Ah, aku seperti orang gila. Berbicara pada tubuh yang tak merespon ucapanku. Kuamati keadaannya sekarang, benar-benar jauh dari sosoknya yang selama ini kuingat. Tubuhnya semakin kurus dan pucat, aku yakin kalau dia lebih lama terbaring di sini aku akan sulit membedakannya dengan tengkorak yang terpajang di salah satu ruangan di sekolahku.



Setelah memastikan bahwa tak ada yang aneh padanya, aku pun memutuskan untuk pergi dari sini. Berjalan tak tentu arah menyusuri lorong-orong panjang rumah sakit, akhirnya membawaku ke depan ruangan dokter Raka. Sejenak aku tertegun, memandangi pintu yang bertuliskan nama dokter Raka beserta embel-embel yang beliau punya dengan nanar. Membayangkan bahwa beberapa hari yang lalu aku dan mama mendengar berita yang cukup mengejutkan di dalam sana, membuatku tersenyum miris.



Aku mengela napas panjang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja dari rumah sakit, dan menemui Anggun. Baru saja aku hendak berbalik, samar aku mendengar pembicaraan dokter Raka dengan seseorang di balik pintu itu. Menilik dari suaranya, sepertinya aku dapat menduga siapa yang ada di balik pintu itu. Aku bersandar pada tombok di samping pintu, mencoba mendengarkan apa yang sedang mereka berdua bicarakan.



&&&



“Jadi bagaimana? Kamu sudah bertemu dengannya?” tanya dokter Raka pada pemuda yang sedang asyik mengamati pajangan yang ada di meja kerjanya.



Pemuda itu hanya mengangguk tanpa minat. Sebenarnya dia tadi ingin menghindari dokter ini, namun apa hendak dikata, saat ia berjalan melewati lobby ia berpapasan dengan dokter Raka yang baru saja datang.



“Lalu bagaimana keputusanmu?” lanjut dokter Raka seraya mengamati pemuda yang terlihat gelisah di tempatnya.



“Tetap diteruskan dok,” jawabnya singkat.



“Sudah kamu pikirkan baik-baik?” selidiknya lebih lanjut.



Lagi-lagi pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Mengapa kamu tidak memilih option pertama yang saya berikan?”



“Seperti yang sudah saya bilang dok. Saya di dunia ini hanya sendiri, jadi buat apa saya memperpanjang hidup untuk sesuatu yang sia-sia.” Jawabnya skeptis.



“Bukankah kamu masih memiliki orang-orang yang menyayangi kamu?” kejar dokter Raka.



“Mereka hanya simpati pada saya dok,” jawabnya datar.



“Tak adakah orang yang akan merasa kehilanganmu seandainya saja kamu memilih pilihan ini?” kejar dokter Raka, yang masih belum mengerti dengan keputusan yang diambil pasiennya.



“Saya rasa ia dapat mengerti dengan keputusan saya ini dok,” jawabnya ragu.



Menyadari keraguan dari pasiennya, dokter Raka tersenyum kecil. “Kalau begitu kamu pikirkan lagi baik-baik mengenai pertukaran jantung ini. Jangan sampai kamu menyesalinya dikemudian hari.” Ujar dokter Raka bijak.



Pemuda itu hanya menghela napas panjang. “Sudahlah dok, lakukan saja seperti yang saya minta. Mau jadi bagaimana saya nantinya, biarlah waktu yang akan menjawabnya.” Sahut pemuda itu pasrah.



“Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Saya akan tunggu keputusan finalmu pada akhir bulan ini.” Kata dokter Raka final.



Pemuda itu hanya mengangguk pasrah, seraya bangkit dari duduknya dan melangkah gontai ke arah pintu. Ia masih belum habis pikir, mengapa dokter itu selalu mendesaknya untuk mengubah keputusannya. Bukankah tak ada yang akan dirugikan kalau ia berbuat seperti itu?



“Oh ya Awan, jangan lupa untuk selalu meminum obatmu. Dari pemeriksaan terakhir, sepertinya kamu sering melewatkannya.” Ujar dokter Raka dengan sebuah senyum kecil.



“Iya dok,” jawabnya malas.



***



Aku tertegun dengan apa yang baru saja kudengar. Pertukaran jantung?! Lelucon macam apa lagi ini?! Orang bodoh macam apa yang mau-maunya bertukar jantung dengan Ksatria?! Aku benar-benar tak habis pikir, kok ya ada orang di dunia ini yang bersedia menukarkan jantungnya dengan jantung milik Ksatria?! Kalau bukan orang yang putus asa terhadap hidup, berarti dia orang gila!



Aku tersentak ketika mendengar bunyi pintu ditutup. Seketika itu juga aku melengos, mencoba berpura-pura sedang menelpon seseorang, sekedar membuat alibi. Orang itu berjalan meliwatiku dengan langkah-langkah gontai, syukurlah aku tak ketahuan sedang menguping pembicaraannya.



Melihatnya berjalan seperti itu, mau tidak mau rasa penasaranku pun timbul. Kuikuti dia dengan hati-hati, hingga dia duduk mencangkung sendirian di teras rumah sakit. Dengan memberanikan diri, akhirnya aku mencoba untuk mendekati pemuda yang baru tadi pagi cekcok denganku.



&&&



“Ehem... Boleh gue duduk di sini?” tanya Yudha berbasa basi pada pemuda yang sedang melamun.



“Silahkan, toh nih bangku bukan punya gue,” jawabnya sedikit tajam.



Yudha meringis mendengar nada yang keluar dari mulut pemuda itu. Dengan ragu, akhirnya dia menghempaskan tubuhnya di bangku panjang itu. Mencoba mengikuti tingkah lakunya yang sekarang sedang memandang awan hitam yang berarak di atas sana.



“Eum... Apa bener lo yang mau jadi donor jantung buat Ksatria?” tanya Yudha hati-hati.



Pemuda itu menoleh dengan cepat dan memandang Yudha tajam. “Tau dari mana lo?” tanyanya tajam.



“Gue tadi nggak sengaja denger pembicaraan lo dengan dokter Raka. Apa bener apa yang gue denger tadi?” jawab Yudha mencoba untuk jujur.



Pemuda itu berdecak kesal. “Ternyata selain lo suka marah-marah nggak jelas, lo juga orang yang suka nguping pembicaraan orang lain ya?” ujarnya sinis.



“Gue tadi nggak sengaja denger waktu gue mau ke ruangannya dokter Raka. Awalnya gue nggak bermaksud buat dengerin pembicaraan kalian, tapi waktu gue denger sesuatu yang berhubungan dengan nasib adik gue, akhirnya gue putusin buat dengerin.” Jawab Yudha panjang lebar, mencoba memberi pengertian pada pemuda yang ada di sampingnya ini, agar ia tak dicap sebagai tukang nguping.



“Terus kalau emang bener seperti itu, lo mau apa?” tantang pemuda itu dengan raut tajam.



“Gue bakal bilang ke dokter Raka kalau kami nggak jadi menjalankan operasi transplantasi jantung buat Ksatria,” Jawab Yudha tegas.



Pemuda itu terkesiap dengan jawaban yang dilontarkan oleh Yudha. Dia tak menyangka akan menerima reaksi yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia bayangkan. “Kenapa lo nolak? Bukankah selama ini lo semua mengharapkan hal ini terjadi?” tanya pemuda itu tak mengerti.



“Memang benar kami selama ini menantikan Ksatria mendapatkan donor jantung. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Apa lo sadar dengan apa yang akan terjadi seandainya aja lo melakukan pertukaran jantung seperti yang lo minta?” ujar Yudha panjang lebar.



“Yang jelas dia akan bisa hidup lama dengan jantung gue yang ada ditubuhnya.” Jawab pemuda itu acuh.



“Lo salah,” ujar Yudha cepat.



“Salah?”



“Ya, coba lo pikir, memang benar Ksatria akan bisa hidup lebih lama dengan jantung yang lo kasih, tapi apa dia akan bahagia seandainya tahu kalau dia hidup dari merampas jatah hidup orang lain? Nggak! Dan kami semua juga nggak akan pernah setuju kalau lo melakukan hal gila seperti itu. Hidup ini terlalu berharga untuk dipermainkan, bro,” Jelas Yudha tajam.



Pemuda itu hanya dapat terdiam kaku di sampingnya. Mencoba menelaah kembali keputusan gilanya tersebut. “Dari pada kami harus merampas hidup lo dengan menyetujui pertukaran jantung ini. Lebih baik kami menunggu donor-donor jantung yang lain, yang memang benar-benar sesuai dengan Ksatria. Meskipun nanti kami tidak mendapatkannya, setidaknya Ksatria telah berjuang untuk mempertahankan hidupnya sendiri, tidak menyia-nyiakannya seperti apa yang lo lakuin.” Jelasnya lagi.



Pemuda itu masih terdiam setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Yudha. Ia menghela napas lelah, ia tak habis pikir, bagaimana bisa Yudha mengambil kesimpulan seperti itu? Dia lebih memilih Ksatria hidup singkat daripada ia hidup lama dengan jantung pemberiannya? Apa memang berbuat baik itu sulit dilakukan?!



Walaupun dia hidup, tak ada orang yang akan benar-benar memilikinya, dan dia juga tak memiliki orang-orang yang akan dibuatnya bangga dengan kehadirannya. Tidak orang tuanya yang entah di mana, tidak keluarga sahabatnya yang selama ini bersimpati padanya, dan tidak juga dengan gadis itu, gadis yang selama ini berada di sekitarnya, menangis bila ia merasa sakit, dan tertawa ketika ia sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Tak seorang pun! Ia hanya mayat hidup yang mencoba bertahan di tengah hingar bingar dunia. Caranya untuk melepaskan belenggu ini hanyalah dengan bertukar jantung dengan Ksatria atau mengakhirinya dengan menggantungkan diri dengan seutas

tali.



Namun, pada saat ia telah benar-benar ingin pergi, mengapa sepertinya dunia ini mencegahnya untuk pergi, seakan ia masih dibutuhkan di dunia yang kotor ini. Lagi-lagi ia menghela napas lelah. Kalau memang ia masih diperlukan di dunia ini, untuk apa? Untuk apa dia masih berlama-lama hidup? Pertanyaan itu entah untuk apa atau untuk siapa.



“Semua akan terjawab pada akhir bulan ini.” jawabnya singkat, bersamaan dengan berhembusnya angin yang terasa lebih dingin dari biasanya. Sepertinya hari ini akan benar-benar turun hujan.

colour of sky 18

そら の いろ


Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan dr. Raka. Aku melirik sejenak ke arah mama yang masih belum membuka mulut semenjak mengetahui kenyataan yang harus kami hadapai seandainya kami menyetujui pencangkokan jantung ini. Jujur, aku sendiri berharap banyak dari semua ini, namun setelah mendengar perkataan dr. Raka tadi, entah kenapa salah satu sisi diriku ingin menolaknya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidup dengan orang yang tak kau kenal, walau raga orang tersebut adalah orang yang kau kenal.



“Ma...” panggilku sebelum kami berbelok ke lorong di mana terdapat kamar rawat Ksatria berada.



Mama menghentikan langkahnya sejenak dan memandangku gusar. “Ada apa Yudh?”



“Apa sebaiknya kita memberi tahu Rara soal ini?” tanyaku ragu, kalau boleh jujur, aku tak sanggup bila harus mengatakan semua ini pada gadis itu.



Mama mendesah pelan. “Sebaiknya jangan dulu Yudh, sebelum kita benar-benar memutuskan apa yang terbaik untuk Ksatria.” Jawabnya bijak.



Aku hanya mengangguk mengerti. Kurasa keputusan ini adalah langkah terbaik yang dapat kami lakukan untuknya. Aku tak mau melihatnya kembali murung setelah tadi ia terlihat lebih ceria. Senyum itu... Aku tak sanggup melihatnya kembali lenyap dan tergantikan dengan derai air mata.



Sejenak aku termangu di depan pintu bernomor 105. Haruskah aku masuk dan melihat wajah penuh pengharapan dari orang yang aku yakini masih berada di sisi Ksatria?



“Kamu nggak masuk Yudh?” sebuah pertanyaan dari mama membuatku tersadar.



Aku memandangnya ragu. “Mama duluan aja. Nanti Yudha nyusul.” Jawabku ragu.



Mama mengangguk sebentar sebelum menghilang di balik pintu. Kuhembuskan napas berat, sebelum akhirnya kuputuskan untuk menyendiri. Memikirkan semua masalah ini, sebelum akhirnya harus megambil keputusan yang tepat. Aku memilih taman dekat lobby sebagai tempatku berpikir. Suasana yang sedikit riuh tak membuatku kehilangan konsentrasi.



Sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga, membuatku merasa sedikit terbebani dengan masalah ini. Bukan masalah dana atau biaya operasi yang membuatku gusar. Melainkan masalah kenyataan yang harus kami hadapi setelah semua ini berlalu.



Haruskah aku mengiyakan operasi ini, ataukah menolaknya? Seandainya aku menyetujui operasi ini, Ksatria akan merasakan hidup yang lebih lama. Ia akan dapat melakukan hal-hal yang selama ini ia inginkan. Ia akan menjadi seseorang yang mempunyai cita-cia tinggi, bukan sekedar bercita-cita untuk hidup lebih dari 20 tahun seperti yang selama ini ia yakini. Tapi di sisi lain, aku masih belum siap untuk menghadapi efek pasca operasi. Sanggupkah aku melihat Ksatria tumbuh dengan pribadi orang lain dalam dirinya?



Namun, seandainya aku menolak, Ksatria akan selalu seperti ini. Bolak balik rumah sakit. Terus menerus hidup dalam sebuah kungkungan pesimistis yang membuatnya seakan tak punya gairah untuk melanjutkan hidup. Ia mungkin akan mengakhiri lembaran kehidupannya pada usia 20 tahun seperti yang selama ini kami yakini.



“Kak...” sebuah sapaan dari orang yang baru saja duduk di sebelahku membuatku tersadar. Aku meliriknya sekilas, senyum itu masih ada di sana. Harapan itu masih terpancar jelas dari raut wajahnya. Sepertinya mama tak mengatakan apapun mengenai masalah ini padanya. “Kok tadi nggak langsung masuk?” lanjutnya.



“Emm... Gue tadi kebelet, jadi nggak langsung balik.” Jawabku sedikit gelagapan. “Oh ya... Gimana keadaannya? Dia baik-baik aja kan selama kami pergi?”



Gadis itu hanya mengagguk lemah. “Yaah... Masih seperti itu kak. Belum ada tanda-tanda dia mau siuman.” Jawabnya datar. “Eh iya kak, gimana tadi?”



Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Jujur saja, aku masih belum siap untuk menjawabnya. “Gimana apanya?” kilahku.



“Itu tadi, waktu kakak di ruangannya dr. Raka. Apa bener Langit udah mendapatkan donor?” ujarnya dengan rasa penasaran yang terdengar jelas dari suaranya.



Aku hanya menggangguk kecil sebagai jawaban. “Terus kapan operasinya?” lanjutnya.



“Sebulan lagi.” Jawabku singkat, berusaha terlihat meyakinkan.



“Lama amat...” sahutnya.



“Masih banyak yang harus diselesaikan Ra...” ujarku memberikan pengertian padanya.



“Oh...” sahutnya. Ia mendesah pelan seraya memandang beberapa orang yang berlalu-lalang di depan taman. “Semoga aja semuanya itu cepet selesai. Gue bener-bener udah nggak sabar pengen liat dia sembuh.” Lanjutnya yang sukses membuatku tersenyum miris.



“Seandainya aja lo tau Ra apa yang bakal kita hadapi setelah itu.” Ujarku dalam hati.



“Semoga aja...” sahutku gamang.



Gadis itu menoleh padaku dengan dahi berkerut. “Kok lo jawabnya lemes gitu sih kak. Emangnya lo nggak seneng kalo Langit cepet pulih?”



“Kalau itu sih gue juga seneng. Gue malah berharap operasi itu segera dilakukan.” Kilahku cepat.



“Nah itu tadi, kenapa lo lemes jawabnya. Emang ada masalah ya?” kejarnya mendesakku.



Aku mendesah pelan. “Nggak ada masalah apa-apa. Cuma gue masih kepikiran aja soal Anggun.” Elakku.



“Oh... Kirain gue lo nggak suka liat Langit pulih.” Sahutnya dengan terkekeh geli. “Kalau untuk urusan yang satu itu, mendingan lo omongin baik-baik sama teh Anggun kak. Lo cari tau apa bener dia udah tunangan atau belum.”



“Gue juga udah kepikiran gitu. Mungkin besok atau kapan gue ajak dia bicara. Biar nasib gue sedikit lebih jelas.” Sahutku pasti.



“Gue Cuma bisa doain, semoga lo dapet yang terbaik kak.” Ujarnya tulus.



“Makasih doanya Ra.” Sahutku singkat. “Eh, lo udah makan belum” lanjutku mengalihkan topik pembicaraan.



“Belum sih. Kenapa? Lo mau traktir gue?” godanya dengan sebuah senyum jahil.



“Kalo lo mau sih.” Jawabku dengan senyum lebar.



“Beneran kak?! Waah... Gue sih mau banget! Ayo... Kita mau makan di mana nih?” sahutnya antusias.



“Di cafetaria aja lah, yang murah meriah.” Jawabku seraya bangkit dan melangkah menuju cafetaria rumah sakit yang terletak tak jauh dari situ.



Biarlah, untuk sementara waktu seperti ini dulu. Aku benar-benar belum siap untuk memberitahunya mengenai masalah ini. Aku masih belum sanggup melihatnya kehilangan keceriaan seperti beberapa waktu yang lalu. Senyum itu... Aku masih ingin melihatnya lebih lama lagi.



&&&



Sementara itu di beranda sebuah rumah yang terlihat mewah, terlihat dua orang sedang membicarakan sesuatu. Sepertinya bahan pembicaraan itu sesuatu yang sangat serius. Terlihat dari wajah-wajah mereka yang tampak tegang dan terkadang memunculkan kerutan-kerutan di dahi mereka.



“Lo yakin mau ngelakuin itu bro?” tanya salah satu di antara mereka yang memiliki potongan rambut harajuku.



“Yakin banget! Lagian gue udah nggak mau kesiksa sama penyakit ini lagi.” Sahut yang satunya, pemuda ini memiliki perawakan yang cenderung kurus kalau tak mau dibilang kurang berisi.



“Terus, lo udah bilang sama dia kalau lo mau dioperasi bulan depan?” kejar si harajuku.



“Gue nggak sanggup ngasih tau dia Dai.” Sahut si kurus dengan lemah.



Pemuda yang dipanggil Dai tadi hanya menghela napas lelah. “Lo harusnya ngasih tau dia dulu sebelum lo mutusin buat nglakuin hal itu. Emangnya lo nggak kasian sama dia?” kejar si Dai kesal.



“Gue malah nambah gak tega liat dia hancur setelah tau keputusan gue ini Dai. Gue nggak mau liat dia nangisin kepergian gue. Udah cukup selama ini dia ngeluarin air matanya buat gue.” Ujar si kurus tak kalah kesal.



“Tapi kalau kayak gini caranya. Lo sama aja ngasih dia harapan palsu, Wan!” sentak Dai pada sahabatnya yang ia panggil Wan.



“Gue bener-bener nggak sanggup liat dia lebih hancur dari sekarang Dai. Lo ngertiin posisi gue dong! Gue udah ngambil keputusan ini dengan segala resikonya. Gue udah pikirin mateng-mateng semua kemungkinan pahitnya. Dan lo tau, kalau gue gak ngambil keputusan ini, nasib hubungan gue sama dia bener-bener nggak ada harapan!” cecar Wan, yang sedikit emosi setelah mendengar ia dipojokkan oleh sahabatnya sendiri.



Dai berdecak kesal. “Apa sih yang lo harepin dari operasi ini, hah!? Apa setelah lo menjalani operasi ini lo ama dia bakal bersatu? Nggak, kan!?” tanya Dai kesal.



“Walau gue nggak bisa bersatu sama dia setelah gue operasi, senggaknya salah satu dari diri gue masih bisa hidup buat ngerasain dia ada di sekitar gue.” Jawabnya sedikit mendramatisir.



“Tapi apa ya dia tau kalau itu lo? Lo kan udah nggak ada buat tau semua itu?” ujar Dai mencemooh.



“Dia pasti tau Dai. Karena hati gue selalu berdetak lebih keras saat bersamanya. Walau dia nggak ngenalin gue lagi, tapi hati gue pasti bisa ngenalin dia.” Jelasnya percaya diri.



“Semoga aja apa yang lo lakuin ini bener. Gue Cuma nggak mau dia kecewa sama lo.” Ujar Dai pasrah dengan semua keputusan sahabatnya.



“Thanks bro... Lo emang yang paling ngerti gue.” Ujar Wan tulus. Seraya menepuk bahu Dai beberapa kali.



“Udah dari dulu kali...” sahut Dai jengah. “Oh ya, hampir aja gue lupa. Setelah lo nggak ada, gimana caranya gue bisa nyari serpihan diri lo?” lanjutnya kembali serius.



Pemuda yang ditanya itu hanya menghembuskan napas panjang, seraya memandang ke arah awan-awan yang berarak di angkasa. “Lo cukup liat langit. Maka lo akan nemuin apa yang lo cari.” Jawabnya berteka teki.



Dai yang mendengar jawaban sahabatnya itu memandang tak mengerti ke arah sahabatnya. “Maksud lo?”



Wan menoleh ke arah wajah bingung sahabatnya, dan tersenyum kecil. “Lihatlah langit, maka lo akan tau itu adalah bagian dari diri gue.”



“Wah... Bercanda lo, kalau gue liat langit yang ada juga paling bulan, bintang, mana ada lo di sana, bego!” sahut Dai yang merasa dipermainkan oleh sahabatnya.



“Ya lo yang bego! Coba sekarang lo liat ke atas!” balas Wan tak kalah tajam.



Dai yang masih belum mengerti apa yang dimaksud sahabatnya, menuruti saja apa yang dia perintahkan dengan dahi berkerut. “Sekarang bilang ke gue, apa yang lo liat di sana?” tanya sahabatnya setelah Dai menuruti permintaannya.



“Awan.” Jawabnya singkat, dan merutuki ulah bodohnya yang menuruti perintah konyol dari sahabatnya yang sekarang tersenyum penuh arti padanya.



“Pinter!” sahut Wan dengan sebuah senyum lebar.



“Gue masih belum ngerti maksud lo yang nyuruh gue liat awan.” Tanya Dai yang masih saja menunjukkan wajah polosnya.



“Sama seperti yang gue suruh tadi. Lo bakal nemuin diri gue tetep hidup waktu lo liat langit.” Jawab Wan, masih semisterius yang tadi.



“Tau lah! Dari tadi lo ngomongin langit terus, mentang-mentang lo bentar lagi mau kesono.” Umpat Dai kesal.



Wan yang mendengar kekesalahan sahabatnya hanya tertawa kecil. “Pada saatnya nanti lo pasti bakal ngerti apa maksud gue.”



@@@



Setelah menyelesaikan sarapan dalam diam, ayah kemudian mengajakku untuk melihat-lihat bangunan megah yang kini menjadi tempat tinggalku. Entah sampai kapan aku akan terkurung di sini, dalam bangunan yang lebih mirip kastil ketimbang rumah. Aku berjalan mengikuti langkah-langkah panjang ayah, mendengarkan tanpa minat tentang segala sesuatu yang ada di sini.



Tentang bagaimana sejarah bangunan ini, orag-orang yang pernah singgah di sini, hingga tempat-tempat favoritnya. Apa peduliku dengan semua penjelasan itu? Toh, aku tak akan berada di sini bertahun-tahun lamanya. Aku mengikuti sosok itu hanya sekedar bertindak sopan, agar aku tau di mana saja pintu keluar dari bangunan ini. Sehingga aku bisa merencanakan sesuatu, seperti kabur dari tempat ini.



Aku berjalan lemah di samping sosok ayah yang sekarang menerangkan tentang tempat favoritnya, yang dari sini-menurutnya-aku bisa melihat matahari terbenam dengan sangat indah. Aku hanya memberikan tanggapan ketika beliau meminta pendapatku, selebihnya aku hanya diam, dan sesekali menikmati hal-hal antik yang ada di sekitarku.



Sekarang tour kami berpindah ke luar bangunan. Ayah membawaku ke taman-taman yang berada di sekitar kastil. Berbagai jenis taman ada di sana. Berbagai macam jenis bunga dan tumbuhan aneh pun menghiasi setiap bagiannya. Aku tak akan rerpot-repot bertanya tentang itu semua. Antusiasku terhadap tempat ini hanya akan membuatku lebih lama berada di sini. Dan aku tidak mau itu terjadi!



“Nah, sekarang kita ada di taman terakhir. Taman mawar, di sini kamu bisa lihat ada berbagai macam jenis mawar yang beraneka warna. Kamu bisa lihat sendiri yang berada paling sudut itu adalah mawar hitam, jenis yang sangat langka. Di tempat ini juga kau akan menemukan hal yang tak mugkin terjadi menjadi mungkin.” Uraian panjang sosok itu tentang taman mawar hanya kutanggapi dengan sebuah senyum malas. Peduli apa aku dengan semua mawar itu. Yang kupedulikan saat ini adalah, bagimana caranya agr aku bisa segera tebebas dari tempat ini, bukan malah mawar-mawar aneh seperti itu!



“Bagaimana menurutmu, tempat ini menyenangkan bukan?” satu pertanyaan yang disertai dengan pandangan menyelidik darinya, membuatku sedikit gugup untuk menjawab. Jujur saja, tempat ini begitu menakjubkan dengan semua hal-hal ajaibnya. Namun di sisi lain, suasana yang kurasakan sejak aku berada di dunia ini membuatku tak nyaman. Membuatku terus menerus gelisah. Tak tenang. Seolah-olah aku harus segera melanjutkan perjalananku, sementara ada sesuatu yang menghalangiku untuk menyegerakannya.



“Lumayan.” Jawabku singkat. Aku tak mau memberinya sebuah omong kosong tentang bagaimana bagus dan ajaibnya seluruh yang ada di sini. Tidak. Aku tak akan melakukan hal tersebut, jika dampaknya hanya akan membuatku semakin tertahan di sini.



“Kamu pasti akan betah berada di sini.” Simpulnya sebelum memanduku ke arah padang rumput tak jauh dari sana. Well, aku lebih suka berada di sini ketimbang di kastil tadi. Tempat ini benar-benar membuatku tenang, damai. Jiwaku juga merasa lebih ringan saat berada di sini.



“Di sinilah tempat yang paling ajaib dari keseluruhan dunia ini.” Ungkapnya saat kami sudah berada di bawah naungan sebuah pohon besar yang mirip seperti pohon beringin.



Aku melamparkan pandangan tak mengerti pada sosok itu. Paling ajaib? Oh tidak! Apa tempat ini juga sama ajaibnya dengan tempat yang baru saja kutinggalkan? Kastil itu? Taman-taman itu?



“Paling ajaib?” tanyaku singkat.



“Coba sekarang kau pejamkan mata dan pikirkan sesuatu yang benar-benar kau inginkan.” Perintahnya padaku.



Aku memandangnya heran dengan tingkat ketidak-mengertianku yang semakin meningkat. Namun, aku menuruti juga apa yang ia katakan. Aku melakukan hal tersebut hanya ingin membuktikan ucapannya saja. Seandainya memang benar apa yang ia katakan, bukankah itu akan menjadi suatu keuntungan untukku?



Perlahan, aku mulai mengatupkan kedua mataku dan berpikir tentang apa yang benar-benar aku inginkan. Aku terdiam cukup lama, sibuk memilah apa yang benar-benar aku inginkan. Sejurus kemudian aku tersenyum, tak perlu waktu lama untuk tahu apa yang selama ini aku inginkan. Tepatnya setelah aku berada di sini.



Setelah yakin dengan apa yang aku pilih, aku mengucapkan keinginanku tersebut dalam hati, berkali-kali dalam setiap tarikan napas. Mengikuti instruksi dari sosok yang berada di sampingku. Aku tersenyum ceria, tak sabar untuk melihat terwujudnya keinginanku tersebut. Aku sudah membayangkan hal-hal apa saja yang akan aku lakukan seandainya memang keinginanku tersebut terwujud.



Baru saja aku hendak menikmati semua hal tersebut. Aku dikejutkan oleh perkataan yang diucapkan oleh sosok itu. Ucapannya membuatku membeku. Ku buka mataku cepat dan kutatap ia dengan penuh kengerian. Oh tidak! Apakah aku melakukan kesalahan?!



“Kamu telah membuat pilihan yang salah nak. Sekarang nikmatilah hasil dari keinginanmu tersebut.” Ujarnya lirih. “Seandainya saja kamu lebih bijak untuk tidak memilih pilihan tersebut, kau mungkin akan lebih cepat pergi dari dunia ini. Namun sayang, keinginan yang terlepas tak mungkin bisa ditarik kembali.” Lanjutnya.



Aku memandang ngeri pada sosok yang semakin terlihat transparan di hadapanku. Tidak! Apakah ia akan menghilang?! Lalu bagaimana dengan nasibku!? Aku tak mau berada di dunia asing ini sendirian! Sosok itu perlahan semakin terlihat seperti asap, sebelum akhirnya menghilang bersama angin yang berhembus sepoi-sepoi. Mengalirkan udara dingin yang membekukanku.



“Kamu masih bisa mengubah keinginanmu nak.” Terdengar suara yang bergema dalam pikiranku. Aku menoleh kalap, mencari keberadaan sosok yang mneyuarakan suara tadi. Namun, tak kujumpai seorang pun di sekitarku. Hanya aku. Sendiri dan terasing di negeri antah berantah ini.



“Bagimana caranya?!” teriakku pada suara itu. Suara berdesir dari rumput dan dedaunan membuatku semakin tak tenang.



“Kamu bisa mengubah keinginanmu pada saat matahari berada dalam batas cakrawala. Ketika sinarnya memenuhi mega. Pada saat itulah kamu bisa mengubah keinginanmu. Jangan sampai terlambat, atau terlalu cepat. Harus tepat pada saat sinarnya memenuhi mega.” Jawab suara itu misterius.



“Kapan aku bisa tau saat yang tepat itu?!” balasku, mengapa tak ia katakan saja jamnya, agar aku bisa dengan mudah mengetahuinya tanpa harus susah-susah berpikir.



“Kau akan tau kalau saat itu tiba. Sekarang nikmatilah apa yang ada di sekitarmu. Selamat tinggal.”



Suara itu benar-benar lenyap, aku berusaha memanggilnya kembali, berkali-kali dan yang kutemui hanyalah sepi. Sekarang aku benar-benar seorang diri di sini. Ku sandarkan tubuhku pada batang pohon besar mirip beringin di belakangku. Menghembuskan napas lelah, dan merutuki tindakan yang baru saja kulakukan. Seandainya saja aku tahu dampak dari keinginanku tadi adalah berada senidri di tempat asing seperti ini. Tak akan aku meminta untuk segera pergi dari dunia ini dan kembali pada masa di mana seharusnya aku berada.



&&&



Hari sudah mulai larut malam saat gadis itu pergi meninggalkan rumah sakit. Wajahnya sedari tadi tak lepas memajang sebuah senyuman penuh kelegaan. Beberapa orang yang ditemuinya memandang heran pada gadis yang sesekali memperdengarkan tawa kecil. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Mungkin begitulah pikiran yang terlintas dalam benak setiap orang yang berpapasan dengannya.



Gadis itu sudah tak memperdulikan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang tentangnya. Biarlah mereka memiliki pendapat sendiri tentangnya. Ia teramat bahagia hari ini. Kabar yang sudah lama ia nantikan akhirnya datang juga. Harapan 0,01% itu akhirnya akan menjadi kenyataan.



Kenyataan bahwa orang yang disayanginya akan pulih dan dapat hidup lebih lama, membuatnya berbunga. Hingga ia tak dapat mengontrol senyum yang terukir indah dari bibirnya. Semoga saja operasi yang akan membawa perubahan besar itu segera dilaksanakan. Ia benar-benar tak sabar menanti lembaran baru kisah cintanya.



“Maaf, sekarang jam berapa ya?” pertanyaan dari seorang gadis di sampingnya membuatnya terkejut.



“Ya?” sahutnya gelagapan. Kepergok sedang tersenyum-senyum sendiri di halte adalah suatu keadaan yang memalukan bagi gadis itu.



“Sekarang jam berapa ya?” ulang gadis berparas ayu itu lagi.



Sejenak Aura melirik jam dipergelangan tangannya. “Jam tujuh kurang lima belas.” Jawabnya dengan seulas senyum manis. Ah, sudah berapa kali ia tersenyum seperti ini sepanjang hari ini. Mungkin jari-jari yang ia punya tak akan cukup untuk menghitungnya.



“Oh, makasih.” Sahut gadis ayu itu singkat dengan sebuah senyum kecil.



Aura yang tadi sempat terusik dengan perkataan gadis itu pun akhirnya memutuskan untuk mengamati siapa yang baru saja menanyakan waktu padanya. Gadis itu mungil, lebih kecil dibanding dirinya. Mungkin tingginya sekitar 155 cm, lebih pendek 5 cm darinya. Perawakannya pun terlihat lebih kecil. Seperti boneka yang rapuh, wajah manisnya terlihat gusar menantikan sesuatu atau seseorang. Berkali-kali mata beningnya melirik ke ujung jalan. Rambut sebahunya yang berhias pita merah muda berkibar tertiup hembusan angin malam.



“Lagi nunggu siapa?” Aura mencoba bertanya, daripada ia melamun lagi, lebih baik ia mengajak bicara gadis di sebelahnya. Sekedar untuk membunuh waktu.



“Ya?” tanya gadis berpita merah jambu itu kaget. Ia tak menyangka akan diajak bicara oleh orang yang baru saja ia jumpai.



“Lo lagi nungguin siapa?” ulang Aura sabar. “Atau apa?” lanjutnya setelah melihat raut keheranan dari gadis itu.



“Oh... Gue lagi nungguin seseorang. Katanya tadi dia mau jemput gue di sini. Tapi sampe sekarang belum dateng-dateng.” Gerutunya, bibir mungilnya mengerucut saat menceritakan kekesalannya.



“Cowok lo?” lanjut Aura yang tertarik dengan gadis berparas ayu itu.



“Bukan, Cuma temen.” Elak gadis itu, yang merasa tak nyaman dengan pertanyaan Aura.



“Oh, gue kirain lo lagi nunggu cowok lo.” Kata Aura seraya tersenyum manis.



Gadis itu hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. “Kalau lo sendiri, lagi nungguin siapa?” ujarnya balik bertanya.



“Kalau gue sih lagi nunggu bus.” Jawab Aura ramah.



“Bus? Emang lo nggak dijemput sama cowok lo?” tanya gadis itu penasaran.



Aura hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari gadis itu. “Cowok gue nggak bakal bisa jemput.” Jawabnya getir.



“Oh... Cowok lo lagi ada di luar kota?” kejar gadis itu lagi.



Aura hanya menggeleng lemah. “Nggak. Dia lagi ada di rumah sakit.”



“Sorry...” sahut gadis itu meminta maaf karena telah mengajukan pertanyaan seperti tadi.



“Nggak apa-apa... Udah biasa kok,” sahut Aura dengan senyum pasrah.



“Kalau boleh gue tau, cowok lo sakit apa?” kali ini ia bertanya takut-takut.



“Kelainan jantung.” Jawab Aura singkat.



Gadis di sebelahnya hanya mendekap mulutnya cepat. Sebuah bentuk reaksi spontan yang dapat ia lakukan. “Udah lama?”



“Udah dari dua minggu yang lalu,” jawab Aura seraya memandang kosong ke arah langit malam. “Dari dua minggu yang lalu sampai sekarang dia masih belum bangun juga.”



“Ya ampun... Lo yang sabar aja ya, gue doain semoga dia cepet sadar.” Ujar gadis itu tulus.



“Makasih,” sahut Aura dengan sebuah senyuman.



Sejenak mereka terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing. Berbagai pertanyaan dan dugaan terbentuk dalam benak mereka, setelah pembicaraan singkat itu. Cukup lama mereka terdiam dlam pikiran masing-masing, sesekali mereka saling melempar senyum, hingga sebuah motor menepi di dekat mereka. Wajah gadis berpita merah muda itu seketika berubah menjadi ceria. Dengan langkah-langkah ringan, ia menghampiri pengemudi motor itu.



“Lama banget sih lo! Gue sampe lumutan tau nungguin lo di sini. Kemana aja sih?” sapa gadis itu sedikit manja.



Aura yang melihati itu hanya dapat tersenyum miris. Ternyata memang benar dia sedang menanti kekasihnya. Gerak geriknya ketika pemuda itu datang menunjukkan bahwa hubungan di antara mereka bukanlah sekedar teman biasa, melainkan lebih dari itu.



Akankah ia nanti juga seperti itu? Gelisah seorang diri menanti kedatangan seseorang untuk menjemputnya. Merasakan kesenangan saat orang yang dinanti-nanti akhirnya datang. Bersikap sedikit manja dan kekanakan. Ia menghela napas berat, menyadari bahwa semua itu masih jauh dari kenyataan baginya. Entahlah, ia akan merasakan hal tersebut atau tidak.



&&&



“Sorry, gue tadi habis ketemu Badai. Keasyikan ngobrol sampai lupa jemput lo. Sorry ya...” ujar pemuda tampan pucat itu seraya mengangsurkan sebuah helm berwarna senada dengan pita yang dikenakan gadisnya.



“Huu... Lo mah kebiasaan. Kalau udah sama Badai, gue dilupain.” Sahut gadis itu dengan mengerucutkan bibirnya.



Pemuda itu hanya tertawa geli melihat ulah gadisnya. Sejenak ia membantu gadis itu untuk menaiki motornya yang memang cukup tinggi untuk gadis seukuran dia. “Lain kali gue nggak bakal telat jemput lo.” Ujarnya sebelum melajukan motornya perlahan.



“Janji ya! Awas kalau lo sampai bohong!” ancam gadis itu pura-pura kesal.



“Iya janji!” sahut pemuda itu seraya menggas motornya agar lebih melaju.



Motor yang dikendarai pemuda itu melaju dengan ecepaan sedang, memebelah jalanan yang tak begitu padat. Meliuk di sela-sela kendaraan besar di kanan kirinya. Sementara itu gadis yang berada di belakangnya terdiam, menikmati setiap liukan motor, dengan sesekali tersenyum ketika mengingat hal lucu yang terjadi padanya.



“Lo tadi ngobrol sama siapa sih?” tanya pemuda itu saat berada di lampu merah.



“Di mana?” tanya gadis itu tak mengerti.



“Itu tadi yang di halte. Lo keliatannya akrab bener sama dia.” Lanjut pemuda itu yang sesekali melirik kaca spion yang memantulkan wajah gadisnya.



“Oh, itu... Gue nggak kenal sama dia.” Jawabnya lugas.



“Nggak kenal kok kayak yang udah akrab gitu?” selidik pemuda itu lebih lanjut.



“Nggak tau juga. Gue baru pertama kali ketemu dia.” Ujar gadis itu memeberi penjelasan.



“Oh.”



“Eh, tapi kasihan banget nasibnya.” Desah gadis itu yang berubah muram bila mengingat sepenggal percakanpannya dengan gadis yang baru ia temui di halte tadi.



“Kasihan? Emang dia kenapa?” tanya pemuda itu yang segera melanjukan motornya ketika lampu lalu lin tas itu berubah menjadi hijau.



“Pacarnya masuk rumah sakit, sejak dua minggu lalu. Dan sampai sekarang belum sadar juga.” Jawabny lemah.



“Emang cowoknya itu sakit apa?” kejar pemuda itu datar.



“Kelainan jantung,”



Sepenggal jawaban dari gadisnya itu membuatnya mencelos. Sepenggal pertanyaan membayangi benaknya. Membuat sisa perjalanan mereka berubah menjadi sebuah kesunyian. Hingga pemuda itu pulang setelah mengantarkan gadisnya, pertanyaan itu tak kunjung hilang dari benaknya.