Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 20

そら の いろ


Aku mengerjapkan mataku sejenak, memandang linglung keadaan di sekelilingku. Ku pandangi matahari yang perlahan telah bergulir ke peraduannya. Ternyata sudah hampir seharian ini aku tertidur. Semilir angin yang membuai membuatku benar-benar terlena. Hingga aku tak sadar telah terlelap dalam buaiannya.



Setelah kurasa cukup segar kembali, aku bangkit berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa kaku, ku pandangi lagi perjalanan matahari yang semakin lama semakin mendekati batas cakrawala. Sekonyong-konyong aku kembali teringat dengan pesan terakhir ayah sebelum sosoknya menghilang bagai debu. Kalau aku tak ingin terjebak selamanya di tempat ini maka aku harus mengulang kembali permintaanku tepat pada waktu sinar matahari memenuhi mega, dan kurasa saat yang kunantikan itu akan segera tiba.



Aku siapkan hati dan pikiranku agar tetap fokus untuk menanti saat itu datang. Aku ragu dari tempat ini dapat melihat seluruh mega tersiram sinar jingga matahari senja. Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada sebuah tempat di kastil yang kata ayah adalah tempat yang pas untuk menyaksikan matahari terbenam.



Mengingat hal tersebut, aku memacu langkahku untuk kembali memasuki bangunan kuno nan megah yang berdiri menjulang di hadapanku. Kakiku kembali berlari menyusuri setiap lorongnya yang remang-remang. Mengira-ngira di mana tempat yang dimaksud ayah. Aku mengumpat dalam hati, merutuki kebodohanku yang tak mendengarkan penjelasannya dengan baik, dan malah asyik dengan pikiranku sendiri.



Dengan ingatan samar-samar aku kembali melewati tikungan dan lorong-lorong yang seperti labrin tikus mondok. Akhirnya setelah beberapa kali salah kamar, aku berhasil menemukan kamar yang dimaksud. Dan benar apa yang ayah bilang, dari sini aku bisa melihat kemegahan senja, walau sekarang matahari masih belum bertemu dengan cakrawala, tapi aku bisa melihat kalau memang kamar inilah kamar yang dimaksud ayah.



Aku mengatur napasku yang tersengal akibat berlari, setelah agak tenang aku melangkah mendekati satu-satunya jendela yang ada di kamar tersebut. Memandangi keindahan alam yang ada di sini, memanjatkan syukur karena aku sudah mengalami serangkaian keajaiban selama di sini, dan merenungi nasibku yang masih tak kumengerti kenapa aku sampai bisa terdampar di tempat ajaib seperti ini.



Kedamaian yang tercipta dari tempat ini sering membuatku enggan untuk meninggalkannya dan kembali ke rutinitasku di alam yang lain. Kembali berkutat dengan segala bentuk pengobatan, yang tak jarang membuatku bosan setengah mati. Tak perlu dipusingkan dengan segala aturan yang ada, membuatku jauh merasa lebih nyaman di dunia ini daripada di dunia sana.



Namun, seakan tak sejalan dengan apa yang kupikirkan, salah satu sudut hatiku bergolak memberontak. Ada sesuatu yang menarikku untuk segera kembali ke sana. Ada yang menungguku, walau sampai saat ini aku tak tau siapa dan mengapa. Setelah aku sampai di dunia ini, entah mengapa aku jadi tak dapat mengingat siapa-siapa yang berinteraksi denganku di sana. Yang dapat aku ingat hanyalah sebuah perasaan yang tak menyenangkan, sebuah kerinduan yang amat sangat akan sesorang di sana.



Perasaan inilah yang menuntunku hingga sampai di tempat ini, menanti dengan setia sang Matahari untuk kembali ke peraduannya. Menikmati setiap detik kebosanan yang menyelinap, menghalau segala bisikan yang membuatku terlena dengan segala kedamaian yang tersaji.



Aku menghela napas panjang, sejak sampai di sini perasaan yang membuatku resah sedari tadi seakan menjelma semakin nyata, menanti waktu untuk segera diwujudkan. Aku mendesah berat untuk kesekian kalinya. Suara-suara yang dari awal kuabaikan, kini mulai bergema semakin keras. Bertalu seirama dengan denyut jantungku. Membuatku tak tahu lagi bagaimana cara menghalau suara-suara tersebut.



Aku menggelengkan kepalaku cepat, mencoba mengusir pergi suara-suara yang semakin menyiksaku. Kembali kutatap Matahari di ujung sana, perlahan tapi pasti ia telah menyelusup ke dalam rengkuhan horizon. Mega-mega pun telah mulai berubah warna. Aku menanti dengan tak sabar perubahan apa yang akan kujumpai setelah benda buat terang itu tenggelam sebenuhnya dalam cakrawala. Detik-detik itu bagaikan genderang perang yang ditabuh bertalu, memacu jantungkku untuk berdetak lebih cepat.



Keringat dingin membasahi pelipisku, dapat kurasakan kedua telapak tanganku mendingin karena tegang. Kututup mataku bersamaan dengan tenggelamnya bintang paling besar itu ke dalam rengkuhan sang malam. Sinar megahnya memenuhi seluruh langit, mega-mega telah berubah warna seutuhnya. Aku panjatkan sebuah doa tulus dalam hatiku berkali-kali seiring dengan tarikan napas, sesuai apa yang diinstruksikan oleh ayah tadi. Berkali-kali hingga sebuah sinar terang menghampiriku, menyelimuti seluruh raga, membutakan mataku yang terpejam, dan akupun tak ingat apa-apa lagi.



&&&



“Dokter… Dokter…” Suara gaduh yang berasal dari kamar 503 itu mengejutkan beberapa suster dan orang yang berlalu lalang di sekitar lorong. “Suster tolong panggilkan dokter Sus! Dokter!! Dokter!!”



Beberapa suster dengan sigap segera mencari dokter yang dimaksud wanita tersebut. Beberapa orang lagi menghampiri wanita itu dan meginterogasinya serta berusaha membuat wanita paruh baya tersebut menenangkan dirinya, seorang suster menghampirinya dan segera masuk ke dalam kamar 503 untuk kemudian memeriksa setiap detail dengan cekatan. Sementara wanita paruh baya yang berteriak kalut tadi memandang dengan penuh kecemasan ke arah suster yang tengah melakukan tugasnya.



Tak lama berselang seorang dokter datang dengan tergopoh dan mendengarkan dengan baik hasil laporan awal yang telah dibuat oleh suster yang tadi memeriksa pasiennya. Menatap khawatir sejenak pada pasiennya, dan melakukan serangkaian pemeriksaan lagi dengan cekatan dan hati-hati. Menginstruksikan untuk mencatat beberapa hal yang dirasa penting kepada suster yang dengan sigap langsung membubuhkan beberapa tulisan di notenya. Dan tak lama berselang, dokter itu pun telah selesai mengobservasi keadaan pasiennya.



Suster yang tadi memeriksa sudah pergi, menyisakan dokter tersebut dan wanita paruh baya yang sejak tadi tak berhenti berkomat-kamit. Sejenak, tampak dokter tersebut mengusap peluh yang bergulir dari pelipisnya. Tersenyum lega walau raut kecemasan membayangi wajahnya yang masih tampak muda. Melangkah penuh keyakinan ke arah wanita paruh baya yang sekarang memandangnya dengan penuh pengharapan.



“Ksatria baru saja melewati masa kritisnya. Mudah-mudahan sebentar lagi ia akan siuman.” Ujarnya pasti.



Mata wanita itu membulat sempurna, terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan dokter muda tersebut. “Benarkah dok?!” Sahutnya tak yakin.



Dokter itu hanya mengangguk kecil dengan senyum lelah yang masih menghiasi wajahnya. “Benar bu. Ini berkat doa kita semua.” Tegasnya.



Bibir lemahnya berkali-kali mengucap syukur, wajah kuyunya kini telah sedikit bersinar. Segera ia jabat tangan dokter yang sudah lama menangani anaknya tersebut. “Terima kasih dokter… Terima kasih…” ujarnya berkali-kali dengan air mata berderai.



“Jangan berterima kasih kepada saya bu. Berterima kasihlah pada Tuhan, karena berkat Dia-lah Ksatria dapat melewati ini semua. Saya hanya membantu saja.” Kilah dokter muda itu dengan sebuah senyum tulus. “Kalau begitu saya pamit dulu bu, masih banyak pasien yang harus saya tangani.”



“Iya dok… Sekali lagi terima kasih dokter…” Sahut wanita itu mengiringi kepergian dokter muda itu dari kamar 503.



Sepeninggal dokter Raka, dengan langkah ragu wanita itu menghampiri putranya yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Deru napasnya kembali teratur setelah tadi tiba-tiba saja putaranya tersebut seperti terkena sesak napas. Bunyi kardiogram di sampingnya pun kembali berdetak teratur. Ia pandangi wajah pucat putranya yang sudah hamper satu bulan ini tergolek tanpa daya, air mata itu masih membayangi wajah kuyunya. Ia tak menyangka kalau saat yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Setelah sekian lama ia berpikir kalau saat-saat kesadaran putaranya ini tak lagi akan terwujud.



Ia belai rambut pemuda itu penuh saying dengan jari-jari tuanya yang gemetar. Bibir lemahnya mengucap syukur yang tak henti. Ia bisikkan kalimat-kalimat kebahagiaan pada tubuh yang masih tergolek tanpa daya. Hingga hari kembali berselimut malam, wanita paruh baya itu masih setia mendampingi putra bungsunya dengan air mata yang telah mongering dan bibir yang tak henti-hentinya melafadzkan syukur.



***



Akhirnya kabar yang dinanti-nantikan itu datang juga. Setelah hampir satu bulan ini kami menanti dengan harap-harap cemas, akhirnya kemarin Ksatria sadar juga. Walau masih terlihat sedikit linglung, namun kondisinya perlahan-lahan sudah kembali pulih. Kata dokter Raka ia masih perlu penanganan lebih lanjut, terutama melulihkan kembali kemampuan fisiknya. Karena tertidur cukup lama ia masih kaku dalam melakukan beberapa hal yang berhubungan dengan kegiatan motoriknya.



Walau begitu, aku senang melihatnya kembali seperti ini. Orang yang paling senang mendengar berita ini tentu saja bukan hanya aku, ada seorang lagi yang berbahagia mendengar kabar gembira ini. Seseorang yang sejak dulu menantikan kesadarannya. Kedua bola mata gadis itu berkaca-kaca saat aku memberitahunya kabar ini. Bibir mungilnya mengucap syukur berkali-kali.



Kini, kami berdua sedang berada di kamar 503. Kegiatan rutin kami beberapa hari ini adalah membantu Ksatria memulihkan kembali kepercayaan dirinya dan membantunya untuk memulihkan kembali kemampuan motoriknya. Walau masih sedikit kaku dan kurang luwes, namun sekarang dia telah mengalami banyak kemajuan.



“Gimana keadaan lo pagi ini?” Tanyaku setelah berbasa-basi sejenak dengan dokter Raka yang baru saja selesai memeriksanya.



“Lumayan.” Jawabnya singkat.



“Udah minum obat?” tanyaku lagi.



Dia hanya mengangguk lemah. Walau dia sudah kembali sadar, namun, pembicaraan yang terjadi di antara kami masih sekaku kawat jemuran. Mungkin karena kami sudah lama tak berinteraksi secara langsung, sehingga membuat kami seolah menjelma menjadi dua orang asing yang mencoba saling mengenal. Tak jarang aku melihatnya seakan sedang melamun, memikirkan sesuatu yang aku tak tahu, kadang aku mendapati tatapan kosong yang terpancar dari kedua manik hitamnya. Apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan?



“Ehm, Lang, tadi aku bawa bubur ayam… Kamu mau nyicip nggak?” Sebuah pertanyaan bernada ceria terlontar dari gadis manis yang sekarang sedang merapikan beberapa barang bawaannya.



“Gue udah makan,” sahut Ksatria dingin.



“Oh…” Balas gadis itu lemah, sekilas tampak sebuah raut kekecewaan membayang di wajahnya. “Emm… Kalau satu sendok aja mau kan?”



“Gue udah kenyang,”



“Ya udah deh kalau gitu nanti aja,” Sahutnya pasrah dengan sebuah senyum yang dipaksakan.



Aku hanya dapat menghela napas berat. Sudah beberapa hari ini Aura mendapatkan perlakuan dingin seperti itu. Jujur, aku tak tega melihatnya diperlakukan seperti itu, walau hubungan terakhir di antara mereka tak berjalan dengan baik, namun tak seharusnya gadis ini menerima perlakuan dingin seperti itu.



“Oh ya Ksat, kata dokter Raka besok lo udah boleh pulang,” Kataku mencoba mencairkan suasana.

Ia melirikku sejenak dan menggumam tak jelas sebagai jawabannya. “Setelah lo pulang, mama punya rencana mau buat syukuran kecil-kecilan. Lo nggak keberatan, kan?” lanjutku.



“Terserah,” jawabnya sambil lalu.



Aku mendesah pelan melihat reaksinya yang tak acuh seperti itu. Kalau begini ceritanya lebih baik dia tak bangun-bangun saja sekalian! Umpatku dalam hati. “Ya udah, gue ke apotek dulu, nebus obat sekalian ngurusin administrasi buat kepulangan lo besok.” Putusku yang sudah tak tahan menghadapinya.



Lagi-lagi dia hanya mengguman sebagai jawabannya. “Ra, gue tinggal dulu ya,” Pamitku pada gadis manis yang sedang membereskan nakas.



“Iya kak,” Sahutnya ceria. Syukurlah kalau dia masih bisa bersikap seperti biasanya. Sekali lagi kupandangi Ksatria yang sedang memandang kosong ke luar jendela, menghela napas panjang, dan akhirnya dengan langkah-langkah berat aku meninggalkan kamar 503 tersebut.



@@@



Sudah hampir satu minggu aku kembali terbangun dari tidur panjangku. Walau kesadaranku telah kembali namun belum sepenuhnya aku sadar dengan apa yang terjadi pada diriku sendiri selama hampir satu bulan ini. Aku masih bingung dengan keadaan di sekelilingku sekarang. Semua ini masih seperti mimpi bagiku. Sebuah ingatan samar yang acap kali melintas dalam mimpi, membuatku tak mampu berpikir jernih. Seolah sebagian nyawaku masih tertinggal di tempat itu.



“Emm… Kamu mau aku kupasin buah apa Lang? Apel apa jeruk?” Sebuah pertanyaan ringan mengusik lamunanku.

Kupandangi gadis yang duduk tak jauh dariku. Sudah berhari-hari ia di sini. Tanpa bosan selalu menawariku hal-hal yang sering kali aku tolak. Membalas seluruh perkataan tak perduliku dengan sebuah senyum manis, walau terkadang tak jarang aku merasa senyum itu menyiratkan sebuah kesedihan.



“Gue masih kenyang,” Jawabku singkat, kembali kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Entahlah, aku tak kuasa berlama-lama memandanginya, ada sebagian hatiku yang terasa berdenyut menyakitkan saat memandang wajah polosnya.



“Aku seneng deh… Akhirnya kamu bisa sadar juga.” Ujarnya lirih, aku dapat merasakan sebuah senyuman dari ucapannya itu. “Kamu tau nggak, waktu kak Yudha ngasih kabar kalau kamu udah siuman rasanya tuh nggak karuan. Seneng, terharu, campur-campur deh…”



Aku mendesah panjang, tak mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut. Aku masih tak memandang gadis itu, aku merasa pemandangan di balik jendela lebih menarik ketimbang gadis di sampingku ini. “Malemnya aku sampai nggak bisa tidur tau, kebanyang-banyang terus gimana besok kalau ketemu kamu. Apa kamu bakal ngenalin aku. Gimana perasaan kamu waktu ngeliat aku. Macem-macem deh… Sampai-sampai kebawa mimpi.” Lanjutnya dengan diselingi sebuah tawa ringan.



Aku tak menyangka kalau kesadaranku ini akan sangat berpengaruh padanya. Tawa renyahnya entah kenapa malah membuatku tersenyum miris. Suara ini adalah suara-suara yang selalu mengusikku ketika aku tak sadarkan diri. Suara ini jugalah yang menuntunku untuk menemukan kesadaranku, namun entah mengapa saat suara tawa itu menjelma menjadi nyata, malah sakit yang kurasakan.



“Tapi, waktu aku tahu kalau kamu jadi seperti ini, aku sedih. Kadang aku nggak ngerti apa yang salah dari ini semua. Apa karena aku kamu jadi kayak gini. Atau ini semua karena kita udah lama nggak ketemu. Atau karena kamu kelamaan tidur. Atau…” Kalimatnya terputus tiba-tiba. Saat aku berpaling sebuah pemandangan yang paling tak ingin ku lihat terpampang jelas di depan mata.



Gadis itu terisak tanpa suara. Wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangannya, bahunya berguncang pelan seiring dengan tarikan napasnya yang tak teratur. Lagi-lagi sebelah hatiku berdenyut menyakitkan. Aku menghela napas panjang, lelah dengan semua ini. Tertidur begitu lama ternyata mengikis sebagian memori dalam benakku, menggerus rasa yang mengendap dalam jiwa.



Perlahan ku angkat wajahnya yang masih menunduk dalam, dengan hati-hati kuurai kedua tangannya yang masih menutupi wajah. Kupandangi lekat-lekat wajah berurai air mata di hadapanku. Isaknya masih ada, namun masih seperti tadi. Tak ada suara, hanya air matanya yang meluruh semakin deras.



Perlahan kuusap kedua pipinya pucatnya, mencoba menghalau sungai air mata yang tercetak di sana. Ia memandangku dengan tatapan terkejut dan tak mengerti. Aku pun tak mengerti dengan apa yang ku lakukan sekarang. Yang aku tahu, aku memang harus melakukan hal ini. Aku tak suka melihatnya menangis.



“Kenapa sih lo harus nangis Cuma gara-gara orang macem gue?” Ujarku lirih, selirih angin yang berbisik lewat ventilasi.

“Gue nggak pantes lo tangisin.”



Dia menggeleng lemah, wajahnya menyiratkan kalau aku tak seharusnya berkata seperti itu. “Gue emang Cuma bisa ngasih kesedihan ke orang-orang di dekat gue. Harusnya dari dulu gue sadar… Maaf, udah bikin lo nangis gara-gara gue.” Ujarku pelan.



“Nggak. Kamu nggak boleh ngomong gitu Langit.” Sahutnya parau, air mata itu kembali mengalir, seperti tadi, aku kembali menghapusnya.



“Lo terlalu baik buat gue sakitin. Dari dulu harusnya gue udah buang kebahagiaan yang ada di tangan gue. Nggak seharusnya gue serakah dengan apa yang gue punya sekarang.” Aku menarik napas panjang. Aku tak tahu akan semenyakitkan ini mengatakan apa yang selama ini aku tahan. Mengungkapkan yang selama ini membebani hatiku, kekhawatiranku pada apa yang perlahan kuyakini. Pada sesuatu yang mengikatku untuk tetap bertahan di dunia ini.



“Kamu ngomong apa sih?! Aku nggak suka kalau kamu ngomong kayak gitu?!” protesnya lemah.



“Kalau kebahagiaan ini Cuma bisa nyakitin orang lain. Buat apa gue pertahanin lagi?! Lebih baik gue buang! Dari dulu juga gue harusnya sadar, kalau kata bahagia nggak pernah ada dalam kamus gue!” ujarku tajam. Kembali, setelah berminggu-minggu tenggelam dalam mimpi ternyata sanggup membuatku kembali pada diriku yang dulu. Pesimis, egois dan tak mau mengerti. Kembali merasakan setiap detik waktu yang semakin menyempit. Berkubang dalam kemalangan yang selama ini melingkupi hidupku.



Tanpa kusangka sebelumnya, tiba-tiba saja ia memelukku erat, membenamkan kepalanya di dadaku dan terisak dengan hebat di sana. Lagi-lagi aku membuatnya menangis. Kali ini dengan isakan pilu yang benar-benar membuat hatiku tak nyaman. Aku benar-benar merasa jadi orang paling kejam sedunia!



“Aku nggak mau kamu ngomong gitu lagi Lang. Kamu nggak boleh ngomong gitu lagi. Setelah sekian lama, aku, kak Yudha, tante berusaha bikin kamu berubah jadi lebih baik, kenapa kamu kayak gini lagi Lang? Aku nggak suka kalau kamu menjauhi bahagia seperti dulu lagi.” Isaknya pilu, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Perlahan aku menguraikan pelukannya, memandangi wajahnya yang menyiratkan sebuah kesedihan yang teramat sangat. Jangan berikan aku wajah terlukamu Ra!



“Kalau emang kamu udah lupa gimana rasanya bahagia, aku bakal ngasih tahu kamu. Kalau kamu udah lupa arti bahagia, aku akan ngajarin kamu buat nemuin kebahagiaanmu lagi. Tapi kamu harus janji, jangan pernah kembali seperti dulu. Aku nggak suka!” Lanjutnya lagi, masih dengan air mata yang menderas.



Aku menghela napas panjang, lelah. “Apa gue masih punya banyak waktu buat ngerasain apa yang lo bilang tadi? Waktu gue udah nggak banyak lagi, yang gue mau Cuma kedamaian. Kalau emang tanpa bahagia gue bisa damai, gue bakal lakuin itu.” Jawabku pasti. Ya, kedamaian. Satu kata yang baru-baru ini membuatku tersadar dengan semua yang terjadi. Aku perlu sebuah kedamaian.



Mimpi-mimpi itu ternyata bukan sekedar sebuah bunga tidur belaka. Tempat yang selalu sama, padang rumput luas itu, seakan mengudangku untuk kembali berada di sana. Tak ada kesakitan, tak ada kesedihan, dan tak ada lagi kegalauan. Hanya kedamaian, ketenangan, dan yang aku inginkan hanya lah satu kata itu. Damai.



“Nggak!! Waktu kamu masih panjang Lang! Sebentar lagi… Tunggu sebentar lagi…” Ujarnya lirih namun tegas.



“Sebetar lagi itu seberapa lama? Gue udah nggak sanggup lagi, Ra! Mimpi-mimpi itu… Padang rumput itu… Ayah… Semua itu seakan udah jadi kenyataan dalam hidup gue?!” Kataku tajam.



Lagi-lagi ia menggeleng tegas. “NGGAK!! Semua itu Cuma mimpi!! Mimpi…” teriaknya kalap, ia kembali tertunduk dan terisak. Lagi-lagi tanpa sadar aku merengkuhnya, membenamkannya dalam pelukanku. “Itu semua Cuma mimpi…” racaunya tak jelas.



“Mimpi itu semakin hari semakin terasa nyata Ra…” Lirihku, berbisik pada angin yang menerobos sela-sela ventilasi. Ia menggeleng keras dalam pelukanku, berkali mengatakan mimpi, dan tidak secara berulang.



Kami bertahan seperti ini untuk beberapa saat, mencoba menelaah akan seberapa menyakitkan pembicaran ini nantinya. Setelah ia sudah mulai tenang, perlahan ia menguraikan pelukanku. Ia memandangku dengan pancaran mata penuh ketegasan seakan menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting dan terlupakan, tak lama ia terkekeh geli sendiri. Aku memandangnya tak mengerti, mengapa ia tiba-tiba saja berubah seperti itu. Ia mengeringkan air matanya, dan memandangku dengan sebuah keyakinan.



“Nggak Lang. Itu semua Cuma bunga tidur. Nggak akan jadi kenyataan.” Ujarnya yakin. Aku masih memandangnya dengan seribu tanda Tanya.



“Maksud lo?”



“Hampir aja aku lupa ngasih tau kamu kabar bahagia ini.” Ujarnya dengan senyum mengembang.



Aku mengerutkan dahi tanda tak mengerti dengan apa yang dia bicarakan. “Kamu udah dapet donor jantung.” Ujarnya singkat dengan mata berbinar.



Aku membeku seketika, dapat kurasakan tubuhku kaku. Mataku membulat sempurna. Donor. Jantung. Dua kata itu bahkan sudah musnah dari ingatanku. Benarkah apa yang ia katakan?! Aku. Donor jantung?! Tiba-tiba saja aku tak dapat menahan tawaku. Lelucon apa lagi ini?!



“Lo bercanda kan?” tanyaku sinis.



“Nggak Lang. Mana mungkin aku bercanda untuk urusan yang satu ini.” Sahutnya serius.



Berarti hidup hingga 50 tahun lagi itu bukan lagi mimpi bagiku?!



“Lo serius?!” Tanyaku masih tak percaya.



Ia hanya mengangguk mantab, melihat binar di matanya, senyum di bibirnya, seketika itu juga aku yakin dengan apa yang dia katakan. Kuraih ia dalam pelukanku, melampiaskan kebahagiaanku dalam pelukannya. Berkali-kali bibirku mengucap syukur. Akhirnya harapan yang selama ini kurasa mulai mengkhianatiku, kini kembali menyapa. Kata bahagia yang tadi kulupakan, kini menjelma kembali. Ternyata 0,01% itu tak meninggalkanku.



***



Aku terpaku di tempatku berdiri, tak sengaja aku mendengar pembicaraan Ksatria dan Aura. Haruskah aku masuk dan menjelaskan kenyataan yang sebenarnya? Namun, aku tak tega merusak kebahagiaan yang baru saja tercipta. Aku tak ingin merusak suasana bahagia itu. Tawa cerianya, semangat hidupnya dapat kembali hanya dengan satu kalimat yang sudah lama ia lupakan.



Aku masih dapat mendengar letup kebahagiaan itu bahkan saat aku telah jauh meninggalkan kamar 503. Aku termangu dalam perjalanan menuju mushola tempat mama sedang beristirahat setelah melaksanakan ibadahnya. Secepatnya aku harus mendiskusikan hal ini padanya.



“Lho Yudh, kok balik lagi?” Tanya mama heran yang melihatku kembali menghampirinya.



“Ma, ada yang mau Yudha omongin sama mama. Penting.” Jawabku masih sedikit ragu.



“Ada masalah sama bagian administrasinya?” Selidik beliau.



“Bukan Ma, ini masalah donor untuk Ksatria,” Jawabku lemah.



“Bukannya kita udah sepakat untuk tidak menyetujuinya?” sahut mama tak mengerti.



“Ksatria udah tau ma, kalau dia akan dapat donor jantung,” Ujarku lemah.



“Apa Yudh?! Tahu dari mana dia? Kita kan udah sepakat nggak akan bahas masalah ini?” Kata mama terkejut, ia memandangku penuh selidik.



“Dia tahu dari Rara, ma. Tadi waktu Yudha mau balik ke kamar, nggak sengaja Yudha denger obrolan mereka.” Jawabku lemah.



Mama mendesah panjang, ia sama tak mengertinya denganku. Tak mengerti harus berbuat apa. Tak tahu harus memasang ekspresi yang bagaimana saat ia nanti menanyakannya. Aku benar-benar dibuat bingung dengan ini semua.



“Gimana tanggapan dia Yudh?” Tanya mama lemah.



“Seneng banget ma. Yudha nggak tega kalau harus ngerusak kebahagiaan itu dengan apa yang sebenarnya terjadi.” Jawabku tak kalah lemah. “Apa yang harus kita lakuin ma?”



“Mama nggak tahu Yudh. Kita hadapi aja sama-sama. Tapi kalau bisa lebih baik dia jangan sampai tahu dulu kalau kita membatalkan donor jantung untuknya.” Kata mama tegas. Aku rasa mama juga tak mau merusak kebahagiaan Ksatria dengan berita menyedihkan ini.



Aku hanya mendesah pelan menanggapi ucapan terakhir mama. Kulayangkan pandanganku ke arah koridor yang mulai ramai. Berusaha tak menggubris suara riang yang hingga kini masih terngiang-ngiang dalam benakku. Biarlah ia menikmati kebahagiaan ini sejenak. Semoga saja ia tak akan terluka dengan kenyataan pahit yang akan dihadapinya nanti.



&&&



“Jadi bagaimana keputusan kamu Wan?” Tanya dokter Raka, serius.



“Saya akan mengikuti saran dokter. Mungkin memang belum saatnya saya menyerah.” Jawab Awan dengan penuh ketegasan.



“Bagus kalau kamu merubah keputusanmu. Berbuat baik untuk orang lain memang mulia, tapi bukan dengan cara menyakiti diri kamu sendiri Wan,” Nasehat dokter Raka yang kini tampak lega dengan keputusan Awan.



“Iya dok.” Sahutnya lirih. “Oh ya dok, apa keluarga mereka sudah diberitahu dengan keputusan saya ini?”



“Kalau untuk masalah ini saya belum memberi tahukan pada mereka. Mungkin nanti,” Jawab dokter Raka seraya memeriksa beberapa file yang ada di meja kerjanya.



“Saya dengar dia sudah sadar dok,” Kata Awan sambil lalu, sebelum ia meninggalkan ruangan dokter muda penuh talenta itu.



“Iya, sudah satu minggu ini sadar. Sekarang kondisinya sudah mulai membaik, walau masih belum pulih sepert sedia kala,” Jawabnya dengan seulas senyum tipis. “Apa kamu akan melihatnya?”



Pemuda itu hanya tersenyum samar menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan dokter Raka padanya. “Syukurlah,” Desahnya lega, seraya menutup kembali pintu ruangan perpelitur cokelat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar