Rabu, 10 Oktober 2012

colour of sky 5

そら の いろ

“Lo kenapa lagi sih?” tanya Mega heran ketika menemukan sahabatnya terkulai lemas di bangkunya. Padahal hari baru saja dimulai, matahari aja masih lembut sinarnya. Tapi sahabatnya ini sudah tampak bagai bunga tak pernah disiram setahun alias layu, nggak ada indah-indahnya.


Aura yang ditanya pun hanya menghela napas panjang, udah persis seperti nenek-nenek yang kebanyakan mikirin kapan dapet cucu lagi. “Heran gue, semenjak lo deket sama pangeran dangdut itu, lo itu kalo nggak seneng pasti murung. Kali ini apa lagi? Lo ditolak, lagi?” imbuh Mega seraya duduk di bangkunya dan mengamati keadaan mengenaskan sahabatnya.

Yang ditanya hanya mengangguk lemas, dia menatap Mega dengan pandangan memelas. “Apa sih salah gue di kehidupan yang dulu, sampai-sampai gue harus dihukum kayak gini?” tanyanya ngaco.

“Lah mana gue tau... Lagian ya nggak ada tuh istilah kehidupan dulu, adanya ya kehidupan sekarang sama nanti. Lo nih makin ngaco deh.” Omel Mega, tak mengerti. “Eh, kemarin gimana rencana lo? Sukses nggak?”

“Sukses apanya!? Kalau sukses mah gue nggak bakal kayak gini.” Gerutu Aura sebel.

“Lah terus? Gagal dong rencana lo buat kenalan sama dia?” kejar Mega.

“Nah itu dia masalahnya!!” jawab Aura tegas.

“Kenapa? Lo nggak jadi kenalan?” tanya Mega tak mengerti.

“Jadi sih, Cuma kenalannya bikin bingung.” Jawab Aura kembali lemas.

“Hah?! Becanda lo! mana ada kenalan yang bikin bingung. Ngaco deh,” kata Mega tak percaya.

“Beneran Ga, kemarin tuh gue udah ngajakin dia kenalan duluan, gue udah nyebutin mana nih, eh dia malah ngomong yang aneh-aneh soal ksatria lah soal langit lah. Kan gue jadi bingung. Mana dia pake pesan sponsor pula.” Omel Aura berapi-api.

“Pesan sponsor? Maksud lo?” kejar Mega.

“Iya gitu, abis dia cerita tentang dua hal nggak jelas itu, dia bilang gini, mendingan mulai sekarang lo jauhin gue, sebelum semuanya terlambat, gitu.” Jawab Aura kesal.

“Terlambat? Terlambat apa?” tanya Mega tak mengerti.

“Ya mana gue tau Mega!! Kalau tau juga gue nggak bakal pusing gini.” Sentak Aura.

“Lo nggak nyoba nyari tau lewat kak Yudha?” imbuh Mega.

“Udah, dan lo tau apa!? Gue disuruh nurutin apa kata adeknya. Gimana mau nurutin, ngerti aja nggak.” Omel Aura, lagi.

“Haah... Gue rasa lo udah salah milih temen deh Ra. Selain dua-duanya bermasalah, dua-duanya aneh pula. Bermasalah dan aneh, bener-bener perpaduan yang nggak banget! Pantes aja makin hari makin aneh aja kelakuan lo,” komentar Mega dengan tampang sinis.

“Ah, lo mah gitu. Bukannya dukung gue kek, malah ngejatuhin semangat gue. Lagi perlu semangat nih.” Gerutu Aura.

“gue sih mau aja ngasih lo semangat, asal lo tiap hari ngasih gue kastengel, bakalan gue semangatin lo.” jawab Mega dengan terkekeh geli melihat wajah sahabatnya sudah berkeruh lagi.

“Lo mah, makanan mulu pikirannya,” gerutunya singkat.

“Terus, apa rencana lo hari ini? masih nekat mau nemuin pangeran lo itu?” cibir Mega.

“Kayaknya nggak deh. Hari ini kita ada ulangan dua mapel kan? Gue nggak mau ngambil resiko, lagian kemarin-kemarin gue udah banyak bolosnya.” Jawab Aura dengan senyum lebar.

“Alhamdulillah ya Allah... Akhirnya temen gue sadar juga.” Ujar Mega sedikit lebay, yang disambut tawa lepas keduanya.

@@@

Koridor rumah sakit ini masih tampak sama, tak ada yang berubah. Masih memperlihatkan kesibukan para suster, lalu lalang keluarga pasien, dan terkadang diramaikan oleh suara brankar yang didorong tergesa. Jujur, sebenarnya aku bosan datang ke sini, melewati koridor ini, dan melihat aktivitas yang hanya begini-begini saja. Tapi apa hendak dikata, sudah menjadi nasibku untuk menikmati rutinitas ini semua.

Abang berjalan di sampingku dengan muka keruh, sekeruh air kolam ikan di belakang rumah kami. Hasil pemeriksaan kali ini menunjukkan hasil yang kurang menyenangkan bagi kami. Karena ulahku beberapa hari lalu, kondisiku semakin memburuk, dan itu tentu saja membuat abang jadi lebih protektif dari sebelumnya.

Aku menghela napas berat, kalau abang aja tampangnya udah keruh gini, gimana mama? Membayangkannya aja udah membuatku lesu. Satu-satunya orang yang tak suka kubuat sedih adalah mama. Aku tak ingin membebaninya dengan kondisiku ini. sebisa mungkin aku menyembunyikan keadaanku, walau terkadang gagal karena ulah abangku yang terlalu care pada ku dan mama.

“Bang,” panggilku lirih, mencoba mencairkan kekakuan diantara kami.

“Pokoknya mulai sekarang lo nggak usah coba-coba buat main bola lagi!? Ngerti!!?” jawabnya marah.
Aku hanya menunduk dalam, tak ku hiraukan tatapan heran dari beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitar kami. “Iya bang, maafin gue ya. Gue janji, gue nggak bakal ngelakuin hal konyol kayak gitu lagi.” Ujarku mantap.

“Nggak usah ngasih janji palsu ke gue. Lo harus janji sama diri lo sendiri. Apa sih yang lo pikirin, sampai-sampai lo ngelakuin tindakan konyol gitu. Lo nggak mikirin gue apa!? Nggak mikirin mama, hah!?” kata abangku marah. Mungkin aku memang sudah terlalu kelewat batas, sampai-sampai abang bisa semarah itu.

“Maaf,” hanya itu yang sanggup aku ucapkan.

Abang hanya mendengus kesal sebelum meninggalkanku di belakang. Aku tahu dia masih harus ke apotek dulu untuk menebus obatku. Aku mengikuti langkahnya lunglai. Lagi-lagi aku melakuakn kesalahan fatal yang membuatku harus menerima omelan-omelan pedas dari abang, dan juga mama.

Aku menunggu kedatangan abang di dekat tukang es serut tak jauh dari motornya terparkir. Lagi-lagi aku menghela napas panjang, ku tengadahkan wajahku, memandang hamparan langit biru yang tersaji di atas sana. Sebentuk awan hitam menggantung di arah utara. Sekelompok burung tampak terbang berputar di selatan.

Akhir-akhir ini langit tak selalu cerah, sama seperti ku. Langit kehidupanku bahkan tak pernah cerah, kelam dan hitam adalah warna dominan yang menghiasi. Dulu masih ada pelangi, tapi sekarang sudah tak ada lagi. Semenjak ayah pergi, pelangi pun ikut pergi. Ku arahkan pandanganku pada sekelompok muda mudi yang sepertinya habis menjenguk seseorang. Ku perhatikan wajah mereka, walau mendung namun masih tampak sebuah keceriaan di sana.

Akankah mereka seperti itu seandainya orang yang baru saja mereka jenguk meninggalkan mereka? Bukan, bukan. Aku tak mendoakan orang yang mereka jenguk segera meninggal. Bukan itu, hanya saja aku membayangkan orang itu adalah aku, dan mereka adalah teman-temanku. Akankah mereka masih bisa seceria itu kalau aku tinggalkan?.

Lagi-lagi aku menghembuskan napas berat. Teman. Satu kata yang tak pernah terwujud. Bagiku, temanku dari dulu adalah obat-obatan, rumah sakit, dan seorang dokter. Tak ada teman yang sebenarnya, yang mengajakku bercanda, tertawa, berkelahi saat berselisih paham, atau sekedar menangis lebay karena suatu hal cengeng. Semua itu hanyalah ada dalam angan-angan ku semata.

Mungkin jika boleh ku katakan, abang adalah satu-satunya teman yang ku punya. Karena hanya kepadanyalah aku sering menumpahkan uneg-unegku. Dia adalah teman terbaik yang aku punya, dan aku tak berniat untuk menambahkan lagi satu atau dua teman dalam daftar pertemananku.

“Ayo pulang. Ngelamun aja,” tegur abang, membuyarkan lamunanku.

Aku mengikutinya menuju motor yang terparkir, dengan sigap aku meraih helm yang ia lemparkan. Dengan sedikit kesal aku pun naik. “Hari ini lo nggak usah berangkat sekolah, istirahat aja di rumah. Gue tadi udah izin sama guru-guru yang ngajar di kelas lo.” imbuhnya sebelum menyalakan mesin motor.

“Kalau gitu gue pulang naik ojeg aja,” jawabku seraya bersiap turun dari boncengan.

“Nggak. Abis nganterin lo, gue ntar balik lagi ke sekolah,” jawabnya seraya menjalankan motor dengan perlahan.

“Tapi ntar lo ketinggalan banyak pelajaran, bang.” cegahku.

“Cerewet lo. Udah, lo santai aja. Pelajaran hari ini nggak ada yang berat kok, jadi gue bisa santai dikit,” jawabnya dengan tertawa kecil.

“Bilang aja mau bolos, pake alesan mau nganterin gue segala,” kataku seraya menoyor kepalanya yang terbalut helm.

Abang hanya tertawa semakin keras. Syukurlah dia sudah tak marah lagi aku benar-benar tak suka melihatnya marah terlalu lama. Suasana jadi nggak enak, dan yang pasti aku akan kehilangan satu-satunya teman curhat.

###

Aku sedang dalam perjalanan menuju perpustakaan ketika gadis bersenyum manis itu menghampiriku. Aku tak peduli dengan namanya, yang kupedulikan adalah senyumnya yang begitu manis ketika bertemu dengan ku, walau aku tau kalau dia menemuiku pasti bukan untuk menanyakan kabarku.

“Hai kak Yudha,” sapanya cerah, secerah sinar matahari di hari yang sedikit redup ini.

“Hari ini dia nggak masuk ya?” tanyanya langsung, masih dengan senyum manis itu.

“Iya, kenapa? Kangen ya?” ledek ku yang membuatnya tertawa kecil.

“Enak aja. Nggak kok, gue lagi nggak kepengen ketemu dia,” jawabnya dengan mimik lucu.

“Kenapa? Takut ditolak lagi?” kejarku.

“Ya gitu deh.” Jawabnya sendu. “Eh kak, dia kenapa nggak berangkat? Sakit ya?”

“Dia emang perlu istirahat.” Jawabku sekedarnya.

“Gitu... Emang dia sakit apa sih kak?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tak tahu harus menjawab apa, haruskah aku memberitahunya yang sebenarnya? Ku rasa tidak, belum saatnya ia tahu. “Cuma kecapekan aja kok,”

“Oh,” sahutnya singkat. Wajahnya seolah ingin menanyakan sesuatu, tapi ragu.

“Kenapa lagi?” tanyaku, yang membuatnya mendongak menatapku dengan senyum manisnya.
“Kak, gue ntar boleh ikut ke rumah lo nggak?” tanyanya penuh harap.

“Mau ngapain?” kejarku.

“Mau ngapain lagi kalau bukan mau jenguk adek lo,” jawabnya semangat. “Boleh ya kak. Please.” Lanjutnya memohon.

Wajahnya benar-benar menyiratkan keinginannya. Aku menghela napas panjang, sebelum menjawab. Keputusan sulit nih. Di satu sisi aku tak ingin menolaknya. Tapi, di sisi lain kalau aku mengiyakan permintaannya, bisa dipastikan kalau Ksatria nanti pasti akan menginterogasiku habis-habisan. Omelannya saja sudah terbayang di benakku.

“Boleh ya kak ya. Please...” bujuknya lagi.

“Iya deh, ntar lo tunggu gue di parkiran.” Putusku sebelum melangkah menuju perpustakaan.

“Yey... Makasih kak Yudha!!” serunya senang.

Harus siap-siap nih mendengarkan ocehannya Ksatria. Semoga dia bisa ngerti.

&&&

Siang itu Aura sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan pangerannya. Ia dengan sabar menunggu kedatangan Yudha di dekat ia memarkirkan motornya. Ia juga sudah menyiapkan apa saja yang akan ia bawa sebagai oleh-oleh untuk Ksatria. Berhubung dia nggak tau apa saja kesukaan Ksatria, dia memilih membawa buah tangan yang netral. Apel dan jeruk.

Ketika melihat kedatangan Yudha, sebuah senyuman langsung terbit di wajahnya. “Lama banget sih kak,” omelnya ketika Yudha sudah berada di dekatnya.

“Tadi ada sedikit masalah, jadinya lama.” Jawabnya singkat. Yudha pun tersenyum melihat Aura yang begitu ceria menyambut kedatangannya. Sepertinya gadis itu benar-benar sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan adiknya.

“Langsung ke rumah apa mau mampur dulu ke suatu tempat?” tawar Yudha sebelum menghidupkan mesin motor.

“Langsung aja kak. Gue tadi udah beli buah kok.” Jawab Aura tegas.

“Oke deh, pegangan ya.” Ujar Yudha sedikit jahil.

Tak lama mereka pun melaju membelah keramaian jalanan. Di siang hari yang tak begitu terik itu Yudha merasa bahagia, karena dapat menjadi lebih dekat dengan Aura. Gadis yang selama ini ia kagumi, walau ia tahu kalau gadis itu tak sekali pun melirik ke arahnya.

Tapi, itu bukan masalah untuknya, yang terpenting adalah gadis itu bahagia dan selalu memberinya sebentuk senyuman ketika mereka bertemu. Aura pun tak kalah bahagianya. Ia senang akhirnya ia bisa menjadi selangkah lebih dekat dengan Ksatria. Orang yang telah mencuri hatinya lewat dentingan gitar.

Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai ke sebuah rumah yang sederhana, namun terlihat nyaman dengan penataan taman yang indah dan interior yang membuat rumah itu terlihat indah. Aura turun dari boncengan dan memandang sekeliling dengan kagum.

“Ayo masuk!” ajak Yudha, seraya memasuki pintu rumahnya. Aura pun mengikuti langkahnya dengan keragu-raguan.

“Assalamu’alaikum...!!”

@@@

Aku sedang bermimpi pergi ke Bali ketika mendengar deru motor abang memasuki pekarangan. Perlahan ku buka mataku dan mengusapnya perlahan, sejenak ku lirik jam beker di atas meja belajarku. Pukul 14.30 WIB. Ternyata sudah lebih dari dua jam aku tidur.

Ku gerakan badanku sedikit sebelum akhirnya bangkit untuk cuci muka, dan menyambut kedatangan abangku. Di rumah sendirian memang membosankan, apalagi dengan tak ada hiburan lain selain acara televisi yang terkadang memboankan untuk diikuti.

“Assalamu’alaikum...” teriak abang memberi salam.

“Walaikumsalam...” sahutku dari dalam kamar. Baru saja aku hendak keluar, ketika abang membuka pintu. “Tumben bang jam segini udah pulang. Nggak ada latihan?” tanyaku heran.

“Hari ini nggak, tapi ntar jam 3 ada sparing sama anak-anak komplek sebelah. Lo mau ikut?” tanyanya dengan wajah ceria. Tumben nih, si abang cerah gini, biasanya pulang sekolah mah wajah ditekuk kayak kue panekuk.

“Pengen sih bang. Tapi kata lo gue suruh istirahat.” Jawabku seraya melangkah menuju dapur. Tenggorokanku terasa kering setelah bangun tidur, segelas air putih dingin kurasa cukup untuk membasahinya.

“Kan lo cukup nonton aja, nggak pake main.” Jawabnya kesal. “Eh, lo udah minum obat belum?”

“Belum. Ini aja gue barusan bangun tidur.” Jawabku enteng.

“Jangan lupa diminum obatnya.” Omelnya. Aku hanya mengangguk saja. ”Eh, ada yang nyariin lo tuh,” bisiknya sebelum beranjak ke kamarnya.

“Siapa?” tanyaku singkat.

“Liat aja sendiri!” sahutnya dari dalam kamar.

Siapa sih? Perasaan aku nggak ada janji dengan siapa-siapa. Lagi pula aku kan tak mengenal siapa pun. Perlahan aku melangkah menuju ruang tamu, sekilas terlihat siluetnya yang sedang duduk memandang ke arah taman yang di penuhi oleh kumpulan mawar dan anggrek, hasil tangan dingin mama. Dari bayangannya sih itu cewek. Hah?! Cewek!?

Aku bergegas menuju ruang tamu, untuk memastikan dugaanku. Dia menoleh ke arahku dengan senyum lebar menghiasi wajahnya ketika aku sampai di dekatnya. Ternyata dugaanku benar. Cewek aneh penjaja kue, siapa lagi!? Satu-satunya cewek yang ku kenal. Bukan dalam arti sebenarnya. Hanya tau kalau dia benar-benar tak mengerti arti sebuah penolakan.

“Hai..!!” sapanya riang, seranya berdiri dari duduknya.

“Mau apa lo ke sini?” tanyaku datar. Aku benar-benar tak suka dengan kehadirannya.

“Mau jengukin lo.” jawabnya singkat. “Kata kak Yudha lo sakit. Makanya gue ke sini. Nih, tadi gue bawain sesuatu.” Lanjutnya seraya mengulurkan sebuah plastik hitam ke arahku.

Aku menerimanya dengan tatapan curiga. “Tenang aja. Itu Cuma apel sama jeruk kok. Bukan makanan manis, keju ataupun cokelat.” Katanya singkat.

“Baguslah. Berarti gue nggak harus nolak lagi.” Jawabku masih sedatar tadi. “Duduk gih,” lanjutku, seraya menghempaskan tubuhku di salah satu sofa.

Aku mengamatinya yang terlihat salah tingkah. Terakhir kali aku bertemu dengannya aku sudah mengungkapkan penolakanku, tapi kenapa dia masih aja mendekatiku!? Benar-benar merepotkan.

“Lho, kok pada diem-dieman gini,” kata abang memecahkan kesunyian diantara kami. Aku sibuk memperhatikannya, dan dia sibuk dengan entah apa yang ada dipikirannya. Abang pun ikut duduk bersama kami, dia lebih memilih duduk di antara kami. Baguslah, karena aku tak mau menjadi lebih dekat dengannya.

Aku hanya memandangnya sengit, dan gadis itu hanya tersenyum samar. “Ksat, lo nih. Ada tamu kok nggak diajak ngobrol,” lanjutnya seraya memukul bahuku pelan.

“Males. Lo juga bang, ngapain sih pake ngajakin dia ke sini!?” ujarku ketus.

“Anak ini!!” katanya seraya menoyor kepalaku. “Sorry ya, dia emang gitu mulutnya. Nggak ada manis-manisnya.” Lanjutnya.

Aku hanya mencibir mendengar ucapannya. Salah siapa coba!? Lagian abang juga nggak pake bilang-bilang dulu kalo mau ngajak cewek itu ke sini.

“Nggak papa kok kak. Tadi juga udah ngobrol.” Balasnya singkat.

Dasar cewek, sukanya emang cari perhatian aja!

“Emang abis ngobrolin apa?” selidik abang, sekilas ia bermain mata denganku yang kubalas dengan memelototinya sengit.

“Ngobrolin...” sejenak dia ragu untuk menjawab. Aku yakin dia pasti akan memberikan jawaban rasional, agar bisa menarik simpati abang. “Ngobrolin tentang... Kue,” lanjutnya dengan senyum ragu, ia memandangku seolah memintaku untuk mengiyakan. Tapi siapa peduli?

“Kue? Lo ngobrolin kue Ksat?” tanya abang dengan senyum geli.

“Tanya aja sama dia. Gue nggak ngerasa ngobrol tadi.” Jawabku datar.

“Emang kenapa kak? Aneh ya kalo kita ngobrolin tentang kue?” tanyanya bego. Ya iyalah aneh, orang udah jelas-jelas gue nggak suka kue, malah ngobrolin kue, ya nggak mungkin banget lah.

Abangku hanya terkekeh geli sebelum menjawab. “Banget. Ksatria kan nggak doyan kue.” Jawab abangku yang kini mulai tertawa.

Ku lihat cewek itu mukanya sudah merah, semerah pantat monyet. Rasain, emang enak jatuh diperangkap sendiri. Aku pun ikut terkekeh geli melihatnya.

“Eh bang, lo sparing jam 3 kan? Gue ikut sih,” ujarku setelah tawaku mereda.

“Ikut? Lha dia gimana?” tanya abang, menunjuk gadis itu dengan tatapannya.

“Itu mah terserah dia,” jawabku sambil lalu, tanpa memandangnya.

“Lo mau balik apa mau ikut kita?” tanya abang langsung.

Dia bengong sebentar dan menjawab dengan gelagapan. “Eh... gue... ikut kalian aja,” jawabnya tak yakin.

“Oke deh kalau gitu. Yok kita berangkat sekarang,” ajak abang seraya beranjak dari tempatnya duduk.

“Lah bang, kalau dia ngikut. Kita ke sananya naik apa?” tanyaku cepat. Maksudku ikut tadi tak bukan adalah untuk menghindari agar tak berduaan dengan cewek itu. Malah dia bilang ikut. Dasar nyebelin!

“Gampang, ntar lo berdua naik taxi aja. Gue naik motor. Tenang aja, ntar gue yang ngongkosin,” kata abang, ketika melihat wajah penolakanku.

“Gue bareng lo aja deh bang. Males gue naik taxi.” Tolakku, dan kembali menatap abangku dengan penuh emosi berharap dia mengerti kode yang ku berikan. Namun, ternyata abangku tak menangkap atau pura-pura tak megetahui sinyal itu.

“Dasar dodol. Kalo lo ikut gue, gimana dia bisa tau lapangan basketnya, hah!?” jawabnya seraya menoyor kepalaku.

“I.. iya udah kalo gitu biar gue aja yang naik taxi, dia bareng lo,” putus ku. Aku benar-benar tak mau menjadi dekat dengannya. Sangat beresiko!

“Gue mau ke rumahnya si Ujang dulu. Dia tadi sms gue suruh jemput.” Tolaknya halus.

Bener-bener deh abangku satu ini. Niat bener buat mendekatkan cewek itu sama aku. Apa dia lupa sama yang udah sering aku bilang, kalau aku tuh nggak mau dekat dengan siapa pun selain abang sama mama!? Dasar abang nih, bener-bener nguji kesabaranku aja. Oke deh, bang. Aku ikutin permainanmu kali ini.

“Ya udah, kalo gitu gue berangkat dulu. Mana duitnya!” kataku akhirnya seraya mengulurkan tangan meminta ongkos.

Abangku pun mengulurkan dua lembar seratus ribuan ke tanganku dengan wajah sumringah. Tumben bener si abang ngasih dua mawar merah dengan muka bahagia gitu. Bener-bener mencurigakan!

“Ayo,” ajakku singkat pada gadis yang kini tengah menatap kami bergantian. “Lo jadi ikut nggak?!” tanyaku lagi saat menyadari dia masih belum beranjak dari duduknya.

“Ah, iya...” jawabnya sebelum mengikutiku. Tak lupa ia memberikan seulas senyum pada abangku yang memandang kepergian kami dengan sebentuk senyum yang penuh arti. Entah apa artinya aku tak mau menerjemahkannya.

“Hati-hati di jalan ya... inget Ksat, jangan ngebut!” pesannya sebelum kami memasuki sebuah taxi yang sepertinya memang sudah dipesan oleh abang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar