Kamis, 11 Oktober 2012

colour of sky 7

そら の いろ


Sudah hampir dua minggu pasca tragedi taxi menangis. Aura dan Ksatria tak saling bertemu lagi. Gudang yang biasanya jadi tempat mereka bertemu kini sunyi senyap, seakan tak pernah ada orang yang menggunakannya. Dentingan gitar itu menghilang bagai di telan bumi. Jangankan dentingnya, bayangan orangnya aja tak terlihat di mana pun.

Berkali-kali Aura mencari di setiap tempat yang mungkin ada Ksatria di sana. Tapi hanya kekosongan yang ia temui. Dia benar-benar tak ingin menjadi jauh dengannya. Walau hanya sedetik ia ingin melihatnya. Melihat tatapan sinisnya. Mendengar nada-nada tajamnya. Bahkan melihat wajah pucatnya pun tak apa. Tak melihatnya dalam waktu lama benar-benar membuatnya tak nyaman. Dia merasa seolah bayangannya akan kehadiran sosok itu perlahan menghilang. Bagai mimpi di tengah malam, yang keesokan paginya menghilang, seiring dengan terbukanya mata.

Bahkan, sekarang dia sudah mulai lupa bagaimana caranya tersenyum. Dia bagai seseorang yang kehilangan arah dan tujuan. Berkelana melintasi waktu tanpa jiwa. Hanya raga yang terlihat. Membuat orang-orang di sekitarnya bertanya-tanya, apa yang menyebabkannya menjadi seperti itu. Mega pun tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya berharap mendung yang sekarang membayangi sahabatnya dapat segera berlalu. Ia rindu sahabatnya yang ceria, yang selalu membuatnya tertawa dengan tingkahnya yang terkadang sedikit konyol.

###

Setelah kejadian di lapangan basket waktu itu, aku tak pernah bicara lagi dengan Ksatria. Dia seolah menutup dirinya dari peradaban. Menjauhiku tanpa sebuah alasan yang pasti. Aku pun sudah jarang melihatnya bermain gitar, padahal bermain gitar sudah seperti bernapas baginya. Berkali-kali aku mencoba memulai percakapan dengannya, namun tak sekalipun dia memandangku. Melirikku saja tidak, bagaimana bisa dia membalas perkataanku!?

“Yudha,” panggilan lirih dari mama, menyentakkan kesadaranku.

“Ya Ma?” sahutku pelan, ku pandangi raut kekhawatiran di wajah tuanya. Terkadang aku tak tega melihatnya membanting tulang begitu keras seperti ini hanya untuk membiayai pengobatan adikku. Kalau saja aku bisa meringankan bebannya.

“Kamu berantem kan sama adikmu?” tanyanya pelan dengan seulas senyum tipis.

Aku beranjak dari kursi belajarku lalu ku hempaskan tubuhku di sampingnya, ku pandangi beliau dengan tatapan menenangkan. Aku tak mau membuatnya semakin khawatir. Biarlah masalah ini hanya antara aku dan Ksatria. Aku tak mau menambahkan beban pikiran beliau tentang masalah pertengkaranku dengan Ksatria.

“Nggak kok ma,” jawabku dengan senyuman.

“Jangan bohong sama mama Yudha. Mama bisa ngeliat kok kalau kalian sedang ada masalah.” Ujar beliau lembut, membuatku tak tega untuk membohonginya.

“Beneran ma, kita baik-baik aja.” Tegasku.

“Kalau baik-baik aja, kok akhir-akhir ini mama nggak pernah ngeliat kalian ngobrol sih? Jangankan ngobrol, mama juga udah nggak pernah denger lagi dia main gitar. Apa dia lagi ada masalah?” selidik mama, menatapku lembut.

Ku alihkan pandanganku ke arah poster Bob Marley di salah satu dinding kamarku. Ku hela napas sebentar sebelum menjawabnya. “Yudha juga nggak ngerti ma. Ksatria nggak cerita sama Yudha.” Kilahku.

“Tumben dia nggak cerita sama kamu. Biasanya juga nggak ada yang nggak dia ceritain ke kamu.” Kata mamam heran.

Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawabannya.

“Ya sudahlah kalau memang kamu nggak tau. Tapi, coba kamu bicara sama adik mu itu. Jangan kayak gini, mama nggak suka ngeliat kalian diem-dieman gini. Lagian kalau bukan kamu, siapa lagi?” ujar mama seraya memberiku satu kedipan mata. Aku hanya tertawa lirih melihatnya. “Inget. Bicara.” Ulang beliau sebelum meninggalkan kamarku.

Sepeninggal mama, aku hanya menatap kosong ke depan. Apa yang harus aku lakukan?! Aku benar-benar tak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Ksatria. Dia benar-benar diam membisu. Mencoba bicara padanya sekarang, hanya akan terlihat konyol. Kalau aku nekat bicara dengannya, tak ubahnya aku bicara dengan batu. Aku harus memikirkan cara agar dia kembali mau bicara denganku, setidaknya melihatku.

&&&

“Ra, kantin yuk,” ajak Mega, tepat setelah bel istirahat berbunyi.

Aura hanya memandang Mega kosong. “Gue nggak laper,” jawabnya sendu.

“Lo jangan gini dong Ra. Mau sampai kapan lo kayak gini!? Baru juga ditolak cowok sekali aja, lo berasa udah kayak mau mati gini.” Gerutu Mega yang sebal melihat sikap sahabatnya.

Aura hanya menghela napas panjang. “Gue juga nggak tau Ga, mau sampai kapan gue kayak gini.” Jawabnya pasrah.

“Lo itu harus move on Ra. Masih banyak cowok yang lebih baik di luaran sana yang suka sama lo. Lo tinggal nunjuk satu, pasti langsung dapet.” Kata Mega kesal.

“Gue tau Ga. Tapi nggak ada yang spesial kayak dia.” Balas Aura dengan senyum getir.

“Terserah lo Ra. Capek gue ngingetin lo terus. Mulai sekarang gue nggak akan peduli lagi sama lo. Lo mau hidup kayak gini terus kek, terserah lo! Gue nggak peduli!” ujar Mega marah. “Diajak move on kok susah bener,” sambungnya sebelum meninggalkan Aura sendiri dengan pikirannya.

Sepeninggal Mega, Aura pun bangkit dari duduknya. Ia berjalan menyusuri koridor tanpa arah dan tujuan. Sekehendak kakinya melangkah. Ia hiraukan sapaan teman-temannya yang ia temui di sepanjang koridor. Ia perlu sendiri, menenangkan pikirannya yang kusut. Ia ingin menemui Yudha untuk menanyakan kabar orang yang dirindukannya, tapi entah kenapa dia merasa sungkan. Mungkin karena perbincangan terakhir dengan Ksatria di taxi itu yang menghentikan niatnya untuk bertanya.

Ia menghela napas dalam-dalam, sesak itu masih terasa bahkan setelah dua minggu berlalu. Mungkinkah dia sudah tak sekedar suka lagi dengannya? Dia benar-benar merindukan sosok itu. Rindu yang benar-benar membuatnya sulit untuk bergerak, bahkan sekedar senyum pun terasa sulit untuk ia lakukan.

&&&

“Eh, lo tau nggak akhir-akhir ini di deket toilet kelas X sering kedengeran ada yang main gitar di sana?” kata seorang cewek berkuncir kuda pada temannya yang sedang membawa setumpuk buku.

“Iya, toilet yang deket sama tangga ke atap sekolah itu kan?” sambung temannya memastikan.

“Ya di sana. Lo tau kadang-kadang dari sana juga sering kedengeran suara kayak orang nangis.” Imbuh si kuncir kuda.

“Yang bener lo!? Di sana kan sepi, jarang banget ada orang yang lewat di sana. Orang anak kelas X aja kalau kebelet lebih suka milih ke toilet yang deket kantor guru, kan!? Daripada toilet di sana.” Ujar si pembawa buku antusias.

“Iya, mana katanya lagu yang kedengeran dari sana sedih-sedih mulu.” Timpal si kuncir kuda semangat.

“Ih, jadi merinding gue. Kira-kira siapa ya yang sering di sana?” tanya si pembawa buku penasaran.

“Entahlah, mungkin arwah penunggu di sana kali. Lo tau kan dua tahun yang lalu di sana ada yang bunuh diri gara-gara nggak lulus ujian?” imbuh si kuncir kuda misterius. “Jangan-jangan yang suka kedengeran ada orang nangis di sana itu arwahnya dia lagi.”

“Hush, jangan ngomongin ini lagi ah. Jadi merinding nih gue.” kata temannya seraya bergidik ngeri.

Aura yang tak sengaja mendengar percakapan dua orang yang berpapasan dengannya, bergegas lari menuju tempat yang baru saja dibicarakan dua orang tadi. Dia yakin kalau suara-suara yang dimaksud keduanya berasal dari orang yang selama ini menjadi pusat hidupnya. Ksatria.

Setibanya di tempat yang dituju dia mengatur napasnya yang tersengal. Setelah dirasa sudah cukup teratur, perlahan dia menapaki satu demi satu anak tangga yang menuju ke atap sekolah. Sebenarnya itu bukan atap melainkan sebuah tempat terbuka yang akan dijadikan ruangan baru. Tapi, entah kenapa pembangunannya dihentikan sejak tahun lalu. Jadilah sekarang tempat itu seperti atap terbuka yang luas.

Baru setengah anak tangga ia tapaki, sayup-sayup ia mendengar sebuah lagu sedih yang benar-benar menusuk sanubarinya. Ia hentikan langkahnya, saat suara itu semakin terdengar jelas oleh kedua telinganya. Ia bersandar di dinding dan mencoba meresapi gejolak penyanyinya. Lagu ini benar-benar menyiratkan apa yang dirasakan olehnya.

Semakin, ku menyayangimu...
Semakin ku harus...
Melepasmu dari hidupku...
Tak ingin lukai hatimu...
Lebih dari ini...
Kita tak mungkin terus bersama...
(Drive-Melepasmu)

Tak terasa air mata meluruh satu-satu dari kelopaknya. Syair lagu itu entah kenapa serasa ditujukan untuknya. Ia dekap mulutnya erat-erat agar isakannya tak merusak suasana yang ditimbulkan oleh lagu itu. Ingin rasanya ia berlari ke atas mendekap seseorang yang begitu ia rindukan. Namun apa daya kakinya serasa dipaku di tempat ia berdiri. Ia yakin kalau orang yang baru saja mendendangkan lagu itu juga memiliki rasa yang sama dengannya.

@@@

Aku menghela napas panjang setelah menuntaskan satu lagu sedih dari Drive. Ya, aku memang harus melepasnya demi kebahagiaannya sendiri. Ku raba bagian kiri dadaku tempat sebuah bagian dari tubuh yang dapat merasakan berbagai gejolak emosi. Hati. Sekarang tempat itu serasa kosong. Hampa adalah kata yang cocok untuk melukiskan apa yang kurasakan saat ini. setelah aku memutuskan untuk merelakannya pergi, tempat itu pun langsung terasa kosong.

Ku hembuskan napas berat sebelum beranjak dari tempatku. Sudah dua minggu aku menyambangi tempat ini. Lewat cara inilah aku bisa menghindarinya. Kembali ke gudang itu hanya akan membangkitkan kenanganku dengannya yang selama ini telah kucoba untuk melupakannya. Selama itu pula aku tak lagi bicara dengan abang. Aku tak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku juga tak ingin melihatnya memergoki kejatuhanku. Biarlah seperti ini, keadaan ini jauh lebih baik bagiku.

Dengan pearasaan berkecamuk, aku melangkah meninggalkan tempat persembunyianku. Perlahan ku tapaki satu demi satu anak tangga yang menghubungkan atap terbuka ini dengan keriuhan di bawah. Namun, belum juga setengah perjalanan, aku dikejutkan oleh sesuatu yang membuatku harus menghentikan langkahku.

Kenapa dia harus hadir di saat aku sudah berusaha menjauhinya!? Dan lagi, kenapa lagi-lagi dia harus menangis? Apa dia mendengar lagu yang baru aja kudendangkan? Ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan!? Seolah belum cukup Kau memberiku cobaan sepanjang hidupku, kenapa harus Kau tambah lagi dengan ini!? Dengan menebalkan hati dan menekan perih, aku melangkah melewatinya, aku berusaha tak memandangnya, apalagi menyapanya.

Baru dua langkah aku berjalan, langkahku sudah harus terhenti. “Lo bohong. Lo bohong kan waktu lo bilang lo nggak suka sama gue? Ya, kan!?” katanya pilu disela isakannya.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku hanya diam dan kembali melangkah menuruni anak tangga di depanku.

“Tunggu! Lo nggak bisa pergi gitu aja. Lo harus jelasin ke gue, apa alasan lo ngomong kayak gitu!? Gue tau kalau lo punya perasaan yang sama kayak gue. Ya kan!?” imbuhnya sedikit lebih keras.

“Nggak ada yang perlu diomongin lagi,” tegasku pelan, seraya mulai melangkah lagi. Namun, lagi-lagi aku harus menghentikan langkahku. Kali ini bukan isakannya ataupun ucapan-ucapan pilunya yang menghentikan langkahku, melainkan rengkuhannya padaku lah yang menghentikan kakiku.

Aku bisa merasakan air matanya membasahi kemejaku. Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak berbalik dan membalas pelukannya. Tidak! Aku harus kuat bila tak ingin di terluka semakin dalam. Kukepalkan kedua tanganku erat-erat, menahannya tetap di samping benar-benar menguras energi yang ku punya.

“Lepas,” ujarku lirih, seraya mencoba melepaskan rengkuhannya. Bukannya melepaskan ia malah semakin mengeratkan pelukannya padaku. “Lepas!” sentakku.

“Nggak! Sebelum lo bilang apa alasannya!?” ujarnya bersikukuh.

“Gue bilang lepas!” kataku seraya melepaskan pelukannya kasar. Kubalikkan tubuhku dan kutatap dia tajam. “Nggak ada yang perlu gue jelasin dan mulai sekarang, lo jangan cari-cari gue lagi!!” tegasku sebelum meninggalkannya.

“Gue nggak akan berhenti gangguin hidup lo sampai gue tau alasan lo ngejauhin gue!?” teriaknya sebelum aku menghilang di balik tembok.

Setelah yakin dia tak mengikutiku lagi, ku hentikan langkahku. Lagi-lagi perih yang menyiksa itu kurasakan, bahkan sekarang lebih menyakitkan dari yang sudah-sudah. Pelan kuraba bagian kiri dadaku. Benar, sakit itu semakin nyata setelah mengingat apa yang baru saja kulakukan padanya. Mengabaikannya benar-benar membuatku tersiksa.

Aku berjalan gontai menuju kelas, aku harus masuk jika tak ingin mendapatkan hukuman lagi. Kalau saja aku bisa memilih, lebih baik aku ke kantin dan mengisi perutku ketimbang kembali ke kelas dan mengisi otakku. Aku sudah cukup pandai tanpa harus ditambahi dengan segala jenis ceramah tentang hal-hal yang membosankan.

Pintu kelasku sudah mulai terlihat saat aku merasakan ada yang mengikutiku dari belokan sebelum koridor kelas. Ku balikkan badan karena penasaran dengan siapa yang membuntutiku. Apakah dia benar-benar mengabaikan peringatanku lagi, sampai-sampai dia harus mengikuti hingga ke kelas!?

Aku tersentak kala melihat bukan dia orang yang menguntitku dari tadi. Tiga orang yang tak kukenal menyeringai sinis ke arahku. Ku rasa dia adalah kakak kelasku, melihat dari bagde yang ada di sebelah kanan lengan kemejanya. Ada apa dia mencariku? Seingatku, aku tak pernah berurusan dengan mereka sebelumnya.

“Lo Ksatria kan, adiknya Yudha?” tanya salah satu dari mereka yang memiliki tindik di telinga kanannya. Ku rasa dia adalah pemimpinnya.

“Ya, gue Ksatria. Ada apa?” tanyaku mencoba ramah padanya, walau aku tahu tampang-tampang seperti mereka tak mengenal kata ramah.

“Gue ada perlu sama lo. Bisa lo ikut kita sebentar,” ajaknya penuh penekanan. Ku rasa bukan hal baik jika aku menuruti permintaannya. Tidak sekarang, di saat aku merasakan perih yang menyiksa ini.

“Sorry, gue harus ke kelas. Kalau ada yang mau lo bicarain, sekarang aja. Di sini.” Tolakku tegas.

Mereka saling tatap dan mencibir ke arahku. “Gue Cuma perlu bicara bentar kok sama lo. Sekarang. Tapi bukan di sini tempatnya. Ini bukan tempat yang bagus buat ngobrol,” katanya seraya menarikku untuk mengikutinya.

“Hei, lepasin! Gue bisa jalan sendiri,” sentakku menyingkirkan cekalan tangannya di lenganku.

“Oke, gue lepasin asal lo mau ikut kita baik-baik,” ancamnya.

“Oke,” aku langsung menyetujui ajakannya. Sepertinya pembicaraan kami tak akan berjalan mudah.

Dia membawaku ke belakang aula yang selalu sepi, di sana dia menyentakkanku ke tembok. Kasar sekali dia!? Memangnya kau pernah berbuat salah sama dia, sehingga dia berani berbuat seperti ini padaku!?

“Gue liat, akhir-akhir ini lo deket sama Aura,” ujarnya memulai ‘perbincangan’ di antara kami. Aura!? Siapa dia!?

“Aura? Siapa?” tanyaku tak mengerti.

“Cih.. nggak usah belagak nggak tau deh. Aura, cewek yang akhir-akhir ini sering sama lo!? Masa’ lo nggak tau!? ” jelasnya sinis.

“Oh,” ternyata yang dia maksud, cewek aneh bin ajaib penjaja kue yang baru saja ku buat nangis?

“Gue mau lo jauhin dia,” katanya tajam.

“Gue udah bilang ke dia buat nggak deket-deket sama gue, tapi dasar dianya aja yang bebal. Bukannya pergi malah semakin nempel,” jawabku mencibir. Ternyata dia ini salah satu penggemar cewek itu. Laris juga dia.

“Pinter ngeles juga ya lo. Denger ya, walaupun lo adiknya Yudha sekalipun, gue nggak takut. Kalau sampai gue liat lo deket-deket sama Aura lagi. Lo bakalan berurusan sama gue!” ancamnya, kali ini dia mendekatkan wajahnya ke arahku.

Aku hanya tersenyum sinis memandangnya. “Lo suka sama dia?” tanyaku sinis.

“Kalau iya kenapa?” tantangnya.

“Ambil aja kalau lo mau. Itu juga kalau lo bisa.” jawabku tajam tak lupa kuberikan senyuman sinis padanya.

“Maksud lo apa!? Lo ngremehin gue!?” katanya sesumbar.

Ku tatap matanya tajam. “Gue nggak ngeremehin lo, lagian lo siapa juga gue nggak tau. Yang jelas, seberapa keras lo usaha buat dapetin dia, gue yakin dia nggak bakal tertarik sama lo,” jawabku datar.

“Apa kata lo!?” sentaknya yang membuat bahuku terasa berdenyut karena ulahnya.

“Karena apa?! Karena dia nggak suka sama lo, yang dia suka itu gue.” kataku penuh percaya diri. Aku yakin ucapanku barusan membuatnya naik darah. Tapi aku nggak takut, memang begitu kan kenyataannya!?

“Pede banget lo ngomong gitu. Lo nggak tau siapa gue!? Gue Raka, cowok yang selalu bisa ngedapetin apa yang dia mau!” katanya tajam, ku lihat kedua anteknya telah bersiap untuk melakukan apapun yang kurasa itu akan melukaiku.

Namaku boleh Ksatria tapi aku benar-benar tak tahu caranya berkelahi.

“Emang gue peduli?” ejekku dengan sulas senyum sinis.

“Kurang ajar lo!” teriaknya sebelum melayangkan tangannya ke arahku. Beruntung karena aku dapat mengelak darinya.

Aku bersiap melarikan diri saat kurasakan sebuah pukulan mendarat di perutku. Sial! Ternyata salah satu anteknya menghalangi jalanku. Ku raba bagian yang tadi terkena pukulannya, benar-benar sakit. Ternyata begini rasanya berkelahi.

Ku pasang kuda-kuda yang ku ketahui dari beberapa film action yang sering ku tonton. Ku harap dengan begitu aku dapat membalas beberapa pukulan yang mereka arahkan padaku, atau setidaknya aku dapat mengelak di detik-detik terakhir. Dengan mengabaikan sakit di perutku, aku mengambil resiko untuk melawan mereka. Walau aku tahu kemungkinanku untuk menang tak lebih dari 0,01%, tapi aku harus berusaha melawan. Aku tak mau terlihat lemah di mata mereka.

Denyutan nyeri di dada kiriku kuabaiakan saja, sudah tak ada waktu untuk menghentikan semua ini.
Ludah sudah dibuang, dan sudah tak bisa dijilat lagi. Aku berusaha tetap menjaga tubuhku agar tetap berdiri, dentuman menyakitkan dari dada kiriku membuatku susah mengatur napas. Kini napasku tinggal Senin Kamis, kesadaranku pun mulai goyah. Tidak, aku tak mau kalah di sini. Sial! Sakit ini begitu menyiksa! Aku tetap melawan mereka dengan sisa-sisa tenaga yang ku miliki. Tapi, sekeras apapun aku mencoba tiga lawan satu memang benar-benar tak seimbang.

Setelah menerima tiga pukulan di perut, dua di ulu hati, dan empat di wajahku, akhirnya aku tumbang juga. Tapi aku senang karena berhasil melukai satu diantara mereka dengan tendangan penghancur masa depan dariku. Mereka meninggalkanku begitu saja setelah memastikan aku sudah tak berdaya lagi.

“Lo inget baik-baik apa yang gue bilang tadi. Jauhi Aura!” bisiknya tajam sebelum benar-benar meninggalkanku. Aku menyumpahi mereka dengan berbagai sumpah serapah yang ku ketahui. Dasar picik, beraninya keroyokan!

Aku mencoba bangkit dari kejatuhanku, perlahan aku pergi meninggalkan belakang aula. Sakit yang kurasakan di sekujur tubuhku membuatku benar-benar tak sanggup melangkahkan kakiku dengan benar. Sakit di tubuh bisa diobati tapi sakit di hati benar-benar membuatku mati.

Baru melangkah beberapa meter aku sudah terjatuh lagi, ku raba bagian kiri dadaku. Kali ini bukan di tempat biasanya aku merasakan sakit, melainkan di tempat yang seharusnya akhir-akhir ini tak pernah sakit lagi. Aku meraba kantong celanaku mencari obat pereda sakit yang biasanya kubawa. Sial, ternyata obat itu tertinggal di kelas. Aku benar-benar kesulitan bernapas sekarang. Tekanan di daerah kiri ini benar-benar membuatku tak berdaya.

Sakit Tuhan, kali ini benar-benar sakit. Apakah sekarang waktunya? Mengapa harus seperti ini? Aku bahkan belum sempat mengungkapkan apa yang sesungguhnya aku rasakan. Jangan dulu Tuhan, jangan sekarang. Tapi rasa sakit ini tak kunjung berkurang walau aku sudah menekan keras-keras bagian itu, napasku tinggal satu-satu. Ku rasa aku tak kan bertahan lebih lama lagi. Tiba-tiba, semuanya berubah menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar