Jumat, 05 Oktober 2012

colour of sky 1

そら の いろ


Pelajaran pertama baru saja dimulai lima belas menit yang lalu, tapi seorang gadis tampak masih berjalan santai dengan setumpuk kertas di tangannya. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah lagi, setelah selama sebulan yang lalu dia harus mendekam di rumah sakit gara-gara tipus. Setelah melaporkan alasannya tidak hadir di awal semester pada guru BK, ia mendapat tugas membawakan setumpuk kertas pengumuman perekrutan anggota ekskul untuk diserahkan pada ketua OSIS.



Gadis itu berjalan dengan sesekali mendendangkan sebuah lagu dari sebuah girl band yang kini sedang naik daun. Aura. Nama gadis manis itu, mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, apalagi jika mendengar nama lengkapnya. Sesekali Aura memandang ke dalam kelas yang dilewatinya, tak jarang senyuman geli terlintas di bibirnya, kala melihat ekspresi-ekspresi bosan dari para siswa.



Langkahnya terhenti saat ia melintasi sebuah koridor kecil yang menghubungkan gudang bekas dengan koridor tempatnya berdiri sekarang. Sayup-sayup ia mendengar sebuah alunan merdu dari denting gitar. Tidak begitu jelas, tapi ia dapat mengenali musik itu. Bethoven. Klasik namun masih populer hingga saat ini.



Tanpa sadar Aura pun melangkah mendekati sumber suara yang telah mengusik indera pendengarannya. Ia penasaran siapa orang yang tengah bermain gitar di tengah jam pelajaran seperti saat ini. Sesekali ia berbalik ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mengikutinya atau melihatnya sedang mengendap-endap di sekitar gudang bekas. Jantungnya berdebar semakin cepat seiring dengan pupusnya jarak antara tempatnya berdiri tadi dengan entah siapa di sana.



Sekilas rasa takut menghampirinya saat ia sudah hampir sampai di gudang bekas itu. Irama musik yang terdengar dari sebuah gitar akustik itu pun semakin terdengar kuat. Ia merapatkan kertas yang tadi diberikan pada guru BK ke dadanya. Ia dekap dengan keras kertas-kertas itu untuk mengurangi rasa takut yang tiba-tiba saja menyelusup masuk ke sanubarinya.



Perlahan ia tengok pintu gudang yang sedikit terbuka, redupnya pencahayaan di tempat itu mengharuskannya untuk mengerjapkan matanya berulang kali sebelum akhirnya ia dapat melihat dengan jelas ke dalam gudang yang kini sudah tak terpakai lagi. Dengan kesal ia banting pintu gudang itu hingga terbuka lebar. Kosong. Hanya ada setumpuk meja dan kursi yang berdebu dan terdapat sarang laba-laba di sana-sini, tak ia jumpai seorang pun di sana. Rasa takut itu semakin nyata kala irama yang tadi sempat tak terdengar kini mulai menukik tajam.



“Kosong kok... Terus suara itu dari mana?” gumamnya lirih dengan suara sedikit bergetar karena takut. Apa lagi ia ingat kalau ada beberapa cerita horor yang sering menceritakan tentang alunan musik ini. Ia semakin merapatkan tumpukan kertas yang sekarang sudah kusut di sana-sini.



Perlahan dia berjalan melewati gudang menuju halaman terbuka di belakang gudang. Ia ingat kalau tempat itu dulu pernah digunakan oleh sekelompok siswa bermasalah untuk membolos. Tempatnya yang terpencil dan jauh dari keramaian koridor utama membuat mereka leluasa untuk membolos. Tapi, itu sudah cerita setahun yang lalu saat ia duduk di kelas X.



Sekarang belakang gudang itu hanyalah tempat terbuka biasa, jadi dia heran bagaimana mungkin irama itu berasal dari sana. Apakah ada seseorang yang menggunakan tempat terlarang itu lagi? Tapi siapa? Teman-teman angkatan mereka sudah tak mau berurusan dengan tempat itu lagi, angkatan di bawahnya sudah jelas tidak mungkin, mengingat cerita seputar gudang itu hanya diketahui oleh angkatannya dan angakatan di atasnya. Lalu siapa yang memainkan lagu menyeramkan itu?



@@@



Lamunanku melayang pada kejadian pagi tadi. Lagi-lagi aku bertengkar dengan Abang karena hal yang sepele. Siapa yang membonceng dan dibonceng. Sepele memang tapi sangat mengganggku eksistensiku. Walau aku tau alasannya melarangku mengendarai motor adalah benar, tapi aku kan juga pengen sekali-kali merasakan melaju di atas motor yang kukendarai sendiri. Terkadang aku lelah dengan perlakuan Abang padaku, ia terlalu posesif padaku, segala tingkah lakuku tak luput dari pantauannya.



Menyenangkan sih, tapi kalau sudah seperti tadi pagi, aku ya kesal juga. Tapi walau begitu aku sayang banget sama Abang, hanya kepadanya lah aku sering berkeluh kesah tentang segala sesuatu yang menurutku benar. Ia terkadang menjadi pendengar yang baik dan seorang motivator handal, sehingga aku tak merasa bosan untuk bercerita padanya. Walau tak jarang kami berbeda pendapat tentang suatu hal.



Hari ini, aku membolos-lagi. Aku sedang tak ingin berada di kelas dengan guru yang setiap saat menyemburkan hujan lokal saking semangatnya ia berecerita. Sejarah, adalah pelajaran paling mebosankan yang pernah aku kenal. Jadi, daripada aku mati bosan di kelas lebih baik aku cabut saja ke tempat yang menjadi favoritku, bahkan sejak aku pertama kali masuk ke sekolah ini. tempat terbuka di belakang sebuah gudang bekas.



Awalnya aku tak sengaja menemukan tempat menyenangkan ini, suasananya yang syahdu membuatku dapat berpikir lebih jernih, dan sejenak melepaskan kebisingan yang menggangguku. Hari ini aku sedang tak ingin berdendang, jadi aku hanya memainkan sebuah instrumen klasik dari pianis dunia. Damai rasanya ketika mendengar alunan musiknya. Membuatku tenang dan nyaman, sebuah terapi yang sering aku lakukan jika sudah merasa jenuh dengan segala sesuatu di sekitarku.



Tapi, kedamaianku itu terusik dengan bunyi pintu gudang yang terhempas kasar, aku rasa ada seseorang yang telah memaksanya terbuka. Ku hentikan sejenak permaianan gitarku, kutajamkan pendengaran untuk mengetahui apakah orang tersebut akan menghampiriku atau tidak. Setelah beberapa detik tak terdengar suara langkah kaki, akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan kenbali irama yang tadi terpaksa berhenti karena ulah orang yang kurang kerjaan. Baru beberapa detik aku melanjutkan instrumen itu, lagi-lagi aku dikejutkan oleh teriakan seseorang yang sangat dekat denganku.

Sontak aku menoleh padanya dan menghentikan permainan gitarku.



&&&



“Kyaaaa....!!” teriak Aura ketika merasakan sesuatu sedang melintasi kakinya. Ternyata seekor tikus berwarna abu-abu, sontak ia mengambil sapu ijuk bekas tak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan geram ia pun memukul tikus tak berdosa itu hingga sekarat. Ia memang tak suka dengan semua jenis hewan pengerat, apalagi tikus.



“Huh, dasar pengerat! Mampus lo sekarang, makanya jangan macen-macem sama Aura, tau rasa kan sekarang.” Ujarnya dengan penuh kemenangan kepada bangkai tikus yang kini tergeletak tak jauh dari pintu gudang.



Setelah menghabisi nyawa seekor tikus tak berdosa, ia pun mulai memungut kertas-kertas yang bertebaran akibat perbuatannya barusan. Setelah terkumpul semua Aura pun memutuskan untuk meninggalkan gudang bekas itu. Menurutnya dekat-dekat dengan tempat itu hanya akan membuatnya sial. Ia pun mengabaikan tujuan utamanya datang ke sana. Walau rasa penasaran masih saja ada di hatinya, namun untuk saat ini lebih baik ia pergi secepatnya dari gudang itu, sebelum kesialannya bertambah banyak. Dengan sedikit berlari kecil ia pun meninggalkan tempat menyeramkan tersebut.



Tanpa Aura sadari, sedari tadi ada sepasang mata yang mengawasi lekat tindak tanduknya, mulai dari dia mengeksekusi hewan pengerat sampai ia terburu-buru meninggalkan TKP. Sebuah senyum datar tersungging dari bibir pengintai tersebut.



“Dasar cewek aneh,” gumamnya lirih sebelum meninggalkan tempatnya bersemedi, tak lupa ia menenteng gitar akustik kesayangannya.



###



“Lo tau nggak Bang, gue tadi pagi ketemu cewek aneh,” ujar Ksatria-adikku satu-satunya-dengan antusias. Kami memang sering melewatkan waktu istirahat pertama dengan bercengkerama bersama seperti ini.



“Aneh?” tanyaku tak mengerti, aku mencoba untuk terlihat biasa saja walau aku merasa dia sedikit berbeda kali ini. sebelumnya dia tak begitu antusias kalau sudah berbicara soal cewek.



“Iya Bang, udah aneh sadis lagi,” ujarnya dengan mengunyah somay dengan ganas, ku rasa dia benar-benar kelaparan.



“Maksudnya?” tanyaku semakin tak mengerti.



“Gini Bang, tadi pagi nih ya waktu gue lagi asyik main-main gitar, tiba-tiba aja ada yang ngejerit gitu Bang, waktu gue lihat tuh cewek lagi ngomel-ngomel ama bangkai tikus Bang. Aneh banget kan? Gue rasa tuh tikus mati juga gara-gara dipukulin ama dia. Sadis banget ya Bang,” ceritanya berapi-api.



Aku menyeruput jus jeruk sebelum menanggapi ceritanya. “Jadi, lo tadi pagi bolos lagi?” tanyaku langsung, kupandangi wajahnya yang berubah merah, tanda dia telah tertangkao basah melakukan kesalahan.



“Cuma sekali Bang. Nggak usah pake’ lagi kale,” ujarnya mengelak.



Aku tersenyum kecil mendengarnya ngeles. “Minggu lalu lo juga bilang gitu waktu ketauan bolos. Nggak kreatif amat sih lo buat alesan.” Ujarku semakin memojokkannya. Terus terang aku nggak suka ngeliat dia sering bolos seperti itu, walau dulu aku juga sering bolos seperti dia. Tapi aku nggak mau kalau dia sampai dicap jelek oleh guru-guru karena bad rocordku. Aku mau dia tunjukin ke semua orang kalau dia bisa lebih baik dari aku. Tapi kaya’nya jalan menuju ke sana nggak bakal mudah.



“Yaelah Bang, kaya’ nggak tau aja. Gue bosen tau nggak Bang sama sejarah. Buat apa coba kita repot-repot belajar tentang masa lalu, lebih baik kan kita belajar tertang masa depan. Kebanyakan belajar dari masa lalu nggak bisa bikin kita cepet maju tau.” Ujarnya beralasan. Ksatria memang seperti itu, kalau sudah tak suka dengan sesuatu dia pasti akan mencari jalan untuk tidak menghadapi sesuatu tersebut.



“Ya agar kita nggak ngulangin kesalahan yang udah dilakuin sama orang-orang dulu lah Ksat, itulah gunanya kita belajar sejarah,” jawabku bijak.



“Omong kosong, buktinya udah tau sejarah ngasih tau kita kalau pemerintah di zaman dulu itu banyak yang korupsi. Kalau emang gunanya sejarah kaya’ yang tadi Abang bilang, harusnya pemerintah sekarang udah nggak banyak yang korupsi lagi donk. Tapi apa kenyataannya Bang? Korupsi malah makin subur, apa itu yang namanya belajar dari sejarah?” argumennya kali ini sepertinya dilandasi dari kekesalan pribadi.



“Tapi coba deh lo pikir lagi, sejarah juga mencatat bahaya dari nuklir yang udah bikin Hiroshima ama Nagasaki ancur. Sekarang lo liat, apa ada yang gunain nuklir buat senjata perang? Nggak ada kan? Baru denger gosip suatu negara ngembangin nuklir aja pemerintah dunia udah heboh mau ngrecokin tuh negara. Padahal mereka belum tau tuh nuklir mau dibuat sumber listrik apa senjata pemusnah masal. Walau emang rada ekstrim, tapi itu tandanya mereka nggak mau kejadian di dua kota Jepang itu keulang lagi. Lo boleh berpendapat nggak suka sama sesuatu, tapi coba deh sebelum lo berpendapat lo liat dulu masalahnya dari berbagai sudut, bukan Cuma ngandelin perasaan pribadi aja. Bisa-bisa lo malah dicibir orang kalau gitu, ngomong boleh, tapi jangan omong kosong. Harus ada isinya donk,” ujarku panjang lebar. Kulihat dia hanya merengut tanda tak suka dengan pendapatku.



“Yaaah Bang, lo mah gitu. Sukanya matiin pendapat orang,” gerutunya.



“Bukannya matiin pendapat, tapi ngelurusin cara pikir lo yang pendek itu,” jawabku disertai dengan satu kedipan mata padanya.



“Terserah lo aja deh Bang, gue mau balik ke kelas aja. Gerah gue lama-lama sama lo. Tau nggak Bang, lo itu lebih cerewet ketimbang guru sejarah gue.” Ujarnya kesal, seraya pergi begitu saja tanpa membayar.



“Heh, makanan lo siapa yang bayar!!?” teriakku padanya yang hanya dijawabnya dengan lambaian tangan dari kejauhan.



“Dasar adik ngeselin.” Omelku dengan senyum kecil.



&&&



“Lama banget sih lo Ra, dari mana aja sih?!” tanya Mega, teman sebangku Aura sejak kelas X.



Aura tesenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Mega. “Gue tadi habis dikasih mandat dari guru BK buat ngasih lembaran perekrutan anggota ekskul gitu buat si Reksa, jadi lama.” Jawab Aura seraya mengatur napasnya yang sedikit tidak teratur.



“Terus, kenapa lo ngos-ngosan gitu? Kelasnya si Reksa kan nggak jauh dari ruang BK, kok lo bisa sampe ngos-ngosan gitu sih, kaya’ abis dikejar hansip aja lo,” selidik Mega.



“Iya sih, tapi lo tau kan gudang yang ada di deket ruang OSIS itu?” ujar Aura memulai ceritanya, ia tatap Mega dengan pandangan serius.



“Gudang yang jadi masalah tahun kemaren itu?” tanya Mega meminta ketegasan.



“Iya gudang yang itu. Lo tau nggak, tadi waktu gue lewat di deket sana, gue denger ada suara gitar gitu. Lo tau lagunya Bethoven yang paling sering didenger tapi pada nggak tau judulnya?” ujar Aura dengan mimik yang lebih serius dari yang sebelumnya.



“Ya gue tau, sampe sekarang juga gue nggak tau tuh melodi apaan namanya. Terus apa hubungannya tuh melodi ama cerita lo?” kejar Mega.



“Nah, tadi pagi gue denger ada yang mainin tuh melodi pake gitar akustik Ga. Dan lo tau nggak suara itu gue denger dari arah gudang masalah itu.” Jawab Aura berapi-api.



“Apa lo bilang? Ada yang main gitar di sana!? Wah, lo bercanda Ra, lo tau kan tuh gudang udah nggak ke pake’ lagi sejak taun lalu. Nggak mungkin banget ada yang main gitar di sana. Gue yakin lo pasti becanda.” Ujar Mega dengan gelengan kepalanya. Raut ketakutan membayang di wajahnya.



“Gue serius Ga. Gue yakin banget kalo tadi pagi tuh ada yang main gitar di sana.” Jawab Aura tegas.



“Terus lo ketemu sama orangnya?” kejar Mega.



Aura hanya menggeleng pelan. “Waktu gue liat, di gudang nggak ada orang, malah gue ketemu hewan yang paling menjijikkan di muka bumi ini. Tikus! Gara-gara tuh curut gue jadi nggak bisa ketemu sama orangnya.” Omel Aura kesel.



“Horor banget sih Ra cerita lo. Kalo emang di sana nggak ada orang, gimana coba bisa ada suara gitar? Iih, mendingan lo jauh-jauh deh dari sana. Takutnya tar lo kesambet lagi sama penunggu gudang itu.” Saran Mega dengan bergidik.



“Sembarangan lo bicara. Hati-hati kalo ngomong, tar bisa kejadian beneran gimana? Amit-amit deh,” tanggap Aura seraya mengetukkan tangannya berkali-kali di keningnya. “Eh, Ga tapi gue penasaran banget sama yang main gitar tadi pagi. Sumpah ya, damai aja gitu waktu gue denger dentingannya.” Lanjut Aura seraya menerawang.



“Wah Ra, lo mesti cepet-cepet mandi kembang deh, biar ilang tuh yang nempel di badan lo. Kaya’nya lo itu udah bener-bener kesambet deh.” Ujar Mega dengan tampang nggak banget.



“Apaan sih lo Ga,” elak Aura dengan sedikit mendorong bahu Mega sebelum akhirnya mereka tertawa bersama.



@@@



Akhir-akhir ini cuaca sangat nggak bersahabat, kalau siang panasnya naudzubillah. Udah kaya’ di penggorengan aja. Gerah banget rasanya, apalagi kalau harus ngelewatin panas neraka ini dengan duduk bengong di kelas sambil dengerin guru ngoceh tentang berapa kecepatan apel jatuh. Penting nggak sih ngitungin hal begituan? Mendingan juga ngitungin berapa keuntungan yang didapat para penimbun BBM.



Satu jam lagi aku duduk di sini, yakin deh pulang-pulang aku udah kaya’ ikan panggang, mana kipas angin satu-satunya di kelas pake’ mati segala lagi, lengkap sudah penderitaan. Aku lihat udah ada beberapa temenku yang banjir keringat saking panasnya nih udara, guru di depan juga udah mati gaya ngajar sambil kipas-kipas, antara kepanasan dan jaga wibawa.



Daripada aku mateng di sini, lebih baik aku cepat-cepat keluar. Segera ku sambar gitar kesayangnku, dan berdiri meminta izin pada guru yang kini sedang menulis sederet rumus dengan sesekali menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya.



“Ehm, permisi Pak,” ujarku setelah berdiri tak jauh dari tempatnya menulis rumus-rumus.



Pak Togar menghentikan sebentar aktivitasnya, beliau memandangku dengan kening berkerut. “Ya, ada apa Ksat?” tanyanya menyelidik.



“Saya permisi sebentar Pak, mau mengantarkan gitar ke Abang saya. Katanya tadi dia ada pelajaran seni musik, jadi dia mau pinjam gitar saya Pak,” kataku beralasan. Lagi-lagi aku menggunakan nama Abangku untuk mendapatkan izin. Kalau nggak begitu mustahil guru-guru di sini akan memberiku izin. Ini semua gara-gara Abangku yang seenaknya sendiri nyerahin tanggung jawab atasku pada guru-guru. Bikin nggak nyaman aja.



“Oh, gitu? Baiklah kamu boleh pergi, tapi ingat jangan lama-lama,” ujar Pak Togar singkat sebelum melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat tertunda karena ulahku.



“Terima kasih Pak,” ujarku ringan. Dengan senyum lebar aku melangkah menuju ke tempat rahasiaku. Ku hirup udara kebebasan dengan rakus. Aah, udara terbuka memang yang terbaik.



Aku melangkah ringan dengan sesekali bersiul lirih, ku pandangi siswa-siswa yang kebosanan di balik jendela sepanjang koridor menuju ruang rahasiaku. Koridor lumayan sepi siang ini. Sepertinya banyak orang yang tak ingin berada di luar pada cuaca sepanas ini. Lima menit kemudian aku sudah duduk bersandar pada tembok di belakangku, pelan kuhirup udara siang yang lumayan sejuk akibat dari rimbunnya pohon angsana yang tumbuh di belakang bangunan sekolah.



Perlahan ku petik pelan senar gitar, mencoba mencari nada yang ku inginkan. Sembari mencari nada pikiranku melayang ke suatu masa di mana masih ada sosok ayah di sana. Aku ingat suatu sore ayah mengajariku yang pada waktu itu baru berumur 4 tahun tentang beberapa chord gitar yang menurutnya mudah. Ya, aku sudah menggemari alat musik petik ini sejak kecil. Bagiku memetik senar gitar serasa memetik masa depanku.



Ayahlah yang mengenalkanku dengan alat musik ini, gitar ini pun warisan yang beliau tinggalkan padaku. Makanya aku sayang banget sama gitar tua ini. Itulah sebabnya aku tidak suka jika ada orang lain yang memainkan alat musik ini selain abangku. Sekarang hanya lewat petikan gitar inilah aku dapat mengenang ayahku.



Ayah meninggalkan ku pada saat usiaku baru menginjak umur 5 tahun, beliau meninggal karena sebuah kecelakaan maut. Aku tak ingat bagaimana persisnya, hanya selama ini abang bercerita padaku, kalau waktu itu hujan deras dan berpetir, ban mobil ayah slip sehingga menabrak bahu jalan. Beliau meninggal setelah sempat koma selama beberapa jam.



Ayah meninggalkanku dengan sedikit kenangan tentangnya. Aku menarik napas panjang, aku rindu pada ayah, sosoknya yang tersenyum penuh kasih membuatku selalu merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia. Dengan sedikit bergetar ku petik gitar tua peninggalan ayah, memainkan intro sebuah lagu yang bercerita tentang kenangan bersama seorang ayah.



Lirih ku nyanyikan bait demi bait lagu syahdu itu, ku pejamkan mata agar aku dapat lebih merasuk ke dalam setiap liriknya. Hingga tak terasa satu persatu bulir air mata luruh membasahi kedua pipiku. Suaraku pun sudah mulai bergetar, menahan segala gejolak yang kurasakan. Mengingat segala kenangan bersamanya adalah suatu momen di mana aku bisa berubah melankolis seperti saat ini. Ayah, aku rindu pada mu. Apakah kau baik-baik saja di sana? Semoga kau bahagia di sisi-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar