Rabu, 10 Oktober 2012

colour of sky 6

そら の いろ


Selama diperjalanan menuju lapangan basket komplek, tak ada satu pun diantara mereka yang mencoba untuk memecahkan kesunyian. Benar-benar diam yang membisu. Ksatria yang sudah menyadari ulah kakaknya, hanya memandang ke luar jendela tanpa sedikit pun punya niat untuk mengobrol dengan gadis di sebelahnya yang dari tadi mencuri pandang ke arahnya. Bibirnya dari tadi terkatup sebentar, terbuka, terkatup lagi, persis seperti ikan emas koki.

Seolah ingin mengajak ngobrol, tapi ragu. Dia ingin memulai pembicaraan, tapi tak tahu apa yang harus dibicarakan. Alhasil dia hanya dapat melirik ke arah Ksatria dan sesekali menarik napas panjang. Sopir taxi yang mereka tumpangi pun dari tadi melirik tingkah dua sejoli itu dari kaca spion tengah dengan pandangan tak mengerti.

“Lagi marahan ya, Mbak sama Mas nya?” tanya sopir taxi mencoba mencairkan kebekuan diantara penumpangnya.

Ksatria hanya meliriknya dengan pandangan sengit, dan kembali memandang ke luar jendela. Aura yang ditanya seperti itu hanya melirik Ksatria sekilas dan tersenyum samar ke pak sopir.

“Masalahnya apa tho? Apa ndak bisa diselesaikan baik-baik? Dari pada diem-dieman gini.” Lanjutnya sok tau.

“Nggak ada masalah apa-apa kok pak,” jawab Aura mencoba ramah pada sopir taxi yang sekilas melirik ke arah Ksatria.

“Ndak ada masalah apa-apa kok pada diem-dieman gini? Ndak baik lho Mas,” ujar pak sopir yang mencoba mengajak Ksatria bicara.

Ksatria hanya melirik sekilas. “Bukan urusan bapak. Mendingan bapak nyetir aja, nggak usah peduliin kami.” Jawabnya sengit.

“Langit, nggak boleh gitu sama orang tua. Nggak sopan,” bisik Aura yang merasa ucapan Ksatria tadi terdengar kasar.

“Bodo amat. Bukan orang tua gue ini.” sahutnya acuh.

“Hish, kamu nih.” Gerutu Aura sebel. “Maaf ya pak. Dia emang gitu orangnya.” Imbuhnya yang merasa tak enak dengan perkataan Ksatria barusan.

Ksatria yang mendengar itupun hanya mencibir, dan memberikan tatapan sengit ke sopir taxi yang malah memberinya sebuah senyuman. Tak berapa lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah lapangan basket yang kini telah tampak ramai dengan orang-orang yang mendukung tim masing-masing.

Pandangan Ksatria memindai seluruh tempat itu, dan tak menemukan motor kakaknya. Berarti kakaknya belum sampai. Dia melangkah menuju ke sebuah bangku panjang di bawah pohon angsana yang tumbuh tak jauh dari lapangan tempat pertandingan. Dari sana dia bisa melihat ke seluruh area lapangan basket, tanpa harus khawatir terhalang penonton yang berjubel.

Ia hempaskan tubuhnya di bangku itu dan menghirup udara dalam-dalam, menikmati suasana di sekitarnya. Riuhnya pendukung, dan pantulan bola basket membuatnya seolah hidup kembali. Walau ia tak bermain tapi dia bisa merasakan semangat para pemain yang sebentar lagi akan berlaga.

Aura yang sedari tadi hanya mengikutinya, berdiri canggung tak jauh dari Ksatria. Ia memandang ke sekeliling dengan bingung dan tak percaya. Bingung karena begitu banyak orang di sana, kenapa Ksatria lebih memilih untuk menyendiri. Tak percaya, karena dia bisa jadi sedekat ini dengan orang yang bahkan hanya berani ia impikan.

“Mau sampai kapan lo berdiri di situ?” kata Ksatria datar tanpa memandang Aura.

Orang yang ditanya tiba-tiba begitu, menoleh sekilas dan langsung menjatuhkan pantatnya tak jauh dari Ksatria. Ia ikuti arah pandang Ksatria. Ternyata ia sedang melihat beberapa orang yang mencoba melakukan pemanasan dengan melakukan lay up di salah satu sudut lapangan. Di sudut lain, ia melihat ada beberapa yang mencoba melakukan shooting three point.

“Lo sering ke sini ya?” tanya Aura mencoba kembali peruntungannya agar dapat berbicara dengan Ksatria.

“Nggak juga,” jawabnya datar.

“Lo... Nggak ikut main?” kembali ia tatap Ksatria. Ia tampak menghela napas panjang.

“Nggak.” Jawabnya super singkat.

“Oh... Kenapa?” selidik Aura.

“Harus ya gue ngasih tau lo alesannya?” kata Ksatria balik bertanya.

“Nggak sih. Cuma, gue penasaran aja. Tapi, kalau lo nggak mau ngasih tau. Nggak apa-apa kok. Itu hak lo.” ujar Aura pelan.

“Gue nggak suka basket.” Kata Ksatria datar.

“Oh.”

Hening kembali merayapi mereka. Meninggalkan mereka dengan pikirannya masing-masing. Walau pandangan mereka tampak fokus menyaksikan permainan basket yang baru saja di mulai. Tapi, semua orang tau kalau fokus pikiran mereka tak ada di sana.

“Hei, sorry ya lama,” suara Yudha yang baru saja datang memecah keheningan yang membekukan hati di antara mereka.

“Udah mulai tuh, lo nggak ikut main?” sahut Ksatria sekedarnya.

“Gue mainnya ntar. Babak kedua.” Jawab Yudha singkat. “Eh, geseran sih,” lanjutnya seraya meminta Ksatria agar bergeser.

“Lo aja gih yang di sini.” Kata Ksatria seraya bangkit dari duduknya, bermaksud tukeran dengan kakaknya.

“Udah lo di situ aja.” Cegah Yudha, yang sudah duduk di sebelah Ksatria.

Ksatria yang mengetahui gelagat kakaknya, hanya bisa pasrah dan kembali menghempaskan pantatnya di bangku panjang itu. Great. Sekarang dia malah sudah jauuh lebih dekat dengan cewek yang sedari tadi ia abaikan. Aura yang menyadari sinyal dari Yudha pun, tersenyum samar padanya. Jantungnya yang sedari tadi berdebar tak karuan, sekarang mungkin dapat dipastikan sudah tak ada di tempatnya lagi.

Sejenak keheningan melingkupi mereka bertiga. Suasana diantara mereka pun penuh dengan kecanggungan. Membuat setiap hati dipaksa untuk merasakan sesuatu yang seakan mengikat mereka pada situasi di mana mereka diharuskan untuk memilih. Akan tetap diam dan melihat pertandingan basket atau bicara dan ngobrol dengan bebas. Harus ada yang memulai, sebelum suasana menjadi tambah tak nyaman.

“Oh ya bang. Mama tadi bilang, malam ini mungkin pulangnya telat.” Ujar Ksatria memecah kebekuan diantara mereka.

“Lembur lagi?” tanya Yudha memastikan.

“Mungkin. Eh Bang, berhubung mama ntar pulangnya telat. Lo traktir gue ya,” lanjut Ksatria dengan wajah sumringah.

“Traktir apaan? Kan tadi udah gue traktir naik taxi,” kata Yudha singkat.

“Yaelah bang. Kalau itu mah bukan nraktir. Emang harus.” Jawab Ksatria tengil.

“Dasar lo nih. Bukannya terima kasih udah gue bayarin. Malah minta nambah. Emang lo mau makan di mana?” kata Yudha, seraya menoyor kepala adiknya.

“Di warung tenda deket rumah yang baru buka itu lho bang. Kata anak-anak komplek pecel lele di sana enak. Gue mau nyobain.” Jawabnya antusias.

“Boleh deh. Gue juga pengen sekali-kali kita makan enak. Lo mau ikutan juga nggak Yu?” tanya Yudha tiba-tiba pada Aura yang dari tadi hanya menjadi pendengar dari pembicaraan kakak beradik itu.

“Ha..?? Apa?” ujarnya tergagap.

“Abis ini lo nggak ada acara, kan? Ikut makan kita dulu, ya?” ulang Yudha dengan seulas senyum manis.

“Nggak sih. Tapi...” jawabnya terbata.

“Udah. Nggak usah ngerasa nggak enak gitu sama kita.” Potong Yudha sebelum Aura sempat melontarkan keberatannya.

“Iya deh,” jawab Aura singkat, sekilas ia melirik Ksatria yang sudah bermuka masam, lagi. “Apa dia bener-bener nggak suka kalau gue deket-deket sama dia? Tapi kenapa?” ujar Aura dalam hati.

“Bang, sini bentar,” ajak Ksatria seraya menarik Yudha agar mengikutinya pergi.

Aura hanya memandang bingung pada ke duanya. “Lo tunggu aja di situ, jangan kemana-mana,” kata Yudha sebelum meninggalkan Aura sendirian.

###

Aku tahu kalau ini pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Penolakan Ksatria terhadap apa yang aku lakukan. Membawa seseorang yang sangat ingin ia hindari ke dalam kehidupannya.

Setelah sampai di balik sebuah pohon tak jauh dari bangku taman tadi. Ksatria menatapku tajam. “Please bang. Hentikan semua rencana yang lagi lo bikin. Gue nggak suka!” katanya tajam, setelah kami berpandangan sesaat.

“Rencana apa?” tanyaku santai.

“Rencana lo buat ngedeketin dia ke gue.” jawabnya tegas seraya menunjuk gadis yang sekarang tengah memandang ke arah lapangan basket. Aku tersenyum samar ke arahnya sebelum berbalik memandang Ksatria.

“Gue nggak bisa.” Kataku tegas.

“Bang, lo ngertiin gue dong. Kan udah berkali-kali gue bilang ke lo. Gue nggak suka ada orang lain yang masuk ke hidup gue. Udah cukup ada lo sama mama. Nggak usah ditambah lagi!” katanya emosi.

“Lo selalu minta ke gue buat ngertiin lo. Apa lo nggak pernah sedikit pun ngertiin dia!?” kataku ikut emosi. “Lo tau, dia bener-bener suka sama lo Ksat. Nggak bisa apa lo buka hati lo sedikit buat dia. Seenggaknya, nyoba buat lebih respect ke dia?!”

“Lo bener-bener nggak ngerti ya bang. Justru karna gue ngertiin dia, makanya gue nggak mau dia ikutan masuk ke hidup gue, bang.” Sentaknya. “Coba lo bayangin. Apa jadinya dia kalau udah tau gue bakal ninggalin dia nggak lama lagi!? Lo nggak mikirin gimana sakitnya dia ntar? Lo jangan egois deh jadi orang, bilang semua yang lo lakuin ini baik buat gue. Tapi, apa lo pernah mikirin ntar dia bakal jadi apa waktu gue nggak ada!?”

“Denger ya Ksat. Mau jadi apa dia ntar, itu bukan lo atau gue yang nentuin. Tapi dia sendiri. Kalau emang dia beneran suka sama lo, gue yakin dia nggak akan keberatan dengan segala kenyataan tentang lo,” jawabku tegas.

“Itukan Cuma kata lo, bang.” Jawabnya lelah. “Mulai sekarang, jangan pernah coba-coba buat bikin gue jadi lebih deket sama dia.”

“Ksat, lo nggak boleh egois gini dong. Dia pasti kecewa kalau gue tiba-tiba bilang lo udah nggak mau deket sama dia lagi.” Bujuk ku.

“Itu mah terserah lo, bang.” Ujarnya acuh. “Gue heran, kenapa lo jadi getol banget nyuruh gue deket sama dia.” Lanjutnya, menatapku dengan pandangan meneliti. “Bang, jangan bilang lo...”

“Ya, gue suka sama dia! Gue suka ngeliat senyumnya. Makanya gue nggak mau lo jauhin dia.” Ujarku pasti.
Dia medengus dengan senyum mencibir. “Kalo lo suka, kenapa bukan lo aja yang deketin dia. Kenapa harus gue!?” protesnya.

“Karena gue tau, dia sukanya sama lo Ksatria!!??” kataku gemas.

“Terus?” tanyanya menyelidik.

“Ekspresi yang dia tunjukin ke gue. Seneng, murung, sedih, bingung. Semua itu yang bikin lo, bukan gue. Lo tau gimana ekspresinya kalau abis ketemu lo? Seneng banget, sampai-sampai dia nggak berhenti senyum. Dan lo tau gimana tampangnya dia kalau lo tolak? Murung. Nggak ada bagus-bagusnya. Gue nggak suka ngeliat dia kayak gitu. Gue lebih seneng ngeliat dia selalu senyum, walau gue tau senyum itu bukan buat gue.” jelasku lirih.

“Lo bener-bener bego ya Bang!? Udah jelas-jelas lo suka sama dia, kenapa malah ngasihin dia ke gue!? Lo itu naif, tau nggak!?. Kalau emang senyum itu bukan buat lo, ya lo tinggal bikin dia senyum buat lo, dan karena lo.” jawabnya tajam.

“Denger ya bang. Lo pikir, dengan nyerahin dia ke gue, dia bakal bahagia? Nggak, bang! Karena sebuah kebahagiaan Cuma bisa kebentuk dari dua unsur yang sama. Gue nggak suka sama dia, dan dia suka sama gue. lo pikir gue ama dia bisa bahagia? Naif tau nggak lo. Walaupun lo liat dia selalu senyum dihadapan lo, apa lo pernah ngeliat ke dalam matanya? Ke hatinya? Belum kan? Lo itu Cuma ngeliat luarnya aja, bukan dalemnya.” Lanjutnya panjang lebar.

Jujur kata-katanya tadi benar-benar membuatku memikirkan ulang rencanaku. “Terus gue harus gimana?” tanyaku lesu.

“Jauhin dia dari gue, dan lo bisa mulai deketin dia. Walau gue tau itu susah, tapi lama kelamaan dia bakal ngeliat lo kok.” Jawabnya dengan sebuah senyum. “Jangan pernah bawa orang yang lo sayang ke dalam penderitaan hidup gue bang.” Lanjutnya lirih sebelum meninggalkanku sendiri dengan pikiran berkecamuk.

@@@

Aku bergegas pergi meninggalkan abangku yang sekarang aku yakin sedang memikirkan perkataanku. Setelah dua meter aku berjalan, ku hentikan langkahku. Ku pandangi langit tak bermega, menghirup udara yang terasa sesak, dalam-dalam. Ku layangkan pandanganku pada gadis yang tengah menunggu kami di bangku panjang tadi.

Pandangannya masih fokus pada permainan basket di depan. Sesekali ia bertepuk tangan riuh saat tim dukungannya dapat mencetak point. Ku lihat abang sudah ikut dalam permainan itu. Gayanya saat bermain basket benar-benar membuatku kagum. Lagi-lagi aku menghela napas berat.
Abang, memang orang yang paling rela berkorban demi kebahagiaanku. Dia juga orang ternaif yang pernah kutemui. Mungkin kata-kataku tadi sedikit keterlaluan, tapi kalau tidak begitu nanti dia akan semakin gencar mendekatkanku dengan gadis itu. Bukannya aku tak mau menjadi dekat dengannya, hanya saja aku takut untuk memulai sebuah hubungan baru.
Aku dan dia benar-benar tak ada harapan. Makanya, sebelum semuanya terlambat, sebisa mungkin aku harus menghindar darinya. Aku tak mungkin menyeretnya ke dalam lembah kelam hidupku. Dia dan abang lebih punya masa depan ketimbang dia denganku.

Kuraba bagian kiri dada ku, ada yang terasa berkedut nyeri di sana. Entah sejak kapan di sana terasa seperti ini. Mungkin sudah sejak tadi, tapi baru kusadari sekarang. Ada yang tak beres dengan hatiku. Kenapa terasa sesakit ini setelah aku memutuskan untuk menjauhinya? Ku gelengkan kepalaku kuat-kuat. Ku tekan dengan kuat daerah yang terasa sakit, berharap dengan begitu rasa sesak ini segera menghilang.

“Kamu kenapa? Sakit?” pertanyaan tiba-tiba itu membuatku tersentak. Kupandangi raut cemasnya. Sejak kapan dia menggunakan aku-kamu saat bicara denganku?

“Nggak. Gue nggak pa-pa.” Jawabku singkat, menepis tangannya yang hendak menyentuh dahi ku.

Ku langkahkan kakiku menuju bangku panjang itu. Mungkin dengan beristirahat sebentar aku dapat meringankan sakit ini.

“Yakin nggak apa-apa? Wajah mu pucet gitu? Kita pulang aja ya?” ajaknya dengan nada khawatir.

Lagi-lagi kutepis tangannya saat mencoba membantuku berjalan. “Gue bisa jalan sendiri!” sentakku yang membuatnya diam dan mundur selangkah. Wajahnya benar-benar menyiratkan kekhawatiran.

“Apa perlu aku panggilin kak Yudha biar nganter kamu pulang?” tanyanya lagi. Kali ini dia sudah berada di sampingku.

“Gue bilang, gue nggak apa-apa. Budek ya!?” ujarku ketus.

“Ta.. Tapi, wajahmu pucet banget. Aku anterin kamu pulang ya,” jawabnya terbata, nada khawatir itu begitu mengusikku.

“Lo kenapa sih? Udah gue bilang juga. Gue nggak pa-pa. Di bawa diem bentar juga sembuh.” Kataku datar.

“Bohong! Kamu kan emang lagi sakit, nggak mungkin baik-baik aja. Ayo deh, mendingan sekarang kita pulang aja!” katanya tandas seraya memaksaku untuk bangkit.

“Lepas! Mau lo apa sih!?” sentakku keras. Ku tatap dia tajam.

“Mau gue!? Sekarang kita pulang, lo perlu istirahat!” jawabnya tegas. Sekarang bahkan dia tak perlu repot-repot pakai aku-kamu lagi.

“Lo siapa, berani maksa-maksa gue!?” tanyaku tajam.

“Gue emang bukan siapa-siapa lo. Tapi gue peduli sama lo. Udah deh, mendingan sekarang kita nggak usah berantem. Lo perlu istirahat, lo beneran udah pucet banget, kayak mayat.” Jawabnya tegas, seraya menarikku untuk mengikutinya.

Dia benar-benar menggenggam tanganku erat, seolah kalau tak begitu aku akan kabur darinya. Dan itu memang benar. Tangannya melambai pada sebuah taxi yang melintas. Dia mendorongku pelan, agar aku masuk lebih dahulu. Setelah kami berada di dalam, dia menyebutkan alamat rumahku. Tak lama dia pun berkicau. Great. Sekarang aku baru tau kalau kecerewetannya abang kalah jauh dari dia.

“Apa sih yang lo pikirin!? Udah tau lagi sakit, bukannya istirahat malah keluyuran nonton basket. Emangnya nonton nggak bisa besok lagi apa!? Bener-bener deh. Kalau lo tadi pingsan di sana gimana? Siapa yang repot!? Jangan-jangan lo tadi belum makan siang ya? Belum minum obat? Aah... Gue rasa belum. Liat aja tuh wajah lo sekarang kayak mayat hidup, bener-bener pucet. Abis ini lo harus makan, terus minum obat, terus tidur, nggak usah kelayapan lagi. Dan lagi...”

“STOP! Gue bukan anak kecil lagi yang mesti dikasih tau ini itu. Dan berhenti nyeramahin gue! Lo bukan nyokap ataupun abang gue. Dan bahkan lo bukan temen gue! Jadi, lo nggak perlu repot-repot ngasih tau gue ini itu. Tanpa lo bilang, gue juga udah tau!” sentakku memotong ceramah panjangnya.

Dia hanya diam membisu, menatapku dengan ke dua bola matanya yang berkaca-kaca. Mungkinkah kata-kataku barusan terlalu kejam? Bagus. Sekarang malah gue yang keliatan kejam. Bikin anak orang nangis karena kesalahan gue. Gue bener-bener “beruntung”.

“Gue emang bukan siapa-siapa lo Lang. Tapi gue peduli sama lo, dan gue akan terus nyoba jadi siapa-siapa lo, walaupun selama ini lo nggak pernah nganggep gue ada. Tapi itu nggak masalah buat gue, yang penting gue bisa deket sama lo. Bagi gue, status nggak penting, yang penting gue bisa ngobrol sama lo, bisa ngeliat lo aja gue udah seneng. Gue nggak ngarepin lebih. Apa permintaan gue kelewat susah buat lo kabulin?” katanya lirih seraya menyeka air mata yang mulai mengalir.

Aku menghembuskan napas panjang, ku alihkan pandanganku ke luar jendela. “Sangat susah, sampai-sampai gue nggak tau lagi harus pake cara apa agar lo nyerah buat deketin gue.” jawabku lirih.

Terdengar isaknya yang memilukan. Ku tahan keinginanku untuk membuatnya diam. “Apa sih salah gue sama lo Lang, sampai-sampai lo segitu bencinya sama gue?” katanya lirih ditengah isakannya.

“Gue nggak bilang gue benci sama lo,” kataku meluruskan. Aku tak mau penolakanku disalah artikan olehnya.

“Kalau bukan benci terus apa? Kenapa lo nolak gue terus? Kenapa lo nggak suka gue deket sama lo? Kenapa!?” isaknya pilu. “Gue suka sama lo, Langit.”

“Sorry, gue nggak bisa bilang sekarang kenapa gue nggak mau lo deket sama gue dan terima kasih buat rasa suka lo. Bakal gue inget terus.” Kataku lirih, masih belum mau memandangnya.

“Liat mata gue!” ujarnya seraya menghadapkan wajahku ke arahnya. Dia memandangku tajam diantara derai air matanya yang mengalir. “Liat mata gue dan bilang lo nggak suka sama gue! Bilang kalau lo benci gue deket-deket sama lo!”

Aku menatapnya tajam, aku tahu pandangannya mencari kebohongan di mataku. Tapi aku tak kan semudah itu terlihat, walau kata abang aku tak pandai menyembunyikan kebohongan. Namun, di depan gadis ini aku akan jadi aktor yang baik.

“Gue. Nggak. Suka. Sama. Lo. Dan gue mau lo jauhin gue.” kataku tegas, penuh penekanan disetiap katanya.

Dia menatapku tak percaya, menggelengkan kepalanya tanda bahwa dia tak memepercayai pendengarannya. Air matanya pun mengalir semakin deras. Aku tahu kalau dia sedang menahan isakannya agar tak keluar. “Lo bohong.” Desisnya lirih.
Ku alihkan pandanganku kembali ke luar jendela. “Gue nggak bohong.” Kataku tegas.

“Nggak. Lo pasti bohong! Gue tau lo bohong!” katanya meracau tak jelas “Bilang ke gue kalau semua itu bohong!”

Aku hanya diam dan dia semakin terisak di sampingku dengan tak henti-hentinya mengulang kata “bohong”. Ya. Aku memang bohong. Aku membohonginya dengan mengatakan kalau aku tak mau ia dekat-dekat denganku lagi. Dan aku membohongi diriku sendiri dengan berkata aku tak menyukainya. Entah sejak kapan, kehadirannya yang selalu tiba-tiba di hadapanku menjadi sulit untuk kuabaikan. Aku mulai terbiasa dengan tingkah ajaibnya. Tapi seperti yang selalu aku bilang. Aku terlahir dengan satu paket. Kesedihan yang datang bersamaan dengan kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar