Rabu, 10 Oktober 2012

colour of sky 4

そら の いろ


Aura masih belum menyerah untuk mencoba menjadi lebih dekat dengan Ksatria. Tidak bisa lewat abangnya, terpaksa dia harus mengerahkan seluruh keberaniannya untuk mendekatinya secara langsung. Ia pendam rasa malunya, ia singkirkan gengsinya jauh-jauh, yang penting adalah dia bisa mengobrol lebih lama dengan Ksatria. Sekedar saling bertukar nama juga tak masalah baginya.



Untuk itulah, hari ini dia akan membuktikan tekad bajanya. Seluruh persiapan tempur sudah siap. Sebuah novel non fiksi komedi, berbagai jenis kue kering, dan dua botol air mineral telah siap di kantong bergambar salah satu tokoh di permainan Angry Bird. Dia berharap dengan segala senjata yang telah ia persiapkan matang-matang dapat meluluhkan hati bajanya Ksatria.



“Ra, gue liat tadi lo bawa kastengel, bagi dong!” ujar Mega yang tadi sempat melirik sekilas ke kantong yang di bawa Aura.



“Enak aja minta! Ini bukan buat lo, tau!” tolak Aura dengan menjauhkan kantongnya dari hadapan Mega yang sudah memasang wajah mupengnya.



“Etdah pelit amat lo! Emang buat siapa sih? Lagian itu lo bawa banyak, masa iya gue minta dikit aja nggak boleh!” rayu Mega gencar.



Aura menggeleng tegas, seraya menepis tangan Mega yang hampir saja merebut kantongnya.

“Pelit amat lo ama temen! Orang pelit matanya sipit, tau!” gerutu Mega yang keinginannya untuk mencicipi kastengel bawaan Aura harus kandas karena Aura begitu protektif pada bawaannya. Padahal Mega kan doyan banget sama kue kering satu itu.



“Lain kali pasti lo gue bagi. Tapi kalo yang ini jangan!” ujar Aura berusaha membujuk Mega yang sudah mulai ngambek.



“Emang tuh kue buat siapa sih? Segitunya lo, sampe gue aja nggak boleh nyicip,” tanya Mega kesal.



“Buat dia lah, siapa lagi!?” jawab Aura yang sekarang sudah senyum-senyum sendiri.



Melihat temannya yang sudah seperti ada di dunianya sendiri, Mega pun diam-diam mencoba kembali untuk mengambil toples kue yang berisi kastengel, sedikit lagi ia bisa membuka toples itu dan mengambilnya, tapi naas, nasibnya memang benar-benar belum beruntung kali ini.



“Auu,,!! Sakit tau Ra!!” pekik Mega, ketika sebuah penggaris melayang menghantam tangannya. Ia mengusap tempat di mana penggaris itu tadi mendarat dengan meninggalkan bekas merah di kulitnya. “Bener-bener tega lo,” gerutunya.



“Habisnya lo sih, udah gue bilangin dari tadi juga. Ini kue bukan buat lo, eh lo nya aja yang bandel. Rasain tuh, emang enak?” ejek Aura penuh kemenangan, seraya bangkit dari duduknya dan melangkah pergi, tak lupa ia membawa kantong yang telah ia persiapkan sebelumhya.



“Eh, lo mau kemana!? Bentar lagi masuk!!” teriak Mega.



Aura menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah Mega yang hendak menyusulnya. “Mau kencan. Lo izinin gue ya, bilang aja gue di UKS. Oke?!” jawab Aura dengan senyum lebar.



“Huu... Dasar yang lagi dimabuk cinta.” Gerutu Mega lirih.



Sepanjang perjalanannya dari kelas menuju gudang cinta-sebutan Aura untuk gudang tempatnya sering bertemu dengan Ksatria-tak sedetik pun senyum manis lepas dari wajahnya. Dia benar-benar menantikan hari ini, semalam dia sudah mempersiapkannya, sampai-sampai ia jadi susah tidur gara-gara ingin cepat-cepat pagi.



Aura melihat lagi bawaannya yang ada di kantong. Novel, check. Kue kering, check. Air mineral, check. Mental? Agaknya belum deh. Sejenak ia menarik napas panjang, menahannya selama enam detik dan ia keluarkan perlahan-lahan lewat mulut. Ia ulangi hal tersebut hingga tiga kali hingga ia sekarang sudah jauh lebih tenang dan siap untuk menghadapi tantangan di depan mata.



Dengan langkah pelan ia belokan kakinya ke koridor sepi yang mengarah ke gudang cinta. Dari tadi dia sudah mendengar petikan-petikan gitar, jadi dia bisa memastikan kalau orang yang ingin ia temui memang benar-benar ada di sana. Ia melangkah tanpa suara sambil menikmati denting gitar yang mengalunkan sebuah nada riang. Sepertinya suasana hatinya sedang baik.



Baguslah, dengan begitu Aura dapat berharap lebih dari rencana yang telah ia siapkan. Salah satu lagu milik Ari Lasso yang berjudul Mengejar Matahari, kini telah mendekati akhir. Setelah yakin kalau dia sudah menyelesaikan permainan gitarnya, barulah Aura keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan langkah yakin dia berjalan mendekati Ksatria yang kini tengah menatapnya tidak suka. Ia abaikan tatapan penolakan itu, ia berjalan terus hingga melewatinya. Tak jauh dari sana ia pun menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi tua yang salah satu kakinya pendek sebelah.



Ia melirik sekilas pada Ksatria yang masih menatapnya tak suka. Ia letakkan kantong yang berisi kue-kue di meja yang terletak di antara mereka. Ia keluarkan salah satu toples kue yang berisi nastar, salah satu kue kering favoritnya, tak lupa ia mengambil novel yang juga sudah ia siapkan. Seolah baru menyadari kalau ada orang di sekitarnya, ia pun menyapa Ksatria dengan berpura-pura terkejut.



“Hei, lo di sini juga!? Udah lama? Gue nggak tau kalau lo juga di sini.” Ujarnya ringan memulai perbincangan dengan orang yang sudah jelas-jelas menolak kehadirannya, seraya mengambil satu buah nastar dan melahapnya.



Ksatria hanya diam dan masih menatap Aura tajam. Memperhatikan gerak-gerik gadis itu, yang seolah mengabaikan penolakannya.



“Gue nggak ganggu lo kan? Oh iya, kalo lo mau, ambil aja.” kata Aura menawarkan nastar yang ia bawa.



“Gue nggak suka makanan manis,” jawabnya datar.



“Yes! Akhirnya dia ngomong juga!” sorak Aura dalam hati. Tak urung senyum kemenangan terbit di wajahnya. Dengan berpura-pura tersedak ia samarkan senyumnya agar Ksatria tak curiga. “Ehem, kalau lo nggak suka nastar, gue ada kok kastangel. Lo mau?” tawar Aura lagi, setelah meneguk air mineralnya.



“Gue nggak suka keju,” balas Ksatria, masih sedatar yang dulu.



“Oh... Kalau choco chip, mau?” lagi-lagi Aura menawari Ksatria dengan kue-kue yang di bawanya. “Aah. Jangan bilang lo nggak suka cokelat juga,” sambar Aura sebelum mendengar jawaban Ksatria.



Ksatria hanya diam dan kembali memetik gitarnya, kali ini hanya nada-nada ringan, tanpa sebuah lagu. Aura yang melihatnya diam, mengangguk mengerti. “Nggak suka manis. Nggak suka keju. Nggak suka cokelat juga. Terus lo sukanya apa dong? Keripik doyan nggak?” tanya Aura lagi.



Kini ia mendapatkan sebuah tatapan kesal dari Ksatria, tapi seperti tekadnya tadi, ia abaikan semua itu. Walau jantungnya sudah marathon dari tadi. Suasananya benar-benar aneh dan menyesakkan.



“Stop nawarin gue apapun yang lo bawa. Karena gue nggak laper dan nggak minat dengan semua itu!” jawab Ksatria kesal karena merasa kedamaiannya terusik dengan kehadiran seorang cewek dari antah berantah yang dari tadi tak berhenti menawarinya kue-kue.



“Dia ini mau jualan kue, apa anak tukang kue sih?!” gerutu Ksatria dalam hati.



“Sorry, gue kan Cuma mau berbagi kue yang gue bawa aja. Sorry kalau malah bikin lo marah.” Aura berkata pelan dengan menundukkan kepalanya, berpura-pura menekuni buku yang ia baca.



Hening kembali melingkupi mereka. Hanya denting gitar dan suara halaman buku yang dibalik yang menemani mereka. Itupun diselingi dengan tawa geli Aura yang merasa lucu dengan sesuatu yang ia baca. Karena tak tahan hanya diam-diaman seperti itu. Aura pun kembali berusaha untuk mengajak Ksatria mengobrol.



“Eh, iya ngomong-ngomong kita udah berkali-kali ketemu, tapi gue belum tau nama lo. Gue Rara. Lo?” ujar Aura mencoba untuk berkenalan, sengaja ia menggunakan panggilan kecilnya, agar ia tak menjadi bahan ledekan teman-temannya kalau ketahuan dia lagi PDKT dengan si Ksatria Bergitar.



“Langit,” jawabnya super singgat dan nggak jelas.



“Langit?! Apaan coba maksudnya?! Gue kan lagi nanyain nama, bukan cuaca!?” omel Aura dalam hati, tak mengerti.

“Langit??” lanjutnya dengan nada tak mengerti.



“Iya. Kenapa?! Nggak suka!?” Ketusnya.



“Haa!?? Eng... Nggak. Cuma aneh aja.” Tanggap Aura gelagapan. “Aneh bener sih namanya? Langit????!! Bukannya Ksatria ya?” lanjutnya penuh kebingungan, lagi-lagi dalam hati.



“Aneh? Gue rasa nggak.” Bantahnya.



“Tapi, bukannya nama lo Ksatria ya?” tanya Aura hati-hati.



“Ternyata lo udah nyari tau tentang gue ya, sebelum lo ngajak kenalan?” tanya Ksatria sinis, senyum mengejek terukir di wajah pucatnya.



“Eh, i.. itu.. gue Cuma denger dari orang-orang. Bukan gue yang sengaja nyari tau.” Elak Aura, menghindari tatapan mengejek Ksatria. “Tapi, emang bener kan ya, nama lo Ksatria?” tanya Aura memastikan.



“Mereka nggak salah, dan gue juga bener.” Jawabnya berteka teki.



“Maksud lo? Nama lo ada unsur Ksatria ama Langit, gitu?” kata Aura semakin tak mengerti dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Ksatria dan Langit adalah perpaduan yang tak lazim, ke dua kata itu hanya akrab di dunia dongeng. Kalau ada orang yang menyandang ke dua kata itu sebagai namanya, alangkah langkanya orang itu, dan yang pasti ANEH.



“Ksatria adalah orang yang bener-bener tangguh dan memiliki kemampuan untuk membela dan melindungi orang lain dari kejahatan. Dan itu bukan gue banget. Langit adalah salah satu ciptaan Tuhan yang tinggi tapi juga abstrak. Lo bisa nyentuh langit? Nggak. Lo Cuma bisa ngeliat dia tapi lo nggak pernah bisa menyentuhnya, bahkan dasarnya pun nggak bisa. Dia biru, dan akan seperti itu sampai nanti. Langit akan terlihat sama walaupun lo ngeliat dari tempat dan daerah berbeda. Sama-sama biru dan tinggi. Dan itu adalah gue, lo bisa ngeliat gue, lo bisa deket sama gue, bisa jadi temen gue, tapi satu hal yang pasti, gue nggak bakal pernah bisa jadi milik lo. Lo Cuma bisa ngeliat tanpa bisa memiliki. Itulah gue. Langit.” Jelasnya panjang lebar.



Aura menatap Ksatria penuh tanya. Apa maksudnya menjelaskan semua itu. Dia bukan Ksatria, tapi Langit. Apa maksudnya dia tuh bukan seorang ksatria yang bisa ngelindungin orang, tapi langit yang jadi tempat orang mencari inspirasi. Aah... Semakin di pikir ia semakin tak mengerti. Langit. Ksatria. Benar-benar membuatnya pusing.



“Gue nggak ngerti.” Akhirnya Aura mengungkapkan kebingungannya.



“Suatu saat lo pasti bakal ngerti. Tapi saran gue nih ya, sebelum tiba waktunya lo ngerti semua yang gue bilang tadi, mendingan mulai sekarang lo jangan pernah muncul di depan gue lagi. Jangan pernah punya niat di hati lo buat jadi deket sama gue. Karena semakin lo berusaha deket sama gue efek yang bakal lo rasaian bakalan semakin dalem.” Ujar Ksatria misterius, ia memandang Aura yang tengah menatapnya bingung dengan pandangan tajam.



“Maksudnya?” lagi-lagi tanya itu muncul.



“Karena gue adalah Langit. Seseorang yang cukup untuk diketahui, dilihat namun bukan untuk dimiliki.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Aura dengan deretan tanda tanya menggantung di benaknya.



“Langit? Jadi, maksudnya gue nggak boleh naksir sama dia?! Dia beneran nolak gue atau apa sih?! Gue bener-bener nggak ngerti!!” ujarnya kesal, seraya membereskan toples-toples kue dengan kasar dan bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan berkecamuk.



###



Siang ini tak begitu terik, awan hitam tampak menggantung di langit. Udara juga sudah mulai sejuk, kalau boleh dibilang dingin. Dan di cuaca seperti ini, enaknya adalah menghangatkan badan dengan menyantap kudapan yang anget-anget dan pedes. Heeuumm... pasti nikmat dan lezat. Perut kenyang badan pun hangat. Membayangkannya saja sudah membuatku meneteskan air liur. Dari tadi di kelas aku sudah terbayang-bayang bulatan-bulatan bakso yang menggoda untuk segera di eksekusi.



Untuk itulah sekarang aku di sini, di salah satu sudut kantin dengan di temani semangkuk bakso panas nan pedas dan segelas es jeruk. Aku baru saja menuangkan beberapa sendok sambal dan hendak memberikan sedikit saos tomat ketika cewek dengan senyum paling manis yang pernah ku kenal, datang menghampiriku dengan langkah-langkah panjang dan wajah kesal.



“Ada apa lagi?” tanyaku sekedarnya, seraya mengaduk mangkok baksoku. Aroma yang ditimbulkannya benar-benar menerbitkan selera makanku. Perutku pun sudah tak sabar untuk segera menampung makanan paling populer di Indonesia ini.



“Gue nggak ngerti ya kak sama jalan pikiran adek lo itu. Gue ajak kenalan, eeh.. Dianya malah ngomong ngaco, tentang ksatria lah tentang langit lah. Apa coba maksudnya!? Gue kan ngajak kenalan bukannya ngajak ngomong tentang cuaca atau cerita antah berantah. Kesel gue! Apa sih susahnya bilang nama doang!! Tinggal bilang nama gue Paimin, Paijo, kan enak. Langsung. To The Point. Bukannya malah ngomongin yang nggak-nggak. Emangnya nama adek lo itu sebenernya siapa sih Kak!?” omelnya berapi-api. Kelihatan jelas kalau dia sedang kesal.



Aku menelan potongan bakso pertama ku, memang nikmat makan bakso di kala cuaca sedang tak bersahabat seperti ini. “Masa’ lo nggak tau. Nama gue aja lo udah tau sebelum lo ngajak kenalan. Mustahil kalo lo belum tau nama adek gue sebelum lo ngajak dia kenalan,” kataku telak. Tak urung rona merah itu menjalar di pipinya.



“Gue Cuma tau dia di panggil Ksatria sama orang-orang. Jadi gue simpulin aja kalau namanya itu Ksatria. Bukannya langit atau entah apalah itu.” Jawabnya kesal.



“Namanya emang Ksatria kok,” ujarku singkat, seraya mengunyah potongan bakso kedua.



“Tapi kenapa tadi dia nggak bilang gitu?” tanyanya heran. Dia menatapku yang sedang menyantap bakso dengan pandangan mupeng.



“Lo mau? Pesen gih, tapi ntar bayar sendiri-sendiri,” kataku setelah melihatnya menelan ludah menahan keinginannya untuk ikut menikmati makanan cepat saji paliing merakyat.



“Ah, nggak. Gue udah makan tadi. Lo sih kak, makannya gitu banget, jadi pengen kan gue.” ujarnya dengan tawa kecil.



“Emang dia tadi bilang apa waktu lo ngajak kenalan?” tanyaku menyelidik setelah menyeruput es jerukku. Segar sekali rasanya, rasa pedas yang tadi sempat ku rasakan tak berasa lagi, walau aku tau nanti akan menjadi lebih parah dari ini.



“Dia bilang namanya Langit. Emang namanya ada unsur-unsur langitnya gitu ya kak?” tanyanya dengan pandangan menyelidik.



Aku hanya menangguk, susah untuk menjawab langsung kalau sedang mengunyah seperti ini, apalagi kali ini potongan baksonya terlalu besar, sehingga menyulitkanku untuk berbicara. “Namanya emang ada langitnya kok,” kataku setelah susah payah menelan potongan besar bakso tadi.



“Hah!? Beneran ada langitnya kak?!” katanya kaget.



“Yep, namanya itu Cahya Ksatria Langit.” Ujarku singkat, kembali melanjutkan mengeksekusi komponen-komponen yang terdapat dalam mangkok bakso di hadapanku. Tinggal sedikit lagi dan aku benar-benar akan menghabisinya. Tersisa satu bulatan kecil bakso dan beberapa lembar mie putih di sana.



“Apa!? Cahya Ksatria Langit!? Dongeng banget sih kak namanya!?” ujarnya dengan sebentuk tawa kecil. “Ksatria Langit!? Untung nama lo bukan Ksatria Bumi kak.” Lanjutnya, kali ini ia tertawa lepas. Sebuah reaksi yang sering ku temui kalau ada orang yang menanyakan nama lengkap adik semata wayangku.



Aku meneguk es jerukku hingga tinggal seperempat gelas, sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu mengenai sejarah nama yang disandang adikku itu. “Emang namanya kayak dongeng. Aneh dan nggak lazim, tapi itu semua emang menggambarkan gimana dia sebenarnya. Dia itu emang hidup di negeri dongeng yang akhir ceritanya udah ketahuan bahkan dari halaman pertama saat lo baca buku dongeng. Aneh dan nggak lazim juga mencerminkan dia. Dia emang anak yang istimewa yang diberikan Tuhan ke keluarga gue, dan dua kata itu emang udah melekat sama dia sejak kecil.” Aku menghirup napas panjang sebelum kembali melanjutkan.



Cewek itu memandangku lekat, benar-benar mendengarkan ucapanku dengan serius. “Dan, kalau soal namanya. Cahya, dia diberi nama itu supaya dia selalu bersinar di hati orang-orang yang sayang sama dia, di hati orang-orang yang dia kenal. Walaupun suatu saat nanti cahayanya pudar, namun Cahya yang sebenarnya tetap bersinar. Ksatria, walaupun dia tak cukup mampu untuk melindungi orang-orang yang dia sayangi, namun dia udah jadi seorang Ksatria dalam hidupnya sendiri, seorang pejuang yang tak pernah lelah memperjuangkan sebuah kehidupan, untuk itulah kakek memberinya nama Ksatria.” Aku menghentikan penjelasanku dan kembali menyeruput es jerukku yang kini tinggal air doang, esnya telah melebur.



“Kalau Langit?” tanyanya singkat.



“Langit, karena dia berasal dari sesuatu Yang Tinggi, dan selalu mempunyai harapan yang tinggi. Selain itu, walaupun orang lain memberinya pandangan yang berbeda tentangnya, tapi dia Cuma satu. Sama seperti langit, yang walaupun dipandang dari segala arah tetap sama. Sama-sama biru dan tinggi. Satu lagi, dia adalah orang yang ditakdirkan untuk sendiri. Lo boleh aja kenal sama dia, dekat sama dia, jadi pacarnya, mungkin. Tapi satu hal yang pasti, lo nggak bakal pernah bisa milikin dia.” Kataku mengakhiri penjelasan panjangku tentang sejarah nama Cahya Ksatria Langit.



Cewek itu memandangku kaget dan tak mengerti. Untuk sesaat dia seolah membeku. Hingga aku harus melambaikan tanganku di wajahnya agar ia kembali ke kesadarannya. “Lo kenapa sih? Kaget ya?” goda ku.



Dia tersenyum kaku sebelum akhirnya bicara singkat. “Lo tau kak? Dia tadi bilang hal yang hampir sama kayak yang lo bilang tadi. Tentang Langit.”



“Oh ya? Emang dia tadi bilang apa?” tanyaku terkejut, tak menyangka kalau Ksatria benar-benar memegang prinsipnya untuk tak menjalin hubungan dengan orang lain.



“Dia bilang, walaupun gue bisa jadi lebih deket sama dia, tapi gue nggak bisa milikin dia. Maksudnya apa sih kak? Dia tadi juga bilang supaya gue ngejauhin dia aja sebelum semuanya terlambat. Emang terlambat untuk apa?” tanyanya lirih.

Aku menatapnya prihatin sekaligus sedikit berharap. Akankah dia menjadi orang yang ditakdirkan untuk mewarnai langit? Orang yang memang ditakdirkan untuk mendapatkan pandora itu? Aku tatap keseluruhan raganya, dan melihatnya dengan tatapan sendu itu semakin menguatkan keyakinanku. Dia memang pelukis langit. Aku benar-benar prihatin sekarang pada nasibnya yang kurang beruntung. Harus menerima luka disaat bahagia.



“Sebaiknya lo pikirin lagi keputusan lo buat jadi lebiih deket sama adek gue. Lo pertimbangin mateng-mateng sebelum lo memutuskan buat jadi seseorang yang deket sama dia. Kalau lo udah pikirin mateng-mateng, gue harap lo siap dengan segala resiko dari pilihan lo itu.” Kataku sebelum beranjak meninggalkannya untuk membayar makananku dan kembali ke kelas. Sekilas aku melihatnya tertegun di tempat duduknya. Sebaiknya dia membuat keputusan yang memang benar-benar dia inginkan. Aku tak mau ia kecewa, terlebih lagi membuat Ksatria kecewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar