そら の いろ
Sudah hampir tiga bulan aku dekat dengan gadis itu. Semenjak
kejadian di rumah sakit tempo hari aku mulai mencoba membuka hatiku
untuknya. Walau masih tersisa sedikit keraguan, tapi aku yakin aku dan
dia akan baik-baik saja. Walau hubungan kami sudah menjadi lebih dekat
dalam tiga bulan ini, tapi aku masih belum juga mempunyai keberanian
untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Walau dia sering bilang padaku,
semua itu nggak penting, tapi tetap saja rasanya ada yang kurang. Hubungan kami masih perlu diperjelas statusnya.
Untuk
itu lah, aknir-akhir ini aku sibuk ke sana kemari untuk mencari sesuatu
yang bisa menjadi inspirasiku mengungkapkan cinta. Sudah ratusan kali
aku memikirkan cara itu, namun belum ada satu pun yang benar-benar pas
untuk kugunakan. Aku ingin mengungkapkan perasaan istimewa ini dengan
cara yang istimewa. Tak sekedar cokelat dan bunga. Tetapi lebih ke
sesuatu yang akan terkenang sepanjang masa dan tak mudah untuk dilupakan
begitu saja. Tapi masalahnya, apa itu?!
“Heh, nglamun aja.” Tegur gadis yang sekarang duduk di sampingku.
Aku hanya menggeleng pelan ke arahnya.
“Kenapa sih? Sampe segitunya muka lo?” selidiknya.
“Nggak pa-pa. Bukan sesuatu yang penting kok,” jawabku mencoba menenangkannya.
“Oke, kalau emang lo nggak mau cerita. Gue nggak
maksa.” Putusnya. Dia memang tahu kapan harus mendesakku untuk bicara
dan kapan waktunya untuk membiarkanku sendiri bersama pikiranku. “Oh
iya. Gimana hasil check up kemarin? Ada perkembangan nggak?”
Aku menghela napas sejenak. “Kata dokter Raka sih, nggak ada masalah.” Jawabku singkat, enggan berbicara lebih lanjut mengenai masalah ini.
“Baguslah kalau gitu.” Ujarnya penuh kelegaan. “Terus, untuk masalah yang satu itu, gimana? Udah dapet?”
“Seperti biasa, masih kosong. Mungkin emang udah jadi takdirku, harus pergi dengan kondisi seperti ini.” sahutku lemah.
“Iissh...
Lo mah, kumat lagi pesimisnya.” Gerutunya sebal. “Walau Cuma 0,01% yang
penting masih ada kemungkinan! Gue yakin kok, suatu saat lo pasti bisa
dapetin pendonor yang cocok buat kamu.”
Aku hanya
tersenyum samar ke arahnya. Aku masih belum mengerti, darimana dia
mendapatkan rasa optimis sebesar itu. Terkadang aku salut dengan
pemikiran positifnya, seakan dunia dan seluruh isinya baik-baik saja di
matanya. Nggak ada cacatnya. Tapi, aku senang, dengan begitu aku juga ikut merasa positif.
“Oh
ya, abang udah jadian lho sama anak juragan gudeg itu,” kataku dengan
nada ceria. Aku tak mau membicarakan tentang penderitaanku lagi, hal itu
hanya akan membuatku kembali menjadi aku yang dahulu.
“Oh, iya!? Kapan!?” sahutnya antusias.
“Belum lama kok, baru semingguan ini kayaknya.” Jawabku tak yakin.
“Waaah... Harus minta traktiran nih.” Sahutnya ceria. “Dasar kak Yudha, jadian nggak
bilang-bilang! Awas aja ntar, gue bakal minta traktir makanan yang
paling mahal,” sambungnya dengan penuh emosi. Aku hanya tersenyum lebar
melihatnya seperti itu.
“Dia emang sengaja nggak bilang, biar nggak ada yang minta PJ,” jelasku singkat.
“Iih... Curang! Bisa kena pasal tuh, jadian nggak bilang-bilang,” gerutunya.
“Udaah... Nggak usah emosi dulu. Kalau lo emang mau minta jatah. Yuk, ke kantin aja.” Ajakku sembari bangkit dari tempat dudukku.
“Sekarang!?” tanyanya tak yakin.
“Nggak.
Tahun depan!” sahutku singkat. Bibirnya mengerucut karena jawabanku.
“Ya iyalah sekarang. Ayo ah, keburu dia balik lagi ntar. Kesempatan nih,
kemarin abang barusan dapet rezeki nomplok.”
“Oke deh kalau gitu.” Sahutnya cerah. “Heum... Enaknya minta ditarktir apa ya?”
“Ntar aja mikirnya kalau udah nyampe kantin,” kataku memotong khayalannya yang berkeliaran.
Dia
hanya tersenyum dan meraih tanganku untuk segera menuju kantin. Kami
memang sering seperti ini, saling bergandengan tangan, ngobrol berdua,
kadang kami juga nonton, kalau memang kantong sedang memungkinkan.
Sebenarnya banyak momen di mana aku bisa mengungkapkan perasaanku
padanya. Tapi, kurasa semua itu bukan waktu yang pas. Terlalu biasa, dan
aku nggak suka sama yang biasa-biasa, karena aku bukan orang biasa.
###
Aku
sedang menikmati semangkuk sop buah saat dikagetkan dengan kedatangan
duo perusuh kehidupanku. Dulu perusuh hidupku hanya satu, tapi entah
sejak kapan hal itu mulai berubah. Melihat wajah kesal gadis yang datang
bersamanya dan tampang puas dari cowok yang digandengnya. Benar-benar
membuatku ketar ketir. Dasar Ksatria! Ember banget sih!?
“Kak Yudha!!” sapa gadis itu kesal.
Aku berpura-pura tak mengerti. “Ha? Apa?” sahutku santai.
“Issh... Kak Yudha nih, jadian nggak
bilang-bilang!” gerutunya setelah mengambil tempat tepat dihadapanku.
Cowok yang duduk di sebelahnya, hanya terenyum penuh kemenangan. Aku
tatap dia dengan jengkel. Awas ya kamu Ksatria!!
“Siapa yang jadian sih. Orang Nggak ada yang jadian, kok.” Elakku seraya menyendok sekumpulan potongan buah dan mengunyahnya pelan.
“Nggak usah ngeles lagi laah... Langit udah bilang semuanya!” desaknya, masih dengan raut wajah kesal.
“Emang apa yang dia bilang!?” tanyaku dengan menekankan pada satu kata dan melirik pelakunya tajam.
“Kak
Yudha udah jadian sama Anggun kan!? Anaknya juragan gudeg yang jualan
di cafe rumah sakit. Iya kan!?” ungkapnya langsung. Sialan Ksatria,
rupanya dia masih dendam padaku, soal aku yang nggak ngasih dia traktiran karena udah jadian. Dasar adik nggak tau diuntung!
“Emang harus ya gue ngasih tau lo, kalau gue jadian atau nggak?” cibirku.
“Ya harus dong kak! Momen bahagia tuh harus dibagi-bagi sama orang lain, biar senengnya nambah!” balasnya.
“Bener banget tuh Ra.” Timpal Ksatria penuh penekanan.
“Apaan lo!? nggak usah ikut-ikutan deh...” gerutuku padanya.
Dia hanya tertawa kecil melihatku dipojokkan seperti ini.
“Sekarang
mau lo apa?” tanyaku pasrah. Wajahnya kembali ceria dan sebuah senyum
lebar yang mencurigakan terbit di sana. Dengan wajah berbinar meraka
saling pandang dan mengangguk bersamaan.
“Kita udah mutusin mau diaraktir apa.” Jawabnya ceria.
“Kita?” tanyaku tak mengerti. Jangan bilang kalau....
“Iya. Kita, bang. Gue sama dia.” Jawab kunyuk satu itu seraya memberikanku satu kedipan nakal. Dasar kurang asem!!
“Eh, nggak ada-nggak ada! Lo nggak termasuk! Enak aja lo, mau ikutan juga. Gue Cuma mau traktir Rara doang. Lo mah, males gue,” tolakku cepat.
“Yaah, bang. Lo mah tega bener sama adek sendiri.” Ujarnya sendu. Pura-pura dia! Aktingmu basi Ksatria, udah nggak mempan lagi!
“Laaah... Kok gitu kak!?” protes gadis itu cepat.
“Gue Cuma mau ngasih PJ sama lo doang. Kalau lo mau, kalau nggak ya udah.” Jawabku penuh kemenangan.
“Issh... Curang lo, Bang!” sahut Ksatria nggak terima.
“Bodo amat.” Kataku acuh.
“Jahara banget deh euy,” gerutunya kesal.
Aku hanya tersenyum penuh kemenangan ke arahnya.
“Ya udah deh Ra, kalau emang dia nggak
mau ngasih kita PJ. Mendingan kita pergi aja. Punya abang satu aja
perhitungan banget!” omelnya seraya mengajak gadis itu berlalu.
Laah... Kenapa dia ikutan pergi juga? Nggak jadi minta PJ apa ya? Baguslah. “Loh Ra, kok ikutan pergi juga?” iseng aku bertanya padanya.
“Kalau Cuma gue doang nggak asyik kak.” Jawabnya sendu.
“Terus kalian pada mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Kemana lagi, emang. Kalau di sini kita gagal, ya tinggal satu tempat lagi.” Jawab Ksatria ceria.
“Maksud lo?!” tanyaku ketar ketir.
“Ya ampun Bang. Lo nih, masa gitu aja nggak ngerti sih!?” ujarnya geram.
“Jangan bilang kalian....”
“Iya Bang! Kita mau minta jatah PJ ke kak Anggun aja! Lo sih kebangetan pelitnya.” Jawabnya penuh kemenangan.
“Ehh... Mau kemana lo!?” kataku seraya menarik mereka untuk duduk kembali.
“Apaan sih bang, lepasin!” rontanya.
“Nggak. Lo nih, kebangetan banget. Malu-maluin gue aja. Udah. Kalian pada pesen sana, ntar gue yang bayar.” Putusku kesal.
“Ikhlas nggak nih?” goda gadis itu dengan senyum lebar.
“Ikhlas... Ikhlas lahir bathin. Udah sana lo, pada pesen sana.” Usirku dengan nada putus asa.
Keduanya
langsung tersenyum penuh kemenangan, dan tanpa babibu lagi langsung
ngacir ke arah stan-stan penjual makanan yang ada di kantin. Sementara
mereka sibuk memilih menu. Aku duduk mencangkung dengan sesekali
menyendokkan kumpulan potongan buah ke dalam mulutku. Kesegaran
kombinasi buah dan segernya es sedikit membuatku sedikit lebih tenang.
Aku
mendesah pelan. Biarlah seperti ini, asal dia selalu ceria dan bahagia.
Diam-diam, aku tersenyum melihat perdebatan kecil mereka. Ternyata
pilihanku tak salah, dia memang terlihat lebih bahagia bersama gadis
itu, dan gadis itu ternyata tak selemah dugaanku.
Dia
benar-benar memperlakukan Ksatria layaknya orang biasa. Terkadang kalau
Ksatria kambuh penyakit manjanya, gadis itu akan langsung bilang.
“Lo nih Cuma sakit jantung, bukan cacat! Jadi, nggak usah manja deh.”
Tak
jarang aku juga mengkhawatirkan hubungan mereka, bagaimana kalau
seandainya salah satu dari mereka pergi? Akankah aku dapat melihat
senyum itu lagi? Aku berharap senyum itu masih tersisa di sana walau
sumbernya sudah tak lagi ada.
Lamunanku buyar oleh
kedatangan mereka yang heboh dengan berbagai jenis makanan yang ada di
baki yang mereka bawa. Busyet dah, mereka mau minta traktir apa mau
ngrampok dompetku, nih!? Banyak bener!!
“Heh, lo nih mau
minta traktir apa mau ngrampok gue, hah!?” tegurku saat melihat mereka
sudah nyaman di tempat duduknya masing-masing.
“Yaelah bang, sekali ini doang. Rada banyak nggak masalah, kan!?” jawab Ksatria dengan mimik bahagia.
“Iya,
kak. Lagian lo kan jadian buat yang pertama kali. Jadi, syukurannya
juga kudu rada gedean dikit, kak.” Sahut gadis itu dengan sebuah senyum
lebar.
Aku hanya memandang mereka penuh kekesalan. “Iya deh, terserah kalian aja.” Ujarku pasrah.
“Nah, gitu dong. Itu baru abang yang gue kenal!” kata Ksatria nggak penting.
Dasar!
Bisa aja dia. Giliran ada maunya aja, sibuk muji-muji gue. Giliran lagi
nyebelin, bener-bener bikin gondok. Tapi, tak apalah asal mereka tak
mengusik keuangan Anggun. Kasihan dia, udah keuntungan dari jualan gudeg
sedikit, nggak usah ditambah lagi dengan kerakusan mereka. Lagipula
melihatnya bahagia seperti ini, benar-benar melegakan.
&&&
Waktu,
memang selalu menjadi hal yang paling misterius di muka bumi ini. Ia
datang perlahan tanpa ada yang pernah menyadarinya. Ia menyusup ke dalam
relung kehidupan manusia dan menggerus secara perlahan masa yang dimiki
oleh seseorang. Terkadang kita tak menyadari kehadirannya, tiba-tiba
saja semua menjadi menakutkan kala kita menyadari bahwa waktu yang
menggerus masa hidup kita semakin menipis. Menyisakan gelisah dan rasa
was-was yang perlahan menggerogoti hati manusia.
Maka, tak
salah jika banyak penceramah yang sering mengatakan untuk tak
menyia-nyiakan waktu yang kita punya. Karena kita tak akan pernah tahu
kapan waktu yang kita miliki akan habis. Tak tersisa. Jika sudah begitu
hanya tinggal sesal yang tak berujung.
Demikian dengan
kisah perjalanan cinta sepasang kekasih yang dibatasi oleh waktu yang
setiap saat dapat berubah. Menjadi lebih singkat atau menjadi semakin
lama. Tak akan pernah ada yang tau. untuk itulah sebisa mungkin mereka
mengukir sebanyak-benyaknya kenangan indah bersama. Agar apabila batas
waktu yang telah ditetapkan itu datang, tak akan ada lagi sesal yang
tertinggal, yang tersisa hanyalah sebuah kenangan bahagia.
&&&
“Bagaimana dok? Apa saya masih mempunyai harapan untuk sembuh?”
“Harapan itu selalu ada. Hanya saja kau tinggal memilih untuk menjalani yang mana.”
“Memangnya ada berapa pilihan yang saya miliki, dok?”
“Ada
beberapa yang dapat kamu pilih. Salah satunya adalah yang sudah sering
saya bilang kepadamu. Operasi. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau
dapat sembuh.”
“Dokter kan tahu, kalau untuk yang satu
itu, keluarga saya tak memiliki dana yang cukup untuk melakukannya.
Apakah ada cara lain dok?”
“Ada, cara ini tak bisa sepenuhnya menghilangkannya. Hanya mengurangi jumlah sebarannya saja, dan memperlambat perkembangannya.”
“Cara apa itu dok?”
“Kemoterapi, dengan cara ini kita bisa memperlambat penyebarannya. Bagaimana?”
“Biayanya, dok?”
“Hal itu bisa kamu tanyakan pada bagian administrasi.”
“Baiklah, dok. Kalau begitu saya permisi. Terima kasih atas bantuan dokter selama ini.”
“Sama-sama. Ini resepnya, jangan lupa diminum teratur ya.”
###
Hari
ini, tak seperti biasanya. Aku tak menemani Ksatria untuk menemui
dokter Raka. Aku lebih memilih menemui pujaan hatiku, ketimbang
mendengarkan nasehat dokter Raka yang itu-itu saja. Lagi pula sekarang
dia sudah ada yang menemani. Siapa lagi kalau bukan Aura!?
“Hei, tumben sendiri. Mana Ksatria?” sapa seorang cewek dengan suaranya yang merdu. Semerdu burung murai.
Aku
tersenyum menyambut kedatangannya, dan memberikan kode agar dia mau
menemaniku mengobrol sebentar. “Ksatria ikut juga kok.” Jawabku singkat.
“Lha,
terus mana dia? Kok aku ndak ngeliat dia ya?” tanyanya dengan aksen
Jawa begitu kental sembari mencari-cari keberadaan Ksatria.
“Sekarang dia lagi di ruangannya dokter Raka. Biasalah, check up.” Jawabku sambil lalu.
“Ooh...” ujarnya dengan seulas senyum manis. “Laah... Kok kamu tumben nggak nemenin dia?”
“Sekarang mah udah ada yang nemenin.” Ujarku santai.
“Siapa?” kejarnya.
“Aura.
Kamu ingetkan, sama cewek yang pernah gue ceritain. Itu lho yang demen
banget ngejar-ngejar Ksatria?” ujarku mengingatkannya kembali tentang
Aura.
“Oh. Jadi, mereka sekarang udah jadian?” sahutnya antusias.
“Nggak tau juga gue.” jawabku, mengingat sesuatu yang terlupakan.
“Lho, kok bisa ndak tau tho? Bukannya kamu itu kakaknya?” tanyanya tak mengerti.
“Iya
sih. Tapi, tau sendiri lah, dia itu anaknya tertutup banget. Nggak mau
cerita kalau emang dia nggak mau cerita. Apalagi kalau soal cewek.”
Jawabku menjelaskan.
“Oh, begitu tho.” Ujarnya seraya menganggukkan kepalanya. “Oh ya, kamu tadi udah makan belum?”
“Belum sih. Ini tadi ke sini juga tujuannya mau minta makan.” Jawabku bercanda.
Dia
hanya tertawa kecil mendengar candaanku. “Ya sudah, tunggu di sini
sebentar ya. Aku tak ngambilin makan siang dulu buat kamu.” Katanya
seraya bangkit menuju stan gudeg tempat keluarganya mencari nafkah.
Sepeninggal
Anggun, datanglah sepasang sejoli dengan tampang kusut. Aku bisa
menebak kalau hasil yang mereka dengar tak begitu memuaskan. Haah...
Sampai kapan ya, Ksatria harus bertahan seperti ini?
“Lecek bener tampang lo? Gimana hasilnya?” tanyaku sambil lalu.
“Buruk.” Jawabnya singkat, wajahnya benar-benar masam. Alamat bukan berita baik nih.
“Seberapa buruk?” selidikku.
“Bener-bener buruk.” Katanya seraya menelungkupkan wajahnya di atas meja.
Aku
memandangnya tak mengerti, menunggu penjelasannya lebih lanjut. Tapi
kurasa ia tak akan mau menjelaskan apa-apa lagi. Jadi, kualihkan
pandanganku pada sebentuk wajah yang tak kalah suram dengannya. Aura.
“Emang apa yang dikatakan dokter Raka tadi?” tanyaku langsung.
Dia
terlihat menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaanku.
“Keadaannya semakin buruk. Dalam beberapa situasi bisa jadi lebih buruk
lagi. Secepatnya kita harus menemukan pendonor itu, kalau tidak.”
Jawabnya seraya menggelengkan kepalanya pasrah.
“Hei,
serius amat. Apa ada yang ndak beres?” sebentuk pertanyaan dari Anggun
memutus perbincangan singkat kami. Dia menaruh sepiring nasi rawon di
depanku, dan menarik kursi di sampingku. “Boleh aku tau ada apa?”
“Keadaannya Ksatria.” Kata Aura, singkat.
“Gimana keadaannya?” kejarnya dengan nada khawatir.
“Kita secepatnya harus mencari donor jantung untuknya. Kalau tidak.” Jawabku seraya mengangkat bahu. Pasrah.
Dia membekap mulutnya agar tak mengeluarkan seruan histeris. Kurasa dia mengerti untuk tidak membuat Ksatria merasa dikasihani.
“Gue ngerasa, seolah-olah besok gue bener-bener bakalan mati.” Sebuah pernyataan miris terlontar dari mulut Ksatria.
Aku getok kepanya pelan memakai garpu. “Jangan ngomong yang aneh-aneh.” Tegurku.
“Lagian, lo nih emang ngelakuin apaan sih? Sampai-sampai bisa drop kayak gitu?” tanya Aura sedikit kesal.
“Ada
deh. Ntar lo juga tau sendiri.” Jawabnya seraya memandang ke arah
deretan stan yang berjejer menawarkan berbagai menu olahan dari
nusantara.
“Apa itu ada hubungannya sama lo yang akhir-akhir ini sering pulang malem?” kejarku.
Dia
hanya diam membisu. “Hal konyol apa sih yang lo lakuin. Sampai-sampai
lo nggak merhatiin kondisi lo sendiri?” ujarku mulai memarahinya.
Akhir-akhir ini dia memang sering pulang terlambat. Kadang jam 8 malam
dia baru sampai di rumah. Aku juga sering melihatnya tak meminum
obatnya. Sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan?
“Jadi,
selama ini lo suka pulang telat, Lang?” tanya Aura terkejut. Dia hanya
mengangguk lemah. “Lo nih, udah tau kalau lo itu harus banyak-banyak
istirahat, malah kelayapan. Kalau lo ngedrop lagi kayak kemaren, siapa
coba yang repot!?” omelnya kesal.
“Jadi, selama ini lo
ngerasa direpotin sama gue!?” sentaknya ketus. Aku melihatnya menatap
gadis itu dengan pandangan yang membuat hatiku mencelos.
“Ksat. Tenang Ksat.” ujarku mencoba meredakan amarahnya.
“Gue nggak pernah bilang ya merasa direpotin sama lo.” kata Aura tegas.
“Bohong. Tadi itu apa!? Lo bilang sendiri, seolah-olah kalau gue sakit bakalan ngerepotin lo!” balasnya tajam.
“Gue nggak bilang gitu, Langit!” elak Aura.
“Alaah...
Intinya juga sama aja. Lo ngerasa direpotin sama gue. Ternyata selama
ini gue salah menilai lo. Lo nggak lebih dari mereka! Lo capek kan
deket-deket sama gue!? Kalau lo capek, bilang aja! Gue nggak keberatan
kok kalau lo emang mau pergi!” katanya tajam.
“Gue udah
pernah bilang. Gue beda sama mereka! Apa selama ini lo nggak percaya
sama gue!? Ternyata selama ini gue juga udah salah nilai lo. Gue ngerasa
akhir-akhir ini lo udah mulai bisa percaya sama gue, tapi apa
kenyataannya!? Gue salah!!” jawab Aura dengan suara bergetar.
“Ksat,
lo bisa tenang dikit nggak sih? Ini rumah sakit, bukan terminal!”
ujarku mencoba melerai perdebatan mereka. Anggun pun mencoba menenangkan
Aura yang kini sudah mulai terisak. Ku lihat Ksatria sudah dapat
mengontrol emosinya. Perlahan aku mendekatinya, mencoba meraihnya.
“Gue
emang orang yang ditakdirin Cuma bisa bikin repot orang lain. Sorry,
kalau omongan gue barusan nyakitin lo. Gue rasa keputusan yang udah gue
ambil dulu, salah. Sebaiknya emang lo nggak pernah jadi lebih deket sama
gue.” katanya lirih.
“Lang...”
“Gue tau,
gue ini Cuma sampah yang Cuma bisa ngotorin hidup lo. Gue manusia yang
nggak ada harapan. Bahkan berharap gue bahagia juga kayaknya berat
banget buat dikabulin sama Tuhan. Gue Cuma bisa nyakitin orang-orang
yang ada di sekitar gue. Emang lebih baik kalau gue nggak ada.”
“Lang!?”
“Makasih
buat semua perhatian yang udah lo kasih buat gue. Makasih juga buat
semua warna yang udah lo kasih dalam hidup gue. Gue nggak akan ngelupain
hal itu, gue bakal jaga baik-baik kenangan itu di hati gue. Sorry kalau
selama ini gue udah banyak nyakitin lo. Lo pantes ngedapetin
kebahagiaan yang lebih dari apa yang udah gue kasih buat lo.”
“Langiitt...”
“Bahkan
gue nggak pernah ngasih lo kebahagiaan. Gue Cuma ngasih luka ke lo.
Mulai sekarang, lebih baik kalau kita nggak usah ketemu lagi. Daripada
gue Cuma nambah-nambahin luka hati lo. Karena gue tau, gue Cuma bisa
nyakitin lo doang.” Ujar Ksatria lirih, aku dapat merasakan luka
disetiap kata yang dia lontarkan. Aku menatap matanya mencoba menelusuri
apa yang terpantul di dalam kedua manik hitam yang sekarang kehilangan
sinarnya.
“Ksat, lo nggak boleh ngomong gitu. Dia nggak
sama kayak mereka. Dia beda Ksat.” ujarku mencoba menarik lagi keyakinan
yang tadi sempat menghilang darinya.
“Maaf. Maafin
omongan gue barusan. Gue nggak bermaksud buat nyakitin lo Lang. Gue Cuma
nggak mau lo ngedrop lagi. Please, maafin gue. gue sadar apa yang gue
ucapin tadi salah, apa yang tadi gue bilang ngelukain hati lo. Tapi,
please... Maafin gue. Gue tadi Cuma kebawa emosi aja, Lang. Gue nggak
tau harus bertindak kayak gimana setelah denger kondisi lo dari dokter
Raka. Gue kaget Ksat, jujur gue belum siap. Please Langit, kasih gue
satu kesempatan lagi buat lebih deket sama lo. Gue janji gue nggak akan
ngeluh lagi kayak tadi. Please, maafin gue.” kata Aura menghiba di sela
isakannya.
“Selamat tinggal.” Ujar Ksatria sebelum berlari meninggalkan kami semua dalam sebuah keterpanaan.
“LANGIT!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar