Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 21

そら の いろ


Sudah hampir satu bulan aku sadar, namun selama itu pula aku tak mendengar ada kabar baik yang dating menghampiriku. Kabar tentang donor jantung yang mereka katakan pada awal-awal kesadaranku dulu. Bang Yudha selalu saja berkilah setiap kali aku menanyakan hal tersebut, mama juga tak ada respon, hanya sebuah senyuman dan sebuah kata klise yang kerap kali kudengar dari bibirnya ketika kutanyakan hal tersebut. Seolah tak ingin aku terluka oleh sesuatu. Dokter Raka juga sama saja seperti mereka. Padahal awalnya aku mengira dokter itu mau memberitahukanku mengenai apa yang mama dan bang Yudha coba sembunyikan dariku, tapi ternyata aku salah. Kurasa mereka bertiga berkomplot untuk tidak memberitahuku mengenai hal yang sedang mereka coba sembunyikan dariku itu. Hanya Rara yang selama ini terus memberiku suntikan semangat, tetap menyuplai kadar harapan yang aku yakin telah menipis.



Tak jarang aku melihatnya menerawang jauh, seolah tak yakin dengan apa yang ia sampaikan padaku. Ia sama halnya denganku sekarang, tak mengerti kenapa hal baik tersebut tak kunjung dating padaku. Mulai meragukan harapan 0,01% yang dulu sempat membumbung tinggi. Kalau kejadiaannya seperti ini, lebih baik aku tak pernah mendengar berita baik itu!!



&&&



“Jadi keputusanmu sudah final Wan?” Tanya dokter Raka untuk mempertegas kembali keputusan yang telah disampaikan salah satu pasiennya tersebut.



“Iya dok. Akhir bulan ini saya akan langsung berangkat ke Singapore seperti yang telah dokter katakan tempo hari.” Jawabnya yakin.



“Baguslah. Semua syarat yang kamu perlukan juga sudah terkumpul semua. Semoga saja ini menjadi keputusan yang terbaik untukmu.” Ujar dokter Raka dengan senyum lebar. Ia bersyukur pada akhirnya pasiennya yang satu ini telah mengambil keputusan yang tepat untuk hidupnya.



“Tapi dok, bagaimana dengan nasib pasien dokter itu?” Tanya Awan ragu.



Dokter muda itu tampak menghela napas lelah. “Kamu nggak usah khawatir, saya yakin Ksatria pasti akan mendapatkan pengganti yang lebih baik.” Jawabnya lelah.



“Apa dokter belum memberi tahunya kalau donor jantung yang semuala sudah ada kini ditarik kembali?” selidik Awan dengan raut yang sedikit cemas. Pasalnya, ia tak ingin keputusannya ini mengecewakan harapan orang lain. Mendonorkan jantungnya untuk seseorang yang sangat membutuhkan.



“Saya belum siap untuk memberi tahunya tetang semua ini. Setiap kali melihat pancaran harapan dari matanya, membuat saya tidak tega untuk mengatakan kalau donor jantung itu telah ditarik.” Katanya lemah.



“Dokter harus secepatnya memberti tahu dia tentang semua ini. Kalau tidak, saya khawatir dia akan terlalu kecewa nanti.” Saran Awan.



“Saya mengerti maksud kamu. Nanti lah pada saat dia check up, akan saya beri tahu semuanya.” Ujar dokter Raka dengan senyum tipis.



“Saya yakin dokter pasti bisa melakukan hal itu, dan saya yakin dia akan dapat menerima semua ini dengan lapang dada,” sahut Awan, memberi penguatan untuk dokter Raka yang terlihat lelah.



@@@



Hari ini aku bertekad untuk mencari tau apa yang terjadi. Aku tak mau terlalu lama hidup dalam harapan palsu seperti ini. Kalau memang donor jantung yang mereka katakan itu sudah ada, mengapa sampai sekarang aku tak pernah menjalankan pemeriksaan lebih lanjut? Dokter Raka juga tak pernah menyinggung-nyinggung masalah ini saat check up.



Kalau memang abang, mama dan dokter Raka telah bersekongkol untuk merahasiakan hal ini semua padaku, maka harapan satu-satunya tinggal dokter Ravi. Aku yakin dokter senior itu mau memberi tahuku tentang pendonoran jantung tersebut. Selama ini hanya dokter Ravi lah yang selalu jujur mengatakan hal-hal yang menyangkut kondisiku, tanpa ditutup-tutupi seperti dokter yang dilakukan dokter Raka.



Aku melangkah tergesa ke arah ruangan dokter Ravi, tak kuhiraukan beberapa suster yang menyapaku, beberapa di antara mereka tampak mengerutkan kening. Mungkin mereka heran kenapa hari ini aku ada di rumah sakit padahal tidak ada jadwal check up. Aku tersenyum ke beberapa dokter yang kebetulan berapasan denganku. Aku tak punya banyak waktu untuk beramah tamah dengan mereka.



Sebentar lagi aku sampai di ruangan beliau, semoga saja hari ini beliau tidak terlalu sibuk. Kupercepat langkahku saat pintu ruangan yang berseberangan dengan ruangan dokter Raka itu mulai terlihat. Kupanjatkan doa dalam hati, semoga saja dokter itu tak berkomplot dengan mereka juga.



Melewati ruangan dokter Raka, samar aku seperti mendengar seseorang sedang bercakap-cakap dengannya. Dari sela pintu yang tak tertutup rapat aku dapat melihat gesture tubuhnya yang membelakangiku. Aku tak begitu memperhatikannya, bagiku yang terpenting sekarang adalah segera bertemu dengan dokter Ravi.



Baru saja aku akan mengetuk pintu di hadapanku, aku dikejutkan dengan isi pembicaraan yang tadi tak kuhiraukan. Pelan kudekatkan telingaku untuk menangkap lebih banyak suara. Sejujurnya aku tak berniat untuk mencuri dengar pembicaraan mereka, namun setelah sekilas tadi aku mendengar mereka mengungkit masalah donor jantung, entah kenapa rasa penasaranku timbul.



Ku dekatkan tubuhku menuju ke celah samar yang tercipta karena seseorang tak menutup pintu itu dengan benar. Kutajamkan pendengaranku agar aku tak melewatkan satu kata pun dari pembicaraan mereka. Untung saja keadaan di sekitar ruangan itu sepi, tak banyak yang berlalu lalang di sekitar situ. Jadi tak akan ada yang mencurigaiku kalau aku tengah mencuri dengar pembicaraan tersebut.



Sepertinya pembicaraan yang terjadi diantara mereka cukup serius, berkali-kali kudengar dokter Raka menghela napas. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?! Kucoba untuk lebih dekat lagi, lumayan. Dari jarak ini aku dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Namun sebelum aku dapat mencerna apa yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba saja bahuku ada yang menepuk dari belakang.



“Eh dokter…” sahutku gugup. Dapat kubayangkan wajahku sekarang sudah mirip layaknya wajah maling yang tertangkap basah.



“Apa yang sedang kamu lakukan di sini Ksat? Kenapa nggak langsung masuk saja?” Tanya dokter Ravi dengan senyum menggoda.



“Ah, saya nggak ada jadwal buat ketemu dokter Raka dok. Malah sebaliknya, ada yang ingin saya tanyakan pada dokter,” jawabku berkilah.



“Kalau begitu kita bicarakan di ruangan saya saja,” kata dokter Ravi, seraya melangkah menuju ke ruangannya.



“Baik dok,” sahutku. Sebelum mengikuti dokter Ravi masuk ke ruangannya, sempat kulihat wajah lelah dokter Raka dan senyum lelahnya tercetak di bibirnya. Tetap saja aku masih penasaran dengan isi pembicaraan mereka.



“Lho Ksat, katanya tadi ada yang mau ditanyakan. Ayo,” tegur dokter Ravi dari balik pintu ruangannya.



“Ah, iya dok,” sahutku yang langsung berjalan ke ruangannya, aku tak ingin membuat dokter yang sudah cukup berumur itu menungguku lebih lama lagi. Lagi pula nanti kan aku bisa bertanya langsung pada dokter Raka mengenai isi pembicaraan tadi. Semoga saja saat itu mood beliau sedang baik.



&&&



“Baiklah kalau begitu saya permisi pamit pulang dulu dok. Masih banyak yang harus saya persiapkan.” Ujar Awan seraya bangkit dari duduknya.



“Ya, jangan lupa obatnya diminum. Jangan sampai kamu sudah tiba di sana malah tambah ngedrop.” Nasehat dokter Raka seraya menjabat tangan Awan.



Awan hanya tersenyum sekilas. “Pasti dok,”



Setelah mengantarkan pasiennya keluar, dokter muda itu kembali ke kursinya. Ia menghela napas panjang, ia merasa lelah dengan semua beban yang ditanggungnya. Pikirannya melayang pada percakapan yang terjadi beberapa waktu yang lampau. Tepat sebelum Ksatria sadarkan diri.



&&&



“Kami telah memutuskan dok,” ujar wanita paruh baya itu berat.



Dokter Raka menatap kedua anak beranak itu dengan pandangan menyelidik. “Ada apa lagi ini, kenapa wajah mereka terlihat semakin sedih?” sebuah Tanya terbentuk dalam hatinya.



“Memutuskan apa bu?”



“Kami sudah memutuskan untuk tidak menerima donor jantung untuk Ksatria.” jawab Yudha tegas.



“Menolak? Apa mereka tahu seberapa pentingnya donor jantung itu bagi Ksatria? Kenapa mereka tiba-tiba memutuskan hal sepenting ini begitu cepat? Apa mereka tak memikirkan akibat dari keputusan mereka?” lagi-lagi setumpuk pertanyaan bersarang di benaknya.



“Menolak? Bukankah kita semua tahu kalo Ksatria benar-benar membutuhkan jantung ini?”



“Benar dok, tapi bukan donor yang seperti ini yang kami harapkan.” jawab Yudha lugas. Sementara wanita paruh baya itu hanya tertunduk di sebelahnya dengan sesekali menyusut air mata yang mencoba jatuh kepipi tuanya dengan ujung sapu tangan kusamnya.



“Yang seperti apa maksud kamu?” Tanya dokter itu tak mengerti.



“Sebelumnya maaf dok, bukan maksud saya untuk lancang. Tapi beberapa hari yang lalu saya tak sengaja mendengar percakapan dokter dengan pendonor itu. Awalnya saya tak percaya dengan apa yang saya dengar. Namun, setelah saya tanyakan sendiri dengan orangnya langsung, ternyata pendengaran saya saat itu nggak salah.” Jelasnya hati-hati.



“Memangnya apa yang waktu itu kamu dengar?” selidik dokter Raka.



“Saya tak begitu memperhatikan pada awalnya. Namun, pada saat terakhir-terakhir itu saya sempat menangkap kalau sebenarnya donor itu tidak ada. Bukannya donor seperti yang selama ini kami sangka, tetapi malah donor itu berupa pertukaran jantung.” Jawabnya dengan pandangan lurus.



Dokter Raka menghela napas panjang. Di satu sisi ia merasa bersalah karena tak memberitahukan hal yang sebenarnya pada mereka. Namun di sisi lain dia tak bisa berbuat apa-apa karena terhalang oleh kode etik. Dokter itu terlihat memijat pelipisnya pelan. Kepalanya mendadak pening diserang permasalahan baru yang tak pernah Ia bayangkan.



“Kami tidak mau kalau satu-satunya harapan yang kami punya dipermainkan dok. Kami lebih memilih tidak menerima donor tersebut daripada Ksatria harus menerima jantung orang lain dan hidup dengan menggunakan jantung itu. Mungkin benar dia akan hidup lebih lama dengan itu semua, dia juga akan kembali menemukan kepercayaan dirinya, tapi apakah kami dapat merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dia rasakan dok? Sedangkan kami tahu jantungnya sendiri tengah berdenyut di tempat lain. Dokter dapat membayangkan bagaimana rasanya jika menjadi kami?” lanjut Yudha dengan sebuah keyakinan yang kuat. “Menyakitkan dok. Lebih baik Ksatria hidup seberapa lamanya ia dapat bertahan dengan jantungnya sendiri, daripada harus hidup dalam waktu lama dengan jantung orang lain. Lagi pula kami tak akan sekejam itu untuk mengorbankan orang lain yang masih ada harapan hidup demi kelangsungan hidup Ksatria dok. Cukup kami saja yang merasakan bagaimana hidup dalam bayang-bayang kesedihan.”



Dokter itu tampak berpikir sejenak, seolah mengingat sesuatu yang terlupa. Wajah kuyunya tampak sedikit bersinar ketika mengingat hal yang tadi sempat terlupa. “Ternyata ini sebabnya Awan memutuskan untuk melakukan operasi yang dulu pernah ia tolak!?” gumam dokter muda itu lega.



Sebentuk kelegaan memenuhi rongga dadanya. Hal tersebut tercetak jelas di wajahnya yang kembali bersinar. Dia bersyukur bahwa keluarga Ksatria dapat mengambil keputusan yang berat ini dengan bijak. Sebelumnya ia nyaris putus asa untuk mencegah Awan melakukan hal konyol dengan jantungnya. Semisal pertukaran jantung tersebut.



“Apa ibu dan juga nak Yudha sudah memikirkan baik-baik tentang masalah ini? Bisa jadi ini akan menjadi harapan terakhir Ksatria untuk hidup. Entah kapan lagi kita akan mendapatkan donor yang sesuai untuknya.” Ujar dokter Raka mengukur seberapa kuat tekat mereka.



“Kami sudah ikhlas dengan segala resiko yang akan kami tanggung dok. Termasuk kepergian Ksatria yang sudah tak lama lagi.” Kali ini wanita paruh baya itu mencoba mengungkapkan keteguhan hatinya disela isakan kecilnya. Ketegaran dan keikhlasannya terpancar dari sorort matanya yang kuyu.



“Apa ibu sudah memiikirkan hal ini masak-masak?” Tanya dokter muda itu lagi.



“Sudah dok. Kami sudah memikirkan segala konsekuensinya.” Jawab Yudha tegas. Pancaran matanya yang tegas memperkuat pernyataannya tersebut.



“Baiklah kalau memang keputusan ini telah dipikirkan masak-masak. Saya tidak akan mendesak lebih jauh lagi. Segera saya akan mengurus semua pembatalan ini,” ujar dokter Raka dengan seulas senyum.



“Terima kasih dok,” kata wanita paruh baya itu seraya menjabat tangan dokter Raka erat.



&&&



Ia menghela napas panjang, mengurut perlahan pelipisnya yang terasa berdenyut memusingkan. Sekarang dua minggu telah berlalu dan hingga sekarang mereka masih dapat menyembunyikan semua ini dari Ksatria. Satu kesalahan yang mereka lakukan adalah tidak melibatkan orang yang saat itu dekat dengan Ksatria dalam pembicaraan beberapa waktu yang lalu. Sehingga orang tersebut belum mengetahui perkembangan terbaru mengenai pendonoran jantung yang sekiranya batal dilakukan.



Dokter muda itu mencoba memejamkan matanya, ia merasa sangat lelah walaupaun hari itu tak banyak pasien yang harus ditanganinya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari ini. Sudah berkali-kali Ksatria tampak tak semangat ketika datang check up, dan beberapa kali sempat tertangkap oleh matanya ia terlihat seakan memikirkan sesuatu.



Tak sekali ataupun dua kali ia menanyakan hal yang sama. Kapan ia akan menjalani operasi bedah jantung yang dijanjikan pada awal kesadarannya dulu. Namun, berkali-kali itu juga dokter muda itu menolak untuk menjelaskan. Kala itu sebelum Yudha dan mamanya meninggalkan ruangannya. Mamanya sendiri meminta kepada dokter Raka untuk merahasiakan hal tersebut dari Ksatria.



Ia mendesah panjang. “Sampai kapan aku harus menyimpan ini semua? Harapan yang sempat timbul itu kini telah meredup lagi. Ksatria, suatu saat nanti kamu pasti akan mendapatkan donor itu lagi. Kumohon jangan pendam harapanmu itu,” bisiknya dalam hati.



@@@



Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan dokter Ravi. Berada lama-lama di sana hanya akan semakin membuat emosiku meluap. Aku masih belum percaya dengan apa yang kudengar tadi. Penjelasan dokter Ravi mengenai ketiadaan rencana operasi bedah jantung yang kuharapkan. Pembatalan pendonoran dari keluargaku sendiri. Kemunduran dari pihak pendonor, benar-benar membuatku merasa dipencundangi. Semua harapan yang selama ini kugenggam, ternyata hanyalah sebuah harapan kosong yang diciptakan oleh orang-orang terdekatku untuk membuatku bersemangat. Harapan 0,01% itu ternyata memanglah sekedar harapan, mimpi manis ditengah pahitnya kenyataan hidup yang harus kujalani. Mimpi selamanya hanya akan menjadi mimpi, takkan pernah beruwujud.



Lalu untuk apa mereka repot-repot menyusun kebohongan tingkat tinggi seperti ini?! Agar aku bisa lebih bahagia di tengah nasib burukku yang terasa tak pernah berakhir? Aku tertawa miris dalam hati, mungkin saja semua sudah lelah mengurusku, menjagaku, dan mendukungku dengan semua harapan-harapan yang selama ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diriku. Sehingga memaksa mereka untuk membuat satu kebohongan jenis baru yang mereka tahu dengan kebohongan tersebut semangatku akan terpacu dengan sendirinya. Operasi donor jantung, sebuah rangkaian kata yang benar-benar menjadi madu dalam hidupku beberapa minggu ini.



Tapi, kalau memang benar operasi itu sempat ada, lalu kenapa mereka membatalkan semua itu?! Apa alasannya?! Apa mereka senang melihatku cepat meninggalkan mereka?! Apa aku tak cukup berharga bagi mereka, sehingga mereka berpikir, lebih baik aku segera pergi dari dunia ini daripada berlama-lama tanpa guna?!



Memikirkan itu semua membuatku penat. Aku kecewa dengan mereka semua, setelah perjuanganku selama ini, setelah upayaku untuk kembali bangkit dengan sisa-sisa harapan yang sering timbul tenggelam. Kenapa mereka tega melakukan hal ini padaku?! Apa salahku dengan mereka!!?



Membayangkan senyuman-senyuman palsu dan kata-kata muluk mereka setiap hari membuatku muak. Ternyata selama ini aku hanya dibodohi oleh harapan palsu yang mereka tanamkan padaku. Aku tertawa sumbang memikirkan kebodohanku yang sampai begitu mudah percaya dengan ucapan-ucapan manis mereka. Ternyata aku telah salah menilai mereka, mereka yang sejak dulu begitu mendukungku ternyata tak seujung jari pun berpihak padaku. Donor itu, bukankah mereka tahu selama ini aku hidup hanya demi satu kata itu? Tega sekali mereka mengkhianati perjuanganku selama ini!



Lelah, aku sudah benar-benar lelah sekarang. Lelah dengan semua kebohongan ini. Lelah pada diriku sendiri yang tak cukup tegar dengan kondisi yang semakin menggerogoti tubuhku. Lelah dengan takdir yang seolah selalu menertawaiku. Lelah dengan nasib yang seakan tak pernah habis mempecundangiku sedemikian rupa.



Palsu! Semua harapan itu ternyata tak lebih dari bualan tukang obat semata. Senyuman mereka, motivasi mereka, uluran tangan mereka. Semua itu tak lebih dari omong kosong salesman yang menawarkan berbagai kemudahan dan kebahagiaan hidup dari produk-produk yang mereka tawarkan. Ternyata hidupku tak lebih berharga dari barang-barang dagangan para salasmen dan tukang obat, hingga mereka-orang tuaku sendiri, abangku sendiri, bahkan dokter kepercayaanku sendiri-tega menggadaikan kebahagiaanku demi kebahagiaan semu yang beberapa saat lalu sempat kurasakan.



Aku melangkah mengikuti hembusan angin. Aku tak peduli pada teriknya matahari, tak peduli dengan seluruh hiruk pikuk yang terjadi di sepanjang trotoar yang kulewati. Bahkan langkah penat pada kakiku pun tak kuhiraukan. Aku hanya ingin pergi menjauh dari segala kurungan hidup yang kurasakan semakin memenjara hidupku.



Tak ada yang benar-benar memihakku sekarang. Tidak ada satupun yang dapat kupercaya. Bahkan angin yang berhembus semilir pun terasa mengkhianatiku. Terik matahari yang bertahta di atas sana seolah mengabarkan bahwa semilir yang ku rasakan itu hanyalah salah satu bentuk kepalsuan. Tak adakah harapan yang dapat kugenggam lagi selain mati?!



Kuhentikan langkahku disebuah jembatan yang menerbitkan aroma tak sedap dari bawahnya. Tumpukan sampah yang tersendat dan genangan-genangan air kotor menimbulkan aroma yang mencekik hidungku. Namun aku tak peduli dengan semua itu. Seandainya bisa ingin aku terjun ke bawah sana, tenggelam ke dalam kubangan busuk sampah-sampah yang ada di sana. Melupakan seluruh pengkhianatan yang ada disekelilingku. Menyerahkan diriku seutuhnya pada bangkai-bangkai yang berkalang tanah di sana. Meleburkan diri dengan kebusukkan yang tercipta oleh kumpulan-kumpulan bakteri, hingga seseorang menemukan mayatku tergeltak tanpa harga di tengah tumpukan sampah tak berharga.



“AAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHH…………!!!!!!!!” teriakku tak peduli, kukeluarkan seluruh amarah dan kekecewaanku pada hidup dan harapan kecil yang selama ini kupercaya. Berharap dengan itu semua seluruh beban ini akan terangkat. Melupakan sederet kebohongan yang tercipta di sekeliligku. Berharap bahwa saat ini aku tak sedang berada di atas jembatan berdebu, tetapi sedang berada di rumahku yang nyaman, duduk bersantai dengan segala kebahagiaan yang ditawarkan. Kenyataan pahit yang baru saja ku dengar ternyata mampu mengkikis habis seluruh energy positif dalam diriku. Menggantinya dengan sebuah luka yang menganga dan segar. Entah kapan luka tersebut dapat terobati.



Aku tersengal sebentar ketika udara busuk itu menyeruak menembus paru-paruku. Denyutan nyeri terasa begitu menyakitkan dan nyata. Perlahan kuraba bagian kiri dadaku. Detakannya terasa tak beraturan seakan mengabarkan kalau sakit itu masih ada, luka itu mulai terbuka. Hanya detakan menyakitkan ini yang masih setia menemaniku, hanya denyutan nyeri ini yang tak kan pernah meninggalkanku, hanya sebongkah daging sebesar genggamanku ini yang tak kan pernah mengkhianatiku. Beberapa menit terlewat, tanpa kusadari setetes air mata turun membasahi pipiku.



Aku tertawa parau, air mata. Untuk apa air mata ini ada?! Untuk pengkhianatan mereka atau untuk harapan kosong yang selama ini kupercaya?! Satu tetes lagi, untuk apalagi ini?! Untuk usaha mereka yang telah membuatku memiliki harapan hidup palsu?! Untuk perjuangan mereka yang selama ini telah menemaniku?! Untuk apa?! Untuk apa air mata ini harus menetes?! Bahkan mereka tak berhak mendapatkan air mataku!!



Kuusap mataku kasar, perih. Mataku, hatiku, dan hidupku. Sangat perih hingga air mata yang telah surut berebut untuk keluar. Menangis. Masih pantaskah aku menangisi semua ini?! Setelah semua pengkhianatan, kepalsuan, kepura-puraan yang terjadi?! Memikirkan itu hanya membuatku tertawa sinis, dan entah kenapa air mata itu terus mengalir, menembus semua kekecewaanku. Seiring dengan luka yang kian berdenyut perih, ditingkahi oleh detakan nyeri yang berasal dari dada kiriku.



Biarlah mereka menganggapku gila. Biarlah mereka mengolokku lemah. Biarlah mereka mengejekku banci. Aku tak akan peduli lagi. Mereka saja tak peduli denganku, kenapa aku harus peduli pada mereka?!! Kembali aku tertawa sumbang. Dapat kurasakan beberapa orang melihat bahkan memperhatikanku. Apa peduliku, toh mereka tak mengenalku dan aku pun tak mengenal mereka!!



&&&



Gadis itu baru saja keluar dari tempat kursus menjahitnya. Setelah sekian lama berdiri menunggu angkutan kota yang akan membawa pulang dan ternyata setelah sekian lama itu apa yang ia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya ia memutuskan untuk berjaan kaki sembari menikmati keadaan di sekitarnya.



Panas begitu menyengat saat ia mulai melangkah meninggalkan naungan pohon-pohon yang ada di sepanjang trotoar. Berkali-kali ia usap peluh yang menetes dipelipisnya. Buku panduan kursus menjahit yang ia jadikan pelindung ternyata tak sanggup menghalangi teriknya matahari yang memang siang itu sedang semangat-semangatnya menyinari Bumi.



Saat ia sedang mengeluh tentang cuaca yang tak bersahabat itu, ia dikejutkan oleh sebuah tawa sumbang yang terdegar tak jauh darinya. Kepalanya mencari-cari dari mana asal suara tawa itu. Setelah menemukan sumber suara tawa yang tiba-tiba itu, ia tertegun sejenak.



Tak jauh dari tempatnya berdiri tampak seorang pemuda kurus pucat yang sedang tertawa ke arah segerombol awam di atas sana. Ia seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan tak peduli dengan kerumunan-kerumunan kecil yang terbentuk karena sebuah rasa penasaran yang sama terhadapnya. Siapa pemuda itu? Sebentuk Tanya bercokol di benaknya.



Perlahan gadis itupun melangkah mendekati pemuda yang masih asyik dengan dunianya sendiri tersebut. Tertawa sumbang dan parau ditengah deru kendaraan bermotor yang berlalu lalang di sekitarnya. Matanya menangkap sesuatu dari mata pemuda itu. Air mata!? Walau tak jelas namun gadis itu dapat mengenali benda bening yang tersebut. Ya, pemuda itu ternyata sedang menangis. Lalu mengapa ia tertawa begitu rupa?!



Langkahnya semakin cepat kala melihat pemuda itu mulai menaiki jembatan tempatnya berdiri. Kerumunan itu semakin merapat, orang-orang sudah mulai berkasak-kusuk di sekitarnya. Namun, masih seperti yang tadi. Pemuda itu seolah tak peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya.



“JANGAAAANNN………!!!!” teriak gadis itu ketika melihat pemuda itu mulai membentangkan kedua tangannya, seolah menantang angin yang berhembus keras ke arahnya. “Jangan bunuh diri di sini!!” teriaknya dengan napas tersengal setelah ia sampai di dekat pemuda itu.



Pemuda itu seakaan tak mendengar teriakan gadis di sebelahnya. Sekarang ia malah memejamkan kedua matanya. Seolah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. “Jangan!!” lagi-lagi gadis itu mencoba menggagalkan usaha apapun yang akan pemuda itu lakukan.



Setelah berkali-kali teriakannya dan juga seruan-seruan dari orang-orang yang sekarang telah mengerumuni mereka tak berhasil menggoyahkan niat pemuda itu. Gadis itupun menarik paksa pemuda yang tengah tersesat dalam dunianya sendiri tersebut untuk turun.



Pada saat itulah pemuda itu seakan baru menyadari di mana ia sedang berada. Ia pandangi gadis yang terlihat khawatir di sisinya. Peluh berderas-deras membasahi pelipisnya. Tampilannya yang berantakan benar-benar membuat kening pemuda itu mengerut. Lalu ia edarkan pandangannya pada kerumunan orang-orang di sekitar mereka yang menatapnya penuh dengan tanda Tanya. Sebagian di antara mereka asyik berkasak kusuk dengan orang di sebelahnya.



“Jangan bunuh diri di sini,” ujar gadis itu dengan tatapan khawatir.



Pemuda itu hanya menatap tajam ke arahnya. Seakan tak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan oleh gadis itu. “Kalau kamu mau bunuh diri, jangan di sini. Kali di sini airnya Cuma selutut, lagipula kali ini kotor banyak sampah di sana. Memangnya kamu mau mayatmu nanti bau busuk karena sampah?” lanjut gadis itu mencoba mencairkan suasana.



“Betul itu dek, kalau mau bunuh diri jangan di sini. Bikin repot orang-orang di bawah sana nanti,” timpal seorang yang lain.



“Iya mas, lagipula hari gini masih mau bunuh diri?!” sahut seseorang yang berseragam SMP tak jauh darinya.



Kerumunan itu pun sahut menyahut membenarkan ucapan dari orang sebelum mereka. Pemuda itu tampak kebingungan dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Niatnya yang semula ingin melepaskan beban, kenapa malah melebar menjadi bunuh diri?!



Seakan tak peduli dengan apa yang dibicarakan mereka, dengan kasar ia menyibak kerumunan itu dengan bersungut-sungut. “Bunuh diri?! Emang siapa yang mau bunuh diri!? Nggak usah bunuh diri juga gue bentar lagi mati!!” teriaknya ke arah kerumunan itu yang disahuti oleh koor “Huuu…” oleh orang-orang yang ada di sana.



Kerumunan itupun akhirnya membubarkan diri, satu sama lain saling membicarakan pemuda itu, tak jarang ada umpatan-umpatan yang keluar dari mulut mereka. Sedangkan gadis yang tadi bersusah payah berlari ke sana hanya terbengong-bengong dengan apa yang terjadi.



“Jadi, dia tadi bukan mau bunuh diri?” katanya dalam hati.



Dengan langkah gontai, ia pun meneruskan perjalanannya. Berbagai tanda Tanya masih saja tersimpan di benaknya. Ia masih penasaran dengan pemuda itu, sorot mata kosongnya, raut pucatnya, dan selapis air bening yang tadi sempat menghiasi matanya. Seakan mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang mungkin saja mirip dengannya. Terutama badan kurus dan wajahnya yang pucat. Gadis itu yakin kalau pemuda yang tak sengaja ia temui tadi sedang mengalami masalah yang begitu berat, sampai-sampai dia melakukan hal gila seperti tadi.



“La!!” sapa seseorang yang terasa begitu dekat dengannya.



Gadis yang disapa tadi sedikit berjingkat, terkejut dengan sapaan yang tiba-tiba. “Awan, ngagetin aja lo! Gue kira siapa,” sahutnya dengan sebuah senyum lebar.



“Darimana lo, jalan sambil ngelamun. Kesambet lho ntar.” Tanya pemuda yang menyapanya itu dengan seriangai jahil.



“Dari kursus, lo sendiri dari mana?” ujar gadis itu balik bertanya.



“Dari rumah sakit. Mau pulang?” jawab Awan singkat.



Gadis yang bernama Pelangi itu pun mengangguk. “Kalau gitu naik deh, gue anter. Sekalian gue mau ketemu kakak lo,” lanjutnya seraya menyerahkan helm ke arah Pelangi yang disambut dengan cengiran lebar darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar