Senin, 15 Oktober 2012

colour of sky 17

そら  の  いろ


  Aku melangkah gontai dan sesekali menghela napas lelah. Aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kalah sebelum berperang ternyata seperti ini rasanya. Aku merasa telah menjadi pecundang yang gagal. Seandainya saja waktu dapat diputar ulang. Ah, kalau memang bisa diputar ulang apa aku bisa membuatnya menjadi milikku.

Aku mengacak rambutku kesal, merutuki nasibku yang benar-benar menyedihkan. Sudahlah, mungkin Tuhan sengaja menguji kisah cintaku, yang dapat kulakukan sekarang hanyalah berdoa, dan bersabar. Aku yakin Tuhan pasti puny arencana indah buatku kelak. Aku hanya haru sbersabar hingga saat itu tiba.

Perlahan, aku memutar knop pintu kamar 105. Ruangan ini masih tampak sama seperti saat aku meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Hanya saja sekarang di dekat ranjang-di mana Ksatria berbaring-tampak seseorang sedang tersedu. Aku menghela napas berat. Gadis itu, sudah hampir dua minggu ini aku selalu menemukannya sedang terisak di samping Ksatria. Apa dia tak merasa lelah, menangis sepanjang hari seperti ini?

Kutepuk bahunya pelan untuk sekedar memberitahunya bahwa ada orang lain di ruangan itu selain dirinya. Dia mendongak dari tunduknya dan menatapku nanar. Dengan tergesa ia menghapus sisa-sisa air matanya menggunakan sudut sapu tangan biru, yang aku tau disalah satu sudutnya tersulam indah dua huruf yang melambangkan hubungan mereka berdua. L & S.

Aku tertegun sejenak melihat penampilannya sekarang. Ya Tuhan, coba lihat penampilannya sekarang. Aku tak pernah melihatnya sekuyu ini. Dan lagi, jika diibaratkan dengan sesuatu, ia tampak seperti bunga layu yang sebentar lagi akan gugur karena tak pernah disiram.

“Eh, kak Yudha. Baru dateng kak?” sapanya setelah menetralkan suara isak tangisnya.

“Lo udah lama di sini?” tanyaku datar. Entahlah, aku tak suka melihatnya seperti ini. Mana Aura yang dulu aku kenal? Yang setiap bertemu denganku selalu menunjukkan senyum andalannya?! Bukan Aura seperti ini, yang selalu ku jumpai dengan mata merah dan sembab karena kebanyakan menangis!

Kalau mengingat hal tersebut, ingin rasanya aku mengguncang tubuh Ksatria agar ia lekas bangun. Atau setidaknya aku dapat merasuk ke dalam mimpi panjangnya dan mengabarkan kalau di sini ada seseorang yang selalu menangis karenanya.

Dia hanya tersenyum tipis membalas tatapan tajamku. “Iya kak.” Jawabnya lirih seraya membelai sebelah wajah Ksatria yang tak tertutup masker oksigen.

Ya Tuhan, gadis ini! Walau kami semua sudah pasrah dengan keadaan Ksatria, tapi dia... Coba lihat tatapan matanya itu! Masih penuh dengan pengharapan. Ia terlihat seperti sedang menunggui seseorang bangun dari tidurnya, bukan seperti sedang menunggui orang sakit yang sebentar lagi koit. Sedalam itukah rasa yang ia punya untuk adik semata wayangku ini? Melihatnya seperti ini membuatku trenyuh, miris, tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya ia kalau seandainya Ksatria benar-benar pergi.

Aku menggeleng keras memikirkan semua kemungkinan tersebut. Sekarang saja dia sudah terlihat hancur seperti ini, apa lagi kalau... Ah, aku mencoba mengusir kemungkinan terburuk tentangnya dari pikiranku. Ku alihkan tatapanku ke arah kardiogram yang berdetak teratur. Setidaknya alat itu masih menunjukkan kalau pemilik tubuh yang kini sedang tergolek tak berdaya itu masih bernyawa.

“Mama ke mana?” tanyaku setelah tak mendapati sosok mama di sekitar kamar ini. Biasanya pada jam-jam segini beliau sedang sibuk membasuh tubuh Ksatria.

Dia menoleh sebentar ke arahku. “Tante tadi pamit ke mushola sebentar. Katanya mau istirahat.” Jawabnya singkat, dan kembali menatap wajah pucat di depannya.

“Lo bisa ikut gue sebentar.” Ajakku tiba-tiba. Entah mengapa aku tak suka melihatnya berlama-lama menatap Ksatria seperti itu.

Dia menatapku heran. “Ke mana kak?”

“Udah ikut aja dulu.” Lanjutku seraya meraih tangannya dan menariknya bangun.

Dia terlihat keberatan dengan sikapku yang tiba-tiba saja berubah menjadi seperti ini. “Tapi kak...” tolaknya yang terlihat jelas kalau ia enggan berpisah dengan Ksatria walau hanya sebentar.

“Udah ayo ikut gue sebentar. Dia juga nggak akan kemana-kemana kok.” Ujarku seraya menariknya menjauh. Aku hanya memberinya tatapan tajam saat ia hendak menarik tangannya dari genggamanku. “Udah, tenang aja. Dia pasti baik-baik aja.”

Akhirnya ia menuruti keinginanku, setelah aku berkali-kali memastikan bahwa Ksatria tak akan kenapa-kenapa selama ia pergi. Huh, aku jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah Ksatria berikan padanya hingga ia menjadi seperti ini. Membuatnya seolah-olah dia tengah berada dalam pengaruh kekuatan gaib yang kuat atau yang lebih ngetren dibilang, pelet.

Aku membawanya ke sebuah taman yang berada di area parkir rumah sakit. Dengan ditemani segelas es campur aku mencoba memulai obrolan dengannya. Semoga saja dengan begini, ia akan kembali menjadi Aura yang aku kenal. Aura yang selalu ceria, dan selalu tersenyum, kepada siapa saja. Bukan Aura yang bertransformasi menjadi gadis pembuat air mata seperti sekarang.

&&&

“Udah berapa banyak lo nangis buat dia?” tanya Yudha datar, seraya menyeruput es campurnya dengan nikmat. Menikmati dinginny aair yang membasahi kerongkongannya.

Aura menghirup udara sebanyak yang bisa ditampung oleh paru-parunya, dan menghembuskannya perlahan. “Udah nggak bisa keitung lagi kak.” Jawabnya berat, ia menyesap es campurnya tanpa minat.

“Nggak capek apa lo nangis terus buat dia?” lagi-lagi nada datar yang terdengar.

“Selama tangisan gue ini buat dia. Gue nggak akan capek kak.” Ujarnya dengan sebuah senyum miris.

Yudah tersenyum sinis mendengar jawaban yang baru saja dilontarkan Aura. “Lo tau... Lo itu gadis paling bodoh yang pernah gue kenal.” Katanya tajam.

Aura hanya tersenyum kecil, seraya kembali meneguk es campurnya. “Gue emang jadi bodoh gara-gara ketemu adik lo, kak. Gue jadi nggak bisa mikir rasional lagi. Semua yang ada dipikiran gue Cuma dia, dia, dan dia. Sampai-sampai gue udah nggak tau lagi gimana gue harus menjalani hidup tanpa dia.” Jawab Aura dengan tatapan menerawang ke arah awan-awan yang berarak pelan.

“Gue heran, apa sih yang udah dia perbuat ke lo. Sampai lo jadi gitu? Setau gue, sejak lo deket sama dia yang ada lo berdua makin kayak anjing dan kucing. Jarang banget gue liat lo berdua akur, kayak burung terkukur. Dan lagi nih ya, sejak Ksatria kenal sama lo, nggak ada manis-manisnya tuh sikapnya ke lo. Kenapa lo bisa sampai seigininya sih sama dia?” kejar Yudha dengan emosi yang sedikit naik satu tingkat.

Lagi-lagi Aura hanya dapat tersenyum simpul mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Yudha. “Dia memang nggak pernah bersikap manis sama gue kak. Tapi entah kenapa bagi gue, justru disitulah letak manisnya dia.” Sahutnya yang terkadang tertekeh geli bila mengingat bagaimana hubungannya dengan Ksatria.

“Dasar aneh.”

Aura hanya tertawa pelan mendengar komentar yang dilontarkan Yudha. “Namanya juga orang lagi jatuh cinta kak. Pasti sikapnya juga jadi aneh. Makanya kak, cari pacar. Biar bisa ngerasain apa yang gue rasain sekarang.” Pancing Aura dengan seulas senyum manis andalannya. Akhirnya ia bisa juga kembali tersenyum seperti dulu, setelah sekian lama hanya air mata yang dapat ia perlihatkan pada orang lain.

Yudha yang mendengar godaan Aura hanya menghela napas lelah. “Kayaknya masih lama deh Ra buat gue ngerasain apa yang lo rasain sekarang.” Jawabnya lesu.

“Loh kok gitu? Bukannya kak Yudha lagi deket sama teh Anggun ya?” selidik Aura.

“Itu dulu Ra. Sekarang semua itu Cuma tinggal kenangan.” Jawabnya lemah.

“Kok bisa? Semangat dong kak. Masa baru PDKT aja udah nyerah.” Kata Aura menyemangati.

“Gue udah nggak ada harapan lagi Ra.” Sahutnya sedikit kasar.

“Dari mana kak Yudha tau kalo udah ngak ada harapan lagi?” kejar Aura.

“Percuma aja kan, gue ngejar-ngejar orang yang udah nggak mungkin buat gue kejar.” Jawabnya miris.

“Emang ada masalah apa sih kak Yudha sama teh Anggun, kok sampai kakak mau nyerah gini?”

“Gue sama dia sih baik-baik aja. Cuma, keadaan udah berubah Ra. Dia udah ada yang punya.” Kata Yudha yang kini hanya mengaduk-aduk es campurnya tanpa minat.

“Maksud kak Yudha, teh Anggun udah punya pacar, gitu?” Aura yang masih belum mengerti dengan situasi sekarang, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Yudha.

“Lebih parah Ra. Dia udah punya...” Yudha berhenti sejenak menghirup napas panjang, untuk sekedar menata hatinya yang kini sudah hancur berantakan. Berat rasanya jika ia harus mengakui kekalahannya sekarang, apalagi mengakuinya di depan mantan calon gebetannya ini.

Aura masih menatap Yudha, menunggu kata terakhir yang akan diucapkan pemuda yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. “Tunangan.” Desis Yudha lirih bersama hembusan angin yang membelai beberapa anak rambutnya.

Mendengar jawaban tersebut, sontak Aura pun menunjukkan wajah terkejutnya. “Yang bener kak? Kak Yudha tau darimana?” kejar Aura yang masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Tadi, waktu gue lagi jalan di koridor deket ruangannya dokter Raka, gue liat Anggun lagi duduk sendirian. Gue samperin lah dia, gue ajak ngobrol. Baru aja gue sama dia ngobrol enak, eh tau-tau dateng orang yang ngaku kalau dia itu tunangannya Anggun. Baru juga gue mau minta penjelasan dari Anggun, dia udah keburu narik Anggun
pergi.” Jelas Yudha dengan nada sedikit kesal.

“Kak Yudha yakin orang itu bener-bener tuangannya teh Anggun?” selidik Aura.

“Gue yakin Ra. Dia sendiri yang bilang. Gue bener-bener udah nggak ada harapan lagi Ra.” Desahnya pasrah,kalah.

Aura hanya terdiam di sampingnya, mengaduk es campurnya yang kini tinggal setengah gelas, tanpa selera. “Kalau saran gue ya kak. Lebih baik kak Yudha jangan dulu percaya sama apa yang baru aja didenger. Siapa tau orang itu Cuma ngaku-ngaku jadi tuangannya teh Anggun.” Ujar Aura menasehati.

“Awalnya gue juga kepikiran buat nggak percaya gitu aja sama dia. Tapi, setelah gue inget-inget lagi, sikap mereka berdua tuh akrab banget Ra. Ya, kayak dua orang yang udah lama punya hubungan.” Bantahnya langsung.

“Udahlah Ra, mungkin emang dia bukan jodoh gue.” Lanjutnya pasrah, seraya bangkit untuk membayar minuman mereka.

@@@

Aku masih terdiam di tempatku berdiri, sebaris kalimat yang baru saja diucapakan sosok itu benar-benar membuatku membeku. Aku tak tahu harus berkata apa atau menunjukkan ekspresi yang bagaimana. Kejadian ini benar-benar mengejutkanku. Kedatanganku ke tempat asing ini saja sudah membuatku bingung, apalagi ditambah dengan kenyataan yang baru saja hadir di depan mataku. Ingin rasanya aku berteriak, dan menganggap semua ini hanyalah bunga tidur.

“A... Ayah...” desisku lirih saat sosok itu memelukku erat. Walau aku masih belum percaya dengan apa yang sedang terjadi padaku, namun satu hal yang pasti. Aku merindukan pelukan hangat ini. Meski dengan sedikit gemetar aku membalas pelukannya, takut-takut.

“Ayah merindukanmu nak.” Bisiknya lirih, sosok ayah tersebut lalu menguraikan pelukannya dan menatapku intens.
Memaksaku merasakan aura yang tidak biasa, dapat kurasakan bulu romaku sedikit meremang setelah membalas tatapannya.

“Ksat juga rindu sama ayah...” balasku, masih dengan suara bergetar karena takut.

“Ayah sudah menunggu lama untuk bertemu denganmu seperti ini.” Ujarnya seraya menerawang ke arah matahari pagi yang baru saja menembul dari ufuk timur.

Suasana berubah menjadi lebih cerah, lampu-lampu taman yang tadi begitu menyilaukan mataku, kini padam satu-persatu. Kicauan burung dan kokok ayam mulai terdengar ramai, menggantikan lolongan serigala yang sedari tadi terdengar sayup-sayup sampai. Taman tempatku berada saat ini juga berubah menjadi lebih indah, padang rumput yang tak jauh dari tempat ini terlihat hijau menyejukkan. Ah, tempat ini benar-benar menyenangkan.

“Bagus banget...” bisikku lirih saat menyadari perubahan yang terjadi pada alam di sekitarku.

Ayah hanya terkekeh geli di sampingku, aku memandangnya, tak mengerti dengan apa yang ia tertawakan. “Kamu masih punya banyak waktu untuk menikmati semua ini, nak. Sebaiknya kamu sekarang mandi dan ganti bajumu. Ayah sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu, ayah akan mengajakmu berkeliling untuk menikmati pemandangan yang ada di sini.” Ayah berkata santai seraya menuntunku untuk kembali ke ruangan seperti ballroom yang tadi kutingalkan.

“Sebenarnya sekaranag Ksat ada di mana yah?” tanyaku sebelum ayah meninggalkanku sendiri di sebuah kamar yang kuyakini telah dipersiapkan ayah untukku dan akan menjadi kamarku selama aku berada di tempat ini.

“Kamu mandilah dulu, nanti ayah akan menjelaskan semuanya padamu.” Jawab ayah sebelum menutup pintu tepat di depanku.

Aku menghela napas lelah. Semua ini, apakah semua ini nyata? Aku mencubit lenagan ku untuk memastikan bahwa semua ini hanya terjadi di kepalaku. Namun, rasa sakit yang kurasakan seakan menghianati prasangkaku. Sakit. Berarti semua ini bkan mimpi. Lalu, kalau ini bukan mimpi lalu apakah ini sebuah kenyataan?

Aku memutuskan untuk segera mengguyur badanku yang terasa lengket oleh keringat, ketimbang memikirkan hal-hal aneh tentang kejadian “ajaib” yang sedang kualami. Setidaknya dengan membasuh badan, aku dapat menenangkan pikiran. Seluruh kejadian beruntun yang kualami dalam satu hari ini benar-benar membuat ragaku lelah. Bukan hanya raga, namun jiwaku pun merasa letih.

Setelah selesai membasuh badan dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk keluar dari kamar ini dan mencari sosok ayah untuk meminta penjelasan tentang semua hal yang sedang kualami. Tak perlu menunggu lama, sosok yang aku cari ternyata tengah duduk menanti kedatanganku. Beliau menyambut kedatangku dengan sebuah senyum khasnya. Aku hanya membalasnya dengan sebuah cengiran kecil. Aku benar-benar tak tahu harus bersikap seperti apa.

“Bagaimana, sudah lebih segar, kan sekarang” tanya beliau seraya mengangsurkan sebuah piring berisi nasi goreng, kesukaanku. Ah, mau tak mau aku kembali teringat akan kenangan masa kecilku. Dulu, ayah sering membuatkanku nasi goreng untuk sarapan. Dan kuharap nasi goreng ini memiliki rasa yang sama seperti nasi goreng yang pernah kunikmati.

“Lumayan yah...” jawabku seraya menyuapkan satu sendok nasi goreng itu ke dalam mulutku. Ya ampun, bagaimana bisa rasa nasi goreng ini sama dengan nasi goreng yang pernah aku rasakan dulu? Tempat ini benar-benar ajaib!

Ayah tersenyum melihat ekspresi kekagetan yang terpancar jelas dari raut wajahku. “Itu masih belum sebarapa, nak. Kamu akan menemukan hal-hal ajaib lainnya nanti.” Kata beliau yang seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Aku hanya tersenyum dan menyelesaikan sarapanku dalam diam. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini.
Suasana ini, keanehan-keanehan yang kurasakan sejak aku tiba di sini, kehadiran sosok ayah yang tiba-tiba muncul. Ah aku semakin yakin kalau sekarang aku sedang berada di surga. Tapi, kalau semua apa yang kuperkirakan itu benar, berarti sekarang aku... Sudah...

“Belum nak, kamu belum menjadi seperti ayah. Hanya saja kamu akan menjadi ayah seandainya kamu memang telah memutuskan untuk mengikuti ayah.” Sahutnya seakan menjawab pertanyaan dalam benakku. Aku hanya diam membeku. Sekarang semua hal ini benar-benar membuatku takut.

&&&

Wanita itu baru saja melangkah gontai keluar dari mushola tempatnya beristirahat sejak beberapa jam yang lalu, saat ia tiba-tiba dikejutkan oleh sapaan seorang pria muda yang mengenakan seragam layaknya seorang dokter. DR. Rakaditya Hermansyah, Sp.JP. Begitulah yang tertulis pada name tag yang tersemat di salah satu bagian jasnya. Dialah dokter yang selama ini bertanggung jawab menangani Ksatria, selain dokter Ravi tentunya.

“Eh, dokter. Ada apa ya Dok? Apa ada masalah dengan kondisi anak saya?” tanya wanita itu yang terlihat jelas sedang khawatir.

Dokter Raka hanya tersenyum menenangkan. “Tidak Bu, justru sebaliknya. Saya mencari ibu untuk memberitahukan sebuah kabar baik.” Jawab dokter Raka dengan senyum terkembang.

“Apa Ksatria sudah bangun dok? Kondisinya bagaimana? Kapan ia bangunnya dok?” pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar dengan nada tak sabar dari bibir wanita paruh baya di depannya.

Dokter Raka mencoba menenangkan wanita itu. “Ibu tenang dulu ya, bu. Ksatria sampai saat ini masih belum sadar. Kabar baik yang saya maksud di sini bukan mengenai kemajuan kondisi Ksatria, melainkan kabar mengenai donor jantung yang selama ini kita nanti-nantikan.” Jawabnya dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Benarkah itu dok?!” kejar wanita itu tak percaya.

“Sebaiknya nanti ibu datang saja ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan detailnya di sana.” Jawab dokter Raka tegas.

“Alhamdulillah ya Allah... Terima kasih atas semua anugerah yang Kau berikan pada keluarga kami. Pada Ksatria anak kami. Terima kasih ya Allah...” berkali-kali wanita itu memanjatkan syukur, air mata kebahagiaan itu tumpah membasahi wajah kuyunya. “Pasti dok, pasti nanti saya akan menemui dokter. Terima kasih atas kabar baik ini, dok.” Lanjutnya sebelum berlari tergopoh-gopoh meninggalkan dokter Raka yang kini memandang kepergiannya dengan sebuah senyuman.

“Semoga ini akan menjadi langkah awal dimulainya babak baru dalam kehidupan keluarga mereka. Selamat Ksatria, akhirnya perjuanganmu selama ini sebentar lagi akan terbayar lunas. Berkah dari kesabaranmu selama ini.” Lirihnya sebelum berjalan menuju ruangannya.

&&&

Setelah mendengar kabar baik yang disampaikan oleh dokter Raka, wanita itu berlari ke kamar di mana Ksatria dirawat, ia sudah tak sabar untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan anak bungsunya. Walau ia tahu anaknya sekarang tak bisa merespon tindakannya tersebut.

Sesampainya ia di kamar 105, ia langsung menghambur memeluk tubuh kurus Ksatria, dan memberinya ciuman bertubi-tubi. Sebagai luapan akan kegembiraan yang baru saja ia dapatkan. “Akhirnya nak, setelah sekian lama kita menunggu, kabar baik itu datang juga. Kamu akhirnya bisa hidup lebih lama.” Bisiknya seraya mengusap rambut anaknya yang terlihat berantakan.

“Mama!? Ada apa ma? Ada yang nggak beres dengan kondisi Ksatria?” sebuah pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Yudha saat melihat mamanya tengah memandang Ksatria dengan air mata berlinang.

“Akhirnya Yudh... Penantian panjang kita nggak sia-sia.” Jawabnya seraya memandang penuh kelegaan ke arah Yudha dan Aura yang membalas tatapannya dengan kerutan pada dahi mereka.

“Maksud mama?” tanya Yudha tak mengerti.

“Tadi dokter Raka memberitahu mama, kalau...” ia terdiam sebentar, mengusap kembali air matanya yang seakan tak mau berhenti mengalir.

“Kalau apa tante?” kali ini Aura yang mencoba bertanya, ia sama tak mengertinya dengan Yudha. Ia tak mengerti apa yang membuat ibu dari orang yang disayanginya itu menangis begitu rupa.

“Dokter Raka memberitahu mama kalau... Ksatria telah mendapatkan donor jantung.” Jawabnya dengan nada kebahagiaan yang sudah tak dapat ia sembunyikan lagi.

Mendengar hal tersebut, sontak Aura membekap mulutnya dengan kedua telapak tangan, menahan jeritan kebahagiaan yang akan terlontar dari bibirnya. “Serius ma?” kejar Yudha yang masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Mama nggak bercanda Yudh. Tadi dokter Raka meminta mama untuk menemui beliau di ruangannya. Sebaiknya nanti kamu ikut mama menemui dokter Raka, agar kamu percaya.” Ujar wanita itu dengan sebuah senyum lebar.

“Pasti Ma... Pasti...” sahut Yudha antusias dan segera menghambur ke dalam pelukan sang mama. Menumpahkan rasa haru atas kabar baik yang selama ini mereka nantikan.

Sementara itu Aura berjalan perlahan mendekati tubuh Ksatria yang masih belum ada tanda-tanda akan sadar, dengan menahan perasaan harunya yang bergemuruh, ia duduk di samping ranjang dan mengusap pelan wajah pucat di depannya.

“Akhirnya Lang... Penderitaan ini akan segera berakhir.” Bisiknya seraya membawa tangan Ksatria menuju dekapannya. Air mata bahagianya luruh dalam diam. Senyum yang selama ini tenggelam karena penantian yang panjang, akhirnya terbit kembali. Berkali-kali gadis itu mengusap wajah di depannya dengan sayang.

“Ra, lo nggak apa-apa kan gue tinggal di sini sendiri? Gue mau nemenin mama nemuin dokter Raka dulu.” Ujar Yudha seraya menyentuh bahu Aura pelan.

Gadis itu memandang sekilas ke arah Yudha yang masih berdiri di dekatnya. “Tentu kak, lo nggak usah khawatir.” Jawabnya dengan seulas senyum.

“Okelah, gue tinggal dulu ya... Ntar kalau ada apa-apa lo cepet-cepet panggil suster, atau kalo nggak lo langsung hubungi gue.” Pesan Yudha sebelum menyusul mamanya yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kamar rawat Ksatria.

“Iya kak... Udah sana pergi. Kasian tante, nunggu di luar.” Jawab Aura seraya mendorong Yudha agar segera meninggalkan ruangan tersebut.

Menyadari hal tersebut Yudha hanya terkekeh geli, dan segera menyusul mamanya yang sudah sedari tadi menunggunya di luar, setelah sebelumnya ia mengacak rambut Aura lembut. Sepeninggal Yudha dan mamanya, Aura kembali ke sisi Ksatria, memandangnya penuh raut kebahagiaan dan sebuah senyum kecil.

***

Aku masih belum sepenuhnya percaya dengan kabar yang disampaikan mama. Kabar itu terlalu tiba-tiba untuk dapat dikategorikan sebagai kabar baik. Ya, walau tak dapat kupungkiri kalau kami memang sudah menantikan kabar tersebut bertahun-tahun lamanya. Namun, setelah kabar tersebut menjadi nyata, aku masih tak percaya, sebelum mendengar penjelasan langsung dari dokter Raka.

Aku melangkah dengan gamang di sisi mama yang dari tadi tak berhenti mengucap syukur, berkali-kali ia mengusap sudut matanya yang berair. Tanpa sadar aku pun ikut tersenyum penuh kelegaan. Kalau memang ini benar-benar terjadi, aku akan sangat bersyukur. Ksatria memang pantas mendapatkan donor itu. Setelah sekian tahun ia berjuang sendirian melawan penyakitnya, sudah saatnya ia merasakan kebahagiaan.

Kami berhenti sejenak di depan pintu yang memajang nama dokter Raka di depannya. Menarik napas panjang, berusaha menghalau kegugupan yang mendadak kami rasakan. Setelah berpandangan sejenak, akhirnya dengan perlahan dan tangan gemetar aku memutar knop pintu setelah mendengar dokter Raka memberikan izin pada kami untuk masuk.

“Ah, mari... Mari... Silahkan duduk.” Sapa beliau ramah, mempersilahkan kami untuk duduk pada bangku yang telah disediakan.

Setelah kami duduk nyaman barulah aku berani menanyakan perihal kabar baik tersebut padanya. “Apa benar dok, donor itu sudah ada?” tanyaku pelan. Di sampingku, aku melihat mama memandang ke arah dokter Raka dengan penuh tanda tanya.

“Seperti yang sudah saya sampaikan pada ibu tadi. Donor jantung yang kita nanti-nantikan telah tersedia. Kabar ini baru saja sampai pada kami dua hari yang lalu. Setelah kami selidiki semua kemungkinannya, kami akhirnya memutuskan bahwa donor yang tersedia kali ini memang sesuai dengan apa yang selama ini kita cari.” Papar Dokter Raka dengan penuh kesungguhan.

“Lalu, kapan Ksatria dapat dioperasi, dok?” ujarku langsung.

“Sabar Yudha, kita baru akan menjalankan operasi cangkok jantung setelah semua prosedur telah dilalui. Baik prosedur untuk pendonor maupun untuk penerima donor.” Jelas dokter Raka. “Namun sebelumnya saya akan menjelaskan sesuatu terlebih dahulu perihal efek samping dari cangkok jantung yang akan kita laksanakan.”

“Apa cangkok jantung ini punya efek samping juga, dok?” tanya mama cemas.

“Menurut hasil survei, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasien pasca operasi pencangkokkan. Beberapa hal tersebut yakni kemungkinan pasien akan mengalami perubahan sikap, dan sifat. Selain itu pasien cangkok jantung, pasca operasi pencangkokkan bukan berarti akan terbebas sepenuhnya dari obat-obatan. Pasien masih harus mengkonsumsi imuno-supresan agar mencegah tubuh menolak jantung yang baru.” Jelasnya panjang lebar.

Penjelasan yang baru saja diungkapkan dokter Raka benar-benar membuatku miris. Jadi setelah Ksatria menerima jantung yang baru, ia masih harus mengkonsumsi obat-obatan lagi? Memikirkan hal tersebut membuatku merasa, pencangkokan ini tidak lebih baik, daripada ia tidak mendapat donor jantung selamanya. Yang membedakan hanyalah panjangnya usia yang akan dijalani Ksatria.

“Apa yang terjadi seandainya dia tidak mengkonsumsi obat tersebut dok?” tanyaku hati-hati.

“Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah tubuhnya akan bereaksi menolak jantung yang baru, dan hal ini hanya berujung pada satu hal. Kematian.” Ujar dokter Raka gamblang.

Aku melirik sekilas pada mama yang terkejut di sampingku. Aku menghela napas berat. “Maksud dokter, dioperasi maupun tidak, Ksatria akan tetap...” aku hanya menundukkan kepala mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan mama. Ternyata pencngkokan yang telah kami nanti-nantikan sejak lama tidak serta merta menimbukan kelegaan dalam kehidupaan kami.

“Tidak sepert itu Bu. Tentu saja akan ada perbedaan signifikan yang ditimbulkan dari operasi tersebut. Ksatria akan hidup jauh lebih lama ketimbang dia tidak mendapatkan donor. Hanya saja, pasca operasi ia harus terus mengkonsumsi imuno-supresif agar tubuhnya tidak menolak jantung yang baru.” Jelasnya lagi.

“Lalu yang dokter maksud dengan perubahan sikap dan sifat sebelumnya, apa dok?” tanyaku yang tiba-tiba teringat dengan ucapan dokter Raka mengenai efek yang ditimbulkan dari pencangkokan jantung tadi.

“Perubahan sikap dan sifat ini berkaitan dengan perubahan terhadap sikap sehari-hari Ksatria. Beberapa kasus mengenai pencangkokan jantung di berbagai negara menyebutkan bahwa pasien yang menerima donor jantung, setelah menjalani operasi menunjukkan perubahan sikap sehari-harinya yang mengikuti sikap sehari-hari pendonor. Dengan kata lain, ada kemungkinan setelah operasi, Ksatria akan mengalami perubahan sikap yang cenderung mengikuti pendonornya.” Jelas dokter Raka panjang lebar.

“Maksud dokter seperti orang amnesia?” kejarku.

“Bukan seperti itu Yudha. Em, misalnya saja begini, anggap saja pendonor jantung itu adalah kamu. Nah, setelah Ksatria menerima jantung dari kamu, ada kemungkinan sikap Ksatria akan berubah menjadi seperti sikap yang selama ini menjadi ciri khas kamu. Dia masih Ksatria, tetapi akan tampak bukan seperti Ksatria yang sebelumya kalian kenal. Ia seperti berubah menjadi orang lain, lebih tepatnya berubah menjadi diri orang yang mendonorkan jantungnya.” Papar dokter Raka yang membuat kami tertegun di tempat.

Ia akan berubah menjadi orang lain? Ksatria yang selama ini aku kenal, akan berubah menjadi seperti orang lain? Aku tak dapat membayangkan hal tersebut. Jika memang ia akan berubah menjadi orang lain, aku berharap orang yang akan menjadi pendonor jantung bagi Ksatria memiliki kepribadian yang baik, sehingga Ksatria juga akan berubah menjadi lebih baik.

Melihat kami yang hanya terdiam membisu, akhirnya dokter Raka mengembalikan urusan ini kepada kami. Apakah kami akan menyetujui operasi pencangkokan jantung tersebut ataukah membatalkannya. Dokter Raka memberi waktu bagi kami untuk memikirkan matang-matang mengenai keputusan penting tersebut hingga akhir bulan ini. Karena kata beliau semua prosedur untuk melakukan cangkok jantung itu diperkirakan akan selesai pada akhir bulan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar