Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 18

そら の いろ


Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan dr. Raka. Aku melirik sejenak ke arah mama yang masih belum membuka mulut semenjak mengetahui kenyataan yang harus kami hadapai seandainya kami menyetujui pencangkokan jantung ini. Jujur, aku sendiri berharap banyak dari semua ini, namun setelah mendengar perkataan dr. Raka tadi, entah kenapa salah satu sisi diriku ingin menolaknya. Aku benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidup dengan orang yang tak kau kenal, walau raga orang tersebut adalah orang yang kau kenal.



“Ma...” panggilku sebelum kami berbelok ke lorong di mana terdapat kamar rawat Ksatria berada.



Mama menghentikan langkahnya sejenak dan memandangku gusar. “Ada apa Yudh?”



“Apa sebaiknya kita memberi tahu Rara soal ini?” tanyaku ragu, kalau boleh jujur, aku tak sanggup bila harus mengatakan semua ini pada gadis itu.



Mama mendesah pelan. “Sebaiknya jangan dulu Yudh, sebelum kita benar-benar memutuskan apa yang terbaik untuk Ksatria.” Jawabnya bijak.



Aku hanya mengangguk mengerti. Kurasa keputusan ini adalah langkah terbaik yang dapat kami lakukan untuknya. Aku tak mau melihatnya kembali murung setelah tadi ia terlihat lebih ceria. Senyum itu... Aku tak sanggup melihatnya kembali lenyap dan tergantikan dengan derai air mata.



Sejenak aku termangu di depan pintu bernomor 105. Haruskah aku masuk dan melihat wajah penuh pengharapan dari orang yang aku yakini masih berada di sisi Ksatria?



“Kamu nggak masuk Yudh?” sebuah pertanyaan dari mama membuatku tersadar.



Aku memandangnya ragu. “Mama duluan aja. Nanti Yudha nyusul.” Jawabku ragu.



Mama mengangguk sebentar sebelum menghilang di balik pintu. Kuhembuskan napas berat, sebelum akhirnya kuputuskan untuk menyendiri. Memikirkan semua masalah ini, sebelum akhirnya harus megambil keputusan yang tepat. Aku memilih taman dekat lobby sebagai tempatku berpikir. Suasana yang sedikit riuh tak membuatku kehilangan konsentrasi.



Sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga, membuatku merasa sedikit terbebani dengan masalah ini. Bukan masalah dana atau biaya operasi yang membuatku gusar. Melainkan masalah kenyataan yang harus kami hadapi setelah semua ini berlalu.



Haruskah aku mengiyakan operasi ini, ataukah menolaknya? Seandainya aku menyetujui operasi ini, Ksatria akan merasakan hidup yang lebih lama. Ia akan dapat melakukan hal-hal yang selama ini ia inginkan. Ia akan menjadi seseorang yang mempunyai cita-cia tinggi, bukan sekedar bercita-cita untuk hidup lebih dari 20 tahun seperti yang selama ini ia yakini. Tapi di sisi lain, aku masih belum siap untuk menghadapi efek pasca operasi. Sanggupkah aku melihat Ksatria tumbuh dengan pribadi orang lain dalam dirinya?



Namun, seandainya aku menolak, Ksatria akan selalu seperti ini. Bolak balik rumah sakit. Terus menerus hidup dalam sebuah kungkungan pesimistis yang membuatnya seakan tak punya gairah untuk melanjutkan hidup. Ia mungkin akan mengakhiri lembaran kehidupannya pada usia 20 tahun seperti yang selama ini kami yakini.



“Kak...” sebuah sapaan dari orang yang baru saja duduk di sebelahku membuatku tersadar. Aku meliriknya sekilas, senyum itu masih ada di sana. Harapan itu masih terpancar jelas dari raut wajahnya. Sepertinya mama tak mengatakan apapun mengenai masalah ini padanya. “Kok tadi nggak langsung masuk?” lanjutnya.



“Emm... Gue tadi kebelet, jadi nggak langsung balik.” Jawabku sedikit gelagapan. “Oh ya... Gimana keadaannya? Dia baik-baik aja kan selama kami pergi?”



Gadis itu hanya mengagguk lemah. “Yaah... Masih seperti itu kak. Belum ada tanda-tanda dia mau siuman.” Jawabnya datar. “Eh iya kak, gimana tadi?”



Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Jujur saja, aku masih belum siap untuk menjawabnya. “Gimana apanya?” kilahku.



“Itu tadi, waktu kakak di ruangannya dr. Raka. Apa bener Langit udah mendapatkan donor?” ujarnya dengan rasa penasaran yang terdengar jelas dari suaranya.



Aku hanya menggangguk kecil sebagai jawaban. “Terus kapan operasinya?” lanjutnya.



“Sebulan lagi.” Jawabku singkat, berusaha terlihat meyakinkan.



“Lama amat...” sahutnya.



“Masih banyak yang harus diselesaikan Ra...” ujarku memberikan pengertian padanya.



“Oh...” sahutnya. Ia mendesah pelan seraya memandang beberapa orang yang berlalu-lalang di depan taman. “Semoga aja semuanya itu cepet selesai. Gue bener-bener udah nggak sabar pengen liat dia sembuh.” Lanjutnya yang sukses membuatku tersenyum miris.



“Seandainya aja lo tau Ra apa yang bakal kita hadapi setelah itu.” Ujarku dalam hati.



“Semoga aja...” sahutku gamang.



Gadis itu menoleh padaku dengan dahi berkerut. “Kok lo jawabnya lemes gitu sih kak. Emangnya lo nggak seneng kalo Langit cepet pulih?”



“Kalau itu sih gue juga seneng. Gue malah berharap operasi itu segera dilakukan.” Kilahku cepat.



“Nah itu tadi, kenapa lo lemes jawabnya. Emang ada masalah ya?” kejarnya mendesakku.



Aku mendesah pelan. “Nggak ada masalah apa-apa. Cuma gue masih kepikiran aja soal Anggun.” Elakku.



“Oh... Kirain gue lo nggak suka liat Langit pulih.” Sahutnya dengan terkekeh geli. “Kalau untuk urusan yang satu itu, mendingan lo omongin baik-baik sama teh Anggun kak. Lo cari tau apa bener dia udah tunangan atau belum.”



“Gue juga udah kepikiran gitu. Mungkin besok atau kapan gue ajak dia bicara. Biar nasib gue sedikit lebih jelas.” Sahutku pasti.



“Gue Cuma bisa doain, semoga lo dapet yang terbaik kak.” Ujarnya tulus.



“Makasih doanya Ra.” Sahutku singkat. “Eh, lo udah makan belum” lanjutku mengalihkan topik pembicaraan.



“Belum sih. Kenapa? Lo mau traktir gue?” godanya dengan sebuah senyum jahil.



“Kalo lo mau sih.” Jawabku dengan senyum lebar.



“Beneran kak?! Waah... Gue sih mau banget! Ayo... Kita mau makan di mana nih?” sahutnya antusias.



“Di cafetaria aja lah, yang murah meriah.” Jawabku seraya bangkit dan melangkah menuju cafetaria rumah sakit yang terletak tak jauh dari situ.



Biarlah, untuk sementara waktu seperti ini dulu. Aku benar-benar belum siap untuk memberitahunya mengenai masalah ini. Aku masih belum sanggup melihatnya kehilangan keceriaan seperti beberapa waktu yang lalu. Senyum itu... Aku masih ingin melihatnya lebih lama lagi.



&&&



Sementara itu di beranda sebuah rumah yang terlihat mewah, terlihat dua orang sedang membicarakan sesuatu. Sepertinya bahan pembicaraan itu sesuatu yang sangat serius. Terlihat dari wajah-wajah mereka yang tampak tegang dan terkadang memunculkan kerutan-kerutan di dahi mereka.



“Lo yakin mau ngelakuin itu bro?” tanya salah satu di antara mereka yang memiliki potongan rambut harajuku.



“Yakin banget! Lagian gue udah nggak mau kesiksa sama penyakit ini lagi.” Sahut yang satunya, pemuda ini memiliki perawakan yang cenderung kurus kalau tak mau dibilang kurang berisi.



“Terus, lo udah bilang sama dia kalau lo mau dioperasi bulan depan?” kejar si harajuku.



“Gue nggak sanggup ngasih tau dia Dai.” Sahut si kurus dengan lemah.



Pemuda yang dipanggil Dai tadi hanya menghela napas lelah. “Lo harusnya ngasih tau dia dulu sebelum lo mutusin buat nglakuin hal itu. Emangnya lo nggak kasian sama dia?” kejar si Dai kesal.



“Gue malah nambah gak tega liat dia hancur setelah tau keputusan gue ini Dai. Gue nggak mau liat dia nangisin kepergian gue. Udah cukup selama ini dia ngeluarin air matanya buat gue.” Ujar si kurus tak kalah kesal.



“Tapi kalau kayak gini caranya. Lo sama aja ngasih dia harapan palsu, Wan!” sentak Dai pada sahabatnya yang ia panggil Wan.



“Gue bener-bener nggak sanggup liat dia lebih hancur dari sekarang Dai. Lo ngertiin posisi gue dong! Gue udah ngambil keputusan ini dengan segala resikonya. Gue udah pikirin mateng-mateng semua kemungkinan pahitnya. Dan lo tau, kalau gue gak ngambil keputusan ini, nasib hubungan gue sama dia bener-bener nggak ada harapan!” cecar Wan, yang sedikit emosi setelah mendengar ia dipojokkan oleh sahabatnya sendiri.



Dai berdecak kesal. “Apa sih yang lo harepin dari operasi ini, hah!? Apa setelah lo menjalani operasi ini lo ama dia bakal bersatu? Nggak, kan!?” tanya Dai kesal.



“Walau gue nggak bisa bersatu sama dia setelah gue operasi, senggaknya salah satu dari diri gue masih bisa hidup buat ngerasain dia ada di sekitar gue.” Jawabnya sedikit mendramatisir.



“Tapi apa ya dia tau kalau itu lo? Lo kan udah nggak ada buat tau semua itu?” ujar Dai mencemooh.



“Dia pasti tau Dai. Karena hati gue selalu berdetak lebih keras saat bersamanya. Walau dia nggak ngenalin gue lagi, tapi hati gue pasti bisa ngenalin dia.” Jelasnya percaya diri.



“Semoga aja apa yang lo lakuin ini bener. Gue Cuma nggak mau dia kecewa sama lo.” Ujar Dai pasrah dengan semua keputusan sahabatnya.



“Thanks bro... Lo emang yang paling ngerti gue.” Ujar Wan tulus. Seraya menepuk bahu Dai beberapa kali.



“Udah dari dulu kali...” sahut Dai jengah. “Oh ya, hampir aja gue lupa. Setelah lo nggak ada, gimana caranya gue bisa nyari serpihan diri lo?” lanjutnya kembali serius.



Pemuda yang ditanya itu hanya menghembuskan napas panjang, seraya memandang ke arah awan-awan yang berarak di angkasa. “Lo cukup liat langit. Maka lo akan nemuin apa yang lo cari.” Jawabnya berteka teki.



Dai yang mendengar jawaban sahabatnya itu memandang tak mengerti ke arah sahabatnya. “Maksud lo?”



Wan menoleh ke arah wajah bingung sahabatnya, dan tersenyum kecil. “Lihatlah langit, maka lo akan tau itu adalah bagian dari diri gue.”



“Wah... Bercanda lo, kalau gue liat langit yang ada juga paling bulan, bintang, mana ada lo di sana, bego!” sahut Dai yang merasa dipermainkan oleh sahabatnya.



“Ya lo yang bego! Coba sekarang lo liat ke atas!” balas Wan tak kalah tajam.



Dai yang masih belum mengerti apa yang dimaksud sahabatnya, menuruti saja apa yang dia perintahkan dengan dahi berkerut. “Sekarang bilang ke gue, apa yang lo liat di sana?” tanya sahabatnya setelah Dai menuruti permintaannya.



“Awan.” Jawabnya singkat, dan merutuki ulah bodohnya yang menuruti perintah konyol dari sahabatnya yang sekarang tersenyum penuh arti padanya.



“Pinter!” sahut Wan dengan sebuah senyum lebar.



“Gue masih belum ngerti maksud lo yang nyuruh gue liat awan.” Tanya Dai yang masih saja menunjukkan wajah polosnya.



“Sama seperti yang gue suruh tadi. Lo bakal nemuin diri gue tetep hidup waktu lo liat langit.” Jawab Wan, masih semisterius yang tadi.



“Tau lah! Dari tadi lo ngomongin langit terus, mentang-mentang lo bentar lagi mau kesono.” Umpat Dai kesal.



Wan yang mendengar kekesalahan sahabatnya hanya tertawa kecil. “Pada saatnya nanti lo pasti bakal ngerti apa maksud gue.”



@@@



Setelah menyelesaikan sarapan dalam diam, ayah kemudian mengajakku untuk melihat-lihat bangunan megah yang kini menjadi tempat tinggalku. Entah sampai kapan aku akan terkurung di sini, dalam bangunan yang lebih mirip kastil ketimbang rumah. Aku berjalan mengikuti langkah-langkah panjang ayah, mendengarkan tanpa minat tentang segala sesuatu yang ada di sini.



Tentang bagaimana sejarah bangunan ini, orag-orang yang pernah singgah di sini, hingga tempat-tempat favoritnya. Apa peduliku dengan semua penjelasan itu? Toh, aku tak akan berada di sini bertahun-tahun lamanya. Aku mengikuti sosok itu hanya sekedar bertindak sopan, agar aku tau di mana saja pintu keluar dari bangunan ini. Sehingga aku bisa merencanakan sesuatu, seperti kabur dari tempat ini.



Aku berjalan lemah di samping sosok ayah yang sekarang menerangkan tentang tempat favoritnya, yang dari sini-menurutnya-aku bisa melihat matahari terbenam dengan sangat indah. Aku hanya memberikan tanggapan ketika beliau meminta pendapatku, selebihnya aku hanya diam, dan sesekali menikmati hal-hal antik yang ada di sekitarku.



Sekarang tour kami berpindah ke luar bangunan. Ayah membawaku ke taman-taman yang berada di sekitar kastil. Berbagai jenis taman ada di sana. Berbagai macam jenis bunga dan tumbuhan aneh pun menghiasi setiap bagiannya. Aku tak akan rerpot-repot bertanya tentang itu semua. Antusiasku terhadap tempat ini hanya akan membuatku lebih lama berada di sini. Dan aku tidak mau itu terjadi!



“Nah, sekarang kita ada di taman terakhir. Taman mawar, di sini kamu bisa lihat ada berbagai macam jenis mawar yang beraneka warna. Kamu bisa lihat sendiri yang berada paling sudut itu adalah mawar hitam, jenis yang sangat langka. Di tempat ini juga kau akan menemukan hal yang tak mugkin terjadi menjadi mungkin.” Uraian panjang sosok itu tentang taman mawar hanya kutanggapi dengan sebuah senyum malas. Peduli apa aku dengan semua mawar itu. Yang kupedulikan saat ini adalah, bagimana caranya agr aku bisa segera tebebas dari tempat ini, bukan malah mawar-mawar aneh seperti itu!



“Bagaimana menurutmu, tempat ini menyenangkan bukan?” satu pertanyaan yang disertai dengan pandangan menyelidik darinya, membuatku sedikit gugup untuk menjawab. Jujur saja, tempat ini begitu menakjubkan dengan semua hal-hal ajaibnya. Namun di sisi lain, suasana yang kurasakan sejak aku berada di dunia ini membuatku tak nyaman. Membuatku terus menerus gelisah. Tak tenang. Seolah-olah aku harus segera melanjutkan perjalananku, sementara ada sesuatu yang menghalangiku untuk menyegerakannya.



“Lumayan.” Jawabku singkat. Aku tak mau memberinya sebuah omong kosong tentang bagaimana bagus dan ajaibnya seluruh yang ada di sini. Tidak. Aku tak akan melakukan hal tersebut, jika dampaknya hanya akan membuatku semakin tertahan di sini.



“Kamu pasti akan betah berada di sini.” Simpulnya sebelum memanduku ke arah padang rumput tak jauh dari sana. Well, aku lebih suka berada di sini ketimbang di kastil tadi. Tempat ini benar-benar membuatku tenang, damai. Jiwaku juga merasa lebih ringan saat berada di sini.



“Di sinilah tempat yang paling ajaib dari keseluruhan dunia ini.” Ungkapnya saat kami sudah berada di bawah naungan sebuah pohon besar yang mirip seperti pohon beringin.



Aku melamparkan pandangan tak mengerti pada sosok itu. Paling ajaib? Oh tidak! Apa tempat ini juga sama ajaibnya dengan tempat yang baru saja kutinggalkan? Kastil itu? Taman-taman itu?



“Paling ajaib?” tanyaku singkat.



“Coba sekarang kau pejamkan mata dan pikirkan sesuatu yang benar-benar kau inginkan.” Perintahnya padaku.



Aku memandangnya heran dengan tingkat ketidak-mengertianku yang semakin meningkat. Namun, aku menuruti juga apa yang ia katakan. Aku melakukan hal tersebut hanya ingin membuktikan ucapannya saja. Seandainya memang benar apa yang ia katakan, bukankah itu akan menjadi suatu keuntungan untukku?



Perlahan, aku mulai mengatupkan kedua mataku dan berpikir tentang apa yang benar-benar aku inginkan. Aku terdiam cukup lama, sibuk memilah apa yang benar-benar aku inginkan. Sejurus kemudian aku tersenyum, tak perlu waktu lama untuk tahu apa yang selama ini aku inginkan. Tepatnya setelah aku berada di sini.



Setelah yakin dengan apa yang aku pilih, aku mengucapkan keinginanku tersebut dalam hati, berkali-kali dalam setiap tarikan napas. Mengikuti instruksi dari sosok yang berada di sampingku. Aku tersenyum ceria, tak sabar untuk melihat terwujudnya keinginanku tersebut. Aku sudah membayangkan hal-hal apa saja yang akan aku lakukan seandainya memang keinginanku tersebut terwujud.



Baru saja aku hendak menikmati semua hal tersebut. Aku dikejutkan oleh perkataan yang diucapkan oleh sosok itu. Ucapannya membuatku membeku. Ku buka mataku cepat dan kutatap ia dengan penuh kengerian. Oh tidak! Apakah aku melakukan kesalahan?!



“Kamu telah membuat pilihan yang salah nak. Sekarang nikmatilah hasil dari keinginanmu tersebut.” Ujarnya lirih. “Seandainya saja kamu lebih bijak untuk tidak memilih pilihan tersebut, kau mungkin akan lebih cepat pergi dari dunia ini. Namun sayang, keinginan yang terlepas tak mungkin bisa ditarik kembali.” Lanjutnya.



Aku memandang ngeri pada sosok yang semakin terlihat transparan di hadapanku. Tidak! Apakah ia akan menghilang?! Lalu bagaimana dengan nasibku!? Aku tak mau berada di dunia asing ini sendirian! Sosok itu perlahan semakin terlihat seperti asap, sebelum akhirnya menghilang bersama angin yang berhembus sepoi-sepoi. Mengalirkan udara dingin yang membekukanku.



“Kamu masih bisa mengubah keinginanmu nak.” Terdengar suara yang bergema dalam pikiranku. Aku menoleh kalap, mencari keberadaan sosok yang mneyuarakan suara tadi. Namun, tak kujumpai seorang pun di sekitarku. Hanya aku. Sendiri dan terasing di negeri antah berantah ini.



“Bagimana caranya?!” teriakku pada suara itu. Suara berdesir dari rumput dan dedaunan membuatku semakin tak tenang.



“Kamu bisa mengubah keinginanmu pada saat matahari berada dalam batas cakrawala. Ketika sinarnya memenuhi mega. Pada saat itulah kamu bisa mengubah keinginanmu. Jangan sampai terlambat, atau terlalu cepat. Harus tepat pada saat sinarnya memenuhi mega.” Jawab suara itu misterius.



“Kapan aku bisa tau saat yang tepat itu?!” balasku, mengapa tak ia katakan saja jamnya, agar aku bisa dengan mudah mengetahuinya tanpa harus susah-susah berpikir.



“Kau akan tau kalau saat itu tiba. Sekarang nikmatilah apa yang ada di sekitarmu. Selamat tinggal.”



Suara itu benar-benar lenyap, aku berusaha memanggilnya kembali, berkali-kali dan yang kutemui hanyalah sepi. Sekarang aku benar-benar seorang diri di sini. Ku sandarkan tubuhku pada batang pohon besar mirip beringin di belakangku. Menghembuskan napas lelah, dan merutuki tindakan yang baru saja kulakukan. Seandainya saja aku tahu dampak dari keinginanku tadi adalah berada senidri di tempat asing seperti ini. Tak akan aku meminta untuk segera pergi dari dunia ini dan kembali pada masa di mana seharusnya aku berada.



&&&



Hari sudah mulai larut malam saat gadis itu pergi meninggalkan rumah sakit. Wajahnya sedari tadi tak lepas memajang sebuah senyuman penuh kelegaan. Beberapa orang yang ditemuinya memandang heran pada gadis yang sesekali memperdengarkan tawa kecil. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Mungkin begitulah pikiran yang terlintas dalam benak setiap orang yang berpapasan dengannya.



Gadis itu sudah tak memperdulikan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang tentangnya. Biarlah mereka memiliki pendapat sendiri tentangnya. Ia teramat bahagia hari ini. Kabar yang sudah lama ia nantikan akhirnya datang juga. Harapan 0,01% itu akhirnya akan menjadi kenyataan.



Kenyataan bahwa orang yang disayanginya akan pulih dan dapat hidup lebih lama, membuatnya berbunga. Hingga ia tak dapat mengontrol senyum yang terukir indah dari bibirnya. Semoga saja operasi yang akan membawa perubahan besar itu segera dilaksanakan. Ia benar-benar tak sabar menanti lembaran baru kisah cintanya.



“Maaf, sekarang jam berapa ya?” pertanyaan dari seorang gadis di sampingnya membuatnya terkejut.



“Ya?” sahutnya gelagapan. Kepergok sedang tersenyum-senyum sendiri di halte adalah suatu keadaan yang memalukan bagi gadis itu.



“Sekarang jam berapa ya?” ulang gadis berparas ayu itu lagi.



Sejenak Aura melirik jam dipergelangan tangannya. “Jam tujuh kurang lima belas.” Jawabnya dengan seulas senyum manis. Ah, sudah berapa kali ia tersenyum seperti ini sepanjang hari ini. Mungkin jari-jari yang ia punya tak akan cukup untuk menghitungnya.



“Oh, makasih.” Sahut gadis ayu itu singkat dengan sebuah senyum kecil.



Aura yang tadi sempat terusik dengan perkataan gadis itu pun akhirnya memutuskan untuk mengamati siapa yang baru saja menanyakan waktu padanya. Gadis itu mungil, lebih kecil dibanding dirinya. Mungkin tingginya sekitar 155 cm, lebih pendek 5 cm darinya. Perawakannya pun terlihat lebih kecil. Seperti boneka yang rapuh, wajah manisnya terlihat gusar menantikan sesuatu atau seseorang. Berkali-kali mata beningnya melirik ke ujung jalan. Rambut sebahunya yang berhias pita merah muda berkibar tertiup hembusan angin malam.



“Lagi nunggu siapa?” Aura mencoba bertanya, daripada ia melamun lagi, lebih baik ia mengajak bicara gadis di sebelahnya. Sekedar untuk membunuh waktu.



“Ya?” tanya gadis berpita merah jambu itu kaget. Ia tak menyangka akan diajak bicara oleh orang yang baru saja ia jumpai.



“Lo lagi nungguin siapa?” ulang Aura sabar. “Atau apa?” lanjutnya setelah melihat raut keheranan dari gadis itu.



“Oh... Gue lagi nungguin seseorang. Katanya tadi dia mau jemput gue di sini. Tapi sampe sekarang belum dateng-dateng.” Gerutunya, bibir mungilnya mengerucut saat menceritakan kekesalannya.



“Cowok lo?” lanjut Aura yang tertarik dengan gadis berparas ayu itu.



“Bukan, Cuma temen.” Elak gadis itu, yang merasa tak nyaman dengan pertanyaan Aura.



“Oh, gue kirain lo lagi nunggu cowok lo.” Kata Aura seraya tersenyum manis.



Gadis itu hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. “Kalau lo sendiri, lagi nungguin siapa?” ujarnya balik bertanya.



“Kalau gue sih lagi nunggu bus.” Jawab Aura ramah.



“Bus? Emang lo nggak dijemput sama cowok lo?” tanya gadis itu penasaran.



Aura hanya tersenyum pahit mendengar pertanyaan dari gadis itu. “Cowok gue nggak bakal bisa jemput.” Jawabnya getir.



“Oh... Cowok lo lagi ada di luar kota?” kejar gadis itu lagi.



Aura hanya menggeleng lemah. “Nggak. Dia lagi ada di rumah sakit.”



“Sorry...” sahut gadis itu meminta maaf karena telah mengajukan pertanyaan seperti tadi.



“Nggak apa-apa... Udah biasa kok,” sahut Aura dengan senyum pasrah.



“Kalau boleh gue tau, cowok lo sakit apa?” kali ini ia bertanya takut-takut.



“Kelainan jantung.” Jawab Aura singkat.



Gadis di sebelahnya hanya mendekap mulutnya cepat. Sebuah bentuk reaksi spontan yang dapat ia lakukan. “Udah lama?”



“Udah dari dua minggu yang lalu,” jawab Aura seraya memandang kosong ke arah langit malam. “Dari dua minggu yang lalu sampai sekarang dia masih belum bangun juga.”



“Ya ampun... Lo yang sabar aja ya, gue doain semoga dia cepet sadar.” Ujar gadis itu tulus.



“Makasih,” sahut Aura dengan sebuah senyuman.



Sejenak mereka terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing. Berbagai pertanyaan dan dugaan terbentuk dalam benak mereka, setelah pembicaraan singkat itu. Cukup lama mereka terdiam dlam pikiran masing-masing, sesekali mereka saling melempar senyum, hingga sebuah motor menepi di dekat mereka. Wajah gadis berpita merah muda itu seketika berubah menjadi ceria. Dengan langkah-langkah ringan, ia menghampiri pengemudi motor itu.



“Lama banget sih lo! Gue sampe lumutan tau nungguin lo di sini. Kemana aja sih?” sapa gadis itu sedikit manja.



Aura yang melihati itu hanya dapat tersenyum miris. Ternyata memang benar dia sedang menanti kekasihnya. Gerak geriknya ketika pemuda itu datang menunjukkan bahwa hubungan di antara mereka bukanlah sekedar teman biasa, melainkan lebih dari itu.



Akankah ia nanti juga seperti itu? Gelisah seorang diri menanti kedatangan seseorang untuk menjemputnya. Merasakan kesenangan saat orang yang dinanti-nanti akhirnya datang. Bersikap sedikit manja dan kekanakan. Ia menghela napas berat, menyadari bahwa semua itu masih jauh dari kenyataan baginya. Entahlah, ia akan merasakan hal tersebut atau tidak.



&&&



“Sorry, gue tadi habis ketemu Badai. Keasyikan ngobrol sampai lupa jemput lo. Sorry ya...” ujar pemuda tampan pucat itu seraya mengangsurkan sebuah helm berwarna senada dengan pita yang dikenakan gadisnya.



“Huu... Lo mah kebiasaan. Kalau udah sama Badai, gue dilupain.” Sahut gadis itu dengan mengerucutkan bibirnya.



Pemuda itu hanya tertawa geli melihat ulah gadisnya. Sejenak ia membantu gadis itu untuk menaiki motornya yang memang cukup tinggi untuk gadis seukuran dia. “Lain kali gue nggak bakal telat jemput lo.” Ujarnya sebelum melajukan motornya perlahan.



“Janji ya! Awas kalau lo sampai bohong!” ancam gadis itu pura-pura kesal.



“Iya janji!” sahut pemuda itu seraya menggas motornya agar lebih melaju.



Motor yang dikendarai pemuda itu melaju dengan ecepaan sedang, memebelah jalanan yang tak begitu padat. Meliuk di sela-sela kendaraan besar di kanan kirinya. Sementara itu gadis yang berada di belakangnya terdiam, menikmati setiap liukan motor, dengan sesekali tersenyum ketika mengingat hal lucu yang terjadi padanya.



“Lo tadi ngobrol sama siapa sih?” tanya pemuda itu saat berada di lampu merah.



“Di mana?” tanya gadis itu tak mengerti.



“Itu tadi yang di halte. Lo keliatannya akrab bener sama dia.” Lanjut pemuda itu yang sesekali melirik kaca spion yang memantulkan wajah gadisnya.



“Oh, itu... Gue nggak kenal sama dia.” Jawabnya lugas.



“Nggak kenal kok kayak yang udah akrab gitu?” selidik pemuda itu lebih lanjut.



“Nggak tau juga. Gue baru pertama kali ketemu dia.” Ujar gadis itu memeberi penjelasan.



“Oh.”



“Eh, tapi kasihan banget nasibnya.” Desah gadis itu yang berubah muram bila mengingat sepenggal percakanpannya dengan gadis yang baru ia temui di halte tadi.



“Kasihan? Emang dia kenapa?” tanya pemuda itu yang segera melanjukan motornya ketika lampu lalu lin tas itu berubah menjadi hijau.



“Pacarnya masuk rumah sakit, sejak dua minggu lalu. Dan sampai sekarang belum sadar juga.” Jawabny lemah.



“Emang cowoknya itu sakit apa?” kejar pemuda itu datar.



“Kelainan jantung,”



Sepenggal jawaban dari gadisnya itu membuatnya mencelos. Sepenggal pertanyaan membayangi benaknya. Membuat sisa perjalanan mereka berubah menjadi sebuah kesunyian. Hingga pemuda itu pulang setelah mengantarkan gadisnya, pertanyaan itu tak kunjung hilang dari benaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar