Kamis, 11 Oktober 2012

colour of sky 8

そら の いろ



Aku sedang menikmati semangkuk soto ayam ketika tak sengaja mendengar percakapan dua orang siswa di dekat meja tempat ku makan. Sebenarnya aku tak begitu suka menguping, tapi topik yang mereka bahas benar-benar menarik perhatianku.

“Eh, lo tau nggak, tadi gue denger ada yang berantem di belakang aula,” kata salah seorang dari mereka, ku rasa yang berbicara tadi adalah seorang cewek yang tengah menikmati semangkuk mie ayam.

“Oh ya? Lo tau dari mana?” tanya temannya.

“Dari anak kelas sebelah. Katanya dia tadi liat Raka and the gank ngebawa anak kelas X gitu ke belakang aula.” Jawab penikmat mie ayam antusias.

“Terus?” kejar temannya.

“Ya lo tau sendiri lah, kalau Raka udah bawa orang ke sana pasti ngapain? Nggak jauh-jauh dari kata berantem. Apa lagi kali ini gue denger gara-gara masalah cewek,” imbuhnya bersemangat.

“Yang bener lo!?” ujar temanya kaget.

“Serius. Lo tau Aura dari kelas XI IPA 4 kan?”

“Anak PMR itu kan? Yang kata anak-anak cowok punya senyum paling manis?” tanya temannya meminta kepastian.

Aku tersenyum geli mendengar mereka bergosip. Dan ternyata bukan Cuma aku aja yang bilang kalau senyum cewek itu manis.

“Ya, Aura yang itu. Nah, yang gue denger nih ya mereka pada ngerebutin tuh cewek.” Cewek penikmat mie ayam itu benar-benar penggossip handal. Aku benar-benar dibuat tertarik oleh pembicaraan mereka. Ku santap soto ayamku pelan-pelan, aku tak mau ketinggalan satu berita pun dari mereka.

“Terus, lo tau nggak siapa anak kelas X itu?” tanya temannya ingin tahu.

“Maksud lo orang yang di bawa Raka ke sana? Yang diajak berantem?” ujar si penggossip memastikan.

“Iya, siapa?”

“Kata yang gue denger sih, cowok kelas X yang kemana-mana bawa gitar itu lho. Lo tau siapa dia?” jawab penikmat mie ayam itu tak yakin.

Apa!? Aku tak salah dengar kan!? Hampir saja aku tersedak, karena mendengar perkataan mereka.

“Maksud lo si Ksatria bergitar!?”

“Iya, dia!!” jawab yang lain pasti.

Braak...

Aku menggebrak meja dengan keras saat mendengar ucapan terakhir dari pembicaraan mereka. Ku abaikan tatapan heran dan terkejut dari beberapa siswa yang sedang menikmati makan siang mereka. Nggak mungkin! Aku pasti salah dengar. Itu pasti bukan Ksatria yang aku kenal. Ku mohon jangan dia. Tapi, mengingat langkanya pemilik nama Ksatria dan hanya ada satu anak kelas X yang selalu membawa gitar kemana-mana. Sudah bisa dipastikan kalau dia memang Cahya Ksatria Langit, yang notabene adalah adik kesayangku.

Kalau benar Ksatria Langit yang mereka maksud, ini benar-benar gawat. Ku mohon Tuhan, semoga bukan dia. Jangan biarkan dia terluka, yang terpenting, jangan ambil dia sekarang ya Tuhan. Aku belum sempat meminta maaf padanya.
Tanpa memperdulikan orang-orang yang ku tabrak, aku berlari memacu kakiku agar segera sampai ke tempat tujuan.
Dengan napas tersengal, ku cari-cari keberadaan Ksatria. Hampir putus asa aku mencarinya ketika mataku tak sengaja melihat sepasang kaki tersembul dari balik tembok. Dengan perasaan campur aduk, aku hampiri tempat itu dan terkejut dengan apa yang kulihat di sana. Ksatria, tergolek lemah tak sadarkan diri, dengan salah satu tangannya memegang bagian kiri dadanya.

Oh tidak, jangan bilang dia. “Ksat... Ksat... Bangun Ksat. Ksatria. Bangun, Ksat.” Kataku dengan suara bergetar menyadarkannya. Berkali-kali kugoyangkan tubuhnya namun tak ada reaksi yang terjadi.

Ku dekatkan salah satu jariku ke hidungnya, ku rasakan hembusan samar napasnya. Benar-benar pelan. Syukurlah. Dengan tergesa aku bopong tubuhnya, berlari melintasi halaman yang luas. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kalau tidak? Berkali-kali aku menggelengkan kepala, menyingkirkan bayangan buruk yang tiba-tiba muncul di benakku. Tidak. Jangan sekarang. Jangan samapai terjadi!

“Lo harus kuat Ksat, lo harus bertahan. Demi gue, demi mama, dan demi sebuah senyum seseorang yang sayang sama lo. Lo harus kuat Ksat. Lo nggak boeh pergi dulu,” bisikku padanya, lirih.

Aku tak sempat meminta izin pada guru piket. Ku rasa mereka sudah tahu kalau aku bergegas membawanya seperti ini, pasti ada masalah dengannya. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tak henti-hentinya aku memanjatkan doa, meminta agar Tuhan menyelamatkan Ksatria, sekali lagi. Jangan ambil dia sekarang ya Tuhan. Ku mohon.

&&&

Aura sedang menikmati sebuah novel remaja saat Mega menghampirinya dengan langkah tergesa. Dengan napas terengah ia mencoba mengabarkan berita paling gress yang baru saja ia dengar. “Ra, gawat Ra,” katanya terengah.

Aura mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. “Gawat kenapa?” tanya Aura datar.

“Ksatria Ra. Ksatria!” ujar Mega, panik.

Aura tersentak begitu mendengar satu nama yang disebutkan sahabatnya. “Ksatria?! Kenapa dia!? Dia kenapa, Ga!?” tanya Aura ikut panik.

“Dia tadi abis berantem sama Raka di belakang aula!” seru Mega, terengah. Napasnya belum begitu teratur setelah berlari dari kantin ke kelas.

“Hah!? Yang bener lo?! Terus di mana dia sekarang?” tanya Aura seraya bangkit dari duduknya.

“Gue nggak tau, tadi waktu gue ke sini gue liat kak Yudha bawa dia pergi.” Jawab Mega tak yakin.

“Hah!? Pergi!? Ke mana?” seru Aura panik, wajah khawatrinya benar-benar tampak jelas.

“Gue nggak tau, tapi kata anak-anak, kak Yudha panik banget, wajahnya aja keliatan banget khawatir. Apa lagi si Ksatria, ada yang bilang mukanya pucet banget.” Jawab Mega hati-hati, ia tak ingin menambah kepanikan sahabatnya.

“Yang bener lo!? Gue harus pergi sekarang,” seru Aura seraya hendak berlari ke luar kelas. Tapi tindakannya tersebut dicegah oleh sahabatnya.

“Lo mau kemana?” tanya Mega tajam.

“Gue harus cepet-cepet nyusulin mereka Ga. Gue harus tau kondisi Ksatria sekarang. Gue khawatir banget kalau dia sampai kenapa-napa.” Jawab Aura dengan suara bergetar.

“Lo boleh panik, tapi lo juga harus tenang Ra. Kalau lo mau tau kondisinya gimana, nggak sekarang. Kita kan belum tau dia di bawa ke mana sama kak Yudha,” jelas Mega lembut.

“Tapi Ga, gue khawatir banget.” Balas Aura lirih.

“Gue tau, tapi kita harus sabar. Kita tunggu kabar dari kak Yudha aja.” Ujar Mega menenangkan.

“Ta... Tapi...” lagi-lagi protes keluar dari bibir Aura.

“Sekarang yang harus kita lakuin adalah berdoa. Semoga Ksatria nggak kenapa-napa, ya?” ajak Mega lembut.

Aura hanya mengangguk lemah, walau raut khawatir masih membayangi wajahnya. Tapi sekarang dia jauh lebih tenang. Berkali-kali ia cek handphonenya, berharap ada satu pesan singkat yang memberinya kabar kalau Ksatria baik-baik saja, atau sebuah panggilan yang berisi kabar serupa. Namun, handphone keluaran terbaru itu seolah berubah menjadi benda tak berfungsi. Diam, membisu.

Sampai jauh malam kabar yang ia nanti-nantikan tak juga datang. Ia begitu panik sehingga lupa kalau dia menyimpan nomor hape Yudha. Ia hanya berharap dihubungi tanpa dia harus repot-repot menghubungi. Berkali kali ia balikkan tubuhnya di ranjangnya yang empuk. Matanya dari tadi enggan terpejam, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Sudah hampir tengah malam, tapi dia belum mengantuk juga.

Sudah ia coba berbagai cara agar ia cepat mengantuk, namun dari sekian banyak cara itu, tak ada satu pun yang berhasil membuatnya terpejam. Pikirannya benar-benar kalut, dipenuhi oleh tanya seputar keadaan orang yang sekarang dapat dengan tegas ia katakan kalau ia menyayanginya. Saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.30 WIB, baru matanya dapat terpejam, itupun setelah ia bertekad untuk mendatangi rumah Yudha keesokan harinya.

&&&

Pagi ini tidak seperti pagi pada biasanya. Awan hitam telah bergelayut di atas langit, membuat udara pagi menjadi lebih dingin dari biasanya. Gadis itu merapatkan jaket berwarna biru yang ia kenakan, berharap dapat sedikit menghangatkan badanya yang serasa membeku. Langkahnya tergesa menyusuri sebuah trotoar. Pagi ini dia memutuskan untuk membolos demi sebuah kabar yang sangat ia nantikan.

Rintik hujan sudah mulai turun, walau tidak deras namun cukup untuk membuatnya basah. Bergegas ia melangkahkan kakinya saat halaman rumah yang ia tuju sudah terlihat. Lampu jalan yang menerangi bagian depan rumah itu masih menyala. Samar terlihat cahaya suram dari ruang tamu rumah itu menandakan penghuni rumah sudah bangun untuk beraktivitas.

Langkahnya semakin cepat seiring dengan semakin derasnya hujan yang turun di pagi ini. Setelah menghela napas sebentar, dan mengaturnya. Ia ketok pintu rumah itu pelan. Tak ada sahutan dari dalam. Ia ulangi lagi, kali ini lebih keras. Terdengar suara seorang wanita yang menyahut dari dalam.

“Ya, tunggu sebentar!”

Ia kembali mencoba merapatkan jaketnya yang sedikit basah terkena air hujan. Dinginnya udara pagi ini begitu menusuk tulang, walau ia telah mencoba untuk menghangatkannya dengan cara meniup udara ke telapak tangannya dan menggosokannya, namun dingin itu tak jua berkurang. Sedangkan hujan sudah semakin deras, tampak kilatan di langit utara. Sepertinya hujan ini tak akan sebentar.

Terdengar bunyi kunci yang diputar, tak lama pintu itu pun terbuka memperlihatkan suasana kamar tamu yang cukup rapi dan terlihat sangat hangat. Seorang wanita paruh baya, tersenyum ke arahnya. Pandangan meneliti dan mengenali tampak jelas di wajahnya.

“Nyari siapa ya dek?” tanya wanita paruh baya itu ramah.

“Em... Kak Yudhanya ada tante?” jawabnya dengan suara bergetar, karena dingin yang ia rasakan.

“Oh, Yudhanya lagi nggak ada.” Jawab wanita itu berat.

Gadis itu menghela napas berat, ia mencoba tersenyum ke arah wanita itu. “Oh... Kalau saya boleh tau, kak Yudhanya kemana ya Tan?” tanyanya lagi.

“Mendingan kamu sekarang masuk dulu deh. Di luar dingin.” Ajak wanita paruh baya itu seraya membuka daun pintu lebih lebar agar Aura dapat melangkah masuk.

“Makasih tante,” ujarnya senang.

“Duduk aja dulu, tante buatkan kamu teh hangat sebentar,” kata tante Ira-mamanya Yudha-dengan seulas senyum manis.

Beliau melangkah ke bagian rumah yang lebih dalam.

Aura melepaskan jaket yang sedari tadi dipakainya, udara di ruang tamu ini lebih hangat, jadi dia sudah tak perlu memakainya lagi. Ia gosokkan kedua telapak tangannya, mencoba menghangatkan badannya. Pandangannya menyapu ke seluruh ruang tamu itu. Waktu ia pertama kali ke sini dia tak begitu memperhatikan detailnya.

Di salah satu dinding terdapat sebuah jam dinding berbentuk matahari, tak jauh dari sana frame-frame photo dipajang berjejer, memperlihatkan dua orang anak laki-laki yang ceria dan penuh senyum dengan berbagai ekspresi. Ada satu photo yang menarik baginya. Sebuah photo yang diambil saat kedua anak laki-laki itu masih kecil, tampak dalam photo itu sebuah potret keluarga bahagia. Seorang lelaki paruh baya menggendong seseorang yang dikenalinya sebagai Ksatria, dan seorang anak laki-laki yang agak besar sedang tersenyum dengan membuat tanda peace, ddan seorang wanita yang tampak anggun dengan balutan kebaya yang sudah dimodifikasi.

Satu hal yang membuatnya bertanya-tanya adalah, setelah satu photo tersebut ia tak menemukan photo-photo lain yang memuat keempat anggota keluarga tersebut. Frame-frame selanjutnya hanya mengisahkan perjalanan hidup dari kedua anak lelaki itu. Sedang asyiknya dia mengamati photo-photo itu satu persatu, ia dikejutkan oleh kedatangan tante Ira.

“Maaf ya lama, soalnya tadi tante matiin kompor dulu,” ujar tante Iras eraya meletakkan dua cangkir teh panas di meja, tak lupa ia juga menyuguhkan beberapa potong pisang goreng sebagai teman ngobrol.

“Oh, nggak pa-pa kok tante,” sahut Aura ramah.

“Eh, iya kamu tadi nyariin Yudha ya? Ada perlu sama Yudha?” tanya tante Ira setelah mempersilahkan Aura untuk meminum teh panas tersebut agar badannya lebih hangat.

“Iya tante. Kak Yudhanya ke mana ya?” jawabnya setelah meminum teh panas itu beberapa teguk.

“Yudha lagi di rumah sakit,” jawab tante Ira sendu. Tampak raut kesedihan membayang di sana.

“Memangnya siapa yang sakit tante?” tanya Aura menyelidik.

“Itu si Ksatria, kemarin masuk rumah sakit lagi.” Ujar tante Ira sedih.

“Kalau boleh saya tahu, Ksatria sakit apa ya, tan?” tanya Aura hati-hati.

Tante Ira hanya tersenyum tipis, raut kesedihan di wajahnya semakin jelas. Ada sedikit keraguan yang membayang di wajahnya, seperti enggan untuk menceritakan lebih lanjut perihal sakit yang diderita Ksatria.

“Tan... Tante...” panggil Aura pelan, mengembalikan kesadaran tante Ira.

“Ah... Maaf, tante jadi ngelamun sendiri. Oh iya, itu pisang gorengnya sambil dicicip, keburu dingin nanti. Maaf ya, tante
Cuma bisa ngasih pisang goreng aja.” Kata Tante Ira mencoba kembali ke topik permasalahan.

“Iya tante,” jawab Aura denan mencomot satu iris pisang goreng dan menggitnya perlahan.

“Kalau boleh tante tau. Sudah lama kamu kenal dengan Yudha?” tanya tante Ira dengan senyum lebar.

“Lumayan tante. Kak Yudha kan kakak kelas saya. Tapi, saya baru dekat dengannya juga belum lama. Sebelumnya saya hanya sebatas mengenal namanya saja.” Jawab Aura manis.

“Oh... Kalau Ksatria?” tanya tante Ira hati-hati.

Aura menarik napas sejenak, ia tundukan wajahnya menyembunyikan raut kemerahan yang membayang samar di wajahnya. “Belum lama tante,” jawabnya singkat.

“Menurut kamu Ksatria anaknya gimana?” tanya tante Ira dengan sebuah senyum manis.

“Maksud tante?” tanya Aura tak mengerti.

“Selama kamu kenal dia, ada yang aneh nggak dengan dia? Tante khawatir anak itu tidak bisa dekat dengan orang lain. Selama ini dia kan ngambil home schooling.” Jawabnya khawatir.

“Ah... Dia baik kok tan,” jawab Aura dengan seulas senyum. “Ehm, tante, kalau boleh saya tau, sebenarnya Ksatria sakit apa ya, tan?” lanjutnya hati-hati.

Tante Ira lagi-lagi menarik napas panjang. “Dia itu sakit...”

Sebuah deru motor yang memasuki halaman menghentikan ucapan tante Ira. Nampak kelegaan di wajahnya. “Sepertinya itu Yudha sudah pulang, sebentar ya.” Ujar tante Ira yang bergegas keluar rumah.

Hujan sudah mulai berhenti hanya menyisakan gerimis kecil-kecil. Alam menjadi basah karenanya, pohon-pohon terlihat lebih hijau, genangan air pun tampak mengkiasi beberapa bagian jalan. Belum banyak orang yang berlalu-lalang di jalan. Mungkin mereka masih lebih memilih duduk santai di rumah dengan menikmati secangkir kopi panas ketimbang harus berbasah-basahan di luar.

Aura melirik jam yang menempel di dinding. Pukul 07.15 WIB. Ternyata sudah hampir setengah jam dia berada di rumah ini. waktu begitu cepat bergulir kala kita menginginkannya berjalan lambat. Ia duduk dengan gelisah, berkali-kali ia melirik ruang tengah yang dipisahkan oleh sebuah tirai bergambar burung bangau.

Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia teguk teh manis yang sudah mulai mendingin. Dia benar-benar sudah tak sabar ingin mendengar berita yang dibawa Yudha. Pandangannya kembali menelusi photo demi photo yang ada dinding. Ia berhenti pada sebuah photo yang tadi luput dari perhatiannya. Di photo itu, tampak seorang anak laki-laki sebayanya yang sedang tersenyum lebar ke arah kamera dengan menenteng sebuah gitar akustik. Wajah anak itu benar-benar tampak bahagia, tidak seperti orang yang ia kenal akhir-akhir ini. Di sana tak tampak raut kesedihan maupun kesakitan, hanya seorang anak laki-laki polos yang bahagia.

“Sudah lama ya?”

Sebuah tanya kembali menyentakkannya ke alam kesadaran. Ia berikan sebuah senyum penuh kelegaan kala melihat siapa orang yang bertanya. Ia menganggukkan kepalanya dengan mantap.

“Maaf ya, tadi hujannya deras banget sih, jadi repot mau pulang.” Jelas Yudha singkat. “Ada perlu apa sama gue? Pagi-pagi gini udah ke sini aja?”

“Emm...” sebelum menjawab ia basahi kerongkongannya yang terasa kering dengan beberapa teguk teh manis. “Kemarin gue denger Ksatria berantem sama Raka. Dia nggak kenapa-napa kan kak?” tanya Aura menyelidik, nada khawatir membayang di suaranya.

Yudha menghela napas sejenak, memandang keseluruhan raga gadis yang kini tengah menatapnya dengan penuh tanya dan khawatir. Samar terlihat llingkaran hitam di bawah kelopak matanya. Menandakan ia tak tidur dengan nyenyak semalam, dan melihat penampilannya saat ini dapat ia simpulkan dengan pasti kalau gadis ini pergi ke sini dengan terburu-buru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar