Kamis, 11 Oktober 2012

colour of sky 9

そら の いろ


Haruskah aku menjelaskannya sekarang? Pembicaraan semalam dengan Ksatria masih terbayang di benaknya. “Jangan bilang siapa-siapa kalau gue lagi begini kak. Apa lagi ke cewek itu. Jangan samapi dia tau.” Pesan Ksatria sebelum ia meninggalkan rumah sakit untuk mengambil beberapa buah baju ganti.



Aku menghela napas berat. Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan Ksatria?! Melihatnya begitu khawatir dengan keadaanmu seperti ini, benar-benar membuatku sulit untuk membohonginya.



“Dia nggak pa-pa kok, Cuma memar dibeberapa bagian.” Jawabku berat.



Tampak sedikit kelegaan di wajahnya. “Tapi kak, kalau Cuma memar kan nggak harus sampai ke rumah sakit segala,” ujarnya menyelidik. Ternyata ia tak semudah itu percaya.



“Itu... Dia...” kataku terputus. Aku harus jawab apa!?



“Dia kenapa kak?” pertanyaan bernada khawatir itu begitu mengusikku.



“Sebenernya ada beberapa kondisi yang mengharuskannya untuk dirawat di rumah sakit. Mungkin untuk tiga atau empat hari lagi dia udah bisa pulang kok. Nggak usah khawatir.” Jawabku mencoba untuk menenangkannya.



“Kalau harus sampai tiga atau empat hari lagi, berarti rada serius dong kak.” Ujarnya benar-benar membuatku mati kata. “Kak Yudha, please kasih tau gue dia sakit apa sebernya? Waktu gue nganterin dia minggu lalu, dia pucet banget, waktu terakhir kali ketemu kemarin, malah lebih pucet lagi. Please kak kasih tau gue,” ujarnya menghiba.



“Beneran deh Yu, dia nggak kenapa-napa. Dia Cuma butuh bed rest beberapa hari aja, abis itu dia bakalan baik lagi kok.” Kataku mencoba memberinya pengertian.



“Kalau gitu, kasih tau gue di rumah sakit mana dia dirawat. Gue mau jenguk dia,” putusnya tegas.



“Sorry, kalau itu gue nggak bisa ngasih tau lo. Dia nggak mau ketemu siapa-siapa.” Jawabku berat.



“Ya ampun kak, masa’ tempat dia dirawat aja gue nggak boleh tau!? Ayolah kak Yudha..” dia kembali mencoba untuk membujukku.



Aku hembuskan napas berat. “Ampun deh Ksatria, lo bener-bener ngebuat gue pusing! Gimana gue harus nolak dia coba!? Gue bener-bener nggak tega ngeliat dia kayak gini. Awas aja lo kalau udah balik, gue unyeng-unyeng lo jadi tempe!” gerutuku dalam hati.



“Kak, kasih tau gue ya. Please...” lagi-lagi dia memohon.



“Yudha, ke sini sebentar nak,”



Thank’s mom for saving me. “Ya ma.” Sahutku dengan wajah penuh kelegaan. “Sebentar ya,”



Aku melangkah meninggalkannya yang aku yakin sekarang dia sedang mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kekesalan. Aku menghampiri mama yang sedang menata beberapa lauk di piring. Ku intip sebentar tudung saji, sayur asem, sambal terasi, dan ikan asin, benar-benar menerbitkan air liurku.



“Ada apa ma?” tanyaku setelah mencomot satu iris tempe goreng dan melahapnya.



“Ajak dia sarapan bareng gih. Kasihan dia, pasti sekarang sudah kelaparan.” Kata mama dengan seulas senyum manis.



“Iya ma.” Jawabku singkat. “Ma, emang dia kapan datengnya sih?”



“Tadi pagi waktu ujan deres. Mama aja kaget, pagi-pagi kok udah ada yang ngetok pintu.” Katanya menerawang.



“Yang bener ma!?” sahutku kaget.



“Bener Yudha. Masa’ mama bohong sih. Udah sana, ajak dia sarapan dulu.” Ujarnya seraya mendorong bahuku pelan.



“Dia pasti bener-bener khawatir. Sampai-sampai dibelain ke sini pagi-pagi.” Desisku pelan.



“Khawatir?” tanya mamaku pelan.



“Iya ma, dia pasti khawatir banget sama Ksatria, sampai nekat ke sini pagi-pagi buta, mana lagi hujan deres, kan? Terus itu, emang mama nggak sadar kalau dia nggak tidur nyenyak semalem?” jelasku.



“Sampai segitunya!? Jangan-jangan dia...?” mama berasumsi dan memandangku kaget. Aku hanya mengangguk membenarkan. “Ya ampun, kamu yakin!?” tanyanya terkejut.



“Yakin ma. Orang dia sendiri kok yang bolang sama Yudha. Lagian mama nggak sadar apa kalau yang sebernya dicari itu Ksatria, bukan Yudha?” kataku balik bertanya.



“Iya sih, tadi emang mama sempet curiga waktu dia tanya-tanya Ksatria sakit apa. Wajahnya aja cemas gitu. Ya ampun, kasihan dia.” Jawab mama dengan sedikit kesedihan membayangi wajah tuanya.



Aku hanya mengangguk samar, dalam hati aku membenarkan ucapan mama. Ya, dia memang benar-benar kasihan. Aku jadi semakin tak tega untuk mengatakan yang sebenarnya.



“Apa Ksatria sudah tau hal ini?” selidik mama.



“Ya, dia tau.” Jawabku tegas.



Mama mendekap mulutnya tak percaya. “Ya ampun. Terus gimana Ksatria?” selidiknya lagi.



“Ksatria sih udah bilang ke cewek itu supaya nggak ngedeketin dia lagi. Tapi, apa mau dikata tuh cewek kayaknya emang beneran suka sama Ksatria.” Jelasku dengan mengedikkan bahu.



“Aduuh. Terus kamu nggak bilang kan Ksatria sakit apa ke dia?” lagi-lagi mama bertanya kali ini nada khawatir yang terdengar.



“Ya nggak lah ma. Nggak tega kali mau ngasih tau ke dia yang sebenarnya.” Jawabku tegas.



“Apa... Ksatria juga suka sama dia?” tanya mama hati-hati.



“Entahlah ma, Yudha juga nggak ngerti. Bisa iya bisa juga nggak. Mama nih kayak nggak tau anak itu gimana. Dia kan sukanya nyimpen masalahnya sendiri.” Jawabku singkat. “Udahlah ma, kita bicarain ini nanti-nanti aja. Kasihan dia udah nunggu lama.” Kataku sebelum meninggalkan ruang makan.



&&&



Sementara itu disalah satu rumah sakit ternama di daerah Bogor. Seorang cowok tengah tergolek di sebuah ranjang dengan selang infus tergantung di sebelah kiri ranjang. Beberapa alat yang tersalur ke sebuah monitor menempel pada dadanya. Kardiogram yang terletak tak jauh dari sana memperlihatkan detak jantung pemiliknya. Alat itu mengeluarkan bunyi dengan ritme stabil. Monitor yang menunjukkan keadaan denyut jantung itu pun, berjalan perlahan.



Pintu kamar bernomor 506 itu perlahan terbuka. Seorang suster masuk dengan mendekap sebuah papan seperti papan ujian yang menyimpan dengan rapi laporan kesehatan pasiennya. Setelah memeriksa beberapa bagian, suster itupun merapikan selimut yang menutupi tubuh pasiennya. Sejenak ia tatap wajah pemuda itu, pucat adalah gambaran yang sering terlihat di sana.



“Ganteng sih, tapi sayang...” desahnya lirih. Sebelum meninggalkan kamar itu setelah memeriksa selang infus dan melihat keadaan kardiogram yang masih stabil.



Perlahan kedua mata pemuda itu terbuka. Ia padangi langit-langit kamar 506 itu dengan sendu. Pandangannya menerawang jauh, kembali pada masa-masa sebelum dia harus bolak-balik ke rumah sakit seperti sekarang ini. otaknya kembali memutar perkataan suster yang baru saja memeriksanya. Ya, nasibnya memang benar-benar menyedihkan. Tapi dia tak mau dikasihani seperti tadi, itulah mengapa ia tak suka bergaul dengan banyak orang. Hidupnya sudah menyedihkan tanpa harus ditambah lagi dengan rasa kasihan dari orang-orang yang mengenalnya.



“Hidup gue emang nggak ditakdirkan buat seneng,” desisnya parau.



&&&



Setelah menyelesaikan sarapannya dengan keluarga Yudha, Aura pun berpamitan. Merasa tak akan mendapat informasi lebih dari tadi, ia memutuskan untuk pulang saja. Mungkin di lain hari dia bisa lebih beruntung.



“Ayo, gue anter lo pulang,” tawar Yudha yang tengah bersiap-siap untuk mengantar Aura.



“Nggak ngrepotin nih?” tanya Aura basa-basi. Sejujurnya dia seneng banget bisa diantar pulang Yudha. Bukan karena orang yang mengantarnya yang membuatnya senang. Tapi, keadaan kantongnya lah yang membuatnya senang menyambut tawaran tersebut. Selain untuk ongkos taxi tadi pagi, dia tak memiliki sepeser uang lagi di kantongnya.



“Ya nggak lah, ayo.” Ajak Yudha yang sudah mendahului ke luar.



“Tante, saya pamit dulu ya. Terima kasih sarapannya. Maaf ya tante malah ngrepotin.” Pamitnya pada tante Ira yang baru saja datang setelah selesai membereskan meja makan.



“Nggak ngrepotin kok. Hati-hati di jalan ya... Lain kali main lagi ke sini ya, jangan sungkan-sungkan. Anggep aja keluarga sendiri.” Kata tante Ira mengiringi kepergian Aura.



“Ma, Yudha pergi dulu!” pamit Yudha sebelum melajukan motornya.



Hari sudah mulai beranjak siang saat Aura berpamitan pulang. Udara juga sudah jauh lebih hangat ketimbang tadi pagi. Walau awan mendung masih menghias langit, tapi sinar matahari yang mengintip malu-malu membuat hawa tak sedingin di kutub utara lagi.



“Nyokap lo masih muda ya, kak,” Aura memulai percakapan sebagai pembunuh waktu.



“Ya gitu deh. Walau umurnya udah nggak muda lagi, tapi wajahnya keliatan kayak masih umur 30-an.” Jawab Yudha bangga dengan seulas senyum lebar.



“Tapi kak, dari tadi gue nggak ngeliat bokap lo. Apa dia lagi di rumah sakit?” tanya Aura ragu.



Sejenak tak terdengar jawaban dari Yudha, yang ditanya pun hanya memandang lurus ke depan. “Bokap gue udah meninggal,” jawabnya sendu.



“Sorry. Gue nggak bermaksud bikin lo sedih,” kata Aura cepat.



“Nggak pa-pa, udah lama juga kok.” Jawab Yudha santai.



“Kalau gue boleh tau, sejak kapan bokap lo udah nggak ada, kak?” tanya Aura hati-hati.



“Sejak gue masih SD,” jawab Yudha singkat.



Aura terdiam mendengar jawaban Yudha. Berarti mereka sudah tak merasakan kehadiran sosok seorang ayah dari kecil?! Ternyata, hal ini lah yang menjelaskan kenapa Yudha begitu dekat dan peduli pada Ksatria. Menurut pengamatannya, sikap Yudha ke adiknya bukan seperti sikap seorang kakak kepada adiknya, ada sesuatu yang lebih disana. Sekarang ia mulai mengerti semuanya.



“Eeem... Yu, kalau lo emang bener-bener pengen tau keadaan Ksatria. Hari minggu besok gue anter lo buat nemuin dia. Gimana?” tanya Yudha hati-hati.



“Minggu besok?! Mau banget, kak.” Jawab Aura antusias yang membuat motor menjadi sedikit oleng.



“Seneng sih seneng Yu, tapi kalau kita jatuh, nggak lucu kan?” ujar Yudha dengan tawa lebar.



“Maaf kak, maaf,” kata Aura berkali-kali. Setelah itu tak ada yang berbicara lagi selama perjalanan, jika tak ingin kejadian buruk menimpa mereka.



Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai di sebuah rumah sederhana yang tampak asri dengan berbagai tumbuhan yang hidup di halamannya. Sebuah pohon mangga yang terletak di sudut halaman membuat rumah itu sedikit tersembunyi. Setelah menyerahkan helm kepada pemiliknya, Aura pun berpamitan.



“Mampir dulu kak,” tawar Aura ramah.



“Lain kali aja, udah siang. Gue masih harus nganterin nyokap kerja, sebelum ke rumah sakit lagi.” Jelas Yudha.



“Oke deh kalau gitu. Salam ya kak buat mama lo,” ujar Aura singkat.



“Cuma mama aja nih yang dititipin salam?” goda Yudha dengan mengedipkan salah satu matanya pada Aura.



Aura yang mendengar itu pun tertawa kecil. “Ya deh, salam juga buat Langit.” Jawabnya malu-malu.



“Oke deh. Pasti ntar gue salamin kok. Salam cinta teriring rindu, kan?” kata Yudha sebelum melajukan motornya.



“Kak Yuhda!!” teriaknya gemas.



###



Hari ini terpaksa aku membolos lagi. Sudah dua hari aku tak menyambangi sekolah. Tak adanya anggota keluarga lain mengharuskanku untuk menemani Ksatria pada awal-awal masa perawatan. Mama yang sudah memilki kesibukan tidak bisa sering-sering menemani. Hanya pada saat malam saja mama bisa menemani Ksatria. Selebihnya ya hanya aku.



Setelah menanyakan keadaan terakhir Ksatria pada dokter Raka-dokter yang menangani Ksatria sejak dulu-aku pun menuju kamar 506 tempatnya dirawat. Sepanjang koridor aku mendengar beberapa suster yang bergossip dengan temannya, yang paling menarik perhatianku adalah obrolan dua orang suster sedang menggosip di dekat meja resepsionis. Mereka sedang membicarakan salah seorang pasien yang menurut mereka cukup tampan tapi tidak memiliki garis hidup seindah wajahnya.



Aku melengos dalam hati, entah kenapa perasaanku berkata yang mereka bicarakan itu adalah Ksatria yang notabene adalah pasien yang tak memiliki nasib seindah wajahnya. Perlahan aku membuka pintu kamar 506, aku lemparkan senyum lebar pada Ksatria yang sedang duduk menikmati sebuah acara televisi yang tertempel pada salah satu dinding di kamar itu.



“Hai, gimana kabar lo hari ini?” tanyaku berlagak seperti seorang wartawan.



“Seperti yang lo lihat.” Jawabnya malas. “Bawa apaan lo?”



“Jeruk sama nastar. Lo mau?” tawarku.



“Ogah, lagian tumben lo bawa kue ke sini, bang. Lo mau nginep lagi?” tanyanya menyelidiki.



“Iya nih, ntar malem mama nggak bisa ke sini. Ada lembur katanya.” Jawabku seraya mengambil satu potong nastar dan melahapnya. “Beneran lo nggak mau, enak lo kuenya,”



“Males, kalau enak lo habisin aja. Gue mah nggak doyan. Lagian lo nih tumben amat mau nginep pake acara beli kue kering segala,” cibirnya.



Aku ternyum kecil mendengar perkataannya. Ternyata pancingan pertamaku berhasil juga. Hari ini aku sudah berniat tak akan sekedar menemaninya saja. Tapi aku harus bisa mengorek informasi sebanyak mungkin darinya tentang masalah percintaannya.



“Oh, bukan gue yang beli. Tadi ada yang ngasih, waktu gue mau ke sini.” Jawabku sambil lalu. Tak lupa aku merekam berbagai ekspresi dari wajahnya, walau tidak secara terang-terangan. Bisa-bisa dia curiga kalau aku melakukannya tak hati-hati.



“Tumben ada yang nitip. Siapa? Temennya mama?” selidiknya.



“Bukan,” jawabku acuh.



“Baguslah kalau emang ada yang ngasih. Jadi lo nggak perlu repot-repot ngeluarin duit buat biaya makan malam lo,” jawabnya tajam.



Bener-bener dah mulutnya itu, nggak ada manis-manisnya. Tanya kek yang ngasih siapa, gue kan pengen tau, sebenernya dia tuh tertarik apa nggak sama Aura. Dasar nggak peka!



“Lo nggak pengen tau siapa yang ngasih kue ini?” pancingku lagi.



“Nggak penting, nggak ada pengaruhnya ini sama gue,” jawabnya santai.



Sial! Aku lupa kalau dia bisa lebih tajam dari silet kalau sedang bed rest seperti ini. “Eh, iya hampir aja gue lupa. Tadi ada yang nitip salam buat lo.” kataku sambil lalu. Kali ini pasti berhasil!



“Salam?” tanyanya bingung.



“Iya, katanya salam cinta teriring rindu,” jawabku sebelum tergelak melihat ekspresi bengongnya. “Kenapa lo? Biasa aja kali ekspresinya.” Lanjutku menggodanya.



“Lebay amat salamnya.” Komentarnya sebelum menghindari tatapanku. “Siapa sih yang nitip salam nggak banget kayak gitu?”



“Aura,” jawabku singkat yang membuatnya menatapku tajam. Kaget dan tak percaya adalah ekspresi yang tertangkap jelas di mataku.



“Siapa tuh? Nggak kenal gue,” jawabnya dingin. Matanya kembali fokus ke layar televisi yang sekarang menyajikan tayangan infotaimen.



“Masa’ sih lo nggak kenal. Cewek yang selalu ngajar-ngejar lo itu,” kataku menyelidik.



Dia hanya diam, masih belum mau menatapku. “Dia tadi ke rumah.” Ujarku pendek, berhasil mengalihkannya. Pandangan bertanya tampak jelas di wajahnya.



“Ngapain?” tanyanya singkat.



“Nyariin gue,” jawabku. Dia hanya membulatkan mulutnya, dan kembali menekuni tayangan televisi. “Dia nyariin gue buat nyari tau keadaan lo.” jelasku.



“Terus, lo bilang apa?” kejarnya, walau aku tak melihat langsung matanya, tapi aku yakin ekspresinya mengeras setelah mendengar penjelasanku tadi.



“Gue bilang aja, lo nggak pa-pa, Cuma perlu istirahat beberapa hari kedepan.” Kataku santai.



“Lo nggak bilang kan tentang penyakit gue ke dia?” selidiknya.



“Hampir aja, kalau mama nggak manggil gue, mungkin sekarang dia udah tau.” Ujarku hati-hati. Dia kembali menatapku tajam. “Sampai kapan Ksat, lo mau nyembunyiin semua ini dari dia? Ngeliat dia pagi tadi, bener-bener bikin gue nggak tega kalau harus ngebohongin dia terus.”



“Sampai gue bisa hidup lebih lama, Bang.” Jawabnya sendu.



“Gue tadi bilang ke dia, hari Minggu besok dia boleh ngejenguk lo.” kataku seraya berjalan menuju jendela kamar yang memperlihatkan halaman rumah sakit yang asri.



“Lo bercanda kan, bang!?” tanyanya tajam, nada tidak suka terdengar jelas disana.



“Kapan sih gue pernah bercanda soal keadaan lo.” jawabku tak kalah tajam.



“Bang, lo nih...”



“Gue nggak tahan lagi Ksat!” sentakku memotong ucapannya. “Gue udah nggak tahan lagi harus ngebohongin dia, dan bilang semuanya baik-baik aja! Udah saatnya dia tau yang sebenarnya. dia bener-bener care sama lo Ksat. Dia peduli, dia suka, dia cinta sama lo! Lo ngerti nggak sih!?” jawabku emosi.



“Gue Cuma nggak mau dia ngasihani gue Bang, setelah dia tau keadaan gue, dan satu yang pasti. Gue nggak mau bikin dia sakit karena gue.” jawabnya lirih.



“Lo yakin dia bakal ngelakuin hal itu!? Lagian lo ngasih tau dia hal ini sekarang, nanti, atau bahkan besok, sama aja Ksat. Sama-sama bikin dia sakit. Tapi, seenggaknya kalau lo ngasih tau dia lebih cepat, sakitnya juga nggak akan lama. Coba lo bayangin kalau lo ngasih tau dia nanti, setelah semuanya terlambat. Dia bakal lebih sakit Ksat. Lagian apa sih yang lo takutin!?” kataku seraya menatapnya tajam.



“Lo nggak pernah ngerasain kan, bang. Gimana rasanya dikasihani sama orang yang lo sayang?” jawabnya lirih, yang membuatku tertegun di tempatku berdiri. Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara aku dan Ksatria. Dia sudah harus beristirahat, kondisinya belum memungkinkan baginya untuk melakukan banyak aktivitas.



Satu kalimat terakhirnya sebelum terlelap tadi membuatku bertanya-tanya. Orang yang dia sayang? Apakah mungkin orang itu...? Aku pandangi wajahnya yang terlihat damai kala tidur. Tak ada gurat kesedihan di sana. Apa maksud ucapanmu tadi Ksat? apa kamu juga punya rasa yang sama untuknya? Aku menghela napas panjang, sebelum mengikuti jejaknya untuk tidur siang. Mengapa hati selalu sulit untuk dijajaki dan kenpa kamu begitu sulit untuk mengakui, Ksatria?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar