Sabtu, 13 Oktober 2012

colour of sky 16

そら の いろ


Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. Mencoba beradaptasi dengan tempat yang-bahkan aku tidak tahu ini di mana-cahayanya begitu menyilaukan. Cukup lama aku harus membiasakan diri di tempat asing ini. Cahaya yang tiba-tiba memasuki indera penglihatanku benar-benar membuatku merasakan kebutaaan sesaat. Sebenarnya ak ada di mana sekarang?



Perlahan, aku mulai bangkit dari dudukku-ya, aku ternyata sekarang sedang duduk disebuah ruangan yang memiliki lampu neon dengan jumlah yang cukup banyak-tak heran jika aku sempat merasa buta tadi-dan mulai berjalan menjelajahi tempat asing ini.



Ruangan tempatku berada sekarang seperti sebuah ballroom, banyak terdapat meja-meja bundar dan juga kursi-kursi yang mengelilinginya. Di setiap meja terdapat satu buah vas bunga dan sebuah botol minuman. Aku mencoba mengingat tempat apa ini, namun tak ada secuil ingatanku yang mengenali tempat ini. Ini pertamakalinya aku berada di sebuah tempat asing.



“Au...” desisiku saat merasakan sakit dari belakang kepalaku. Aku mengusap tempat yang terasa menyakitkan itu perlahan mencoba mengurangi rasa sakitnya. Sekelebat ingatan singgah dibenakku. Ya, bukannya aku tadi sedang berkelahi dengan sekelompok preman?! Lalu, kenapa aku bisa sampai di tempat seperti ini? Apa aku sedang bermimipi?



Pertanyaan demi pertanyaan hilir mudik di kepalaku. Membuat kepalaku semakin berkedut, menimbulkan efek pening di sana. Ah, sudahlah mungkin aku memang sedang bermimpi. Lalu, aku memutuskan untuk segera mencari jalan keluar dari tempat aneh ini. Pandanganku memindai setiap sudut ruangan bernuansa krem pucat yang dihiasi dengan beberapa lukisan mahal di setiap dindingnya. Setelah beberapa saat aku memanjakan mataku dengan lukisan-luisan itu, akhirnya aku menemukan apa yang sedari tadi aku cari. Pintu keluar.



Aku melangkah cepat menuju satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Pintu berdaun ganda itu memiliki ukiran aneh pada tubuhnya. Entahlah, aku tak sempat mengamati ukiran apa itu. Dengan tergesa ku buka pintu itu dengan sekuat tenaga. Ternyata pintu ini benar-benar berat, ketebalan dan jenis kayu untuk membuatnya yang menyebabkan pintu ini begitu berat.



Lagi-lagi aku dbuat silau oleh cahaya yang menerobos masuk ke mataku. Setelah aku terbiasa dengan cahaya di tempat itu, aku membeku ditempatku berdiri. Setelah tadi aku dibuat bingung oleh ruangan ballroom yang misterius, sekarang aku dibuat kagum oleh apa yang tersaji di depan mataku. Sebuah padang rumput yang sangat luas dan hijau. Tak jauh dari tempatku berdiri-di halaman tempat gedung ini berada-terdapat sebuah taman bunga yang cantik sekali. Berbagai jenis bunga menghiasi taman tersebut. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam air mancur dengan sebuah patung malaikat berdiri tegak tepat ditengahnya. Apakah ini surga?



Aku mulai berjalan mengelilingi tempat asing ini, tak jarang ungkapan kekaguman terlontar dari mulutku. Tempat ini benar-benar menakjubkan, cahaya dari beberapa lampu taman yang menghiasi tempat ini benar-benar membuat suasana disini terasa lain. Aku masih belum mengerti bagaimana aku bisa berada di tempat ini, setelah ingatanku akan kejadian malam itu bangkit lagi.



Tempat ini begitu sepi dan sunyi, bahkan suara derik jangkrik pun tak terdengar. Hanya sesekali suara lolongan serigala dikejauhan yang sayup-sayup terdengar. Adakah orang yang tinggal di tempat aneh ini? Langkahku terhenti pada salah satu sudut halaman, tepat di depan sebuah kebun yang berisi sekumpulan mawar beraneka warna. Aku merasa tidak asing dengan kebun itu. Seingatku, dulu aku pernah melihat kebun seperti ini. Tapi di mana?



“Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” sebuah suara membuatku berjengit karena kaget.

Suara berat ini, suara yang sudah lama kurindukan, suara yang sudah menghilang sejak belasan tahun lalu. Tidak mungkin! Mungkin aku memang benar-benar bermimpi. Tidak mungkin suara itu dapat kudengar lagi.



Aku menggeleng keras untuk menghilangkan suara itu, namun sepertinya pikiranku tak menuruti kemauanku. Suara itu lagi-lagi terdengar, dan semakin terasa nyata. “Tidak baik kamu jalan-jalan sendirian di tempat asing. Kau akan tersesat nanti.” Suara itu kini semakin mendekat ke arahku.



Tidak! Itu tidak mungkin dia. Badanku bergetar hebat, reaksi dari campuran kengerian dan kerinduan. Aku masih mematung ditempatku berdiri. Ingin rasanya aku berbalik dan memastikan kalau semua itu tidak benar. Namun apa daya, ketakutan akan kenyataan yang sebentar lagi kuhadapi membuatku untuk tetap berdiri seperti ini.



“Sudah lama sekali ya Ksatria, kita tak berjumpa. Apa kau tak kangen?” suara itu kini terengar tepat di belakangku! Badanku masih bergetar ketakutan, perlahan aku berbalik untuk memastikan kalau suara itu bukanlah suara yang ku maksud. Setelah berbalik dengan sempurna dan melihat siapa yang sedari tadi berbicara padaku. Aku semakin membeku. Aku menatap sosok itu nanar. Apakah ini berarti aku sudah... ah, aku bahkan tak sanggup menyelesaikannya. Sosok itu tersenyum lembut memandang ke arahku yang ketakutan akan kehadirannya.



“Ayah merindukanmu nak.”



&&&



Sudah hampir dua minggu Ksatria tergolek di rumah sakit. Sudah dua minggu pula dia mengalami koma. Kondisinya masih sama seperti dua minggu yang lalu. Belum ada perubahan yang signifikan darinya. Sudah berbagai cara dilakukan agar dia kembali sadar. Namun, usaha itu seakan tak membuahkan hasil, ia masih tergolek dengan selang infus dan beberapa alat kedokteran lain yang menghiasi tubuhnya.



Seorang wanita paruh baya tampak sedang mengelap badannya yang semakin lama semakin kurus dan pucat. Dengan telaten wanita itu mengusapkan lap basah ke seluruh tubuh kurus itu. Berkali-kali ia mengusap sudut matanya yang basah. Sudah dua minggu ini ia absen dari tempat kerjanya, demi menjaga anak bungsunya yang sekarang sedang berjuang melawan penyakitnya.



Tak tahan dengan semua kepedihan itu, ia pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya dan melangkah keluar dari ruangan tersebut. Ia terduduk di bangku tunggu yang berada di luar kamar 105. ia sudah tak dapat menahan laju air matanya, sesekali ia mengusap air mata yang jatuh dengan sudut bajunya. Penampilan wanita itu jauh dari kata rapi, malah ia terlihat cenderung lusuh dengan daster dan rambut yang sedikit berantakan. Ia masih terisak saat ada seseorang yang menghampirinya. Ia mendongak untuk melihat siapa yang baru saja datang menemuinya.



“Pagi tante...” sapa gadis manis itu dengan sebuah senyum kecil. Perlahan ia duduk di sebelah wanita yang kini sedang tergesa membersihkan sisa-sisa air matanya. Tak jauh berbeda dengan wanita itu, gadis itu pun terlihat tidak baik-baik saja. Lingkaran hitam yang tampak samar di sekitar matanya menandakan kalau gadis itu sering terbangun tengah malam. Walau tidak terlihat jelas, namun kedua mata bening gadis itu tampak sedikit bengkak. Dampak dari seringnya ia menumpahkan air mata. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat.



Gadis itu mengangsurkan sebuah plastik hitam ke arah wanita paruh baya yang kini mencoba untuk tersenyum ke arah gadis itu. “Bagaimana keadaannya tante?” tanya gadis itu lirih.



“Masih seperti kemarin. Belum ada tanda-tanda dia akan bangun.” Jawab wanita itu lemah.



Gadis itu menghembuskan napas lelah. “Sampai kapan dia akan seperti ini tan?” ujarnya seperti berbisik pada angin.



Wanita itu hanya terdiam di sampingnya. Memandang kosong ke arah sebuah poster yang menggambarkan bagian-bagian jantung. “Entahlah Ra. Tante hanya berharap, sebentar lagi ia akan bangun.” Sahutnya lemah, yang ditanggapi sebuah senyuman dari gadis di sebelahnya.



“Oh ya Tan. Itu tadi mama buat kue, tante coba icip sedikit ya. Tante pasti dari tadi belum makan.” Gadis itu mencoba untuk kembali ceria, melupakan sejenak kesedihannya.



Wanita itu membuka kantong kresek yang tadi diberikan Aura. Menatap isinya dan tersenyum simpul. “Maksih ya sayang. Nanti pasti tante makan.” Sahutnya terdengar sedikit lebih ceria.



Aura tersenyum manis mendengar nada keriangan dari wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. “Oh ya Tan, kak Yudha mana? Dari tadi Rara nggak liat dia.” Tanya Aura seraya memindai ruangan yang dipenuhi oleh penjenguk yang mondar mandir di depannya.



Wanita itu memandang ke arah Aura sebentar lalu tersenyum kecil. “Tadi dia pamit pulang sebentar untuk mengambil baju ganti.” Jawabnya dengan sebuah senyuman.



Aura pun mengangguk kecil dan menghembuskan napas keras. “Lebih baik sekarang tante istirahat dulu. Biar Rara yang gantiin tante nungguin Langit.” Ujar Aura yang tak tega melihat wajah lelah dari wanita di sampingnya.



Wanita itu hanya mengangguk kecil. “Sebaiknya memang begitu. Tante rasanya capek banget. Dari semalem belum tidur.” Ujarnya seraya bangkit dari duduknya. “Kalau begitu tante ke Mushola dulu ya, kamu jagain Ksatria. Nanti kalau Yudha dateng, bilang aja tante lagi istirahat di Mushola.”



“Baik tante. Tante nggak usah khawatir.” Ujar Aura dengan sebuah senyum menenangkan sebelum wanita itu melangkah pergi.



Sepeninggal wanita tersebut, Aura lagi-lagi menghela napas panjang. Perlahan ia melangkah mendekati pintu bernomr 105, ia berhenti sejenak di depan pintu tersebut, menenangkan hatinya yang kembali bergejolak. Setelah ia merasakan sedikit ketenangan, dengan tangan gemetar ia putar knop pintu tersebut dan melangkah perlahan menghampiri Ksatria yang masih tergolek tak berdaya di depannya.



Ruangan itu sunyi, hanya suara kardiogram dan suara langkah kecilnya yang memenuhi ruangan bernuansa putih pucat dengan udara yang dipenuhi oleh bau obat yang pekat. Ia mendekati sosok yang selama ini ia rindukan, yang sekarang sedang tergolek tak berdaya. Suara helaan napas yang teratur terdengar samar di telinganya. Perlahan, ia duduk di samping Ksatria, ia meraih salah satu tangannya yang terbebas dari jarum infus.



Sejenak ia pandangi keseluruhan wajah pemuda yang sudah dua minggu ini tertidur lelap. Wajahnya semakin tirus dan pucat, cekungan pada kedua matanya terlihat semakin jelas. Hidung bangirnya tertutup oleh masker oksigen, bibirnya pun tak semerah yang dulu, dominan putih pucat. Suara kardiogram berpacu dengan bunyi detik jam, membuat sebuah komposisi irama yang membuat siapapun merasa tak nyaman berada di ruangan berbau obat

tersebut.



“Hai Langit... Gimana kabarmu hari ini?” lirihnya, berbisik pada tubuh yang sedari tadi hanya diam tak bergerak.

Perlahan ia tersenyum miris ke arah sosok yang hanya diam di depannya, dengan lembut ia mengusap pipi pemuda itu lembut. Berharap dengan begitu ia akan segera bangun, dan tersenyum padanya.



“Kamu mimpi indah ya... sampai nggak mau bangun, gini. Kamu lagi mimpi apa sih Lang, aku ada di mimpimu nggak?” Aura kembali mengajak ngobrol Ksatria. Tak ada jawaban. “Kamu cepet bangun dong, Lang. Aku kangen.” Perlahan ia menggengam erat tangan Ksatria dan mengecupnya ringan. Ia pandangi wajah tirus itu dengan pandangan penuh harap, agar kedua mata yang kini tengah terpejam itu agar segera membuka.



“Tau nggak sih, aku tuh kangen sama kamu. Kangen sama tatapan tajam kamu, kangen sama senyum sinis kamu, kangen sama kata-kata sinis kamu. Aku kangen kamu Langit. Apa kamu nggak kangen sama aku? Bangun dong.” ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang bergejolak di hatinya.



“Kamu tau, semenjak kamu tidur, aku nggak pernah melihat langit cerah sedikit pun. Langit di sini bagiku semuanya kelam. Mendung. Birunya tertutup awan kelabu. Bahkan kalau malam, tak ada satu bintang pun yang bersinar di atas sana. Kamu tau kenapa? Karena satu-satunya bintang yang ku punya telah meredupkan sinarnya. Kamu harus cepet sadar, dan buat langitku kembali cerah, buat malamku semakin terang dengan sinarmu, ya.” Aura menghela napas panjang, perlahan ia telungkupkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya. Merasakan butiran air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya. Suara isakan tertahannya memenuhi ruangan putih pucat itu, berpacu dengan detik jam dan suara kardiogram.



***



Aku melangkah santai menyusuri lorong rumah sakit yang kini semakin akrab denganku. Entah sudah berapa puluh kali aku melintasi lorong ini. Sampai-sampai aku hampir hapal setiap sudut lorong yang di sepanjang dindingnya tertempel berbagai poster kesehatan. Dan, ku rasa aku mulai hapal dengan semua suster yang setiap saat berpapasan denganku di lorong ini.



Langkahku terhenti saat menemukan seorang gadis sedang duduk terpekur sendirian di bangku taman tak jauh dari tempatku berdiri. Ku hampiri dia dan menghempaskan tubuhku di sampingnya. Ia tampak terkejut dengan kedatanganku. Sudah hampir tiga minggu ini aku dekat dengannya. Namun sampai saat ini aku masih belum juga berani mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya.



Ya, aku masih belum resmi menjadi kekasihnya. Tiga minggu yang lalu itu hanyalah akal-akalan Ksatria saja yang seenaknya mengatakan aku telah resmi menjadi kekasihnya. Padahal kenyataannya adalah kebalikan dari itu semua. Aku hanya mengatakan bahwa aku tertarik dengan gadis ini pada Ksatria, dan dengan seenaknya sendiri dia malah membual tentang hubunganku dengannya. Kalau mengingat kejadian itu, rasanya ingin ketenggelamkan dia ke dalam bak mandi!



“Hei, sendirian aja.” Sapaku padanya yang hanya ditanggapi dengan sebuah senyuman untuk menutupi kegugupannya. Apa aku bilang tadi? Gugup?



“Em.. iya.” Jawabnya singkat. Ternyata benar dia sedang gugup, apa dia grogi ada aku di sebelahnya? Menyadari kemungkinan tersebut hatiku perlahan menghangat, dan sebuah senyum lebar terbit menghiasi wajahku.



“Kok ngelamun sendirian di sini? Nggak takut kesambet?” tanyaku mencoba memulai sebuah obrolan dengannya.

Aku merasa akhir-akhir ini ada yang berbeda dengan sikapnya padaku, aku merasa dia seolah-olah sedang menghindariku. Apa aku pernah membuat kesalahan padanya? Seingatku, nggak.



Ia hanya tersenyum simpul sebelum menjawab pertanyaanku. “Ah, ndak kok. Aku ndak ngelamun. Aku Cuma lagi mikir aja.” Jawabnya lembut, aksen jawanya yang kental membuatnya semakin menarik di mataku.



“Lagi mikirin apa sih, sampai nggak merhatiin sekitar gitu?” kejarku.



“Bukan apa-apa kok.” Elaknya. Nah kan, benar apa yang kubilang, sekarang ia malah main rahasia-rahasiaan denganku. Sebenarnya apa yang salah dengan gadis ini?



“Ah, gue tau. Lo pasti lagi mikirin gue kan, makanya lo nggak mau ngaku.” Selorohku yang ditanggapi dengan seulas senyum kecil olehnya.



“Kamu ini bisa aja. Tau dari mana kalau aku lagi mikirin kamu? Ngaco.” Sahutnya renyah.



“Tau dari mata kamu.” Jawabku yang menocba memberinya sebuah gombalan basi.



Dia tertawa kecil mendengar jawabanku. “Ngaco. Bukan, aku lagi mikirin hal lain kok.” Jawabnya ringan.



“Boleh nggak gue tau apa yang lagi lo pikirin?” tanyaku tak ingin mendesaknya.



“Maaf, aku ndak bisa bilang sekarang.” Jawabnya lirih.



“Oke, kalau emang lo nggak mau cerita. Gue ngerti.” Sahutku datar. Memangnya apa sih yang lagi dipikirkannya, sampai segitunya aku nggak boleh tau.



Kami mengobrol cukup lama, hampir sepuluh menit. Dan selama itu aku menangkap sikapnya yang mencoba menjaga jarak denganku. Aku benar-benar tak mengerti, padahal sikapnya di awal masa perkenalan kami tak seperti ini. Mengapa akhir-akhir ini dia berubah? Jangan-jangan dia sudah punya kekasih? Hatiku mencelos memikirkan kemungkinan tersebut. Jangan sampai dia sudah punya pujaan hati lain, selain aku.



Baru saja aku hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba kami dikagetkan dengan kedatangan seorang pemuda berwajah pucat, yang memakai sebuah topi yang belambang NY di depannya.



“Kita pulang sekarang.” Katanya datar seraya menarik tangan Anggun sedikit kasar.



Aku tak senang melihatnya memperlakukan Anggun seperti itu. Aku menahan sebelah tangan Anggun yang mulai bangkit dari duduknya. “Siapa lo, seenaknya maen tarik aja.” Tanyaku tajam pada pemuda yang entah mengapa mengingatkanku pada Ksatria. Mungkin karena badannya yang kurang berisi dan wajah pucatnya itu, yang membuatnya mirip dengan Ksatria.



Dia hanya menatapku sinis. “Harusnya gue yang tanya. Lo siapa?” katanya datar.



“Gue calon pacarnya!” jawabku tegas. Biarlah, walaupun masih calon juga yang jelas keberadaanku di sini jelas. Tidak sepertinya, yang tiba-tiba datang dan mengganggu waktuku berduaan dengan Angggun.



Dia tertawa keras mendengar jawabanku. “Baru calon pacarnya aja belagu!” ujarnya meremehkanku.



Sial, dia benar-benar membuatku kesal. Siapa sih dia sebenarnya! Badan kerempeng gitu sekali libas juga tewas!



“Sudah, jangan berantem. Ndak enak diliat orang.” Ujar Anggun yang mencoba melerai adu mulut kami.



“Dia siapa sih Nggun?” tanyaku sedikit ketus dan menatap tajam pemuda yang sekarang tersenyum sinis padaku.



“Dia...”



“Gue tunangannya!” potong pemuda itu tegas. Apa?!



Perkataannya sontak membuatku membeku. Tunangan?! Apa aku nggak salah dengar? Aku memandang Anggun meminta penjelasan. Tapi yang kudapat hanya ekspresi terkejut dari wajahnya.



“Awan!” serunya tak suka dengan apa yan baru saja dikatakan oleh pemuda di depannya.



Pemuda itu hanya mengedipkan sebelah matanya pada Anggun, yang dibalas dengan pelototan tajam darinya.



“Bener Nggun, dia tunangan lo?” tanyaku meminta ketegasan darinya.



“Itu... sebenarnya dia ini...”



“Gue rasa lo nggak mendadak tuli. Lo pasti denger apa yang barusan gue bilang kan? Gue. Tunangannya. Anggun.” Jawabnya yang lagi-lagi memotong ucapan Anggun. Membuat emosiku sedikit naik.



“Heh, gue nggak lagi ngomong sama lo, ya.” Ujarku tajam, dan kembali menatap Anggun nanar. “Bener begitu Nggun?!” pertanyaanku kali ini kutujuakan langsung pada gadis yang tengah panik di sebelahku.



“Bukan... dia ini...”



“Udahlah, ngapain juga lama-lama di sini. Ayo pulang...” tanpa basa basi pemuda kerempeng itu menarik Anggun menjauh, membiarkanku di sini berdiri terpaku, dan menatap kepergian mereka dengan tak percaya.



“Benarkah apa yang dikatakannya tadi? Anggun. Udah punya tunangan?” ujarku miris. Dengan langkah yang semakin berat, aku kembali melanjutkan perjalananku, menuju kamar 105 tempat Ksatria dirawat.



Aku tak menyangka kisah cintaku akan kandas secepat ini. Berkali-kali aku tertawa hambar. Menertawakan nasib cintaku yang benar-benar menyedihkan. Baru saja aku hendak menikmati bagaimana rasanya disayangi, tapi secepat itu pula harapanku tersebut harus kandas. Apa yang kurang dari diriku ini?



&&&



Tak jauh dari taman dekat parkiran, Anggun menyentakkan tangannya yang sedari tadi dicekal oleh pemuda di depannya. “Lepas! Sakit tau.” Omelnya.



“Maaf. Nggak sengaja.” Jawab pemuda itu dengan senyum kecil. “Itu tadi siapa sih?”



“Temen. Eh, tadi apa maksud kamu bilang kalau kamu itu tunangan aku, hah?” tanya Anggun dengan wajah sedikit

manyun.



Pemuda itu haya terkekeh geli. “Habisnya aku nggak tahan sih, liat tampangnya yang langsung kayak orang mau nyembelih kambing, gitu. Waktu aku ngajak kamu pulang” Selorohnya geli.



“Kamu itu ya. Dari dulu nggak berubah juga. Kalau sampai dia nanti jadi ngejauhin aku. Hem, awas aja kamu.” Ancam Anggun bercanda.



“Kamu suka ya sama dia...” goda pemuda itu, yang sontak membuat pipi Anggun bersemu merah.



“Siapa yang suka? Ndak kok, dia itu Cuma temen. Lagian, mana mungkin dia suka sama ku.” Jawab Anggun salah tingah. “Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus minta maaf ke dia. Kamu jelasin kalau sebenarnya kamu itu bukan tunanganku.” Ujar Anggun final.



“Iya deh bawel! Ntar sebelum aku berangkat ke Singapore aku bakal jelasin ke dia.” Ujarnya mengiyakan.



“Janji ya...”



“Iya! Bawel banget sih...” ujar pemuda itu seraya melangkah cepat menuju taxi yang sudah menunggu mereka.



“Awan, tunggu dong. Jangan cepet-cepet!” seru Anggun seraya mengikuti langkah-langkah panjang pemuda yang ia panggil Awan tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar