Sabtu, 13 Oktober 2012

colour of sky 13

そら の いろ



Aku termenung seorang sendiri, di salah sudut kamar gelapku. Hanya malam tak berbintang yang menemaniku perenunganku. Aku memikirkan kembali apa yang telah aku lakukan tadi siang pada satu-satunya orang yang peduli padaku. Sikapku siang tadi memang benar-benar bodoh. Tak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu padanya. aku tahu bagaimana usahanya untuk selalu mendampingiku dalam setiap situasi. Tapi kenapa aku masih saja belum sepenuhnya percaya kepadanya?



Aku menghela napas berat. Aku memang pantas dihukum, dikutuk atau dibunuh saja sekalian daripada harus hidup dengan cara seperti ini. kualihkan pandanganku ke arah langit malam yang kelam. Bahkan saat aku membutuhkan teman pun tak ada satu bintang pun yang muncul. Hidupku memang benar-benar menyedihkan.



Mungkin aku telah lelah dengan semua ini, kekesalanku memuncak dan terlepas pada kejadian siang tadi. Aku benar-benar putus asa. Sampai kapan aku harus menunggu seseorang mati demi aku!? Hanya karena aku merebut jantungnya demi hidupku!?

Kondisi yang semakin memburuk, sesuatu yang telah aku persiapkan dengan mempertaruhkan hidupku, semua hal yang aku rencanakan sepertinya berbalik memusuhiku. Apa memang aku tak berhak bahagia? Mengapa bahagia begitu sulit untuk kuraih?



Aku melangkah ke arah meja belajarku, kuraih salah satu laci paling atas yang terdapat di meja. Aku tatap sebentuk kotak berpita biru yang tergeletak di sana. Perlahan aku meraihnya dan membuka penutupnya. Satu buah keping CD tampak di sana. Aku pandangi satu keping CD berisi ungkapan perasaanku. Mungkin ini memang tak akan pernah sampai padanya. aku yakin, setelah kejadian kemarin dia akan semakin membenciku, dan aku semakin tak pantas untuk bersanding dengannya.



Aku letakkan kembali kepingan CD itu ketempatnya semula menutupnya dan memasukkan kembali ke dalam laci dan menguncinya rapat-rapat. Biarlah keadaan seperti ini dahulu. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari orang sepertiku? Jika bukan kesedihan hanya luka, bukan sebuah kebahagiaan.



&&&



Sementara itu, nun jauh di sana tepatnya di komples poerumahan sederhana, tampak seorang gadis duduk mencangkung memandang fotonya yang sedang tersenyum lebar dengan seorang pria di sebelahnya. Dia tersenyum kecut ke arah foto yang baru beberapa hari yang lalu diambil. Tepat dihari ketika dia telah resmi menjadi kekasih pria itu.



“Maafin aku Tur. Aku belum bisa bilang sekarang. Tapi, aku janji. Suatu saat nanti kamu pasti aku kasih tau yang sebenarnya.” desahnya lirih, seolah berbicara kepada photo tersebut.



Sebuah suara derti pintu mengagetkannya. Seorang wanita paruh baya masuk, dia tersenyum melihat anak gadisnya yang berbicara sambil memandang photonya.



“Kamu belum tidur, nduk?” tanya wanita itu lembut seraya mengusap rambut panjang anaknya yang tergerai indah.



“Belum Bu. Anggun belum bisa tidur.” Jawabny lembut seraya memandang ke arah ibunya yang kini tengah memandangi photo anaknya.



“Bukannya dia yang sering ke rumah sakit itu ya?” tanya ibunya seperti ingin memastikan sesuatu.



“Njeh bu. Dia Guntur.” Jawab Anggun malu-malu.



“Nama yang bagus.” Ujar ibunya tulus. “Tapi kasihan dia, masih semuda ini tapi harus menanggung beban yang begitu besar.”



“Maksud ibu?” tanyanya tak mengerti.



“Lho, memangnya kamu belum tau tho? Adiknya kan sering keluar masuk rumah sakit itu. Ibu dengar dia sakit jantung dan harus segera mendapatkan donor. Pasti sulit sekali mendapatkan pendonor di zaman sekarang ini. Mana ayahnya udah nggak ada. Ibunya sampai kurus sekali, gara-gara terlalu keras bekerja untuk menebus biaya pengobatan adiknya.” Jelas ibunya miris.



Anggun yang mendengar penjelasan ibunya hanya dapat memandang photonya dengan perasaan campur aduk. “Udah malam, sebaiknya kamu cepat tidur.” Tutur ibunya sebelum meninggalkan kamar Anggun.



Sepeninggal ibunya Anggun masih terpekur di tempatnya. Memandang sendu ke arah sesosok yang terproyeksi pada selembar photo di hadapannya. Dengan napas berat ia letakkan frame photo itu di tempatnya semula dan beranjak ke pembaringan. Besok ia akan memutuskan untuk menemui orang itu lagi. Kali ini ia sudah menentukan pilihan.



###



Entah kenapa malam ini aku sulit sekali memejamkan mata. Seakan ada sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Tapi, aku tak tahu apa itu. Semoga saja itu hanya perasaanku saja. Aku berguling menghadap dinding. Pikiranku melayang pada sebentuk wajah yang siang tadi terlihat sedikit pucat.



“Apa dia sakit ya?” gumamku lirih.



Anganku kembali pada kejadian tadi siang. Aku sangat menyesalkan tindakan Ksatria yang terlalu emosional. Tak seharusnya dia bersikap seperti itu. Walau aku tau dia memang termasuk ke dalam jenis orang-orang yang sensitif, tapi tak pernah aku melihatnya sampai seperti itu.



Perlahan aku bangkit dari pembaringanku, aku harus bicara dengannya. Dengan berjingkat aku berjalan menuju kamarnya yang berada tepat di samping kamarku. Pelan kuketuk pintu kamarnya. Tak ada sahutan. Apa dia sudah tidur?

Baru saja aku berbalik hendak kembali, samar aku mendengarnya menyuruhku masuk. Kubuka pintu kamarnya yang ditempeli beberapa stiker konyol, dengan penuh keraguan. Aku melongokkan kepalaku untuk melihat apakah dia tadi benar-benar memanggilku atau tidak.



Aku tertegun melihat ke dalam kamarnya. Dia yang sedang duduk membelakangiku terlihat begitu lemah tanpa daya. Dengan perlahan aku melangkah masuk dan menghampirinya. Sekilas aku melihat beberapa kertas berserakan di lantai. Apakah dia baru saja mengerjakan sesuatu?



“Gue emang bodoh banget ya bang?” ujarnya lirih, seolah bertanya pada angin yang terasa begitu dingin melewati celah-celah jeruji ventilasi.



“Lo nggak bodoh kok. Lo Cuma kurang bisa ngontrol emosi.” Jawabku pelan. Aku memilih duduk di sampingnya, ikut memandang malam yang semakin mencekam.



“Dia pasti benci banget sama gue.” lagi-lagi keluhan dari bibirnya begitu menggiriskan hati.



“Nggak bakal, kalau lo segera minta maaf sama dia.” Kataku menasehati.



“Apa pintu maaf itu masih bisa gue dapetin bang? Setelah semua yang udah gue kasih ke dia?” bantahnya pesimis.



“Lo kenapa jadi pesimis gini lagi sih Ksat?” potongku tandas, sedikit menaikkan nada bicaraku beberapa oktaf. Aku benar-benar tak suka melihatnya menjadi orang yang Cuma menyalahkan diri sendiri seperti ini.



“Dokter Raka kemarin bilang, mungkin gue nggak bisa bertahan sampai dua tahun ke depan, bang. Dan gue rasa itu bener.” Ungkapnya sendu.



“Dari mana lo tau kalau lo nggak bisa ngelewatin dua tahun ke depan, hah!? Lo masih inget kan sama apa yang dibilang Rara!? Walau Cuma 0,01%, itu juga masih dibilang harapan Ksat!? Lo harus kuat! Lo nggak boleh nyerah!” kataku menggebu.



“Gue tau Bang!? Tapi lo nggak pernah ngerasain jadi gue!? Gue aja ngerasa akhir-akhir ini udah mulai susah banget buat napas. Kadang tengah malem gue ngerasain napas gue tuh kayak diujung tenggorokan, bang. Berasa kalau gue emang bener-bener udah mau mati. Gue takut, bang. Takut banget. Gue belum siap buat pergi. Gue masih mau di sini. Masih mau ngelewatin gimana rasanya bahagia bareng sama lo, mama, kak Anggun, Rara, sama semua orang. Gue takut, bang. Gue takut.” Jelasnya dengan suara bergetar dalam tunduknya. Aku melihat bahunya bergetar, menahan gejolak emosi. Aku meraihnya ke dalam pelukanku. Aku tak mau dia hancur. Tidak dengan kondisinya yang seperti sekarang ini.



“Gue takut, bang. Gue belum mau mati.” Isaknya dalam pelukanku.



Aku semakin mengeratkan pelukanku padanya.



“Lo kuat Ksat. Gue tau lo pasti bisa ngelewatin semua ini. gue yakin lo bakal dapet harapan 0,01% itu. Lo Cuma harus sabar dan nggak putus asa. Lo harus inget, masih banyak orang-orang yang peduli sama lo. Gue, mama, Anggun, Rara, dokter Raka, dan semua orang yang sayang sama lo. Lo jangan nyerah secepat ini.” ujarku berusaha membuatnya kembali bersemangat. Walau rasanya dadaku ingin meledak karena tak kuasa menahan perihnya penderitaan yang dia rasakan. Tapi sebisa mungkin aku mencoba untuk tetap terlihat tegar di matanya. Dia sudah lemah, kalau aku ikut menjadi lemah maka tak akan ada lagi yang dapat menguatkannya.



“Gue udah nggak sanggup lagi bang. Rasanya sakit banget. Sakiit banget bang.” Isaknya lirih.



“Sst... Lo kuat. Lo adek gue yang paling kuat Ksat. Lo udah ngelewatin waktu 16 tahun dengan selamat. Lo Cuma harus lebih sabar lagi. Gue yakin Tuhan nggak tidur. Dia pasti denger doa-doa lo, doa-doa kita, doa-doa dari orang yang sayang sama lo. Lo pasti sembuh Ksat. Lo cukup bertahan dan nggak menyerah. Kita ada di sini buat lo.” kataku mencoba memberinya motivasi lagi. Sial! Sekarang rasanya mataku perih sekali. Aku harus kuat. Aku harus kuat.



“Gue seneng bang. Gue terlahir jadi adek lo.” katanya lirih.



“Gue juga seneng jadi abang lo Ksat.” balasku tegas.



Sejenak kami terdiam, saling merasakan gejolak emosi di antara kami. Baru aku sadari kalau Ksatria begitu kecil dan lemah. Selama ini aku selalu memandangnya sama seperti anak-anak yang lain. Aku tak pernah menyangka kalau dia bisa selemah ini. aku harus dapat membuatnya kuat kembali. Bagaimanapun caranya, dia harus selamat!!



“Bang, kalau emang gue nggak bisa bertahan lebih lama lagi. Gue mau lo ngasih ini ke Rara.” ujarnya sedikit ragu.



Aku mengendurkan pelukanku, ku lihat matanya memerah karena habis menangis. Perlahan dia berjalan menuju meja belajarnya. Menarik salah satu laci teratasnya dan mengambil sebuah kotak persegi dengan sebuah pita biru di atasnya. Dia berjalan menghampiriku dengan sedikit ragu.



“Apa itu?” tanyaku ingin tahu.



“Kalau emang gue harus pergi sebelum batas waktu yang diprediksi dokter Raka. Gue mau lo ngasihin ini ke Rara.” Jawabnya seraya menyerahkan kotak itu dan spucuk surat ke arahku.



Aku menerimanya dengan ragu. “Apa ini Ksat?” tanyaku masih tak mengerti.



“Itu adalah alasan kenapa gue selalu pulang telat. Itu juga alasan kenapa gue takut pergi cepet-cepet.” Jawabnya tegas. “Lo harus nyerahin itu pada waktu yang pas. Jangan terlalu cepat tapi juga jangan sampai terlambat.”



“Gue harus ngasih ini ke dia, kapan?” kejarku.



“Pada saat lo ngerasa itu adalah waktu yang pas.” jawabnya singkat.



“Kenapa bukan lo sendiri yang ngasih ini ke dia? Pasti dia bakalan lebih seneng kalau lo sendiri yang ngasihin, bukan gue.” kataku, menolaknya.



“Gue nggak bisa bang. Karena gue nggak akan nemuin dia lagi.” Jawabnya sendu seraya memandang ke dalam kegelapan malam.



“Maksud lo?” kejarku, masih tak mengerti apa yang dia rencanakan.



“Gue bakal menghilang dari hadapannya dia. Gue akan pergi. Perlahan sampai dia ngerasa seolah-olah gue nggak pernah ada dihidupnya.” Jelasnya.



“Kenapa lo lakuin itu Ksat. Lo kan tau, dia itu sumber kebahagiaan lo!? gue nggak mau.” Tolakku seraya menyerahkan kembali benda-benda itu ke arahnya.



“Please, bang. Anggep ini permintaan terakhir gue ke lo. Cuma lo harapan gue satu-satunya, bang.” Katanya menghiba.



“Gue bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiran lo Ksat. Lo tau, lo itu orang yang paling pesimis yang pernah gue kenal. Lo itu pecundang. Buat apa lo selama ini deketin dia kalau emang ujung-ujungnya lo bakalan ninggalin dia kayak gini!? Lo nggak bayangin gimana sakitnya dia ntar, setelah tau semua ini!? Lo kalau mau ngelakuin sesuatu dipikirin dulu, kenapa sih!?” omelku panjang lebar.



“Gue tau bang kalau gue itu pecundang pesimis. Nggak punya nyali, bahkan buat meraih kebahagian gue senidiri pun gue nggak berani. Bagi gue bang, mencoba meraih bahagia Cuma bakalan ngebuat gue lebih sakit. Cuma bikin gue semakin nggak sanggup buat pergi.” Jawabnya sendu.



“Kalau gitu lo jangan pergi. Gampang kan!?” sentakku kesal.



Dia hanya tersenyum miris. “Gue sih maunya gitu, bang. Tapi, lo nggak tau kan kalau hampir tiap malem ayah nemuin gue? Ngajakin gue buat ikut dia pergi? Lo nggak tau, kan?! Waktu gue udah nggak banyak lagi bang. Udah cukup kebahagiaan yang gue dapetin, nggak usah ditambahin lagi.” Jelasnya dengan nada bergetar.



Aku tertegun mendengar penjelasannya. Sebagian dari hatiku tak mempercayai takhayul itu, tapi sebagian lagi, entah mengapa aku merasakan kebenaran tersebut. Bahkan keyakinanku itu mulai timbul saat dia harus bed rest beberapa hari. Aku menghela napas panjang, untuk kali ini mungkin aku harus mengabulkan permintaannya.



“Oke lah, gue bakal nyari waktu yang pas buat ngasihin ini semua ke Rara. Tapi Ksat, lo harus tetep berjuang. Lo harus kuat, harus bertahan. Demi gue, mama, dan Rara. Gue yakin harapan lo pasti terwujud.” Kataku sebelum meninggalkannya sendiri. “Udah malem, sebaiknya lo cepetan tidur.” Lanjutku sebelum menutup pintu dan kembali ke kamar.



Di luar kusenderkan badanku pada daun pintu yang telah tertutup rapat. Aku pandangi dua buah benda di tanganku. Kira-kira apa ya isinya? Sempat terlintas di benakku untuk mengintip isi dari kedua benda tersebut. Tapi hatiku melarangnya, ini bukan hakku. Jika aku melihat isinya berarti aku mengkhianati kepercayaannya. Setelah membuang napas panjang aku kembali melangkah menuju kamar tidurku, sekarang aku benar-benar butuh tidur.



&&&



Waktu selalu berlalu begitu cepat kala kita malah memintanya bergulir lambat. Sudah hampir satu bulan ini Ksatria mewujudkan tekadnya, perlahan dia mulai pergi dari kehidupan Aura. Diawali dengan jarang bertemu, hingga sekarang sudah tak ada kontak dengannya. Walau begitu ia masih suka memantau kegiatan Aura dari jauh.



Kerap kali ia mengikuti gadis itu hingga di depan rumahnya, hanya sekedar memastikan bahwa gadis itu selamat sampai di rumah. Di sekolah, ia sering diam-diam melihatnya mencuri waktu di sela pergantian jam. Ia juga semakin sering bertemu dokter Raka untuk berkonsultasi. Keadaan mereka sekarang seakan kembali seperti pada saat ia belum mengenal Aura.



Yudha yang melihat keadaan seperti ini hanya diam dan menunggu. Bukannya dia tak ingin berbuat sesuatu. Namun, bukankah ini sudah menjadi keputusan Ksatria, ia tak berhak ikut campur masalah hatinya. Walau begitu Ksatria tak tahu kalau Aura dan Yudha sering bertemu untuk membicarakan masalahnya. Diam-diam Aura pun melakukan hal yang sama dengan Ksatria, mengikutinya diam-diam ke rumah sakit, bertemu dokter Raka hanya untuk memastikan bahwa kondisinya sudah mulai membaik.



Keadaan entah mengapa berubah menjadi lebih tenang. Sebuah ketenangan sebelum badai, ketenangan yang mematikan. Hanya menunggu sebuah suara keras untuk memecahkan kedamaian ini. setiap insan menunggu dalam diam. Menunggu sebuah kejutan.



&&&



“Ra, lo lagi berantem ya sama Ksatria?” tanya Mega, pada suatu waktu.



“Nggak, kenapa emangnya?” Aura berbalik tanya.



“Kok gue udah nggak pernah liat lo jalan bareng dia lagi sih?” ungkap Mega hati-hati.



Aura menarik napas sejenak. “Gue sama dia baik-baik aja kok. Emang sih gue sama dia udah jarang banget ketemu. Lo tau sendiri lah gue sibuk, dia juga. Sibuk bolak balik ke rumah sakit. Lagian dia harus banyak istirahat, biar nggak ngedrop lagi.” Papar Aura dengan seulas senyum getir.



“Iya juga sih.” Kata Mega setuju. “Tapi, beneran kan kalian nggak lagi pada berantem?” lanjutnya lagi untuk memastikan.



“Iya, Mega. Lo tenang aja deh. Kita baik-baik aja.” Tegas Aura dengan sebuah senyum manis.



“Baguslah. Kalau kalian pada berantem nggak asyik banget liatnya.” ujar Mega lega.



Aura hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman. Ia juga tak tahu pasti, apakah hubungan mereka dapat dikatakan baik-baik saja atau tidak. Berkali-kali Aura sengaja datang ke rumahnya untuk bertemu dengannya. Namun, entah disengaja atau tidak, dia selalu tak ada di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar