Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 19

そら の いろ


Aku menimang dua benda yang kin ada digenggamanku. Satu buah box VCD dan sepucuk surat. Aku kembali teringat pada permintaaan Ksatria beberapa waktu lalu. Apakah sekarang saat yang tepat untukku memberikan dua benda ini padanya? Apakah saat-saat seperti sekarang ini yang dimaksud oleh Ksatria, saat yang tepat?



Kupandangi dan kubolak balik dua benda di tanganku. Tak sekali pun aku mencoba untuk mencari tahu apa isi dari dua benda tersebut. Pernah sekali waktu aku tertarik untuk mengetahui isi daris alah satu benda tersebut. Namun, keinginan itu urung kulaksanakan. Mengintip barang yang bukan milikmu adalah salah bentuk kejahatan. Mungkin memang aku harus memberikan dua benda ini padanya, besok.



Aku memasukkan kedua buah benda tersebut di dalam tas selempang kecil yang memang sering kugunakan untuk bepergian. Semoga saja aku tak salah prediksi. Setelah memastikan sekali lagi kedua benda itu tersimpan aman dala tasku. Akhirnya aku merebahkan tubuh lelahku.



Masalah yang datang bertubi-tubi dalam beberapa hari ini cukup membuatku kelelahan. Baik fisik maupun mental. Pandanganku menerawang ke arah sebuah gitar yang tergantung indah di salah satu sudut kamar. Sejak Ksatria menghibahkan gitar itu padaku belum sekalipun aku menyentuh atau memainkannya.



Pikiranku kembali berkelebat mengenai keputusan penting yang akan kami lakukan. Kembali menimbang baik dan buruknya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Setelah berpikir sekian lama, akhirnya malam ini aku tau harus mengambil keputusan yang mana. Pilihan ini adalah pilihan paling tepat untuknya, dan untuk kami.



Aku tersenyum lega dengan apa yang baru saja menjadi keputusanku. Semoga saja mama setuju dengan pendapatku. Bagiku membiarkan Ksatria hidup lebih lama adalah sebuah keputusan yang tepat. Megenai segala macam perubahan yang akan terjadi setelahnya, itu akan menjadi urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah Ksatria bisa kembali pulih seperti sedia kala.



Aku menghembuskan napas lega. Satu masalah selesai, tinggal dua masalah lagi yang harus aku selesaikan. Mudah-mudahan saja dua masalah ini akan selesai esok hari. Aku menguap lebar, penat ini semakin mendera. Perlahan aku mengatupkan kedua mataku sebelum akhirnya terlelap.



&&&



Pagi ini terlalu cerah baginya yang sedang diliputi kebimbangan. Menimbang kembali keputusan besarnya. Sekian tahun mendertia penyakit yang menggerogoti tubuhnya membuatnya memutuskan untuk melakukan hal terbesar bagi hidupnya. Hidup dalam kungkungan penyakit adalah hal yang paling menyiksa baginya, dan ia tak ingin merasakan siksaan itu lebih lama lagi.



Sebenarnya ia bisa saja terbebas dari penyakit mematikan ini seandainya saja ia mau membuang pangkal penyakit yang membuatnya menjadi seperti ini. Namun, keadaanlah yang memaksanya untuk tidak membuangnya dan malah menambahkan satu penderitaan lagi baginya.



Belasan tahun hidup sendiri tanpa mengenal kasih sayang orang tua membuatnya sedikit tak peduli dengan hidupnya. Bukan hanya kasih sayang orang tua yang tak ia dapatkan, mengenal siapa kedua orang tuanya pun tidak. Sejak kecil ia sudah hidup terasing, menjalani kerasnya cobaan hidup dengan berpindah tempat tinggal. Ia tumbuh dengan tempaan cobaan dan kerasnya kehidupan.



Hingga ia bertemu dengan sesorang yang dapat membuat hidupnya lebih baik. Badai. Ia lah yang telah mengangkat derajatnya, membawanya terlepas dari kubangan kotor kehidupan hingga ia dapat menikmati sisa hidupnya dengan ebih tenang. Semua yang ada padanya adalah hasil dari kemurah hatian sahabat sekaligus keluarganya. Maka dari itu, pada awal-awal saat ia memutuskan untuk melakukan donor jantung membuatnya berselisih dengannya.



Akhirnya, setelah menjelaskan panjang lebar pada sahabatnya itu, mengapa ia berani melakukan hal gila tersebut. Badai tak dapat berkata apa-apa lagi. Setelah mendapatkan persetujuan dari sahabatnya, akhirnya ia mencantumkan namanya dalam salah satu pendonor. Mengumpulkan sedikit-sedikit rupiah untuk menambah biaya operasi yang tidak sedikit. Walau ia tahu sebagian besar dari dana operasi itu berasal dari keluarga Badai.



Ia menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah awan-awan yang berarak indah di angkasa. Pertemuannya dengan pemuda itulah yang membuatnya berani mengambil keputusan besar ini. Perjuangannya untuk hidup, pesimistisnya dalam hidup. Mendorongnya ingin merubah hidup pemuda itu, agar ia dapat merasakan kehidupan lebih lama lagi, agar ia keluar dari kungkungan pesimitis yang selama ini mengkangnya, membatasi geraknya.



Ia seperti melihat cerminan dirinya pada diri pemuda itu. Cerminan dirinya yang dulu, sebelum akhirnya di temukan oleh Badai. Ia tak mau melihat pemuda itu tumbuh tanpa semangat dan akhirnya pergi karena dikalahkan oleh penyakitnya. Seandainya ia tak bertemu dengan Badai, mungkin saja nasibnya akan sepeti pemuda itu.



Kehilangan semangat hidup dan memusuhi hidup, dan setelah menyelidiki lebih lanjut tentang pemuda itu, akhirnya ia tau kalau apa yang akan ia lakukan untuk pemuda itu adalah benar. Memang seperti itulah takdirnya, untuk menghidupkan ornag yang telah mati dalam hidup.



Ia tersenyum pada beberapa awan yang membentuk suatu pola-pola tertentu. Sekarang ia telah benar-benar yakin dengan apa yang menjadi keputusannya. Ia tak akan menyesali keputusan tersebut. Walau masih ada sedikit ganjalan di hatinya, namun itu bukanlah suatu halangan baginya. Ia akan segera menyelesaikan masalah tersebut.



Setelah puas memandangi alam, ia pun memutuskan untuk segera menemui orang yang harus diberi pengertian mengenai keputusan besarnya tersebut. Semoga saja orang itu dapat menerima dengan lapang hati. Ia benar-benar tak ingin membuat orang tersebut berharap terlalu banyak padanya. Harapan yang terlalu besar hanya akan menyakiti dirinya sendiri.



***



Aku sudah bertekad akan menyerahkan dua benda itu pada Rara hari ini. Untuk itulah, aku datang lebih pagi ke rumah sakit. Hanya untuk meminta izin pada Ksatria, kalau memang saat inilah waktu yang ia maksud. Sekali lagi aku memeriksa isi tasku, dua benda itu masih ada di dalam. Tersimpan rapi dan tak ada kurang satupun.



Aku berjalan perlahan di sepanjang lorong, menikmati aktivitas pagi rumah sakit yang jarang ku lihat. Ada beberapa keluarga pasien yang baru saja terbangun dari mimpinya, ada anak-anak kecil berlarian saling mengejar, beberapa petugas kebersihan yang sudah memulai membersihkan lantai sekitar lorong, dan ada pula beberapa pasien yang sedang duduk-duduk menikmati udara pagi yang segar bercampur aroma obat.



Aku menghentikan langkah ketika melihat pintu kamar rawat Ksatria membuka secelah. Siapa yang datang sepagi ini untuk menjenguknya? Kami memang sudah lama tak menunggui Ksatria di rumah sakit. Kami membiarkan dia sendiri di sini, awalnya kami tak tega berbuat seperti itu, namun setelah menimbang dari berbagai sisi, akhirnya kami memutuskan untuk menemaninya dari pagi hingga malam.



Aku melangkah ragu menuju pintu berplang 105, aku mengintip sejenak untuk mengetahui siapa penjenguk yang datang pada pagi hari seperti ini. Berbagai pikiran buruk melintas di kepalaku, namun segera ku singkirkan. Melalui celah sempit ini aku dapat melihat seseorang yang sedang berdiri mengamati Ksatria.



Aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan di sana, dia hanya berdiri diam diujung ranjang. Siapa dia? Sosoknya begitu asing di mataku. Karena sudah tak tahan hanya mengintip seperti ini, akhirnya aku memutuskan untuk langsung masuk dan bertanya padanya.



&&&



Pemuda itu datang lebih pagi dari yang ia rencakan, ia datang sepagi ini hanya untuk menghindarkannya dari bertemu anggota keluarga pasien yang akan ditemuinya. Setelah memastikan bahwa orang yang dia tuju berada di kamar 105, ia pun masuk dengan langkah hati-hati, mengantisipasi seandainya saja ada keluarga pasien yang sedang berjaga di dalam.



Setelah memastikan dugaannya tidak benar, ia bernapas lega. Dengan langkah hati-hati ia berjalan menuju ujung ranjang. Dari sini ia bisa mengamati keseluruhan sosok yang seolah tidur dihadapannya. Sejenak pandangannya beralih pada kardiogram yang berbunyi teratur.



Ia mendesah pelan, melihatnya seperti itu, terbaring lemah tanpa daya. Membuatnya miris, mungkin itulah yang akan terjadi padanya, seandainya saja ia tak mendapat biaya perawatan dari keluarga sahabatnya. Mungkin saja ia akan tergolek seperti itu, namun bukan di rumah sakit, melainkan disebuah sudut perkampungan kumuh.



Membayangkan ia tergolek lemah sendirian di sana tanpa ada yang mengetahuinya, hingga lama-kelamaan ia akan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa membuatnya bergidik ngeri. Beruntung sekarang ia dapat meminimalisir efek yang ditimbulkan oleh penyakitnya. Semua itu berkat bantuan sahabat baiknya.



Baru saja ia hendak melangkah pergi, ia dikejutkan oleh derit pintu yang membuka. Ia menoleh pada orang yang baru saja masuk dan melihatnya tak mengerti. Ia coba untuk tersenyum pada orang yang berjalan mendekatinya, sekedar bermah tamah pada keluarga pasien.



“Maaf, lo siapa ya?” sebuah pertanyaan terlontar dari orang tersebut. “Lo temennya Ksatria?” sambungnya.



Pemuda itu tersenyum simpul. “Bukan, gue Cuma kebetulan mampir aja.” Jawabnya ramah.



Yudha memandang pemuda di depannya dari atas ke bawah, mencoba mengenali sosok asing yang kini tersenyum ramah padanya. Setelah sekian lama, akhirnya Yudha merasa tidak asing dengan pemuda tersebut. Setelah menyadari hal tersebut raut wajahnya langsung berubah masam.



“Lo ngapain di sini?” tanya Yudha datar, setelah mengenali siapa pemuda di hadapannya ini.



“Gue Cuma mampir aja,” jawabnya singkat.



“Ada urusan apa lo ke sini?” kejar Yudha, yang masih menyimpan dendam pada pemuda dihadapannya.



“Gue Cuma mau jengukin dia doang kok.” Jawabnya dengan seulas senyum ramah.



“Lo kenal Ksatria di mana?” lagi-lagi pertanyaan menyelidik terlontar dari bibir Yudha.



“Jadi dia namanya Ksatria?” sahut pemuda itu seolah terkejut.



“Nggak udah sok peduli deh lo! Kalo emang udah nggak ada urusan lagi, mendingan lo keluar sekarang. Sebelum kesabaran gue habis!” sentak Yudha.



“Santai aja bro... Gue kesini juga nggak mau ngajakin lo ribut. Gue Cuma mau jengukin dia doang.” Sahut pemuda itu dengan sebuah senyum sinis, seraya berjalan menuju pintu keluar.



Yudha memandang sinis kepergian pemuda itu. Baru saja ia hendak mendekati Ksatria ia dikejutkan oleh perkataan pemuda itu sebelum ia menutup pintu.



“Gue heran, apa bagusnya lo sih sampai-sampai Anggun segitunya sama lo.”



&&&



Sementara itu, di sebuah taman tak jauh dari sebuah kompleks perumahan mewah. Tampak dua orang sahabat sedang berbincang akrab. Tak jarang tawa renyah keduanya terdengar. Namun, walau mereka sedang tertawa salah satu diantara mereka ada yang masih nampak murung.



“Eh iya Ra, gimana sekarang keadaan si ksatria bergitar itu? Udah ada perubahan belom?” tanya Mega setelah tawanya mereda.



Aura menghela napas lelah. “Yaa... Masih gitu-gitu aja Ga. Belum ada tanda-tanda dia bakal siuman,” jawabnya lemah.



“Ya ampun... Lo yang sabar ya Ra. Gue yakin sebentar lagi dia pasti sadar.” Hibur Mega, seraya merangkul pundak sahabatnya.



“Makasih Ga...” sahutnya lirih.



“Eh iya, kapan lo ke sana lagi?” tanya Mega tiba-tiba.



“Ke mana?”



“Rumah sakitlah... Gue mau ikut dong kalau lo ke sana.” Jawab Mega antusias.



“Tumben lo mau ikut?” selidik Aura.



“Ya kan selama ini gue belum jengukin dia Ra. Siapa tau dengan gue jengukin dia, besoknya dia langsung sadar.”

Seloroh Mega.



“Bisa aja lo!” sahut Aura seraya mendorong bahu sahabatnya pelan.



“Ya kali aja bisa gitu Ra. Eh, tapi kalau emang bisa gitu, lo juga kan yang seneng...” balas Mega, seraya mengedipkan satu matanya.



Aura yang melihat ulah sahabatnya itu hanya tertawa kecil. “Ntar gue kabari lagi, kapan gue ke sana lagi.”



“Sip... Gue tunggu kabar baik dari lo.” Sahut Mega dengan mengacungkan ibu jarinya.



Menghabiskan waktu bersama sahabat seperti Mega membuat Aura dapat sedikit melupakan beban yang menggelayutinya. Tertawa bersama seperti ini membuatnya lebih rileks. Mungkin dia harus sering-sering bercanda dengan sahabatnya itu, agar dia bisa kembali seperti Aura yang dulu. Aura yang selalu ceria walau seberat apapun masalah yang sedang dihadapinya.



***



Aku termangu di samping ranjang Ksatria, kembali memikirkan ucapan pemuda tadi. Aku masih belum yakin dengan apa yang baru saja terdengar. Ia mengatakan hal ersebut seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Dan apa maksud ucapannya tadi? Anggun, ada apa dengannya?



Aku mengacak rambutku dengan frustasi. Semua masalah ini benar-benar membuatku gila. Anggun! Ya, aku harus segera menemuinya untuk meminta kejelasan. Sebelum semua ini menjadi jelas, kurasa aku akan terus-terusan stress seperti sekarang.



Aku menghela napas panjang, kupandangi Ksatria yang masih saja terpejam. “Mau sampai kapan lo tidur terus Ksat? Buruan bangun napa? Ada banyak yang mau gue ceritain ke lo.” gerutuku pada sosok yang hanya terdiam di hadapanku.



Ah, aku seperti orang gila. Berbicara pada tubuh yang tak merespon ucapanku. Kuamati keadaannya sekarang, benar-benar jauh dari sosoknya yang selama ini kuingat. Tubuhnya semakin kurus dan pucat, aku yakin kalau dia lebih lama terbaring di sini aku akan sulit membedakannya dengan tengkorak yang terpajang di salah satu ruangan di sekolahku.



Setelah memastikan bahwa tak ada yang aneh padanya, aku pun memutuskan untuk pergi dari sini. Berjalan tak tentu arah menyusuri lorong-orong panjang rumah sakit, akhirnya membawaku ke depan ruangan dokter Raka. Sejenak aku tertegun, memandangi pintu yang bertuliskan nama dokter Raka beserta embel-embel yang beliau punya dengan nanar. Membayangkan bahwa beberapa hari yang lalu aku dan mama mendengar berita yang cukup mengejutkan di dalam sana, membuatku tersenyum miris.



Aku mengela napas panjang, akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja dari rumah sakit, dan menemui Anggun. Baru saja aku hendak berbalik, samar aku mendengar pembicaraan dokter Raka dengan seseorang di balik pintu itu. Menilik dari suaranya, sepertinya aku dapat menduga siapa yang ada di balik pintu itu. Aku bersandar pada tombok di samping pintu, mencoba mendengarkan apa yang sedang mereka berdua bicarakan.



&&&



“Jadi bagaimana? Kamu sudah bertemu dengannya?” tanya dokter Raka pada pemuda yang sedang asyik mengamati pajangan yang ada di meja kerjanya.



Pemuda itu hanya mengangguk tanpa minat. Sebenarnya dia tadi ingin menghindari dokter ini, namun apa hendak dikata, saat ia berjalan melewati lobby ia berpapasan dengan dokter Raka yang baru saja datang.



“Lalu bagaimana keputusanmu?” lanjut dokter Raka seraya mengamati pemuda yang terlihat gelisah di tempatnya.



“Tetap diteruskan dok,” jawabnya singkat.



“Sudah kamu pikirkan baik-baik?” selidiknya lebih lanjut.



Lagi-lagi pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Mengapa kamu tidak memilih option pertama yang saya berikan?”



“Seperti yang sudah saya bilang dok. Saya di dunia ini hanya sendiri, jadi buat apa saya memperpanjang hidup untuk sesuatu yang sia-sia.” Jawabnya skeptis.



“Bukankah kamu masih memiliki orang-orang yang menyayangi kamu?” kejar dokter Raka.



“Mereka hanya simpati pada saya dok,” jawabnya datar.



“Tak adakah orang yang akan merasa kehilanganmu seandainya saja kamu memilih pilihan ini?” kejar dokter Raka, yang masih belum mengerti dengan keputusan yang diambil pasiennya.



“Saya rasa ia dapat mengerti dengan keputusan saya ini dok,” jawabnya ragu.



Menyadari keraguan dari pasiennya, dokter Raka tersenyum kecil. “Kalau begitu kamu pikirkan lagi baik-baik mengenai pertukaran jantung ini. Jangan sampai kamu menyesalinya dikemudian hari.” Ujar dokter Raka bijak.



Pemuda itu hanya menghela napas panjang. “Sudahlah dok, lakukan saja seperti yang saya minta. Mau jadi bagaimana saya nantinya, biarlah waktu yang akan menjawabnya.” Sahut pemuda itu pasrah.



“Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Saya akan tunggu keputusan finalmu pada akhir bulan ini.” Kata dokter Raka final.



Pemuda itu hanya mengangguk pasrah, seraya bangkit dari duduknya dan melangkah gontai ke arah pintu. Ia masih belum habis pikir, mengapa dokter itu selalu mendesaknya untuk mengubah keputusannya. Bukankah tak ada yang akan dirugikan kalau ia berbuat seperti itu?



“Oh ya Awan, jangan lupa untuk selalu meminum obatmu. Dari pemeriksaan terakhir, sepertinya kamu sering melewatkannya.” Ujar dokter Raka dengan sebuah senyum kecil.



“Iya dok,” jawabnya malas.



***



Aku tertegun dengan apa yang baru saja kudengar. Pertukaran jantung?! Lelucon macam apa lagi ini?! Orang bodoh macam apa yang mau-maunya bertukar jantung dengan Ksatria?! Aku benar-benar tak habis pikir, kok ya ada orang di dunia ini yang bersedia menukarkan jantungnya dengan jantung milik Ksatria?! Kalau bukan orang yang putus asa terhadap hidup, berarti dia orang gila!



Aku tersentak ketika mendengar bunyi pintu ditutup. Seketika itu juga aku melengos, mencoba berpura-pura sedang menelpon seseorang, sekedar membuat alibi. Orang itu berjalan meliwatiku dengan langkah-langkah gontai, syukurlah aku tak ketahuan sedang menguping pembicaraannya.



Melihatnya berjalan seperti itu, mau tidak mau rasa penasaranku pun timbul. Kuikuti dia dengan hati-hati, hingga dia duduk mencangkung sendirian di teras rumah sakit. Dengan memberanikan diri, akhirnya aku mencoba untuk mendekati pemuda yang baru tadi pagi cekcok denganku.



&&&



“Ehem... Boleh gue duduk di sini?” tanya Yudha berbasa basi pada pemuda yang sedang melamun.



“Silahkan, toh nih bangku bukan punya gue,” jawabnya sedikit tajam.



Yudha meringis mendengar nada yang keluar dari mulut pemuda itu. Dengan ragu, akhirnya dia menghempaskan tubuhnya di bangku panjang itu. Mencoba mengikuti tingkah lakunya yang sekarang sedang memandang awan hitam yang berarak di atas sana.



“Eum... Apa bener lo yang mau jadi donor jantung buat Ksatria?” tanya Yudha hati-hati.



Pemuda itu menoleh dengan cepat dan memandang Yudha tajam. “Tau dari mana lo?” tanyanya tajam.



“Gue tadi nggak sengaja denger pembicaraan lo dengan dokter Raka. Apa bener apa yang gue denger tadi?” jawab Yudha mencoba untuk jujur.



Pemuda itu berdecak kesal. “Ternyata selain lo suka marah-marah nggak jelas, lo juga orang yang suka nguping pembicaraan orang lain ya?” ujarnya sinis.



“Gue tadi nggak sengaja denger waktu gue mau ke ruangannya dokter Raka. Awalnya gue nggak bermaksud buat dengerin pembicaraan kalian, tapi waktu gue denger sesuatu yang berhubungan dengan nasib adik gue, akhirnya gue putusin buat dengerin.” Jawab Yudha panjang lebar, mencoba memberi pengertian pada pemuda yang ada di sampingnya ini, agar ia tak dicap sebagai tukang nguping.



“Terus kalau emang bener seperti itu, lo mau apa?” tantang pemuda itu dengan raut tajam.



“Gue bakal bilang ke dokter Raka kalau kami nggak jadi menjalankan operasi transplantasi jantung buat Ksatria,” Jawab Yudha tegas.



Pemuda itu terkesiap dengan jawaban yang dilontarkan oleh Yudha. Dia tak menyangka akan menerima reaksi yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini ia bayangkan. “Kenapa lo nolak? Bukankah selama ini lo semua mengharapkan hal ini terjadi?” tanya pemuda itu tak mengerti.



“Memang benar kami selama ini menantikan Ksatria mendapatkan donor jantung. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Apa lo sadar dengan apa yang akan terjadi seandainya aja lo melakukan pertukaran jantung seperti yang lo minta?” ujar Yudha panjang lebar.



“Yang jelas dia akan bisa hidup lama dengan jantung gue yang ada ditubuhnya.” Jawab pemuda itu acuh.



“Lo salah,” ujar Yudha cepat.



“Salah?”



“Ya, coba lo pikir, memang benar Ksatria akan bisa hidup lebih lama dengan jantung yang lo kasih, tapi apa dia akan bahagia seandainya tahu kalau dia hidup dari merampas jatah hidup orang lain? Nggak! Dan kami semua juga nggak akan pernah setuju kalau lo melakukan hal gila seperti itu. Hidup ini terlalu berharga untuk dipermainkan, bro,” Jelas Yudha tajam.



Pemuda itu hanya dapat terdiam kaku di sampingnya. Mencoba menelaah kembali keputusan gilanya tersebut. “Dari pada kami harus merampas hidup lo dengan menyetujui pertukaran jantung ini. Lebih baik kami menunggu donor-donor jantung yang lain, yang memang benar-benar sesuai dengan Ksatria. Meskipun nanti kami tidak mendapatkannya, setidaknya Ksatria telah berjuang untuk mempertahankan hidupnya sendiri, tidak menyia-nyiakannya seperti apa yang lo lakuin.” Jelasnya lagi.



Pemuda itu masih terdiam setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Yudha. Ia menghela napas lelah, ia tak habis pikir, bagaimana bisa Yudha mengambil kesimpulan seperti itu? Dia lebih memilih Ksatria hidup singkat daripada ia hidup lama dengan jantung pemberiannya? Apa memang berbuat baik itu sulit dilakukan?!



Walaupun dia hidup, tak ada orang yang akan benar-benar memilikinya, dan dia juga tak memiliki orang-orang yang akan dibuatnya bangga dengan kehadirannya. Tidak orang tuanya yang entah di mana, tidak keluarga sahabatnya yang selama ini bersimpati padanya, dan tidak juga dengan gadis itu, gadis yang selama ini berada di sekitarnya, menangis bila ia merasa sakit, dan tertawa ketika ia sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Tak seorang pun! Ia hanya mayat hidup yang mencoba bertahan di tengah hingar bingar dunia. Caranya untuk melepaskan belenggu ini hanyalah dengan bertukar jantung dengan Ksatria atau mengakhirinya dengan menggantungkan diri dengan seutas

tali.



Namun, pada saat ia telah benar-benar ingin pergi, mengapa sepertinya dunia ini mencegahnya untuk pergi, seakan ia masih dibutuhkan di dunia yang kotor ini. Lagi-lagi ia menghela napas lelah. Kalau memang ia masih diperlukan di dunia ini, untuk apa? Untuk apa dia masih berlama-lama hidup? Pertanyaan itu entah untuk apa atau untuk siapa.



“Semua akan terjawab pada akhir bulan ini.” jawabnya singkat, bersamaan dengan berhembusnya angin yang terasa lebih dingin dari biasanya. Sepertinya hari ini akan benar-benar turun hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar