Sabtu, 13 Oktober 2012

colour of sky 15

そら の いろ


Malam ini entah kenapa aku begitu gelisah. Perasaanku juga tak tenang. Dari sejak tadi sore, aku terus terbayang obrolanku bersama Ksatria. Tak biasanya aku seperti ini. Lagipula, bukankah ini sudah terlalu larut? Tapi kenapa sampai sekarang dia masih belum pulang juga? Pergi kemana dia?



Aku memandang ke luar lewat jendala kamarku yang sedikit buram karena sudah lama tak tersentuh kemoceng. Langit begitu pekat malam ini, suhu udara juga sudah mulai turun beberapa derajat. Ku rasa sebentar lagi akan turun hujan. Sekilas tadi, aku sempat melihat cahaya kilat di kejauhan.



Aku melirik ke arah jam dinding yang tergantung lemah di sebelah sebuah pigura yang berisi potret mendiang ayah. Pukul 20.45 WIB. Sebenarnya pergi kemana dia?



***



“Bang, kalau gue udah nggak ada. Lo harus jagain mama baik-baik. Jangan bikin susah mama terus lo. Lo juga harus bantuin mama buat nyari tambahan biaya buat bayar SPP lo.” Ujarnya suatu ketika disela-sela obrolan kami seputar pertandingan sepak bola yang kini sedang disiarkan di televisi.



“Lo ngomong apa sih? Nggak usah ngaco deh.” Sahutku getir. “Walaupun nggak lo kasih tau juga. Gue udah ngerti kok Ksat, apa yang harus gue lakuin.” Imbuhku dalam hati.



“Gue juga nitip Rara ya, bang. Jagain dia, jangan sampe dia kenapa-kenapa. Lo harus bisa bikin dia selalu tersenyum. Jangan sampe lo bikin dia nangis. Jagain dia buat gue.” Lanjutnya lirih dengan mata yang memandang datar ke layar televisi.



Oke. Sekarang aku benar-benar nggak suka dengan apa yang dia katakan. “Ngapain sih, lo pake’ nitip-nitipin mereka segala!? Kayak lo mau pergi jauh aja!” sentakku gusar. Ku tatap matanya yang memadang kosong ke arahku. Aku mencoba mencari tanda-tanda ketidak seriusan dari matanya, tapi kedua mata itu tak berisi apa-apa, bahkan sebuah kecemasan pun tak tampak di sana.



Aku mendengarnya menghela napas lelah. “Gue kan emang mau pergi jauh bang.” Sahutnya tegas. “Suatu saat nanti.” Sambungnya lirih.



“Tanpa harus lo bilangin juga gue udah tau!” kataku sedikit ketus. Sebenarnya aku tak mau berkata ketus seperti itu, tapi mendengarnya mengungkit-ungkit soal kepergiannya itu benar-benar membuat jantungku seolah mencelos pergi meninggalkan tempatnya. Seolah-olah, memang dia sebentar lagi akan pergi.



Kutepis pikiran buruk yang secara kurang ajar singgah dalam benakku. Ku gelengkan kuat-kuat kepalaku, agar semua pikiran buruk itu terpental keluar dari memori otakku. “Nggak, gue nggak boleh punya pikiran kayak gitu. Gue harus yakin kalau Ksatria bakalan hidup lebih lama. Dia bakalan hidup sampai umur 85 tahun! Gue harus yakin. Gue nggak boleh pesimis!!” berulang kali aku mengulang kalimat yang sama dalam hatiku, aku nggak boleh mengkhianati kepercayaan Ksatria pada harapan 0,01%-nya dengan pikiran buruk yang sempat melintas.



***



Glaaaarrr....



Gemuruh suara petir yang terasa begitu dekat menyentakkanku kembali ke dunia nyata. Ku lirik lagi jam dinding yang sekarang sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Suasana malam di luar, semakin mencekam dengan adanya hujan deras yang diselingi oleh gemuruh petir yang tiada henti. Sejenak, aku pandangi sebuah gitar akustik yang kini tergantung dengan megahnya di salah satu sudut kamar. Kembali aku teringat pada obrolanku bersama Ksatria belum lama ini.



***



Tok... tok... tok...



Suara palu yang beradu dengan paku terdengar begitu keras di tengah sunyinya suasana siang yang terik ini. Aku baru saja pulang dari sekolah, dan dia sudah berada di kamarku dengan kegiatan yang tak kumengerti. Memang, sudah beberapa hari ini Ksatria tak berangkat sekolah. Alasannya, dia sudah cukup pintar untuk mengetahui semua hal yang dia ingin ketahui dari dunia dan isinya ini. Benar-benar jawaban yang nggak masuk akal!



“Lo lagi ngapain sih?” tanyaku seraya meletakkan tas ranselku di kursi dekat meja belajar.



Sejenak ia menghentikan aktivitasnya dan memberiku sebuah cengiran lebar khasnya, sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya menyiksa dinding kamarku. “Adaaa deeh...” jawabnya di sela-sela suara palu yang berirama.



“Gaya lo, kayak mau ngasih gue kejutan aja.” Gerutuku seraya merebahkan tubuh lelahku ke ranjang dan memandangnya yang kini hanya tertawa mendengar ucapanku tadi. Aku menghela napas panjang. “Terserah lo aja sih, mau ngapain juga. Tapi kenpa harus di kamar gue sih? Emang nggak bisa ya kalau di kamar lain?” lanjutku yang masih belum mengerti dengan apa yang dia lakukan.



Akhir-akhir ini, dia memang kerap melakukan hal-hal yang tak ku mengerti, dan dia juga sering melakukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Contohnya aja belum lama ini, tanpa ada hujan ataupun badai, ia tiba-tia saja membelikan mama sebuah gaun terusan yang cantik sekali dan sebuah mukena berenda yang indah. Dalam rangka apa coba dia ngasih bingkisan mahal gitu ke mama. Dan lagi, dari mana dia mendapatkan uang untuk membelikan mama dua buah benda yang aku tahu tak berharga murah itu? Dan hal aneh lainnya adalah apa yang terjadi siang ini, untuk apa coba, dia melukai salah satu dinding kamarku?



Dia hanya terkekeh geli mendengar suara keberatan dariku. “Pokoknya dengan begini abang bakalan nggak bisa nolak, dan gue yakin 1000% kalau lo nggak bakalan bisa ngelupain gue. Lo bakalan inget terus sama gue.” Jawabnya dengan penuh kemenangan.



“Emang apa sih yang mau lo kasih buat gue? Sampe segitunya lo ngerahasiain dari gue?” tanyaku, yang tak urung penasaran juga dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.



“Ntar lo juga tau.” Sahutnya saraya memberiku sebuah cengiran lebar penuh kebanggaan, dan tak lupa ia mengedipkan satu kelopak matanya ke arahku. Iiih... Jijik banget sih dia! Aku jadi berasa digodain banci yang sering mangkal di perempatan depan kompleks perumahan.



Tak lama berselang, akhirnya ia selesai juga mengeksekusi salah satu sudut kamarku. Ia tampak puas dengan hasil pekerjaannya.



“Cuma gitu doang?” sindirku sarkastik.



Dia hanya terkekeh pelan sebelum pergi meninggalkan kamarku. Aku hanya memandang kepergiannya dengan sorot tak mengerti. Sebagai respon dari tindakannya itu, aku hanya mengedikkan bahu dan memandang potret mendiang ayah yang seolah sedang tersenyum ke arahku. Sudah berapa lama ya aku tak mengunjunginya? Kangen juga aku sama ayah.



Tak lama dia pun kembali, dengan menenteng gitar akustik tua kesayangannya. Dia melangkah lurus dan berhenti tepat di depan paku yang sekarang bertengger menjadi penghias dinding sebagai akibat dari ulahnya tadi. Aku masih tak mengerti dengan apa yang akan dia laukan. Hingga dia menggantungkan gitar tersebut di paku yang tadi baru saja ia pasang.



“Ngapain lo taruh gitar itu di sini?” tanyaku penasaran.



“Mulai sekarang, gitar ini jadi milik abang.” Jawabnya dengan sebuah senyum lebar.



Apa dia sedang bercanda!? Bukankah itu satu-satunya benda peninggalan ayah yang paling dia sayangi? Kenapa tiba-tiba dia mau memberikan benda sepenting itu kepadaku?



“Lo lagi bercanda kan Ksat?” ujarku menyelidik, kutatap dia dengan pandangan tak mengerti.



Dengan pandangan seolah-olah sedang berpamitan kepada gitar yang sekarang tampak bergantung dengan pongahnya di salah satu sudut kamarku, bersanding dengan poster Bob Marley kesayanganku.



“Lo tau bang? Ternyata gitar ini udah nemenin hari-hari sunyi gue selama belasan tahun. Nggak kerasa ya? Padahal gue ngerasanya baru kemaren ayah ngasih gue benda ini, tapi sekarang tau-tau gue udah harus menghibahkan benda terpenting dalam hidup gue ini ke l0.” Ujarnya dengan penuh kekaguman pada benda tersebut. “Sekarang, gue udah nggak butuh gitar ini lagi. Karena sekarang, hari-hari gue udah nggak sesunyi dulu. Udah banyak lagu-lagu kehidupan yang nemenin hari-hari gue, sampe-sampe gue nggak ngerasa kesepian lagi. Jadi, gue udah nggak merluin gitar ini lagi.”



“Gue nggak ngerti sama apa yang lo omongin.” Potongku jujur.



“Sekarang, orang yang pentes buat milikin benda ini adalah lo, bang.” Dia memandang ke arahku dengan penuh kesungguhan. “Gitar ini yang akan jadi temen lo buat ngisi hari-hari sepi lo tanpa gue. Anggep aja, gitar ini adalah bagian dari diri gue yang gue kasih ke lo. Supaya lo tetep inget sama gue.” Katanya dengan sebuah pandangan yang baru kali ini kujumpai dari tatapan matanya. Keteduhan dan kepasrahan.



***



Glegaarr...



Lagi-lagi petir itu terasa begitu dekat. Sepuluh menit telah berlalu dari pukul 21.00 WIB, dan Ksatria masih belum pulang juga. Aku berguling gelisah di atas ranjang. Ku raih salah satu alat teknologi tercanggih yang gue punya. Ponsel. Ku pandangi benda itu dengan gusar. Benda ini pun seakan mati tak bernyawa, tak ada tanda-tanda panggilan masuk ataupun sms pada layarnya.



Kemana sebenarnya dia pergi? Bukankah tadi pagi dia izin Cuma pergi untuk check up seperti biasa? Kenapa sampai jam segini masih belum pulang juga? Apa check up kali ini memang harus mengambil waktu yang begini lama?

Iseng, ku utak atik benda kecil di tanganku ini. Ku buka-buka daftar phonebook di ponselku. Tak sengaja mataku tertumbuk dengan sederet nomor yang baru-baru ini menghiasi salah satu list di phonebookku. Anggun. Kenpa aku tak mencoba mengobrol dengannya? Sekedar mengusir rasa gelisah yang kini semakin menjaddi-jadi.



Petir masih menggelegar di langit sana. Walau suaranya tak sekeras sebelumnya. Dengan penuh pertimbangan aku men-dial nomor itu. Baru saja aku akan mendial tombol bergaris hijau dari ponselku. Aku dikagetkan dengan dering panggilan masuk dari nomor yang nggak aku kenal. Dengan ragu aku tekan tombol penjawab. “Halo…” sapaku ragu.



“Halo… Halo… kak Yudha!?” terdengar suara yang sudah tidak asing lagi bagiku dari seberang sana.



“Ya,” sahutku sekedarnya.



“Kak Yudha, ini gue kak. Rara.” Sahut suara dari seberang sana dengan nada kepanikan yang terdengar jelas.



“Ya, ada apa Ra?” tanyaku tak mengerti.



“Buruan ke sini kak! Langit… Langit kak!!” sambarnya dengan nada penuh kecemasan.



“Langit? Ksatria!? Ksatria kenpa, Ra?!” tanyaku sejurus kemudian.



“Laangit… Langit…” ujarnya terpatah di tengah isak tangisnya yang mulai menderu.



Mau tak mau aku jadi ikut-ikutan panik. Suasana malam yang sudah mulai tenang tak menyurutkan rasa panikku. “Tenang dulu, Ra. Tarik napas. Sekarang certain ke gue pelan-pelan. Ada apa dengan Ksatria?” mencoba menenangkannya yang-etah kenapa-begitu terguncang.



Tak lama kemudian, setelah ia menjadi lebih tenang. Bergulirlah sebuah kisah yang membuat jantungku terhempas jatuh dari tempatnya. Aku dapat merasakan wajahku memucat seketika. Dengan langkah tergesa aku meninggalkan kamarku.



“MAMA!!” teriakku setelah memutuskan hubungan telpon dengan Rara.



Aku berlari dengan napas hampir terutus. Dengan kasar kuketuk pintu kamar mama. “MA..!! Buka..!!”

Tak lama kemudian, aku mendengar suara kunci terputar dari dalam. “Ada apa sih Yudh? Malem-malem gedor-gedor kamar mama?” Tanya beliau dengan wajah kuyu. Ku rasa aku baru saja membuatnya terbangun dari mimpi indahnya.



“Ksatria, Ma. Ksatria!!” jawabku panic.



“Kenapa dengan adikmu? Dia udah pulang, kan?” sahutnya acuh.



“Ksatria masuk ICU, ma!” sahutku yang membuat mama tampak kehilangan nyawanya.



“Jangan bercanda kamu Yudha!!” gertaknya dengan amarah yang membuncah.



“Yudha nggak bercanda, Ma. Ini barusan Yudha dapet kabar, kalau Ksatria sekarang masuk ICU. Kondisinya kritis.” Jawabku sungguh-sungguh.



Dengan langkah limbung, mama memasuki kamarnya dan jatuh terduduk lemah di tepi ranjang. Aku menghampiri beliau dengan langkah perlahan. “Ma?” ujarku mencoba mengembalikan kesadaran mama.



“Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Kata beliau tiba-tba seraya bangkit dari duduknya. Aku menggangguk tegas dan bergegeas mengganti baju dan menyiapkan motorku.



Di luar, hujan sudah mulai mereda. Hanya menyisakan rintikan gerimis kecil-kecil, yang aku yakin sebentar lagi akan lenyap. Udara mala mini menjadi lebih dingin dari tadi sore. Hujan yang baru saja berlalu menyebabkan suhu udara turun beberapa derajat. Aku merapatkan jakrtku, mencoba mencari kehangatan dari selembar pakaian pembuat hangat tersebut.



Aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Aku tak berani memacu motorku lebih dari ini. Hujan yang turun dari sejak tadi sore menyebabkan jalanan menjadi lebih licin. Malam ini, tak banyak kendaraan yang melintas di jalanan. Keadaan yang sepi ini memaksaku untuk mengingat percakapan singkat dengan Rara via telpon yang belum lama berlalu.



***



“Langit, masuk ICU kak. Kata dokter, kondisinya benar-benar memburuk.”



Satu potongan percakapan dengannya berkelebat memenuhi memoriku. Menemani perjalanan panjangku ke rumah sakit.



“Ini semua salah gue kak,”



Aku dapat membayangkan raut penyesalan dari wajah ayu Rara kala mengucapkan kalimat tersebut.



“Kalau aja dia nggak nolongin gue. Dia nggak bakalan kayak gini. Maafin gue, kak.” Kurasa dia benar-benar kalut, sampai-sampai dari tadi ia tak berhenti menyalahkan diri sendiri.



***



Potongan pembicaraanku dengannya menguap ke udara saat motor yang ku kendarai memasuki pelataran rumah sakit. Setelah memastikan motorku terkunci dengan aman. Kami berlari memasuki bangunan rumah sakit. Dengan langkah tergesa mama menghampiri meja resepsionis. Setelah berbincang sejenak, beliau pun berlari kea rah yang ditunjuk oleh petugas resepsionis tadi. Aku mengikuti langkahnya di belakang.



Langkah tergesa kami terhenti tepat di depan sebuah ruangan yang di atasnya tertempel tulisan ICU besar-besar. Seorang gadis yang tengah duduk terpekur dengan bahu terkulai tampak duduk sendiri di salah satu bangku panjang yang ada di sana.



“Di mana Ksatria?” tanyaku panik pada gadis yang sekarang memandang kea rah kami takut-takut.



“Dia… Ada di dalam.” Jawabnya terpatah.



Tak menunggu lama, setelah mendengar kabar tersebut. Mama segera memasuki ruangan di mana Ksatria tergolek tak berdaya di dalamnya. Aku baru saja melangkah untuk mengikuti jejak mama, saat merasakan sebuah cekalan di lenganku.



Aku menghentikan langkahku dan memandang tak mengeti ke arahnya, yang dibalas dengan sebuah pandangan yang menyiratkan penyesalan yang mendalam. Melihat raut wajahnya yang jauh dari kata baik-baik saja, aku hanya dapat mendesah panjang. Perlahan aku membimbingnya untuk duduk kembali ke salah satu kursi panjang yang berderet di depan ruang ICU tersebut.



“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku lembut.



Bukannya menjawab, ia malah meluruh ke dalam pelukanku dengan tangis yang membuat hatiku ikut teriris hanya karena mendengarnya.



“Ini semua gara-gara gue, kak.” Bisiknya ditengah isak tangisnya.



“Sst… Lo nggak boleh ngomong gitu.” Ujarku seraya mengurai pelukannya. Perlahan ku angkat wajahnya agar aku dapat meneliti apa yang sebenarnya terjadi dari raut wajahnya yang sarat akan kesedihan dan penyesalan. “Sekarang tarik napas dulu. Tengagin diri lo, kayaknya lo bener-bener terguncang karena masalah ini.” Sambungku seraya menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya yang sekarang kehilangan rona merahnya. “Kalau lo udah tenang, lo ceratin pelan-pelan ke gue apa yang sebenernya terjadi. Jangan maen nyalahin diri sendiri kayak gini.”



Sesaat ia mencoba untuk mengatur emosinya. Berkali-kali ia menarik napas panjang. “Malam tadi, gue baru aja pulang dari rumah temen gue. Mega…” ujarnya memulai penjelasannya. Ia tundukkan kepalnya, menekuri ubin yang berjajar rapi di bawah kakinya. “Waktu itu, gue lagi di halte nunggu bis. Tadi malem, keadaannya sepi banget. Hamper nggak ada kendaraan yang lewat. Gue di sana sendiri, sampai tiba-tiba ada tiga orang aneh yang dating nyamperin gue…” bahunya terlihat bergetar. Kurasa ia mulai menangis lagi. Ku raih tubuhnya dan memberikan sedikit kekuatan yang kupunya agar ia dapat menyelesaikan ceritanya.



“Gue takut, kak…” isaknya di bahuku. Kuusap lengannya lembut, mencoba mengalirkan kekuatan lewat gerakan yang kulakukan. “Gue bener-bener takut, kak. Gue udah ngelawan sebisa gue. Tapi mereka… Mereka…” isakannya kembali menginterupsi. Dengan suara tersendat dan di selingi isakan yang memilu, kembali ia mencoba menyelesaikan ceritanya.



“Gue udah nggak tau lagi mau ngelawan mereka dengan cara apa lagi. Sampai gue ngerasa ada yang narik gue menjauh…” sampai di sini, ia menghela napas panjang. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk menyelesaikan kisah yang hampir mendekati akhir.



Aku dapat membayangkan, kalau pada saat itulah Ksatria muncul. Like hero in the movie. “Waktu gue liat dia siapa. Ternyata Langit! Gue kaget banget kak, juga takut. Sampai semuanya itu terjadi bagitu aja. Gue nggak bisa nyegah dia buat nggak melawan mereka. Waktu gue sadar, semuanya udah jauh terlambat. Dia udah dihajar habis-habisan sama mereka. Sampai akhirnya gue nelpon polisi.” Kembali ia menarik napas. “Dan, watu polisi dating. Semuanya benar-benar terlambat. Dia udah nggak sadarin diri, kak.”



Lagi-lagi isakan itu terdengar begitu memilukan. “Kalau aja gue lebih cepat. Seandainya aja gue lebih cepat lagi nelpon polisi. Andai aja gue lebih cepat sadar. Dia… Dia… Dia nggak harus jadi kayak gini, kak. Ini semua salah gue. Salah gue, kak…”



Tanpa sadar aku membawanya ke dalam pelukanku. Meredam isakannya yang memilukannya dari pendengaran orang-orang yang ada di sekitar. “Sst… Ini semua bukan salah lo. Nggak ada yang salah di sini. Kalau emang ada yang pantes disalahin, ya mereka yang udah bikin Ksatria kayak gini.” Kataku tegas. Dapat kurasakan wajahku mengeras saat membayangkan penderitaannya saat bertarung melawan mereka. Kesakitan yang harus ditahannya membaur dengan luka-lukan yang ia dapatkan dari mereka. Terkadang, dia bisa berubah menjadi orang yang tak terduga, apalagi jika ia harus melindungi orang yang disayanginya dari ulah tangan-tangan kotor macam tiga preman tak betanggung jawab itu.



“Tapi kak, kalau gue nggak selemot itu, pasti sekarang dia nggak kenapa-napa.” Lagi-lagi ia menyalahkan diri sendiri.



“Lo itu nggak salah, Ra. Lo, dia, Cuma kebetulan yang dipertemukan oleh takdir di tempat dan waktu yang nggak pas. Dia ada di sana, lo juga ada di sana. Pertemuan kalian berdua itu adalah takdir.” Jawabku tenang. “Coba aja lo bayangin, seandainya aja dia nggak ada di sana buat nyelametin lo. Apa yang nakal terjadi? Gue aja nggak sanggup ngebayanginnya.” Lanjutku dengan bergidik ngeri. “Jadi sekarang, stop nyalahin diri sendiri. Mendingan kita sama-sama berdoa, supaya Ksatria baik-baik aja.” Aku mengakhiri perkataanku yang ditanggapinya dengan sebuah anggukan lemah darinya.



Perlahan setelah emosinya mereda, kami memasuki ruangan di mana Ksatria kini tergolek lemah tanpa daya dengan dikelilingi oleh alat-alat medis yang aku pun tak tahu untuk apa. Tak jauh dari ranjang tempatnya berbaring, tampak mama sedang menekuri kardiogram yang menampilkan denyut jantung Ksatria. Irama kardiogram yang stabil memenuhi kamar bernuansa putih pucat itu.



Aku hanya menatap tubuh Ksatria yang seolah sedang tidur itu dengan sebuah pandangan yang sulit untuk diterjemahkan. Apa memang harus secepat ini? Apa hanya sebatas ini kami harus menemaninya? Apakah memang ini saatnya ia pergi meninggalkan kami semua? Tak bisakah kami bersamanya lebih lama lagi? Berbagai pertanyaan tanpa jawab memenuhi benakku, di mana pertanyaan tersebut entah kapan akan menemukan jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar