Sabtu, 13 Oktober 2012

colour of sky 14

そら の いろ


Takdir, adalah sesuatu yang jauh lebih rumit ketimbang labirin, takdir juga sesuatu yang misterius, lebih misterius dari misteri segitiga bermuda. Tak ada yang tahu cara kerja takdir, tak ada yang pasti di dalamnya. Sebuah ketetapan belum tentu menjadi sebuah kenyataan. Semua itu tergantung usaha setiap individu untuk mengolah takdir yang ada di tangannya.



Namun, ada juga orang-orang yang berjalan melintasi waktu dengan sebuah ketetapan yang sudah pasti bahkan sejak ia di dalam kandungan. Ketetapan itu tak bisa dirubah, membelenggu setiap napas. Menjalani sebuah takdir yang sudah pasti bagi sebagian orang mungkin menjadi sesuatu yang menyenangkan. Kita dapat melakukan apa saja yang kita mau selama tak menggoyahkan takdir yang membelenggu kita.



Tapi, bagi sebagian orang yang lain, menjalanni takdir yang seperti ini bagai menjalani hari-hari di dalam sebuah jeruji besi. Tak ada kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri. Sebuah pilihan akan menjadi sesuatu yang sulit untuk diputuskan. Karena sebuah keputusan akan berpengaruh terhadap takdir yang membayanginya.



@@@



Hidup, adalah perjalanan melintasi waktu yang kita tak tahu kapan akan berakhir. Tapi, setiap kita pasti tahu akan mengarah kemana tujuan dari perjalanan panjang ini. Maut, adalah stasiun, terminal, dan pelabuhan terakhir bagi perjalanan panjang kita dalam melintasi waktu. Akhirat, adalah tempat di mana kita semua akan berpindah dari ruang maya dalam perjalann kita menuju ke suatu tempat yang lebih nyata.



Dalam melintasi waktu ini kita memilih kendaraan kita sendiri. Sebuah mobil, kereta, atau kapal. Semua kendaraan yang kita pilih ini akan membawa kita pada akhir yang sama. Terminal akhir yang sudah pasti adanya. Di dalam setiap perjalanan itu kita tak selamanya menemukan jalan yang mulus, ada banyak percabangan jalan yang harus kita pilih, jalan yang terjal pun menghadang perjalanan kita.



Di sepanjang perjalanan itu akan ada banyak kios-kios yang menawarkan kesenangan, meminta kita untuk berhenti sejenak, mereguk bergelas-gelas kebahagiaan. Ada juga kios-kios yang menawarkan sesuatu yang tak akan pernah kita lupa. Banyak orang yang tak sanggup untuk melakukan perjalanan panjang melintasi waktu ini hingga akhir, tak sedikit orang yang memaksa untuk mengakhiri perjalanan panjangnya, dengan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri perjalanan panjangnya. Terjun dari kendaraan yang membawanya ke satu-satunya tujuan yang telah pasti.



Sesungguhnya Tuhan tak menyukai orang-orang yang memutuskan untuk mengakhiri perjalanan panjangnya dengan sengaja. Jika kau merasa lelah di dalam perjalanan panjang ini, maka istirahatlah sejenak di salah satu kios yang ada di sepanjang jalan. Reguklah kenikmatan yang ditawarkan kios tersebut, namun janganlah kau terlena dengan itu semua.

Setelah lelah yang kau rasakan sirna, kembalilah melintasi waktu, karena akhir yang pasti itu tak memiliki jarak yang pasti. Selalu persiapkanlah bekal yang cukup agar saat akhir itu semakin dekat, kau dapat menyongsongnya dengan tenang.



Begitu pula dengan perjalanan panjang melintasi waktuku. Setelah sekian lama aku mengendarai sebuah kereta yang berjalan lurus-lurus saja dan tak ada satu goncangan yang berarti, aku dipaksa berganti kendaraan. Sekarang aku sedang mengendarai sebuah mobil yang melintas di jalan yang penuh dengan lubang dan kerikil tajam di sepanjang jalannya.

Hidupku sekarang penuh dengan guncangan-guncangan akibat yang timbul dari jalanan yang tak selamanya rata.

Aku lelah, sungguh amat lelah. Jalan yang ku tempuh ini benar-benar menguras energiku. Sempat aku berhenti dan menikmati seteguk kenikmatan yang ditawarkan oleh salah satu kios di salah satu persimpangan jalan. Namun ternyata,

aku salah memilih kios tempatku untuk beristirahat sejenak. Kunjunganku ke kios tersebut ternyata malah membuat langkahku semakin berat. Aku tahu kalau akhir yang sudah pasti itu jaraknya sudah semakin dekat, dan semakin menjadi lebih dekat setiap harinya. Dan entah mengapa aku malah semakin terikat dengan sesuatu yang berasal dari kios tersebut.



@@@



Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ku tengadahkan wajahku menatap sekumpulan bintang di atas sana. Akankah ada bintang yang akan menerangi langit kelam hidupku. Kulangkahkan kembali kakiku menyusuri trotoar yang aku tak tau mengarah ke mana.



Selepas check up dan mendengar penuturan terakhir dari dokter Ravi, aku pergi dengan gontai menyusuri trotoar-yang memanjang dari depan rumah sakit hingga ke tempat yang aku pun tak tahu di mana akhirnya-aku berjalan tanpa jiwa. Roh di dalam jiwaku sudah melayang entah kemana. Aku berjalan menyusuri jalan ini sekehendak kakiku melangkah.

Kurasakan penat yang menjalar di sekujur tubuhku, apalagi di bagian kaki semakin lama semakin terasa. Ku abaikan hal tersebut, satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah pergi sejauh mungkin, membuat tubuhku merasakan lelah dan penat yang teramat sangat, agar saat aku kembali ke rumah aku tak punya waktu lagi untuk memikirkan kapan akhir hidupku.



Aku kembali mendesah berat, kulayangkan pandanganku ke arah lampu-lampu jalan yang berjajar rapi dengan pendar yang sama. Sinarnya begitu terang, hingga sanggup membutakan orang yang memandangnya. Hidup juga dapat diibaratkan seperti lampu jalan. Ia terpancang di tempat-tempat yang tepat. Di tempat yang memang membutuhkan penerangan. Ia berdiri sepanjang hari sepanjang tahun di tempat itu tanpa pernah tahu kapan ia akan meredup.



Jangan kau kira ia berdiri di sana tanpa resiko. Ia berdiri di sana, menerangi wilayah di sekitarnya dengan pendarnya dengan menanggung resiko yang tak pernah dapat kau duga. Terkadang masa pendarnya itu tak lama, ada saja ulah orang jahil yang membuatnya terpaksa padam di tengah-tengah tugasnya. Jika ia selamat dari ulah jahil orang-orang, ia akan mati dengan sendirinya dengan damai.



Mungkin cahaya yang ada pada diriku sudah berkelip-kelip, layaknya sebuah lampu yang sebentar lagi mendekati ajalnya. Begitu pula denganku, semakin dekat aku dengan akhir penjalan ini semakin redup juga cahaya yang ada pada diriku. Kembali kupandangi pendar cahaya diseberang sana, apakah cahayaku terlihat seterang itu untuk orang lain? Sehingga aku bisa menerangi wilayah di sekitarku?



Entahlah, hidup begitu rumit untuk dapat menguraikan misteri-misteri yang ada di dalamnya. Dengan tubuh yang semakin lelah, dan penat yang semakin mendera, aku kembali melangkah menyusuri trotoar ini. Ku rasa sudah cukup perjananku, aku harus cepat-cepat kembali. Agar aku dapat merebahkan badanku yang semakin terasa berat. Bayangan ranjang empukku bagitu menggoda. Tak berapa lama, ku lihat ada sebuah halte tak jauh dari tempatku, syukurlah.



Di bawah pendar cahaya remang-remang yang berasal dari lampu yang terdapat di sana, aku melihat siluet seseorang yang sepertinya aku kenal. Semakin tipis jarak di antara aku dan halte itu, semakin aku yakin bahwa seseorang yang sedang duduk mencangkung seorang diri di sana adalah seseorang yang berasal dari kios tempatku mampir dalam perjalanan panjang melintasi waktuku. Aku terdiam di tempatku berdiri, mengamatinya dari jauh seperti ini adalah hal yang akhir-akhir ini sering ku lakukan.



Mengapa ia ada di luar pada malam yang selarut ini? Apa yang sedang ia pikirkan, hingga ia seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu yang berat? Kulihat bahunya bergerak lemah, kurasa ia baru saja menghela napas. Begitu beratkah beban yang ia rasakan?



Kupercepat langkahku, saat aku melihat ada segerombolan pemuda dengan langkah terhuyung mendekati tempatnya. Jantungku berdebar lebih cepat, dengan setengah berlari, aku menghampiri gadis itu. Dalam hati berulang kali aku memanjatkan doa, agar ia tak apa-apa, agar tak ada suatu kejadian yang tak ku inginkan terjadi padanya. Aku melihat gerombolan itu sudah sangat dekat dengan tempat gadis yang sekarang menunduk dalam-dalam. Sial. Kalau begini caranya, aku tak akan mencapai tempat itu tepat waktu. Akhirnya aku memacu langkahku lebih cepat. Aku berlari ke arahnya, dengan napas memburu dan dengan dentuman menyakitakan dari dalam rongga dadaku. Please... Kumohon Tuhan, kumohon agar ia tak apa-apa.



&&&



Hari ini terasa lebih panjang dan lama bagi Aura. Sudah beberapa hari ini ia tak menjumpai bayang-bayang Ksatria di sekolah. Padahal biasanya walau dengan sembunyi-sembunyi ia dapat menemukannya. Namun, hari ini entah kenapa ia

tak dapat menjumpainya di manapun. Bahkan bayangannya pun tak terlihat. Ia seolah menghilang.



Sempat terlintas dalam benaknya kalau ia sedang pergi untuk check up, seperti biasanya. Namun, waktu ia tanyakan hal tersebut pada kakanya. Ia mendapatkan jawaban yang sungguh di luar dugaan. Ternyata sudah hampir satu minggu ini Ksatria tidak masuk sekolah. Pantas saja ia tak dapat merasakan kehadirannya di sekolah. Namun, saat ia menanyankan alasannya, Yudah hanya mengedikkan bahu, tanda ia juga tak tahu apa yang menyebabkan adik semata wayangnya itu membolos.



Setelah mengetahui kabar terbaru tersebut, ia merasakan salah satu sudut hatinya berdenyut nyeri. Bahkan denyutnya semakin lama semakin terasa nyata. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin sekali melihat pemuda itu dan memastikan semuanya baik-baik saja.



Kembali ia gelengkan kepalanya untuk mengusir prasangka-prasangka buruk yang timbul di benaknya. Ia benar-benar sudah tak tahan dengan perasaannya yang begitu menghimpit. Sehingga ia memutuskan untuk bertandang ke rumah sahabatnya. Berharap dengan bercanda dan berbagi tawa dapat menghilangkan perasaan yang menghimpit di dadanya. Namun, walau sudah seharian ini ia berdekam diri di rumah sahabatnya, perasaan itu tak kunjung menghilang.



“Lo kenapa sih Ra, kok dari tadi gelisah terus?” tanya Mega saat ia akan berpamitan.



“Nggak tau Ga, dari kemarin perasaan gue nggak enak. Kayak akan ada sesuatu yang buruk terjadi.” Jawabnya lemah.

“Dari kemarin juga gue kepikiran Langit terus. Gue takut Ga,”



Mega membawa Aura ke dalam pelukannya. Pelukan seorang sahabat yang mencoba untuk menguraikan kegelisahan sahabatnya.



“Huusstt... Jangan mikir yang macem-macem. Semoga apa yang lo rasain itu nggak terjadi.” Hibur Mega di sela-sela pulukannya.



Aura hanya mengangguk lemah. “Gue kangen sama dia Ga.” Desahnya lirih dengan suara bergetar.



“Gue tau. Lo harus kuat Ra. Minta pada Yang Kuasa agar dia selalu baik-baik aja di sana.” Balas Mega lembut. Ia benar-benar prihatin dengan nasib sahabatnya ini. Baru beberapa minggu mengecap nikmatnya madu dunia yang begitu manis. Baru saja ia mengecap kebahagiaan, ia sudah harus merasakan pahitnya racun kehidupan. Takdir memang terkadang terlalu kejam dan tak adil bagi sebagian orang.



Setelah ia merasa lebih baik, akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Tak ada gunanya ia berlama-lama di sini. Hanya akan membuatnya meratapi nasib lebih lama. Akhirnya setelah ia berpamitan dengan kedua orang tua Mega, ia pun melangkah meninggalkan kompleks perumahan itu dengan gamang.



Ia berjalan dengan raga yang sudah tak utuh lagi. Sebagian nyawanya terbang melayang entah kemana. Hingga ia tak sadar telah sampai di sebuah halte yang letaknya berlawanan arah dengan jalan menuju rumahnya. Ia sandarkan tubuh lelahnya di salah satu sudut bangku yang terdapat di sana. Ia pandangi langit yang berhiaskan kerlip bintang. Mencari kekuatan dari puluhan ribu kerlip yang menggantung di atas sana.



Ia menghela napas lelah, pandangan kosongnya menyapu jalanan yang entah kenapa malam ini terasa lengang. Tak banyak kendaraan yang melintas pada ruas jalan di depannya. Dalam keadaan yang sunyi seperti ini, pikirannya melayang-layang entah kemana.



Bayangan pertemuan pertamanya dengan pemuda yang sekarang menjadi bagian dari hatinya itu terasa nyata. Ia tersenyum kala percakapan pertamanya dengan pemuda itu yang bagitu singkat namun susah untuk dilupakan. Tawa pertama meraka, pertengkaran pertama yang membuatnya berpisah dengan pemuda itu tanpa ada kejelasan.



Kembali ia mendesah pelan, ia menunduk dalam-dalam untuk membiarkan setetes mutiara bening yang sejenak tadi membayangi mata beningnya. Ia benar-benar tak menghiraukan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Lamunannya terpecah ketika ia mendengar sekelompok pemuda dengan langkah ternuyung yang meracau tak jelas mendekati tempatnya.



Serangan panik melandanya, ia edarkan pandangannya ke sekitaar halte tempatnya merenung. Lengang, tak ada satu kendaraan pun yang melintas di jalan. Tak ada seorang pun terlihat di sepanjang trotoar di sana. Tidak. Tunggu dulu, sepertinya ia tadi melihat sekelebat bayangan seseorang dari arah Utara. Ia bangkit dari duduknya, mencoba berjalan menghindari sekelompok pemuda yang kini hanya berjarak beberapa langkah darinya.



“Wuuu... Ada cewek cuy.” Ujar salah satu pemuda yang mengenakan bandana hitam di kepanya.



“Haaii cewek...” sahut pemuda yang mengenakan kemeja bergambar tengkorak.



Salah satu pemuda yang berambut gondrong dan bertato naga mabuk di salah satu lengannya berjalan mendekati Aura. Dengan lancangnya ia menoel dagu cewek manis itu. “Sendirian aja nee...” godanya.

Aura menepis tangan pemuda itu kasar. Raut ketakutan sudah mulai membayang dari kedua matanya.



“Dari pada sendirian, mending ikut kita aja.” Timpal si kaos tengkorak, yang mengikuti jejak si naga mabok. Ikut-ikutan menoel, wajah cantik di depannya yang kini bergetar ketakutan.



“Lepas! Pergi!” teriaknya mencoba melawan intimidasi ketiga pemuda kurang ajar yang sekarang mulai bertindak kurang ajar padanya.



“Huu... Galak juga.” Komentar si bandana.



“Gadis cantik jangan galak-galak dong. Kita kan anak baik.” Seloroh si naga mabok. Anak baik kok tingkahnya begitu!? Mana ada anak baik yang punya tatoo naga mabuk di salah satu lengannya!? Anak baik itu tatoo naganya nggak mabok!

Jamahan demi jamahan, colekan demi colekan dilancarkan ketiga pemuda itu. Aura pun sudah mulai tersudut. Sudah berbagai tepisan, rontaan yang ia lakukan agar ia dapat terlepas dari ketiga pemuda-yang sepertinya jarang terjamah air-yang semakin lama semakin kurang ajar padanya.



Tiba-tiba ia teringat pada sesosok bayangan yang tadi sempat ia lihat. Dengan kekuatan penuh ia berkelit mencoba membebaskan diri dari kungkungan ketiga pemuda mabuk tersebut.



“Toloooonng...!!! Toollloonng...!!!” jeritnya dengan sepenuh tenaga.



Ia masih mencoba berkelit dari cengkeraman salah satu pemuda yang ia tak tahu yang mana. Ia tak memiliki keberanian lagi untuk meilhat siapa yang tengah mencengkeramnya. Hingga ia merasakan seseorang menariknya dengan kasar dan menghadiahi pelaku yang tadi mencengkeramnya dengan sebuah pukulan telak di wajahnya.



@@@



Aku memacu kakiku lebih cepat dari sebelumnya, jantungku bertalu-talu menyakitkan mengimbangi langkahku. Napasku sudah mulai tersengal. Tapi aku harus sampai di sana. Aku harus bertindak cepat agar gadis yang-ternyata-masih aku sayangi itu terhindar dari perbuatan kurang ajar ketiga pemuda yang dapat aku pastikan mereka sedang berada di luar kesadaran.



Satu meter lagi aku sampai di tempat itu, saat aku melihat mereka telah menyudutkan Rara dan mulai menjamahinya. Dengan gemuruh dari dadaku yang serasa mau meledak, aku tarik Rara kasar, menyingkirkannya dari cengkeraman salah seorang dari mereka, dan menghadiahi orang yang baru saja mencekal tangannya dengan sebuah pukulan telak di wajahnya.



Napasku sudah terengah, dan pukulan bertalu di dadaku juga semakin menyakitkan. Sebisa mungkin aku mengabaikan rasa sakit itu, ku pandangi dengan kalap gadis yang sekarang bergetar penuh ketakutan di belakangku. Kuamati dengan seksama, hingga tak ada detil yang terlewat.



“Lo nggak apa-apa kan?” tanyaku panik.



Ia hanya menjawab dengan mengganggukkan kepalanya. Tangannya yang mendekap tas selempang di dadanya bergetar. Matanya pun memerah menahan tangis. Raut kecemasan berbaur dengan raut tak percaya, memancar dari kedua bola mata beningnya. “Sekarang lo aman. Gue nggak bakal ngebiarin mereka, nyentuh lo lagi.” Lanjutku sarat dengan amarah.



“Kurang ajar!” teriak salah satu dari mereka dan mencoba untuk menghajarku-lagi.



Untung aku dapat berkelit. “Lo mendingan pergi dari sini deh. Cepet!!” ujarku seraya mendorong tubuhnya untuk menjauhi area berbahaya. Aku berbalik untuk menghadapai mereka semua dengan ilmu bela diriku yang tak seberapa.

Sebelum aku berbalik dia menatapku seolah mengatakan, kalau dia tak suka aku melakukan ini. “Tenang aja, gue nggak bakalan kenapa-napa kok.” Ujarku lirih sebelum melayangkan satu pukulan lain ke pemuda berbandana hitam yang tadi mencoba menyerangku.



“Kondisimu sekarang sudah sangat menghawatirkan,”



Sekelebat percakapan dengan dokter Ravi tadi siang singgah dibenakku. Aku mencoba menghindari pukulan lain yang berasal dari seorang berbaju tengkorak. Aku mencoba memberinya sebuah pukulan lain. Berhasil, pukulanku tersebut tepat mengenai perutnya.



“Kamu harus mengurangi aktivitas fisik. Banyak-banyak istirahat.”



Potongan obrolan yang lain kembali berdengung di kepalaku saat seseorang yang bertatoo memukulku tepat di ulu hati. Aku ternuyung ke belakang. Rasa sakit bertalu itu semakin menekan pernapasanku. Di tambah lagi sakit yang baru saja kuterima darinya. Napasku mulai tersengal. Udara terasa sangat menghimpit.



“Sebisa mungkin kamu harus menguranginya. Karena kondisi jantungmu sudah tak memungkinkan untuk mendukungmu melakukan aktivitas fisik yang berlebih.”



Sepotong ucapan dokter Ravi kembali hadir memenuhi otakku. Dengan langkah limbung aku mencoba untuk melawan meraka, setidaknya biarkan aku melumpuhkan salah seorang dari mereka. Untunglah, aku dapat berkelit saat salah satu dari mereka mencoba menghajarku lagi. Dengan penuh keyakinan aku layangkan sebuah tendangan ke perutnya.



“Langit...!!! Cukup..!!”



Teriakan dari gadis yang sekarang memandang khawatir dan ketakutan ke arahku, ku abaikan begitu saja. Aku tak bisa menyudahi semua ini sekarang. Aku tak mau menyerah di saat terakhir. Di saat aku tahu ketiga orang ini tadi telah menjamah gadisku.



“Apakah waktuku sudah tak lama lagi, dok?”



“Saya tidak bisa berkata banyak. Yang jelas sekarang kamu sudah menempati urutan pertama dari daftar penerima donor.”



“Jadi, itu artinya kondisi saya...”



“Ya, kamu harus secepatnya dioperasi.”



Percakapan itu kembali berdengung di kepalaku. Menyiksa konsentrasiku untuk selalu berkelit dan menghajar mereka. Dentuman bagai godam yang berdentum di dadaku benar-benar telah menyiksaku. Napasku pun sudah mulai terasa menyakitkan. Dengan sisa tenaga yang kumiliki aku masih mencoba untuk memberikan perlawanan pada mereka.



Namun, ternyata itu semua sia-sia. Aku tahu saat aku mulai memutuskan untuk menolong gadisku, aku telah memasuki akhir dari perjalan panjangku. Garis batas itu semakin terlihat jelas, bahkan sekarang aku mulai dapat melihat bagian lain di seberang tapal batas itu. Sesuatu kembali berkelebat di benakku, memecah konsentarasi yang kupunya. Sial. Aku benar-benar tersiksa sekarang. Rasa tertusuk jarum di dalam rongga dadaku benar-benar menyakitan.



“Kalau saya tak segera mendapatkan donor itu. Apa yang akan terjadi, dok?”



“Saya tak berani berspekulasi. Saran saya, lebih baik mulai sekarang kamu mempersiapkan diri saja.”



“Apa tak ada jalan lain dok?”



“Tak ada jalan lain Ksatria. Kamu harus secepatnya mendapatkan donor itu.”



Sepotong percakapan itu kembali berdengung di kepalaku. Menyelusup menembus sisa-sisa kesadaranku yang semakin memupus. Aku sudah tak dapat bertahan, kubiarkan mereka melakukan apapun sesuka meereka, aku benar-benar sudah tak dapat membalas lagi. Dalam hati aku berdoa agar gadis yang sekarang berteriak panik tak jauh dariku dijauhkan dari ketiga pemuda berandal ini. Biarlah hanya aku saja yang menanggung semua ini, karena hanya dengan cara inilah aku dapat menjadi Ksatria yang sesungguhnya baginya.



Kata orang, jika kita telah mendekati maut, kita akan melihat kilasan kenangan-kenangan dari mulai kita lahir hingga sekarang. Dulu, aku tak mempercayai hal tersebut. Aku memanggap hal tersebut hanyalah sebuah omong kosong yang terlalu dilebih-lebihkan. Namun, malam ini aku menarik kembali kata-kataku dulu. Kilasan-kilasan tentang perjalanan hidupku sejak aku kecil menghambur memenuhi ruang kecil di kepalaku, bekerjaran dalam zona memoriku. Berdesakan memenuhi rongga kenangan yang berjejalan. Hingga aku merasakan sesuatu yang dingin menyergapku.



Dingin, dan semakin dingin. Akankah ini akhir dari perjalananku? Sekelebat tadi, aku dapat melihat ayahku tersenyum ke arahku. Sebelum sebuah suara berdengung nyaring memenuhi indera pendengaranku. Sebuah seruan panik menembus suara sirine tersebut.



“Langiit..!!!!”



Dan semuanya menjadi gelap dan dingin. Aku tak ingat apa-apa lagi. Kegelapan menyerangku, yang dapat aku ingat hanyalah sebuah suara panik tak jauh dariku. Sebelum akhirnya aku dibutakan oleh cahaya putih terang yang berada di batas kesadaranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar