Jumat, 05 Oktober 2012

colour of sky 2

そら の いろ



Aura menguap untuk yang kesekian kalinya, ia benar-benar tak dapat menahan kantuknya. Udara siang yang panas ditambah dengan ceramah seputar kejadian di masa lalu, serasa seperti dongeng baginya. Kepalanya sudah berkali-kali terantuk, akibat ia sudah tak kuasa menahan kantuknya.



“Aura! Coba sebutkan negara-negara mana saja yang memulai perang dunia ke-2?!” pertanyaan tiba-tiba yang diajukan oleh Bu Husna, guru Sejarahnya, sontak mengembalikan kesadaran Aura yang tadi sempat menghilang.



“Ha!? Apa Bu?!” jawabnya gelagapan.



“Kamu tidak mendengarkan penjelasan ibu ya!?” tanya bu Husna dengan nada kesal.



“Ma... Maaf Bu,” ucap Aura lirih.



“Sudah cuci muka dulu sana! Kalau memang sudah tak ingin mengikuti pelajaran ibu, kamu boleh pulang sekarang juga!” ujar bu Husna tegas.



“Yaah... jangan gitu donk Bu. Iya deh Bu saya cuci muka dulu, permisi Bu,” ujar Aura yang segera pergi meninggalkan kelas diiringi semyuman geli dari teman-temannya.



Di sepanjang koridor menuju toilet, ia tak henti-hentinya bersungut-sungut merutuki kebodohannya yang mengantuk di kelas. Setelah membasuh wajahnya berkali-kali dengan air, kesadarannya pun perlahan timbul, rasa kantuk yang sedari tadi menyiksanya pun kini lenyap, tergantikan sebuah semangat untuk kembali ke kelas.



Ia melangkah dengan riang dengan sesekali tertawa kecil saat melihat beberapa siswa yang mendapat hukuman di lapangan entah apa yang menyebabkan mereka mendapat hukuman di tengah teriknya matahari. Lagi, di saat ia melewati koridor sempit gudang bekas itu, ia mendengar suara denting gitar, namun kali ini ia tak hanya mendengar suara alat musik itu saja. Ia juga mendengar seseorang yang sedang menyanyikan sebuah lagu sendu dengan suara bergetar.



Rasa penasaran kembali hinggap di benaknya, kali ini ia penasaran dengan orang yang menyanyikan lagu sendu itu. Dari suaranya yang merdu dan sedikit serak-dan bergetar-ia dapat menyimpulkan kalau pemilik suara itu orangnya cakep. Entah teori dari mana, yang jelas ia yakin bahwa siapapun itu pasti memiliki wajah yang cakep.



Perlahan ia berjalan mendekati gudang yang beberapa hari lalu telah membuatnya ketakutan. Ia melangkah pelan, tanpa menimbulkan suara. Ia tak mau mengusik kesyahduan yang tercipta dari suasana gudang yang sunyi dan suara lagu yang sendu. Kali ini ia tak mampir untuk melihat ke dalam gudang, melainkan berjalan terus melewatinya. Ia yakin pemilik suara itu berada di balik tembok di belakang gudang.



Suara itu semakin jelas, getaran suara yang tertangkap dari lagu itupun semakin jelas. Dengan sedikit menarik napas, ia melongok ke balik tembok di dekatnya. Ia tertegun setelah melihat apa yang ada di depannya. Seorang cowok yang sedang bersandar pada tembok dengan kaki bersila, mata tertutup, memetik gitar dengan jemarinya yang panjang dan bergetar. Bukan itu saja yang membuat Aura tertegun, air mata yang menghiasi wajah mulus itulah yang membuatnya membeku.



Entah mengapa ia dapat merasakan emosi yang sedang dialami cowok itu. Tak terasa air matanya pun meluruh satu-satu, lagu sendu itu begitu merasuk ke hatinya. Cara membawakannya yang benar-benar dari hati membuatnya dapat mengerti arti dari setiap liriknya. Cowok itu tidak sedang bernyanyi, melainkan sedang berbicara, ia seolah mengungkapkan isi hatinya lewat lirik yang dibawakan. Sehingga Aura pun dapat merasakan emosi yang sama seperti yang cowok itu rasakan. Sebuah kerinduan yang mendalam pada sosok ayah.



Apa yang membuatnya menyanyikan lagu itu begitu sempurna? Apakah ia memiliki kenangan tersendiri akan lagu itu? Berbagai pertanyaan berkelebat di benaknya, hingga tanpa sadar ia masih saja terpaku memandang cowok itu, yang kini telah mengakhiri permainan gitarnya. Ia cepat-cepat berbalik saat melihat cowok itu menoleh ke arahnya.

Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, dapat ia rasakan ketegangan merayapi punggungnya. Ia yakin cowok itu tadi melihatnya tengah memandanginya. Perlahan ia kembali melongokkan kepalanya untuk melihat apakah cowok itu benar melihatnya atau tidak. Namun apa yang terjadi, pada saat ia menjulurkan kepalanya ia dikejutkan oleh kehadiran sosok itu tepat di depan matanya. Sontak ia pun berdiri tegak dan memandang cowok itu dengan ekspresi persis seperti maling ayam yang baru saja kepergok hansip.



Aura menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan senyum bersalah menghiasi wajahnya. “Eeem... Gu... Gue, gue tadi nggak sengaja. Iya... nggak sengaja denger lo nyanyi, kar... Karena penasaran, makanya gue samperin. Sorry kalau gue ganggu.” Ujar Aura terbata. Entah kenapa dia jadi salah tingkah seperti itu, pandangan tajam dan menyelidik dari cowok di depannya itu membuatnya seperti diintimidasi, sehingga ia mengungkapkan alasannya bahkan sebelum cowok itu bertanya.



Tak ada reaksi darinya, ia masih berdiri di depan Aura, dengan gitar di tangan kanan, dan tangan kiri yang berada di saku celana. Pandangannya masih tajam dan terasa menghakimi. Ia terlihat tidak senang dengan kehadiran Aura di sekitarnya. Dengan menghentakkan kaki karena kesal, ia pun pergi begitu saja dari hadapan Aura yang masih saja belum dapat mencerna seutuhnya dari kejadian yang baru saja dialaminya. Ia pandangi punggung cowok yang baru saja melewatinya. Ketika punggung itu menghilang di balik tembok, senyum manis terukir di wajahnya.



“Akhirnya gue tau juga siapa yang suka main gitar di sini. Tapi sayang gue nggak tau namanya. Kira-kira dia kelas berapa ya?” gumamnya lirih sebelum meninggalkan tempatnya berdiri.



&&&



“Ra, kemarin lo ngilang lama bener sih. Cuci muka aja sampe setengah jam. Lo cuci muka di Arab ya, sampe lama gitu?” pertanyaan pertama di pagi hari itu menyambut kedatangan Aura.



Aura hanya tersenyum tipis menjawab pertanyaan dari Mega. “Eeh, malah senyum-senyum aja, jawab donk.” Gerutu Mega.



“Sekarang gue udah tau Ga, siapa yang suka main gitar di gudang masalah itu. Atau mulai sekarang gue harus nyebut tempat itu gudang kenangan.” Jawab Aura dengan senyum yang semakin mekar.



“Serius lo!? Orang bukan?” tanya Mega ngaco.



“Serius Ga, oranglah masa hantu!” jawab Aura seraaya menoyor dahi Mega yang kini tersenyum lebar.



“Kirain, abisnya kemarin kan lo cerita, horor gitu.” Jawab Mega sekenanya. “Terus-terus, dia cewek apa cowok?”



“Cowok, dan cakep bangeet. Eh, kemarin dia nggak Cuma main gitar doank, tapi juga nyanyi. Dan lo tau nggak Ga, suaranya tuh, merdu banget. Gila, gue aja nih ya sampe terhanyut sama lagu yang dinyanyiin dia.” Jawab Aura berapi-api.



“Sampah kale terhanyut. Lebay ah lo,” ujar Mega tak percaya.



“Ih, serius Ga, suaranya tuh merdu banget. Dia tuh nyanyi udah kaya ngomong. Kena banget di hati,” Lanjut Aura semangat.



“Terus, lo sempet kenalan nggak sama dia?” tanya Mega menyelidik.



Aura hanya menggeleng lemah dengan senyum getir. “Nggak sempet. Dianya udah keburu pergi, lagian dia kaya’nya marah gitu deh sama gue.” Jawab Aura sendu.



“Kok lo bisa tau dia marah sama lo?” selidik Mega.



“Dari matanya Ga.” Jawab Aura tegas.



“Lo tau nggak Ra. Makin hari lo nih makin aneh aja. Apalagi sejak lo sering ke gudang itu. Lo itu udah kaya’ apa ya, orang yang kena pelet.” Ujar Mega ngawur.



“Pelet? Enak aja lo, sekarang udah nggak zaman kale main pelet-peletaan.” Ujar Aura ringan.



“Kalau bukan kena pelet, terus apa coba alasan yang bisa ngejelasin sikap lo yang aneh ini?” desak Mega.



“Entahlah, gue juga nggak ngerti. Gue bener-bener penasaran sama dia Ga,” ujar Aura menerawang. Mengakhiri perbincangan di pagi hari.



###



“Lo kemaren bolos lagi ya Ksat?” tanyaku langsung pada Ksatria yang sedang duduk mencangkung di sebuah bangku taman.



“Iya Bang, lo tau dari mana gue bolos?” jawabnya singkat. Matanya tak lepas memandangi koridor yang mulai ramai oleh siswa-siswa yang berebut jalan untuk segera sampai di kantin.



“Pak Togar bilang ke gue tadi. Lo kenapa sih akhir-akhir ini sering banget bolos? Seminggu ini aja lo udah hampir 3 kali bolos.” Ujarku tegas.



“Habis gue bosen Bang di kelas terus, mana pak Togar ngajarnya nggak asyik lagi.” Jawabnya ketus.



“Lo jangan gitu donk. Gitu-gitu pak Togar orangnya baik lho.” Ujarku menasehatinya.



“Bang, sampai kapan sih gue harus kaya gini terus. Lama-lama gue bosen Bang. Apa nggak bisa gue home schooling aja?” tanyanya lirih sambil memandangku lemah.



Aku menarik napas lelah. “Sampai lo bisa hidup sendiri tanpa gue.” Jawabku singkat. Dia hanya melengos mendengar jawabanku. “Denger ya Ksat, lo nggak bisa selamanya hidup sendiri, suatu saat lo juga butuh orang lain, itulah gunanya lo sekolah. Tempat lo bisa nyari temen, supaya lo lebih care sama orang lain. Kalau lo terus-terusan kaya gini, gue khawatir lo nggak bakal pernah punya temen selain gue.”



“Buat apa Bang gue punya temen banyak-banyak kalau toh akhirnya gue bakal ninggalin mereka semua. Lagian bagi gue udah cukup ada lo ama mama dalam hidup gue, nggak perlu orang lain lagi.” Jawabnya sedikit kesal. “Apa lo udah capek ngurus gue Bang, makanya lo bilang gitu?”



“Gue nggak akan pernah capek ngurus lo Ksat, gue Cuma mau lo punya orang lain dalam hidup lo yang singkat ini. Bukan Cuma gue ama mama aja, udah saatnya lo keluar dari cangkang lo.” jawabku bijak.



“Gue nggak mau ngelibatin orang lain Bang ke dalam hidup gue. Percuma gue deket dengan mereka kalau ujung-ujungnya gue harus ninggalin mereka. Gue nggak mau bikin orang lain sedih karena gue, kehilangan karena gue. Cukup lo ama mama aja, itu juga kalau gue boleh milih biar gue aja yang ngerasain sakit itu nggak usah kalian.” Jawabnya dengan suara bergetar.



“Terserah lo Ksat. Ini hidup lo, mau lo buat jadi kaya’ gimana itu terserah lo, gue Cuma bisa ngingetin lo aja biar lo nggak sampai tersesat di hidup lo sendiri.” ujarku singkat seraya membelai punggungnya lembut. Dia memang butuh perhatian lebih dariku, agar tak merasa sendiri terus.



“Gue kangen papa Bang,” ujarnya lirih.



“Ya udah pulang nanti kita mampir ke makam papa,” jawabku tak kalah lirih, mengakhiri perbincangan singkat kami.



@@@



“Ga, coba geh lo liat ke sana,” ujar Aura tiba-tiba seraya menunjuk salah satu sudut kantin yang siang itu tampak begitu ramai.



“Hem?! Apaan Ra?” tanya Mega tak mengerti, pandangannya memindai seluruh isi kantin, berusaha mencari apa yang dimaksud sahabatnya itu.



“Itu, coba geh lo liat di meja yang deket tukang somay.” Ujar Aura seraya menunjuk arah di mana yang ia maksudkan berada.



“Iya gue liat. Emang ada apaan sih di sana?” tanya Mega semakin tak mengerti.



“Lo liat cowok yang lagi makan somay itu?” tanya Aura antusias.



“Iya, kenapa? Lo naksir sama dia?” tanya Mega telak.



“Itu cowok yang gue bilang kemarin Ga!” jawab Aura semangat.



Mega sedikit tersedak mendengar penuturan Aura yang tiba-tiba. “Apa lo bilang!? Cowok itu cowok yang lo temuin di gudang masalah kemaren!? Yakin lo nggak salah liat!?”



“Swear deh, dia itu cowok yang kemaren. Kenapa sih lo heboh gitu? Lo kenal sama tuh cowok?” tanya Aura heran melihat temannya yang bereaksi diluar dugaannya.



“Seluruh sekolah juga tau kali siapa cowok itu. Dia kan adiknya Yudha, lo tau Yudha kan? Ketua gank berandal yang tahun kemaren abis diciduk di gudang itu karena ketauan ngerokok?” jawab Mega lirih.



“Tau lah, gue nggak kamseupay banget kale sampe-sampe Yudha aja nggak tau. Tapi, masa’ sih dia adiknya? Beda gitu.” Ujar Aura tak percaya begitu saja.



“Lo sih pake’ acara kena tipus segala, jadi nggak tau kan perkembangan terbaru di sekolah kita.” Ujar Mega meledek.



“Yee, kalau itu mah jangan salahin gue donk, salahin aja tuh penyakit kenapa nemplok di gue lama banget.” Jawab Aura tak terima dengan sindiran Mega. “Tapi Ga, gue nggak percaya kalau tuh cowok adiknya Yudha. Lo liat aja geh, dari segi tampang aja udah beda jauh. Si Yudha sangar gitu, lah adiknya? Body juga beda jauh. Yudha atletis gitu, adiknya? Bener-bener nggak ada mirip-miripnya tau,”



“Kalau dari fisik sih emang beda jauh. Tapi kalau dari tampang mereka nggak jauh-jauh amat kok bedanya. Yudha keren, nah si Ksatria cool. Tapi lo jangan salah Ra, kelakuan mereka itu nggak jauh beda, sama-sama bermasalah.” Ungkap Mega serius.



“Jadi namanya Satria?” ulang Aura pelan.



“Bukan, bukan Satria tapi Ksatria, ada K di depan awalan S-nya.” Ralat Mega.



“Hah!? Aneh bener sih, Ksatria? Body lepay gitu dinamain Ksatria?! nggak banget deh.” Ujar Aura sedikit mengejek.



“Tau tuh, dia mah lebih sering di panggil Ksatria bergitar sama anak-anak seangkatannya, gara-gara tuh cowok suka bawa gitar kemana-mana,” lanjut Mega dengan senyum geli.



“Udah kaya penyanyi dangdut aja sih Ksatria bergitar!?” timpal Aura dengan terkekeh geli.



“Saran gue nih ya Ra, mendingan lo jauh-jauh deh dari mereka. Mulai sekarang lo lupain deh rencana lo buat deket sama si Ksatria itu.” Ujar Mega serius.



“Emang kenapa kalo gue deket-deket mereka, toh sekarang Yudha nggak sesangar dulu. Gue rasa nggak ada salahnya buat jadi temen mereka.” Ujar Aura yakin.



“Lo bisa kena masalah kalau keseringan gaul ama mereka Ra. Percaya deh, mereka itu nggak baik buat lo,” tegas Mega.



“Oke, mungkin Yudha emang nggak baik buat gue, tapi kalo Ksatria? Gue rasa nggak deh, dari caranya main gitar ama nyanyi gue yakin dia orangnya baik.” Jawab Aura tegas.



“Lo nggak bisa nilai orang Cuma dari caranya nyanyi ama maen gitar Ra. Dan lo boleh percaya boleh nggak, si Ksatria itu orangnya anti sosial. Nggak pernah tuh gue liat dia gaul sama orang lain kecuali si Yudha.” Lanjut Mega.



“Iya sih gue ngerti. Tapi, gue tetep pada rencana gue buat deket sama mereka, terutama Ksatria.” Tegas Aura.



“Kenapa sih lo ngebet banget pengen deket sama dia? Lo beneran naksir sama dia?” selidik Mega.



“Gue nggak bisa bilang alesannya ke lo Ga. Nggak sekarang.” Jawab Aura lirih. Ia tak bisa mengatakan kalau alasannya ingin lebih mengenal Ksatria karena penasaran apa yang menyebabkan cowok itu sampai menangis Cuma gara-gara satu buah lagu. Dan dia juga penasaran apa yang membuatnya sering menyendiri di tempat itu.



“Terseraah lo lah Ra. Yang jelas gue udah ngingetin lo,” ujar Mega pasrah.



###



“Ksat, besok tempatmu pelajaran apa aja?” tanyaku saat kulihat Ksatria duduk melamun di meja belajarnya.



“Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, Olahraga, sama Seni musik. Kenapa Bang?” tanyanya malas-malasan.



“Lo besok bolos jam pertama ya,” ujarku yang membuatnya menatapku heran.



“Tumben Bang lo ngajakin gue bolos, biasanya juga lo ngomel-ngomel kalau gue bolos. Ada apa?” tanyanya curiga.



“Besok jadwal lo check up, makanya gue ajakin lo bolos.” Jawabku singkat.



“Yaelah Bang, kirain mau ngajakin kemana, taunya.” Sungutnya.



“Jangan lemes gitu donk, jangan bilang lo nggak suka bolos jam pertama?!” tanyaku menggodanya.



“Gue mah seneng-seneng aja Bang lo ajakin bolos, yang bikin males tuh pergi ke sana, bosen gue Bang.” Gerutunya seraya merebahkan badannya. Kulihat dia menerawang ke langit-langit, entah apa yang sedang dipikirkannya. Ku hampiri dia, dan ikut merebahkan tubuhku di sampingnya.



“Apa yang lagi lo pikirin?” tanyaku sambil lalu.



“Sampai kapan sih Bang gue harus kaya’ gini. Bolak balik ke sana, ketemu orang itu mulu, denger hal-hal yang itu-itu mulu. Minum obat yang nggak enak itu terus, lama-lama gue bosen Bang. Mendingan gue cepet-cepet ketemu papa deh daripada gini-gini terus.” Ujarnya lelah.



Kujitak kepalanya pelan. “Hush, lo nggak boleh ngomong gitu. Lo harus tetep berjuang buat sembuh, demi gue, demi mama yang tiap hari kerja keras Cuma buat lo. Jangan kecewain beliau dengan keluhan lo yang itu-itu mulu. Bahkan lo ngeluh juga gitu-gitu mulu dari dulu.” Ujarku bijak, terkadang aku kasihan juga dengan Ksatria, di usianya yang masih muda ini dia sudah harus menerima garis hidupnya yang singkat.



“Justru itu Bang, gue kasihan liat mama tiap hari kerja keras Cuma buat nebus obat gue. Kalau gue cepet ketemu papa kan mama nggak harus banting tulang kaya gini.” Jawabnya cepat.



“Iya, terus bikin mama sedih, nangisin kepergian lo. Lo tau, Cuma lo yang bisa bikin mama senyum. Harapan yang di kasih dokter buat lo lah yang bikin mama nggak pernah ngeluh walau udah kerja keras gini.” Jawabku bijak.



“Tetep aja Bang, gue kasihan sama mama. Kalau bisa tuh lo aja yang banting tulang buat gue jangan mama,” ujarnya usil.



“Ho’oh, terus lo mau ngeliat mama stroke mendadak liat gue di DO sama sekolah, gara-gara bolos sekolah demi kerjaan yang nggak seberapa!?” jawabku seraya menjitak kepalanya.



“Au, sakit tau Bang, lo ini kalau jitak rada pelan dikit nggak bisa apa? Peyang nih lama-lama kepala gue, lo jitakin mulu.” Sungutnya seraya mengusap-usap kepalanya yang tadi terkena jitakanku.



“Ya habisnya lo ngomong ngak pake’ mikir dulu sih,” ujarku dengan tawa lepas.



“Bang, besok gue aja ya yang bawa motornya,” ujarnya memohon, setelah keadaan hening sejenak.



“Lo mau ngajakin gue mati muda!?” jawabku seraya bangkit menuju kamarku yang bersebelahan dengan kamarnya.



“Yaelah Bang, sekalii ini aja Bang,” rayunya.



“Nggak, gue masih mau hidup.” Jawabku tegas.



“Pelit lo Bang!” gerutunya kesal. Bukannya aku nggak ngebolehin dia bawa motor, Cuma karena kesehatannya yang nggak memungkinkan maka sebisa mungkin aku nggak mengijinkan dia bawa kendaraan itu.



&&&



Pagi ini dilewati Aura dengan uring-uringan, pasalnya dia tadi pagi sudah sengaja datang agak siangan, berharap bisa bertemu Ksatria di gudang itu. Tapi, hanya udara kosong yang ia temui di sana. Saat jam pelajaran pun dia sengaja bolak balik ke toilet Cuma untuk mengecek apakah dia bolos atau tidak. Dan lagi-lagi nihil, rencananya nanti waktu istirahat dia akan menunggu di tempat itu sampai Ksatria datang.



Dia masih penasaran dengan coeok itu, dia ingin mengobrol banyak dan menjadi dekat dengannya. Terutama dia ingin mendengarnya bernyanyi dan memainkan gitarnya. Sejak hari di mana dia bertemu dengan Ksatria untuk yang pertama kali, dia sudah jatuh hati pada cowok itu, bahkan sebelum mereka bertatap muka. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya.



“Ra, lo kenapa sih, dari tadi gelisah mulu. Lagi dapet ya?” bisik Mega, saat ini mereka sedang mendengarkan kuliah tentang bagaimana anggota DPR bekerja.



“Nggak kenapa-napa kok Ga,” jawab Aura sambil lalu, matanya tak lepas dari papan tulis yang kini menyajikan diagram pemerintahan pusat.



“Nggak kenapa-napa kok dari tadi lo bolak balik ke toilet sih?” selidik Mega.



“Emang nggak boleh kalau gue bolak balik ke toilet?” balas Aura jengah.



“Nggak juga sih, Cuma aneh aja. Nggak biasanya lo bolak balik ke toilet, ada apaan sih?” tanya Mega lebih lanjut.

Aura menarik napas pelan dan memandang Mega serius. “Gue bolak balik ke toilet Cuma buat mastiin satu hal.” Jawab Aura serius.



“Mastiin apa?” kejar Mega.



“Mastiin dia ada di sana apa nggak!” jawab Aura tegas.



“Dia?? Maksud lo si Ksatri Bergitar itu?” tanya Mega dengan wajah terkejut.



“Siapa lagi?” jawab Aura retoris.



“Ya Ampun Ra, segitunya lo ngefans sama dia, sampai-sampai lo samperin tempat nongkrongnya yang angker itu berkali-kali. Ckck,,,” ujar Mega, seraya menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia benar-benar heran dengan kelakuan sahabatnya yang mendadak demen banget nyamperin tempat paling berbahaya di SMANSAGA.



“Ya habisnya, gue penasaran banget sama dia.” Jawab Aura sambil lalu.



“Terus lo ketemu sama dia?” tanya Mega ingin tahu.



Aura hanya menggeleng lemah. “Nggak berangkat kali anaknya,” jawabnya lemah.



“Atau nggak, dia lagi nggak bolos, makanya nggak ada di sana,” imbuh Mega.



“Bisa jadi, makanya ntar istirahat gue mau ke sana lagi. Siapa tau dia ada di sana,” ujar Aura dengan senyum mengembang.



Mega hanya menggeleng pelan melihat sahabatnya yang sepertinya sudah terkena sihir si Ksatria Bergitar. “Gue doain semoga lo bisa ketemu deh sama si Ksatria dangdut itu,” ujar Mega dengan senyum geli.



“Enak aja dangdut! Emangnya lo yang suka nyanyi dangdut!?” gerutu Aura pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar