Rabu, 10 Oktober 2012

Colour of Sky 3

そら の いろ


Check up kali ini ternyata memakan banyak waktu, entah kenapa Om Ravi harus melakukan tes darah kali ini, padahal biasanya nggak. Itulah sebabnya aku membolos lebih dari yang direncanakan. Aku baru kembali setelah istirahat, berhubung pelajaran setelah istirahat adalah olahraga, yang mustahil untuk ku ikuti, alhasil aku di sini sekarang. Di tempat rahasiaku.

Rasanya seneng banget bisa melewatkan begitu banyak jam pelajaran dalam satu hari. Aku bersyukur hari ini aku ada jadwal check up, sehingga aku tidak harus duduk diam mendengarkan para guru berceloteh. Yang nggak senang dengan keadaan ini adalah Abangku. Sepanjang jalan dari rumah sakit dia ngomel panjang lebar seputar kedisiplinan yang ku dengarkan sambil lalu. Abangku memang bermasalah dengan aturan, dia adalah orang yang tidak suka di kekang apalagi dibatasi oleh aturan.

Itulah sebabnya tahun-tahun kemarin Abangku sering bolos beberapa mata pelajaran. Dia lebih suka nongkrong di gudang bekas bersama gerombolannya ketimbang duduk di kelas. Untuk itulah pihak sekolah menutup akses menuju gudang itu, setelah pada tahun kemarin mereka menemukan ada yang sakaw di sana.

Untung saja waktu itu Abangku sedang tidak membolos. Apa jadinya bila penemuan seorang junkie di sana dikaitkan dengan sering bolosnya abang. Mungkin sekarang abang tak akan berada di sini. Gudang itu pun ku ketahui dari cerita abang. Dan sekarang gudang itu adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa bebas mengekspresikan diriku.

Kupasang headphone di telingaku, ku besarkan volumenya saat playlist musik dari i-phone ku melantunkan sebuah tembang kesukaanku. Kerispatih-Mengenangmu. Kuresapi setiap liriknya, ku pejamkan mataku untuk dapat lebih merasuk kesetiap baitnya. Sayang hari ini aku tak membawa gitar tuaku. Kalau saja sekarang ada gitar, sudah kumainkan lagu ini dengan gayaku. Aku memang mempunyai gaya tersendiri dalam bermain musik. Bermain musik adalah caraku untuk mengekspresikan suasana hatiku. Lewat musiklah aku dapat berbicara tentang keputusasaan yang sering ku rasakan.

Karena hanya lewat lantunan bait demi bait syair lagu itu yang dapat membuatku terlepas dari beban hidup yang menghimpit. Kutarik napas panjang sebelum kuhembuskan pelan. Jujur, aku kadang lelah dengan semua ini, keterbatasan gerak yang ku miliki membuatku tak bebas melakukan apa saja yang ku mau atau melakukan apa saja yang orang lain bisa lakukan. Tak jarang aku iri dengan mereka yang dapat bergerak bebas sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Melakukan banyak hal yang menyenangkan dengan bermain sepak bola bersama. Sepak bola adalah olahraga favoritku, namun sayang aku tak bisa lagi bermain sepak bola seperti dulu. Sekarang aku hanya dapat melihat dan mendukung siapa saja yang bermain. Bukan lagi didukung seperti dulu. Atau melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Ngeband misalnya, suatu kegiatan yang terbilang positif dan berpotensi mendapatkan berlembar-lembar rupiah bila band itu mempunyai kualitas untuk di jual.

Walau begitu aku juga tak dapat ambil bagian dari kegiatan menyenangkan tersebut. Jadwal latihan band yang terkadang sampai lupa waktu mengharuskan ku membatalkan niat untuk bergabung dengan salah satu kelompok band yang terkenal di kotaku. Jadi, satu-satunya hal yang dapat menghiburku dari semua penolakan dunia terhadapku adalah bermain gitar, bermusik dengan gitar tua peninggalan papa.

Hanya dengan alat musik ini lah aku dapat berbicara. Abangku pun tak melarangku bermusik lewat dentingan gitar tua ini. Karena dia tahu hanya alat musik inilah yang tidak akan membahayakan jiwaku. Terkadang aku jengah dengan sikap protektif abang. Baginya, segala tindak tandukku harus berdasarkan persetujuannya. Dialah yang membuatku seperti seekor burung di sangkar emas. Tak bisa bergerak bebas, kepakan sayapnya hanyalah di sekitar sangkar. Aku ingin bebas, aku ingin menikmati dunia seperti orang lain. Bebas melakukan semua hal yang kusuka dan inginkan. Tapi sepertinya dunia memang tak menginginkanku. Dunia menolak kehadiranku, sehingga mengharuskanku menciptakan duniaku sendiri.

&&&

“Yakin lo Ra, mau ke sana sekarang?” bisik Mega tajam saat ia mendengar rencana Aura yang akan mengunjungi gudang masalah itu di tengah ulangan matematika seperti sekarang.

“Yakin banget!” tegas Aura dengan suara pelan.

“Gila lo! Lagi ulangan nih, nggak bisa nanti aja apa?!” cegah Mega.

“Aduh Ga, perasaan gue bilang, gue harus ke sana sekarang. Udah ah, lagian gue juga udah kelar ngerjain soalnya kok,” tekat Aura yang sekarang sudah berjalan menghampiri guru yang sedang memeriksa tugas dari beberapa siswa yang terlambat.

Melihat kelakuan sahabatnya itu Mega hanya menggelengkan kepalanya. “Sepertinya dia memang sudah kepelet dengan jin penunggu gudang masalah itu.” Gumam Mega dalam hati.

Aura bergegas menuju gudang kenangannya. Perasaannya mengatakan kalau orang yang sudah dicari-carinya sejak tadi pagi sekarang ada di sana. Dia benar-benar sudah tak sabar ingin bertemu dengan Ksatria, seseorang yang akhir-akhir ini sering nyasar di benaknya.

Ia menghela napas sebentar sebelum berjalan tanpa suara ke balik tembok gudang bekas. Perlahan ia julurkan kepalanya untuk melihat apakah dugaannya benar atau tidak. Senyum kelegaan menghiasi wajahnya, ternyata feelingnya tidak salah. Dia memang benar-benar ada di sana. Dengan headphone di kedua telinganya, dan lagi-lagi matanya terpejam seolah sedang menikmati alunan musik yang berputar di I-Phonenya.


Perlahan, tanpa suara ia dekati cowok itu, setelah yakin bahwa kehadirannya di sana tak diketahui Ksatria, dia pun berdiri tak jauh dari hadapan cowok yang sepertinya sekarang sedang tertidur. Ia pandangi keseluruhan wajah orang yang sosoknya dari pagi sangat ia rindukan. Ia amati kedua alisnya yang tebal dan hitam, rambutnya yang terlihat acak-acakan, kedua matanya yang terpejam, hidungnya yang bangir, pipinya yang sedikit terlihat cekung, dan bibirnya yang pucat.
Ia pandangi wajah dihadapannya tanpa melewatkan satu detilpun. Bahkan ia sampai tahu di mana saja letak tahi lalat yang menghiasi wajah cowok itu. Senyumnya mengembang penuh kebahagiaan, melihatnya tidur seperti ini benar-benar membuatnya damai. Walau selintas tanya berkelebat di benaknya. Dia benar-benar cakep, tapi kenapa ia terlihat pucat seperti itu? Apakah dia sakit?

“Jangan memandangiku seperti itu!” suaranya yang serak mengagetkan Aura yang sedang mengamatinya dengan serius. Ia tak sempat bersembunyi, rona merah menjalari ke dua pipinya, sebisa mungkin ia tutupi kekagetannya agar orang yang tadi diamatinya tidak merasa besar kepala.

“Me... Memangnya siapa yang ngeliatin lo?! GR!” elak Aura, salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Cowok itu tersenyum sinis mendengar jawaban Aura. Ia tatap Aura dengan pandangan menyelidik dari atas hingga ke bawah dan balik lagi ke atas. Pandangannya berhenti pada kedua manik cokelat yang kini tengah memandangnya ragu-ragu.

“Lo pikir gue nggak sadar apa kalau dari tadi lo ngeliatin gue? Segitunya lo ngeliatin gue. Naksir lo sama gue?” tanya Ksatria to the point.

Ditanya seperti itu membuat Aura menjadi salah tingkah, rona merah yang tadi hanya sebatas di kedua pipinya, kini mulai menjalar ke seluruh wajahnya. “Gr amat lo?! siapa coba yang naksir sama lo,” elak Aura tanpa memandang kedua manik hitam yang kini menatapnya tajam.

“Nggak usah ngeles. Gue tau mana cewek yang naksir sama gue mana yang Cuma kagum sama gue. Dan dari pandangan lo tadi, gue rasa lo termasuk kategori yang pertama. Lo naksir sama gue, ya kan!?” ujar Ksatria tegas.

“Kalau emang gue naksir sama lo. Lo mau apa?” tantang Aura. Dia benar-benar sudah tak sanggup mengelak lagi, pertanyaan demi pertanyaan yang menyudutkan membuatnya sulit untuk menemukan alasan lain selain mengakuinya. Ia harap dengan begitu ia bisa menjadi lebih dekat dengan Ksatria.

Cowok itu menarik napas lelah sebelum bangkit dari duduknya. Ia berbalik memunggungi cewek yang sekarang sedang manatapnya tak mengerti. “Lebih baik lo lupain aja niat lo buat deket sama gue. Lo buang jauh-jauh rasa yang lo punya buat gue. Karena gue nggak butuh semua itu. Gue ngomong gini Cuma demi kebaikan lo semata. Gue bukan orang yang tepat buat lo taksir,” ujar Ksatria tegas sebelum meninggalkan Aura di sana dengan ketidak mengertiannya.

“Apa sih maksudnya? Gue bahkan belom bilang kalau gue emang beneran suka sama dia.” Gumam Aura lirih. Ia menghela napas pelan. “Dia nolak gue, bahkan sebelum gue mastiin gue suka beneran sama dia apa nggak?!”

###

“Lo kenapa sih? Bengong mulu dari tadi, ntar kesambet baru tau rasa,” ujarku memecahkan lamunan adik semata wayangku. Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu dia hanya bengong di depan tv yang sekarang sedang menayangkan sebuah acara kartun klasik tentang dua hewan yang saling bermusuhan. Tikus dan kucing.

Dia menarik napas sebentar sebelum akhirnya memandangku serius. “Lo tau Bang, tadi ada cewek yang nyamperin gue di tempat rahasia gue.” Ujarnya memulai cerita.

“Terus? Cakep nggak ceweknya?” godaku yang membuatnya berpaling ke layar tv lagi. Pandangannya masih kosong, sepertinya ada hal berat yang ia pikirkan.

“Cewek itu naksir sama gue Bang,” ujarnya lirih.

“Bagus dong, berarti nggak sia-sia lo punya tampang keren gini, yaah... Walaupun masih kerenan gue sih,” ujarku mencoba mencairkan suasana.

“Gue serius Bang,” ujarnya kesal.

“Terus kenapa kalau dia naksir lo? Masalah gitu buat lo?” tanyaku menyelidik.

“Tentu aja! Kan gue udah pernah bilang, gue nggak mau ngelibatin orang lain di hidup gue. Cukup lo sama mama aja yang bakal ngerasain kehilangan gue, nggak usah ditambahin sama orang lain lagi. Apalagi cewek, selama ini gue selalu berusaha supaya gue nggak deket sama makhluk satu itu, karena gue tau gue nggak bakalan bisa buat mereka bahagia. Gue tuh bukan orang yang ditakdirin untuk membuat orang lain bahagia Bang, gue tuh Cuma pembawa kesedihan buat orang lain,” Ujarnya putus asa.

“Tapi lo nggak bisa nyegah mereka supaya nggak naksir sama lo Ksat. Oke, kalau misalnya lo nggak mau deket-deket sama mereka, tapi lo juga nggak bisa kan nolak mereka supaya nggak deket-deket sama lo? Lagian siapa bilang kalau lo itu pembawa kesedihan?! Lo itu pembawa kebahagiaan Ksat, kebahagiaan buat gue, dan terutama buat mama. Dan lo harus inget, lo punya segenggang kebahagiaan orang lain di tangan lo. Tugas lo adalah nemuin orang yang beruntung itu. Jadi, jangan sia-siain hidup lo yang singkat ini Cuma buat meratapi nasib. Di luar sana ada orang yang nunggu lo ngasih segenggam kebahagiaan yang lo simpen. Temukan orang itu dan kasih dia kebahagiaan itu.” Jawab gue panjang lebar.

“Meskipun kebahagiaan itu Cuma singkat Bang?” tanyanya skeptis.

“Walaupun singkat itu juga kebahagiaan Ksat. Mau lama atau nggak itu tergantung yang nerima. Kalau emang dia orang yang ditakdirin buat nerima kebahagiaan dari lo, gue rasa kebahagiaan itu bakalan ada selamanya di hatinya, meskipun lo udah nggak bersama dia lagi.” Jawabku bijak.

“Tapi gue nggak mau ngasih siapapun itu sepaket pandora Bang. Waktu gue ngasih kebahagiaan itu buat dia, di saat yang sama gue juga ngasih kesedihan buat dia. Dan, gue nggak mau hal itu terjadi.” Jawabnya lirih.

“Keputusannya bukan ada di tangan lo Ksat. Semuanya kembali lagi ke orang yang ditakdirkan buat bahagia karena lo. Kalau dia emang udah siap bahagia karena lo, dia juga harus siap dengan kesedihan yang bakal dia terima dari lo. Dia nggak boleh egois dengan hanya milih bahagia tanpa mau nerima sakit dari lo. Lo itu lahir dengan satu paket Ksat, dan dalam paket itu bahagia datengnya bersamaan dengan kesedihan.” Ujarku menerawang.

“Bisa nggak Bang, gue titipin kebahagiaan yang ada di tangan gue ke tangan lo. Biar siapapun orang itu nggak usah menyesal karena udah kenal sama gue?” tanyanya lirih.

Aku hanya memandangnya sendu. “Seandainya itu bisa terjadi Ksat,” gumamku lirih dalam hati.

&&&

Di saat yang sama di sebuah rumah sederhana berlantai satu. Di salah satu kamar yang bercat ungu muda, seorang cewek sedang merenung di dekat jendela kamarnya. Ia pandangi langit tak berbintang di atas, pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di belakang gudang.

Aura menghela napas panjang. “Apa sih maksudnya ngomong kayak gitu ke gue? Emangnya gue nggak boleh kenal sama dia apa? Terus alasannya apa coba, sampai-sampai dia nggak mau deket sama gue? Emangnya gue punya salah apa sih sama dia?” gerutunya pelan.

Pandangannya kembali ke langit malam yang kelam. “Padahal gue kan Cuma mau kenal sama lo aja Ksat. Gue nggak ngarepin lebih kok. Cuma mau kenal aja. Masa’ sih gitu aja nggak boleh,” lanjutnya lirih, penuh keputusasaan.

Ia sembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk, pikirannya masih terbayang pada tatapan Ksatria tadi siang. Begitu penuh penolakan. “Apa yang harus gue lakuin Ksat, biar bisa deket sama lo?” bisiknya lirih.

Sejenak ia tertegun dengan apa yang baru saja melintas di benaknya. Yudha! Ya, jika dia tak bisa mendekati adiknya secara langsung, ia bisa mendekatinya lewat perantara kakanya. Ya, kenapa dia tidak berpikir sampai ke sana. Akhirnya sebuah tekad kembali muncul di hati Aura. Besok ia akan mulai mencoba mendekati kakaknya untuk mencari informasi tentang adiknya. Ya, dia harus bisa dekat dengan Ksatria, bagaimanapun caranya.

###

Seperti biasa, kalau lagi jam kosong gini aku lebih suka menghabiskan waktuku di perpustakaan ketimbang di tempat lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sikap ku yang dulu. Di mana aku lebih senang menghabiskan waktu di luar kelas ketimbang berada seharian di dalamnya. Lebih senang membolos dan nongkrong di gudang dengan teman-teman segank ku daripada harus repot-repot duduk di kelas sambil dengerin guru pada ngoceh. Lebih senang libur ketimbang masuk sekolah.

Tapi sekarang hal itu udah nggak aku lakuin lagi, sadar kalau waktu yang ku punya di sekolah ini tinggal hitungan bulan membuatku lebih fokus mengejar ketinggalanku ketimbang berhura-hura nggak jelas. Di samping itu sekarang aku harus jadi contoh yang baik buat adik semata wayangku. Apa jadinya kalau aku masih tetap seperti aku yang dulu.

Kadang aku bangga dijadikan trensetter olehnya, tapi kadang juga nggak. Apalagi kalau udah menyangkut masalah kebiasaan. Entah kenapa Ksatria suka banget niru kebiasaan-kebiasaan yang sering aku lakukan. Kadang risih juga meliatnya bersikap seperti ku. Itu benar-benar nggak dia banget. Mau merubah kebiasaannya juga sulit. Dia sudah terlanjur nyaman dengan dirinya yang sekarang. Tak apalah dia suka niru kebiasaanku asal itu adalah kebiasaan yang baik, bukan yang negatif.

Ku buka lembar demi lembar buku fisika kelas XI, aku mencoba mengumpulkan ingatanku yang minim akan mata pelajaran tersusah yang pernah gue temui. Dengan kesal kuacak-acak rambutku, karena tak juga mengerti dengan rumus-rumus yang tersaji di hadapanku. Andai saja ada orang baik yang mau ngajarin hal ini, pasti aku bakalan seneng banget.

Lamunanku terganggu dengan suara cewek yang nggak ku kenal, ku pandangi dia dari atas ke bawah. Namun, tetap saja aku tak merasa kenal dengan cewek yang sekarang duduk berhadapan denganku.

“Hai kak Yudha... Kenalin gue Ayu, adik kelas lo.” ujarnya seraya mengulurkan satu tangannya padaku.

Ku sambut uluran tangannya dan kupandangi dia tak mengerti. “Ada perlu sama gue?” tanyaku singkat.

Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Harus ku akui kalau dia mempunyai senyum yang manis. Jenis senyuman yang membuat orang lain ikut tersenyum karenanya.

“Sebenernya Cuma mau kenalan aja sih kak.” Jawabnya malu-malu.

“Bukannya lo udah kenal sama gue?” tanyaku menyelidik.

Dia hanya tertawa kecil. “Kan Cuma kenal nama aja kak.” Jawabnya singkat.

“Terus maksud lo, lo mau kenal gue lebih dekat, gitu?” tanyaku langsung.

Rona merah menjalar di kedua pipinya yang ranum, membuatnya semakin manis aja. Ternyata dia lumayan cakep juga, apalagi kalau ditambah senyumnya. Aku yakin banyak laki-laki yang akan terpikat oleh pesonanya. Mungkinkah salah satu laki-laki itu aku?

“Yaa itu juga kalau boleh sama kakak,” jawabnya manis.

“Boleh aja sih, tapi kenapa tiba-tiba gini. Gue nggak ngerasa kenal lo sebelumnya.” Ujarku menerawang.

“Emang sih kak, kita belum saling kenal sebelumnya. Tapi gue udah tau kakak sebelumnya.” Jawabnya ringan.

“Terus apa tujuan lo kenal deket sama gue? Lo naksir sama gue?” tanyaku telak.

Dia hanya terkekeh kecil dan memajukan duduknya ke arah ku. “Sebenernya bukan kakak yang gue taksir, tapi adik lo kak.” Bisiknya malu-malu. Wajahnya sudah merah sekarang.

Hatiku melengos mendengar pengakuannya. Ternyata! Alasannya klise banget, mendekati buruan lewat majikannya. Nasib-nasib. Tapi baru kali ini aku menemukan cewek seberani dia. Mendekatiku hanya untuk mendekati Ksatria. Dan aku yakin dia adalah satu-satunya cewek yang kadar kenaksirannya paling tinggi. Buktinya dia berani mendekatiku yang notabene adalah orang paling bermasalah di SMANSAGA.

“Kirain. Terus apa yang lo mau dari gue?” tanyaku singkat.

Dia tertawa pelan. Kurasa dia menertawakan rasa kegeeranku yang sempat kurasakan. “Lo tau kak, kemarin gue ketemu sama dia langsung untuk yang pertama kalinya, setelah selama ini gue Cuma ngeliatin dia dari jauh. Yang gue nggak ngerti adalah sikap penolakannya ke gue. Padahal waktu itu gue belum bilang kalau gue mau kenal sama dia. Kira-kira kenapa ya kak dia ngelakuin hal itu ke gue?” tanyanya sendu.

Ternyata cewek ini tho yang dimaksud Ksatria semalem. Jadi, selama ini dia udah tertarik sama si Ksatria?! Berarti dia ini juga cewek aneh bin sadis yang dibilang beberapa minggu lalu?!

Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya melontarkan jawaban atas pertanyaannya. “Kalau itu gue nggak bisa bantu banyak. Mending lo tanya aja langsung sama dia. Satu hal yang harus lo tau, dia nggak suka kalau ada orang lain dalam hidupnya, kecuali gue sama nyokap gue.” jawabku datar.

“Kenapa gitu kak? Selama ini dia nggak punya temen dong, kak?” tanyanya kaget.

“Selama ini dia ngambil program home schooling, baru kali ini dia sekolah di sekolah umum. Itu juga setelah gue paksa,” jawabku singkat.

“Home Schooling? Sampai segitunya kak buat menghindar dari orang lain.” Ujarnya tak percaya.

“Dia punya alasan kuat untuk tindakannya itu. Dan lo jangan sekali-kali ngungkit masalah ini di hadapannya dia. Karena dia nggak suka. Kalau lo pengen tau alasannya dia, lo tinggal tanya aja ke dia. Kenapa selama ini dia ngehindarin orang lain.” Jawabku datar.

“Sorry kak. Terus lo tau nggak gimana caranya biar gue bisa lebih deket sama dia?” tanyanya dengan pandangan antusias.

“Kalau itu, lo cari tau sendiri aja,” jawabku singkat sebelum melangkah pergi meninggalkan perpustakaan, tak lupa aku kembalikan buku yang tadi ku baca di rak tak jauh dari tempat dudukku.

“Yaaah... Kak Yudha!!” panggilnya sebelum aku keluar dari pintu perpustakaan.

Terus terang aku kesal dengannya atau dengan Ksatria bahkan mungkin aku kesal dengan diriku sendiri. Setelah selama ini aku hidup sendiri, dalam arti menjomblo, belum pernah sekalipun aku didekati cewek, boro-boro didekati ditaksir juga udah untung-untungan. Mungkin karena bad record yang ku punya makanya para cewek enggan mendekatiku.

Aku menghela napas berat. Sekalinya didekati cewek ternyata bukan karena aku, melainkan karena adikku. Kenapa harus dia, kenapa bukan aku saja. Aku kesal dengan keberuntungan adikku. Baru masuk ke sekolah ini beberapa bulan saja sudah ada yang naksir sama dia. Sedangkan aku!? Hampir tiga tahun aku di sini tapi belum sekalipun ada yang berani mengungkapkan rasa naksirnya padaku. Tapi aku prihatin dengan nasib cewek itu, seandainya saja dia tau kondisi Ksatria, apa masih mau dia naksir sama dia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar