そら の いろ
Aku melangkah gontai dan sesekali menghela napas lelah. Aku
masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kalah sebelum
berperang ternyata seperti ini rasanya. Aku merasa telah menjadi
pecundang yang gagal. Seandainya saja waktu dapat diputar ulang. Ah,
kalau memang bisa diputar ulang apa aku bisa membuatnya menjadi milikku.
Aku
mengacak rambutku kesal, merutuki nasibku yang benar-benar menyedihkan.
Sudahlah, mungkin Tuhan sengaja menguji kisah cintaku, yang dapat
kulakukan sekarang hanyalah berdoa, dan bersabar. Aku yakin Tuhan pasti
puny arencana indah buatku kelak. Aku hanya haru sbersabar hingga saat
itu tiba.
Perlahan, aku memutar knop pintu kamar 105.
Ruangan ini masih tampak sama seperti saat aku meninggalkannya beberapa
jam yang lalu. Hanya saja sekarang di dekat ranjang-di mana Ksatria
berbaring-tampak seseorang sedang tersedu. Aku menghela napas berat.
Gadis itu, sudah hampir dua minggu ini aku selalu menemukannya sedang
terisak di samping Ksatria. Apa dia tak merasa lelah, menangis sepanjang
hari seperti ini?
Kutepuk bahunya pelan untuk sekedar
memberitahunya bahwa ada orang lain di ruangan itu selain dirinya. Dia
mendongak dari tunduknya dan menatapku nanar. Dengan tergesa ia
menghapus sisa-sisa air matanya menggunakan sudut sapu tangan biru, yang
aku tau disalah satu sudutnya tersulam indah dua huruf yang
melambangkan hubungan mereka berdua. L & S.
Aku
tertegun sejenak melihat penampilannya sekarang. Ya Tuhan, coba lihat
penampilannya sekarang. Aku tak pernah melihatnya sekuyu ini. Dan lagi,
jika diibaratkan dengan sesuatu, ia tampak seperti bunga layu yang
sebentar lagi akan gugur karena tak pernah disiram.
“Eh, kak Yudha. Baru dateng kak?” sapanya setelah menetralkan suara isak tangisnya.
“Lo
udah lama di sini?” tanyaku datar. Entahlah, aku tak suka melihatnya
seperti ini. Mana Aura yang dulu aku kenal? Yang setiap bertemu denganku
selalu menunjukkan senyum andalannya?! Bukan Aura seperti ini, yang
selalu ku jumpai dengan mata merah dan sembab karena kebanyakan
menangis!
Kalau mengingat hal tersebut, ingin rasanya aku
mengguncang tubuh Ksatria agar ia lekas bangun. Atau setidaknya aku
dapat merasuk ke dalam mimpi panjangnya dan mengabarkan kalau di sini
ada seseorang yang selalu menangis karenanya.
Dia hanya
tersenyum tipis membalas tatapan tajamku. “Iya kak.” Jawabnya lirih
seraya membelai sebelah wajah Ksatria yang tak tertutup masker oksigen.
Ya
Tuhan, gadis ini! Walau kami semua sudah pasrah dengan keadaan Ksatria,
tapi dia... Coba lihat tatapan matanya itu! Masih penuh dengan
pengharapan. Ia terlihat seperti sedang menunggui seseorang bangun dari
tidurnya, bukan seperti sedang menunggui orang sakit yang sebentar lagi
koit. Sedalam itukah rasa yang ia punya untuk adik semata wayangku ini?
Melihatnya seperti ini membuatku trenyuh, miris, tak sanggup
membayangkan bagaimana jadinya ia kalau seandainya Ksatria benar-benar
pergi.
Aku menggeleng keras memikirkan semua kemungkinan
tersebut. Sekarang saja dia sudah terlihat hancur seperti ini, apa lagi
kalau... Ah, aku mencoba mengusir kemungkinan terburuk tentangnya dari
pikiranku. Ku alihkan tatapanku ke arah kardiogram yang berdetak
teratur. Setidaknya alat itu masih menunjukkan kalau pemilik tubuh yang
kini sedang tergolek tak berdaya itu masih bernyawa.
“Mama
ke mana?” tanyaku setelah tak mendapati sosok mama di sekitar kamar
ini. Biasanya pada jam-jam segini beliau sedang sibuk membasuh tubuh
Ksatria.
Dia menoleh sebentar ke arahku. “Tante tadi pamit
ke mushola sebentar. Katanya mau istirahat.” Jawabnya singkat, dan
kembali menatap wajah pucat di depannya.
“Lo bisa ikut gue sebentar.” Ajakku tiba-tiba. Entah mengapa aku tak suka melihatnya berlama-lama menatap Ksatria seperti itu.
Dia menatapku heran. “Ke mana kak?”
“Udah ikut aja dulu.” Lanjutku seraya meraih tangannya dan menariknya bangun.
Dia
terlihat keberatan dengan sikapku yang tiba-tiba saja berubah menjadi
seperti ini. “Tapi kak...” tolaknya yang terlihat jelas kalau ia enggan
berpisah dengan Ksatria walau hanya sebentar.
“Udah ayo
ikut gue sebentar. Dia juga nggak akan kemana-kemana kok.” Ujarku seraya
menariknya menjauh. Aku hanya memberinya tatapan tajam saat ia hendak
menarik tangannya dari genggamanku. “Udah, tenang aja. Dia pasti
baik-baik aja.”
Akhirnya ia menuruti keinginanku, setelah
aku berkali-kali memastikan bahwa Ksatria tak akan kenapa-kenapa selama
ia pergi. Huh, aku jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah Ksatria
berikan padanya hingga ia menjadi seperti ini. Membuatnya seolah-olah
dia tengah berada dalam pengaruh kekuatan gaib yang kuat atau yang lebih
ngetren dibilang, pelet.
Aku membawanya ke sebuah taman
yang berada di area parkir rumah sakit. Dengan ditemani segelas es
campur aku mencoba memulai obrolan dengannya. Semoga saja dengan begini,
ia akan kembali menjadi Aura yang aku kenal. Aura yang selalu ceria,
dan selalu tersenyum, kepada siapa saja. Bukan Aura yang bertransformasi
menjadi gadis pembuat air mata seperti sekarang.
&&&
“Udah
berapa banyak lo nangis buat dia?” tanya Yudha datar, seraya menyeruput
es campurnya dengan nikmat. Menikmati dinginny aair yang membasahi
kerongkongannya.
Aura menghirup udara sebanyak yang bisa
ditampung oleh paru-parunya, dan menghembuskannya perlahan. “Udah nggak
bisa keitung lagi kak.” Jawabnya berat, ia menyesap es campurnya tanpa
minat.
“Nggak capek apa lo nangis terus buat dia?” lagi-lagi nada datar yang terdengar.
“Selama tangisan gue ini buat dia. Gue nggak akan capek kak.” Ujarnya dengan sebuah senyum miris.
Yudah
tersenyum sinis mendengar jawaban yang baru saja dilontarkan Aura. “Lo
tau... Lo itu gadis paling bodoh yang pernah gue kenal.” Katanya tajam.
Aura
hanya tersenyum kecil, seraya kembali meneguk es campurnya. “Gue emang
jadi bodoh gara-gara ketemu adik lo, kak. Gue jadi nggak bisa mikir
rasional lagi. Semua yang ada dipikiran gue Cuma dia, dia, dan dia.
Sampai-sampai gue udah nggak tau lagi gimana gue harus menjalani hidup
tanpa dia.” Jawab Aura dengan tatapan menerawang ke arah awan-awan yang
berarak pelan.
“Gue heran, apa sih yang udah dia perbuat
ke lo. Sampai lo jadi gitu? Setau gue, sejak lo deket sama dia yang ada
lo berdua makin kayak anjing dan kucing. Jarang banget gue liat lo
berdua akur, kayak burung terkukur. Dan lagi nih ya, sejak Ksatria kenal
sama lo, nggak ada manis-manisnya tuh sikapnya ke lo. Kenapa lo bisa
sampai seigininya sih sama dia?” kejar Yudha dengan emosi yang sedikit
naik satu tingkat.
Lagi-lagi Aura hanya dapat tersenyum
simpul mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Yudha. “Dia memang nggak
pernah bersikap manis sama gue kak. Tapi entah kenapa bagi gue, justru
disitulah letak manisnya dia.” Sahutnya yang terkadang tertekeh geli
bila mengingat bagaimana hubungannya dengan Ksatria.
“Dasar aneh.”
Aura
hanya tertawa pelan mendengar komentar yang dilontarkan Yudha. “Namanya
juga orang lagi jatuh cinta kak. Pasti sikapnya juga jadi aneh. Makanya
kak, cari pacar. Biar bisa ngerasain apa yang gue rasain sekarang.”
Pancing Aura dengan seulas senyum manis andalannya. Akhirnya ia bisa
juga kembali tersenyum seperti dulu, setelah sekian lama hanya air mata
yang dapat ia perlihatkan pada orang lain.
Yudha yang
mendengar godaan Aura hanya menghela napas lelah. “Kayaknya masih lama
deh Ra buat gue ngerasain apa yang lo rasain sekarang.” Jawabnya lesu.
“Loh kok gitu? Bukannya kak Yudha lagi deket sama teh Anggun ya?” selidik Aura.
“Itu dulu Ra. Sekarang semua itu Cuma tinggal kenangan.” Jawabnya lemah.
“Kok bisa? Semangat dong kak. Masa baru PDKT aja udah nyerah.” Kata Aura menyemangati.
“Gue udah nggak ada harapan lagi Ra.” Sahutnya sedikit kasar.
“Dari mana kak Yudha tau kalo udah ngak ada harapan lagi?” kejar Aura.
“Percuma aja kan, gue ngejar-ngejar orang yang udah nggak mungkin buat gue kejar.” Jawabnya miris.
“Emang ada masalah apa sih kak Yudha sama teh Anggun, kok sampai kakak mau nyerah gini?”
“Gue
sama dia sih baik-baik aja. Cuma, keadaan udah berubah Ra. Dia udah ada
yang punya.” Kata Yudha yang kini hanya mengaduk-aduk es campurnya
tanpa minat.
“Maksud kak Yudha, teh Anggun udah punya
pacar, gitu?” Aura yang masih belum mengerti dengan situasi sekarang,
mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Yudha.
“Lebih
parah Ra. Dia udah punya...” Yudha berhenti sejenak menghirup napas
panjang, untuk sekedar menata hatinya yang kini sudah hancur berantakan.
Berat rasanya jika ia harus mengakui kekalahannya sekarang, apalagi
mengakuinya di depan mantan calon gebetannya ini.
Aura
masih menatap Yudha, menunggu kata terakhir yang akan diucapkan pemuda
yang sudah dia anggap seperti kakaknya sendiri. “Tunangan.” Desis Yudha
lirih bersama hembusan angin yang membelai beberapa anak rambutnya.
Mendengar
jawaban tersebut, sontak Aura pun menunjukkan wajah terkejutnya. “Yang
bener kak? Kak Yudha tau darimana?” kejar Aura yang masih belum percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Tadi, waktu gue lagi
jalan di koridor deket ruangannya dokter Raka, gue liat Anggun lagi
duduk sendirian. Gue samperin lah dia, gue ajak ngobrol. Baru aja gue
sama dia ngobrol enak, eh tau-tau dateng orang yang ngaku kalau dia itu
tunangannya Anggun. Baru juga gue mau minta penjelasan dari Anggun, dia
udah keburu narik Anggun
pergi.” Jelas Yudha dengan nada sedikit kesal.
“Kak Yudha yakin orang itu bener-bener tuangannya teh Anggun?” selidik Aura.
“Gue yakin Ra. Dia sendiri yang bilang. Gue bener-bener udah nggak ada harapan lagi Ra.” Desahnya pasrah,kalah.
Aura
hanya terdiam di sampingnya, mengaduk es campurnya yang kini tinggal
setengah gelas, tanpa selera. “Kalau saran gue ya kak. Lebih baik kak
Yudha jangan dulu percaya sama apa yang baru aja didenger. Siapa tau
orang itu Cuma ngaku-ngaku jadi tuangannya teh Anggun.” Ujar Aura
menasehati.
“Awalnya gue juga kepikiran buat nggak percaya
gitu aja sama dia. Tapi, setelah gue inget-inget lagi, sikap mereka
berdua tuh akrab banget Ra. Ya, kayak dua orang yang udah lama punya
hubungan.” Bantahnya langsung.
“Udahlah Ra, mungkin emang dia bukan jodoh gue.” Lanjutnya pasrah, seraya bangkit untuk membayar minuman mereka.
@@@
Aku
masih terdiam di tempatku berdiri, sebaris kalimat yang baru saja
diucapakan sosok itu benar-benar membuatku membeku. Aku tak tahu harus
berkata apa atau menunjukkan ekspresi yang bagaimana. Kejadian ini
benar-benar mengejutkanku. Kedatanganku ke tempat asing ini saja sudah
membuatku bingung, apalagi ditambah dengan kenyataan yang baru saja
hadir di depan mataku. Ingin rasanya aku berteriak, dan menganggap semua
ini hanyalah bunga tidur.
“A... Ayah...” desisku lirih
saat sosok itu memelukku erat. Walau aku masih belum percaya dengan apa
yang sedang terjadi padaku, namun satu hal yang pasti. Aku merindukan
pelukan hangat ini. Meski dengan sedikit gemetar aku membalas
pelukannya, takut-takut.
“Ayah merindukanmu nak.” Bisiknya lirih, sosok ayah tersebut lalu menguraikan pelukannya dan menatapku intens.
Memaksaku merasakan aura yang tidak biasa, dapat kurasakan bulu romaku sedikit meremang setelah membalas tatapannya.
“Ksat juga rindu sama ayah...” balasku, masih dengan suara bergetar karena takut.
“Ayah
sudah menunggu lama untuk bertemu denganmu seperti ini.” Ujarnya seraya
menerawang ke arah matahari pagi yang baru saja menembul dari ufuk
timur.
Suasana berubah menjadi lebih cerah, lampu-lampu
taman yang tadi begitu menyilaukan mataku, kini padam satu-persatu.
Kicauan burung dan kokok ayam mulai terdengar ramai, menggantikan
lolongan serigala yang sedari tadi terdengar sayup-sayup sampai. Taman
tempatku berada saat ini juga berubah menjadi lebih indah, padang rumput
yang tak jauh dari tempat ini terlihat hijau menyejukkan. Ah, tempat
ini benar-benar menyenangkan.
“Bagus banget...” bisikku lirih saat menyadari perubahan yang terjadi pada alam di sekitarku.
Ayah
hanya terkekeh geli di sampingku, aku memandangnya, tak mengerti dengan
apa yang ia tertawakan. “Kamu masih punya banyak waktu untuk menikmati
semua ini, nak. Sebaiknya kamu sekarang mandi dan ganti bajumu. Ayah
sudah menyiapkan sarapan untukmu. Setelah itu, ayah akan mengajakmu
berkeliling untuk menikmati pemandangan yang ada di sini.” Ayah berkata
santai seraya menuntunku untuk kembali ke ruangan seperti ballroom yang
tadi kutingalkan.
“Sebenarnya sekaranag Ksat ada di mana
yah?” tanyaku sebelum ayah meninggalkanku sendiri di sebuah kamar yang
kuyakini telah dipersiapkan ayah untukku dan akan menjadi kamarku selama
aku berada di tempat ini.
“Kamu mandilah dulu, nanti ayah akan menjelaskan semuanya padamu.” Jawab ayah sebelum menutup pintu tepat di depanku.
Aku
menghela napas lelah. Semua ini, apakah semua ini nyata? Aku mencubit
lenagan ku untuk memastikan bahwa semua ini hanya terjadi di kepalaku.
Namun, rasa sakit yang kurasakan seakan menghianati prasangkaku. Sakit.
Berarti semua ini bkan mimpi. Lalu, kalau ini bukan mimpi lalu apakah
ini sebuah kenyataan?
Aku memutuskan untuk segera
mengguyur badanku yang terasa lengket oleh keringat, ketimbang
memikirkan hal-hal aneh tentang kejadian “ajaib” yang sedang kualami.
Setidaknya dengan membasuh badan, aku dapat menenangkan pikiran. Seluruh
kejadian beruntun yang kualami dalam satu hari ini benar-benar membuat
ragaku lelah. Bukan hanya raga, namun jiwaku pun merasa letih.
Setelah
selesai membasuh badan dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk
keluar dari kamar ini dan mencari sosok ayah untuk meminta penjelasan
tentang semua hal yang sedang kualami. Tak perlu menunggu lama, sosok
yang aku cari ternyata tengah duduk menanti kedatanganku. Beliau
menyambut kedatangku dengan sebuah senyum khasnya. Aku hanya membalasnya
dengan sebuah cengiran kecil. Aku benar-benar tak tahu harus bersikap
seperti apa.
“Bagaimana, sudah lebih segar, kan sekarang”
tanya beliau seraya mengangsurkan sebuah piring berisi nasi goreng,
kesukaanku. Ah, mau tak mau aku kembali teringat akan kenangan masa
kecilku. Dulu, ayah sering membuatkanku nasi goreng untuk sarapan. Dan
kuharap nasi goreng ini memiliki rasa yang sama seperti nasi goreng yang
pernah kunikmati.
“Lumayan yah...” jawabku seraya
menyuapkan satu sendok nasi goreng itu ke dalam mulutku. Ya ampun,
bagaimana bisa rasa nasi goreng ini sama dengan nasi goreng yang pernah
aku rasakan dulu? Tempat ini benar-benar ajaib!
Ayah
tersenyum melihat ekspresi kekagetan yang terpancar jelas dari raut
wajahku. “Itu masih belum sebarapa, nak. Kamu akan menemukan hal-hal
ajaib lainnya nanti.” Kata beliau yang seakan tahu apa yang sedang aku
pikirkan.
Aku hanya tersenyum dan menyelesaikan sarapanku dalam diam. Aku masih belum terbiasa dengan semua ini.
Suasana
ini, keanehan-keanehan yang kurasakan sejak aku tiba di sini, kehadiran
sosok ayah yang tiba-tiba muncul. Ah aku semakin yakin kalau sekarang
aku sedang berada di surga. Tapi, kalau semua apa yang kuperkirakan itu
benar, berarti sekarang aku... Sudah...
“Belum nak, kamu
belum menjadi seperti ayah. Hanya saja kamu akan menjadi ayah seandainya
kamu memang telah memutuskan untuk mengikuti ayah.” Sahutnya seakan
menjawab pertanyaan dalam benakku. Aku hanya diam membeku. Sekarang
semua hal ini benar-benar membuatku takut.
&&&
Wanita
itu baru saja melangkah gontai keluar dari mushola tempatnya
beristirahat sejak beberapa jam yang lalu, saat ia tiba-tiba dikejutkan
oleh sapaan seorang pria muda yang mengenakan seragam layaknya seorang
dokter. DR. Rakaditya Hermansyah, Sp.JP. Begitulah yang tertulis pada
name tag yang tersemat di salah satu bagian jasnya. Dialah dokter yang
selama ini bertanggung jawab menangani Ksatria, selain dokter Ravi
tentunya.
“Eh, dokter. Ada apa ya Dok? Apa ada masalah dengan kondisi anak saya?” tanya wanita itu yang terlihat jelas sedang khawatir.
Dokter
Raka hanya tersenyum menenangkan. “Tidak Bu, justru sebaliknya. Saya
mencari ibu untuk memberitahukan sebuah kabar baik.” Jawab dokter Raka
dengan senyum terkembang.
“Apa Ksatria sudah bangun dok?
Kondisinya bagaimana? Kapan ia bangunnya dok?” pertanyaan bertubi-tubi
itu terlontar dengan nada tak sabar dari bibir wanita paruh baya di
depannya.
Dokter Raka mencoba menenangkan wanita itu. “Ibu
tenang dulu ya, bu. Ksatria sampai saat ini masih belum sadar. Kabar
baik yang saya maksud di sini bukan mengenai kemajuan kondisi Ksatria,
melainkan kabar mengenai donor jantung yang selama ini kita
nanti-nantikan.” Jawabnya dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Benarkah itu dok?!” kejar wanita itu tak percaya.
“Sebaiknya nanti ibu datang saja ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan detailnya di sana.” Jawab dokter Raka tegas.
“Alhamdulillah
ya Allah... Terima kasih atas semua anugerah yang Kau berikan pada
keluarga kami. Pada Ksatria anak kami. Terima kasih ya Allah...”
berkali-kali wanita itu memanjatkan syukur, air mata kebahagiaan itu
tumpah membasahi wajah kuyunya. “Pasti dok, pasti nanti saya akan
menemui dokter. Terima kasih atas kabar baik ini, dok.” Lanjutnya
sebelum berlari tergopoh-gopoh meninggalkan dokter Raka yang kini
memandang kepergiannya dengan sebuah senyuman.
“Semoga ini
akan menjadi langkah awal dimulainya babak baru dalam kehidupan
keluarga mereka. Selamat Ksatria, akhirnya perjuanganmu selama ini
sebentar lagi akan terbayar lunas. Berkah dari kesabaranmu selama ini.”
Lirihnya sebelum berjalan menuju ruangannya.
&&&
Setelah
mendengar kabar baik yang disampaikan oleh dokter Raka, wanita itu
berlari ke kamar di mana Ksatria dirawat, ia sudah tak sabar untuk
segera membagi kebahagiaan ini dengan anak bungsunya. Walau ia tahu
anaknya sekarang tak bisa merespon tindakannya tersebut.
Sesampainya
ia di kamar 105, ia langsung menghambur memeluk tubuh kurus Ksatria,
dan memberinya ciuman bertubi-tubi. Sebagai luapan akan kegembiraan yang
baru saja ia dapatkan. “Akhirnya nak, setelah sekian lama kita
menunggu, kabar baik itu datang juga. Kamu akhirnya bisa hidup lebih
lama.” Bisiknya seraya mengusap rambut anaknya yang terlihat berantakan.
“Mama!?
Ada apa ma? Ada yang nggak beres dengan kondisi Ksatria?” sebuah
pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Yudha saat melihat mamanya tengah
memandang Ksatria dengan air mata berlinang.
“Akhirnya
Yudh... Penantian panjang kita nggak sia-sia.” Jawabnya seraya memandang
penuh kelegaan ke arah Yudha dan Aura yang membalas tatapannya dengan
kerutan pada dahi mereka.
“Maksud mama?” tanya Yudha tak mengerti.
“Tadi
dokter Raka memberitahu mama, kalau...” ia terdiam sebentar, mengusap
kembali air matanya yang seakan tak mau berhenti mengalir.
“Kalau
apa tante?” kali ini Aura yang mencoba bertanya, ia sama tak
mengertinya dengan Yudha. Ia tak mengerti apa yang membuat ibu dari
orang yang disayanginya itu menangis begitu rupa.
“Dokter
Raka memberitahu mama kalau... Ksatria telah mendapatkan donor jantung.”
Jawabnya dengan nada kebahagiaan yang sudah tak dapat ia sembunyikan
lagi.
Mendengar hal tersebut, sontak Aura membekap
mulutnya dengan kedua telapak tangan, menahan jeritan kebahagiaan yang
akan terlontar dari bibirnya. “Serius ma?” kejar Yudha yang masih belum
percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Mama nggak
bercanda Yudh. Tadi dokter Raka meminta mama untuk menemui beliau di
ruangannya. Sebaiknya nanti kamu ikut mama menemui dokter Raka, agar
kamu percaya.” Ujar wanita itu dengan sebuah senyum lebar.
“Pasti
Ma... Pasti...” sahut Yudha antusias dan segera menghambur ke dalam
pelukan sang mama. Menumpahkan rasa haru atas kabar baik yang selama ini
mereka nantikan.
Sementara itu Aura berjalan perlahan
mendekati tubuh Ksatria yang masih belum ada tanda-tanda akan sadar,
dengan menahan perasaan harunya yang bergemuruh, ia duduk di samping
ranjang dan mengusap pelan wajah pucat di depannya.
“Akhirnya
Lang... Penderitaan ini akan segera berakhir.” Bisiknya seraya membawa
tangan Ksatria menuju dekapannya. Air mata bahagianya luruh dalam diam.
Senyum yang selama ini tenggelam karena penantian yang panjang, akhirnya
terbit kembali. Berkali-kali gadis itu mengusap wajah di depannya
dengan sayang.
“Ra, lo nggak apa-apa kan gue tinggal di
sini sendiri? Gue mau nemenin mama nemuin dokter Raka dulu.” Ujar Yudha
seraya menyentuh bahu Aura pelan.
Gadis itu memandang
sekilas ke arah Yudha yang masih berdiri di dekatnya. “Tentu kak, lo
nggak usah khawatir.” Jawabnya dengan seulas senyum.
“Okelah,
gue tinggal dulu ya... Ntar kalau ada apa-apa lo cepet-cepet panggil
suster, atau kalo nggak lo langsung hubungi gue.” Pesan Yudha sebelum
menyusul mamanya yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kamar rawat
Ksatria.
“Iya kak... Udah sana pergi. Kasian tante, nunggu
di luar.” Jawab Aura seraya mendorong Yudha agar segera meninggalkan
ruangan tersebut.
Menyadari hal tersebut Yudha hanya
terkekeh geli, dan segera menyusul mamanya yang sudah sedari tadi
menunggunya di luar, setelah sebelumnya ia mengacak rambut Aura lembut.
Sepeninggal Yudha dan mamanya, Aura kembali ke sisi Ksatria,
memandangnya penuh raut kebahagiaan dan sebuah senyum kecil.
***
Aku
masih belum sepenuhnya percaya dengan kabar yang disampaikan mama.
Kabar itu terlalu tiba-tiba untuk dapat dikategorikan sebagai kabar
baik. Ya, walau tak dapat kupungkiri kalau kami memang sudah menantikan
kabar tersebut bertahun-tahun lamanya. Namun, setelah kabar tersebut
menjadi nyata, aku masih tak percaya, sebelum mendengar penjelasan
langsung dari dokter Raka.
Aku melangkah dengan gamang di
sisi mama yang dari tadi tak berhenti mengucap syukur, berkali-kali ia
mengusap sudut matanya yang berair. Tanpa sadar aku pun ikut tersenyum
penuh kelegaan. Kalau memang ini benar-benar terjadi, aku akan sangat
bersyukur. Ksatria memang pantas mendapatkan donor itu. Setelah sekian
tahun ia berjuang sendirian melawan penyakitnya, sudah saatnya ia
merasakan kebahagiaan.
Kami berhenti sejenak di depan
pintu yang memajang nama dokter Raka di depannya. Menarik napas panjang,
berusaha menghalau kegugupan yang mendadak kami rasakan. Setelah
berpandangan sejenak, akhirnya dengan perlahan dan tangan gemetar aku
memutar knop pintu setelah mendengar dokter Raka memberikan izin pada
kami untuk masuk.
“Ah, mari... Mari... Silahkan duduk.” Sapa beliau ramah, mempersilahkan kami untuk duduk pada bangku yang telah disediakan.
Setelah
kami duduk nyaman barulah aku berani menanyakan perihal kabar baik
tersebut padanya. “Apa benar dok, donor itu sudah ada?” tanyaku pelan.
Di sampingku, aku melihat mama memandang ke arah dokter Raka dengan
penuh tanda tanya.
“Seperti yang sudah saya sampaikan pada
ibu tadi. Donor jantung yang kita nanti-nantikan telah tersedia. Kabar
ini baru saja sampai pada kami dua hari yang lalu. Setelah kami selidiki
semua kemungkinannya, kami akhirnya memutuskan bahwa donor yang
tersedia kali ini memang sesuai dengan apa yang selama ini kita cari.”
Papar Dokter Raka dengan penuh kesungguhan.
“Lalu, kapan Ksatria dapat dioperasi, dok?” ujarku langsung.
“Sabar
Yudha, kita baru akan menjalankan operasi cangkok jantung setelah semua
prosedur telah dilalui. Baik prosedur untuk pendonor maupun untuk
penerima donor.” Jelas dokter Raka. “Namun sebelumnya saya akan
menjelaskan sesuatu terlebih dahulu perihal efek samping dari cangkok
jantung yang akan kita laksanakan.”
“Apa cangkok jantung ini punya efek samping juga, dok?” tanya mama cemas.
“Menurut
hasil survei, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pasien
pasca operasi pencangkokkan. Beberapa hal tersebut yakni kemungkinan
pasien akan mengalami perubahan sikap, dan sifat. Selain itu pasien
cangkok jantung, pasca operasi pencangkokkan bukan berarti akan terbebas
sepenuhnya dari obat-obatan. Pasien masih harus mengkonsumsi
imuno-supresan agar mencegah tubuh menolak jantung yang baru.” Jelasnya
panjang lebar.
Penjelasan yang baru saja diungkapkan
dokter Raka benar-benar membuatku miris. Jadi setelah Ksatria menerima
jantung yang baru, ia masih harus mengkonsumsi obat-obatan lagi?
Memikirkan hal tersebut membuatku merasa, pencangkokan ini tidak lebih
baik, daripada ia tidak mendapat donor jantung selamanya. Yang
membedakan hanyalah panjangnya usia yang akan dijalani Ksatria.
“Apa yang terjadi seandainya dia tidak mengkonsumsi obat tersebut dok?” tanyaku hati-hati.
“Kemungkinan
terburuk yang akan terjadi adalah tubuhnya akan bereaksi menolak
jantung yang baru, dan hal ini hanya berujung pada satu hal. Kematian.”
Ujar dokter Raka gamblang.
Aku melirik sekilas pada mama
yang terkejut di sampingku. Aku menghela napas berat. “Maksud dokter,
dioperasi maupun tidak, Ksatria akan tetap...” aku hanya menundukkan
kepala mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan mama. Ternyata
pencngkokan yang telah kami nanti-nantikan sejak lama tidak serta merta
menimbukan kelegaan dalam kehidupaan kami.
“Tidak sepert
itu Bu. Tentu saja akan ada perbedaan signifikan yang ditimbulkan dari
operasi tersebut. Ksatria akan hidup jauh lebih lama ketimbang dia tidak
mendapatkan donor. Hanya saja, pasca operasi ia harus terus
mengkonsumsi imuno-supresif agar tubuhnya tidak menolak jantung yang
baru.” Jelasnya lagi.
“Lalu yang dokter maksud dengan
perubahan sikap dan sifat sebelumnya, apa dok?” tanyaku yang tiba-tiba
teringat dengan ucapan dokter Raka mengenai efek yang ditimbulkan dari
pencangkokan jantung tadi.
“Perubahan sikap dan sifat ini
berkaitan dengan perubahan terhadap sikap sehari-hari Ksatria. Beberapa
kasus mengenai pencangkokan jantung di berbagai negara menyebutkan bahwa
pasien yang menerima donor jantung, setelah menjalani operasi
menunjukkan perubahan sikap sehari-harinya yang mengikuti sikap
sehari-hari pendonor. Dengan kata lain, ada kemungkinan setelah operasi,
Ksatria akan mengalami perubahan sikap yang cenderung mengikuti
pendonornya.” Jelas dokter Raka panjang lebar.
“Maksud dokter seperti orang amnesia?” kejarku.
“Bukan
seperti itu Yudha. Em, misalnya saja begini, anggap saja pendonor
jantung itu adalah kamu. Nah, setelah Ksatria menerima jantung dari
kamu, ada kemungkinan sikap Ksatria akan berubah menjadi seperti sikap
yang selama ini menjadi ciri khas kamu. Dia masih Ksatria, tetapi akan
tampak bukan seperti Ksatria yang sebelumya kalian kenal. Ia seperti
berubah menjadi orang lain, lebih tepatnya berubah menjadi diri orang
yang mendonorkan jantungnya.” Papar dokter Raka yang membuat kami
tertegun di tempat.
Ia akan berubah menjadi orang lain?
Ksatria yang selama ini aku kenal, akan berubah menjadi seperti orang
lain? Aku tak dapat membayangkan hal tersebut. Jika memang ia akan
berubah menjadi orang lain, aku berharap orang yang akan menjadi
pendonor jantung bagi Ksatria memiliki kepribadian yang baik, sehingga
Ksatria juga akan berubah menjadi lebih baik.
Melihat kami
yang hanya terdiam membisu, akhirnya dokter Raka mengembalikan urusan
ini kepada kami. Apakah kami akan menyetujui operasi pencangkokan
jantung tersebut ataukah membatalkannya. Dokter Raka memberi waktu bagi
kami untuk memikirkan matang-matang mengenai keputusan penting tersebut
hingga akhir bulan ini. Karena kata beliau semua prosedur untuk
melakukan cangkok jantung itu diperkirakan akan selesai pada akhir bulan
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar