Jumat, 12 Oktober 2012

colour of sky 11

そら の いろ



 “Gue serius Ra. Dan gue nggak mencoba buat ngeduluin kuasa Tuhan. Ksatria udah divonis nggak akan bisa bertahan lewat dari 20 tahun.” Jawabku tegas.

Aku melihatnya mendekap mulut tanda tak percaya. “Lo bercanda kan?! Dari mana lo bisa ngomong gitu!? Sedangkan umur manusia itu salah satu rahasia Illahi!” katanya keras.

“Waktu kecil Ksatria suka banget main bola, sampai dia berumur 5 tahun nggak ada tanda-tanda kelainan pada tubuhnya. Tapi, waktu dia udah mulai masuk SD, sekolahnya ngadain pertandingan persahabatan. Dia ikut andil masuk ke tim futsal yang emang khusus buat pemula. Gue inget banget waktu itu dia begitu semangat menggiring bola ke sana ke mari, sampai di tengah pertandingan dia pingsan karena sesak napas.” Sampai di sini aku berhenti untuk menarik napas sejenak. Ku tatap gadis di sebelahku yang kini tengah mendengarkan ceritaku dengan tekun.

“Dia pingsannya lama, sampai-sampai kami harus membawanya ke rumah sakit. Setelah diperiksa, barulah kami tau kalau jantungnya ada kelainan. Aku yang waktu itu masih kecil nggak tau kelainan apa itu. Tapi yang jelas kalau Ksatria terlalu menguras energinya untuk olah fisik dia pasti langsung drop. Sampai pernah waktu itu dia harus dioperasi karena udah gawat banget. Dari sanalah kami tau kalau umur Ksatria udah ditetapkan akhirnya. Dia nggak akan bisa bertahan sampai melewati 20 tahun. Ketetapan itu bisa saja berubah lebih cepat kalau dia melakukan suatu kesalahan fatal.” Lagi-lagi aku menghela napas sejenak.

“Sejak Ksatria tahu umurnya tak panjang, dia minta pada kami untuk pergi jauh dari tempat asal kami, meninggalkan seluruh keluarga besar kami di sana. Alasannya berbuat seperti itu karena dia nggak ingin membuat semua orang mengasihaninya. Dia paling nggak suka dikasihani. Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di Bogor yang mana di sini kami tak memiliki sanak saudara.” Kataku mengakhiri kisah hidup Ksatria.

“Jadi, alasannya buat home schooling itu...?” tanya Aura ragu.

“Ya, dia nggak mau berinteraksi dengan orang lain, sebisa mungkin dia menghindari untuk terlibat dengan orang lain. Baginya, bergaul dengan lebih banyak orang lain, Cuma akan menyisakan banyak luka di hati mereka.” Jawabku pasti.

“Tapi kenapa dia harus menghindari gue juga kak!?” tanyanya tajam. “Gue nggak mempermasalahkan kondisinya dia yang kayak gimana. Gue Cuma pengen satu hal, gue Cuma pengen jadi lebih deket sama dia. Jadi temennya aja gue udah seneng kak. Jujur, gue masih nggak percaya sama yang lo bilang tentang umurnya yang nggak bisa ngelewatin 20 tahun. Gue yakin kalau Tuhan udah berkehendak pasti dia bisa ngelewatin umur itu.” Lanjutnya dengan suara bergetar.

“Memang ada kemungkinan dia melewati umur 20 tahun. Tapi Cuma dengan satu kondisi. Dia harus segera mendapatkan transplantasi jantung sebelum umur 20 tahun.” Jawabku tegas.

“Berarti masih ada kemungkinan dia hidup lebih lama kan!? Kalau gitu sama aja masih ada harapan!” simpulnya cepat.

“Ya, memang masih ada harapan, tapi kecil. Sejak dia terdaftar sebagai penerima donor pada saat dia berumur 10 tahun. Sejak saat itu sampai sekarang kabar baik itu belum juga muncul.” Sambung Yudha lirih. “Apa lagi kondisinya sekarang sudah jauh berbeda dari yang dulu.”

“Gue tetep yakin, dia pasti berumur panjang. Walau kecil itu juga harapan kak! Lo jangan pesimis gitu dong!” ujarnya tegas sebelum bangkit dari duduknya. “Kasih tau gue dia di kamar nomer berapa!?”

“506.” Jawabku singkat. Setelah mendengar jawabanku dia berlari memasuki lobby rumah sakit. Aku memandangnya takjub, aku tak menyangka reaksinya akan menjadi seperti ini. Ternyata dia tak selemah yang kubayangkan. Ku rasa aku bisa bernapas lega sekarang.

@@@

Waktu seakan berjalan begitu lambat hari ini. Setelah bosan dengan tayangan infotaimen yang menayangkan hal yang sama berulang kali. Aku memutuskan untuk sedikit menghirup udara segar. Aku melangkah menuju sebuah beranda kecil yang terletak di belakang kamarku, beranda itu mengarah ke sebuah taman dengan pemandangan khasnya. Bermacam jenis bunga yang tumbuh berdesakan dengan rumput Jepang yang tertata rapi. Aku menghembuskan napas panjang.

Menunggu, terkadang menjadi sesuatu yang begitu membosankan. Terlebih lagi dalam kasusku. Menungggu sebuah reaksi yang sewaktu-waktu dapat membuatku terpuruk. Kemungkinannya hanya dua. Tersakiti atau menyakiti. Ku harap bukan keduanya.

Krieet....

Suara derit pintu yang terbuka menyentakkan kesadaranku. Terdengar samar helaan napas di belakangku. Badanku menegang, kaku tak bergerak. Entah sejak kapan aku menahan napas. Sengaja aku tak berbalik, aku belum siap, bahkan ketika sebuah kenyataan sudah berada tepat di depan mata.

Lima menit berlalu tanpa sebuah pembicaraan. Ku rasa kami memang membutuhkan itu. Saling menerka reaksi masing-masing. Aku menunggunya bicara dan aku yakin dia juga menungguku untuk bicara. Tapi, apa yang harus kumulai!? Aku di sini hanya menunggu, menunggu reaaksinya atas sebuah kenyataan yang baru saja ia dengar.

“Kenapa kamu diem aja?” sebuah pertanyaan yang menggantung di udara.

Aku menarik napas sejenak. “Nggak ada yang perlu aku jelasin lagi.” Jawabku mencoba mengimbanginya dengan ber-aku kamu.

“Nggak ada!?” katanya mencibir, nada kekesalan terdengar jelas di sana.

“Kamu udah tau semuanya, kan?” kataku datar. “Apa yang kamu denger dari abang. Semua itu benar.”

Hening kembali merayap di antara kami.

“Pertanyaanku masih sama. Apa maksudmu menghindariku?” tanyanya langsung.

“Kamu udah denger, kan. Apa yang dibilang bang Yudha?” ujarku balik bertanya.

“Aku mau denger langsung dari kamu!?” tegasnya.

Aku mendongak, menatap langit tak bermega di atas sana. Warna birunya benar-benar membuatku damai. Ku hela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. “Jawabanku sama. Aku nggak mau bikin kamu kecewa. Aku nggak mau kamu menderita karenaku.” Jawabku tegas.

“Kecewa!? Menderita!? Lo tau apa tentang semua itu!?” sentaknya tak lagi ber-aku kamu. “Lo tau, dengan lo nyoba ngehindarin gue tanpa alasan dan bahkan bersikap anti pati ke gue, semua itu yang bikin gue kecewa dan sakit hati, ketimbang harus mendengar kenyataan pahit tentangmu dari orang lain. Gue bener-bener kecewa sama lo. Kenapa sih lo nggak nyoba buat percaya sama gue!? Lo bahkan ngehindarin gue tanpa mau tau gimana perasaan gue ke lo!?”

“Apa lagi yang harus gue tau!? Asal lo tau, bukan lo orang pertama yang ngejar-ngejar gue. Bukan lo orang yang pertama tau kenyataan pahit tentang gue.” jawabku dengan nada naik beberapa oktaf. “Apa lo tau gimana reaksi mereka waktu tahu semua kenyataan pahit itu!? Mereka berubah, perlahan tapi pasti mereka pergi ninggalin gue dan nganggep gue Cuma seseorang yang perlu dikasihani. Seseorang tanpa harapan. Menyedihkan.” Lanjutku miris.

“Apa bedanya dengan sekarang!? Lo juga pasti ngelakuin hal yang sama kayak mereka! Simpati diawal, baik di luar tapi busuk di dalam. Mereka ngira gue nggak tau apa kalau mereka dalam hati pada ngerendahin gue!? Ngomongin gue kalau gue ini manusia tak berguna yang sebaiknya cepet mati daripada bikin semua orang menderita karena gue, mungkin mereka nggak tahan terus-terusan ngebaikin gue, ngasihani gue, ngomongin harapan kosong di depan gue, hingga mereka lama kelamaan mulai ngejauhin gue.” aku mnegehela napas sejenak, menetralkan degup jantungku yang perlahan berdetak semakin cepat. “Gue nggak mau semua itu terjadi lagi. Makanya selama ini gue mati-matian berusaha ngehindarin lo. Lo nggak tau kan gimana rasanya hidup dari belas kasihan orang lain!? Hidup dari kebaikan orang lain!? Bener-bener menyedihkan! Emang mereka pikir dengan begitu gue jadi seneng apa!? Nggak! Gue muak! Gue jijik! Kalau gue boleh milih, mendingan gue cepet mati ketimbang harus hidup lebih lama lagi di bawah bayang-bayang rasa kasihan mereka. Apa salah gue ke meraka!? Sampai mereka tega ngelakuin hal itu ke gue. Apa mau gue, gue punya umur pendek!?” jelasku panjang lebar mengungkapkan semua kekesalanku padanya.

Aku tahu kalau sikapku ini salah. Dia hanya orang baru yang mencoba menerobos benteng pertahananku. Dia nggak tau apa-apa tentang masa laluku. Masa di mana aku harus menjalani hidup dari belas kasihan orang lain. Tak seharusnya aku berbuat begini padanya. Karena aku tau, dia berbeda dengan mereka.

“Mungkin gue emang bukan yang pertama ngejar-ngejar lo. Gue juga bukan orang pertama yang tau tentang kenyataan pahit yang harus lo hadepin. Tapi gue akan mencoba jadi orang pertama yang nggak akan lari dari lo. Walau gue tau kenyataan yang bakal gue hadapi berat. Tapi gue yakin, kalau gue bisa ngadepin itu semua, asal lo mau ngebiarin ue ada di sekitar lo. Asal lo tau, gue nggak sama kayak mereka.” Jawabnya lirih.

“Sekarang lo boleh bilang kayak gitu, bilang kalau lo nggak akan ninggalin gue, tapi lo nggak tau kan ke depannya lo bakal tetep bisa ngomong gitu apa nggak!? Gue Cuma nggak mau berharap terlalu banyak. Satu hal yang pasti, cepat atau lambat lo bakal terluka karena gue. Menderita karena gue,” kataku tak kalah lirih.

“Terluka!? Karena apa!? Kalau lo nggak berbuat sesuatu yang bisa bikin gue kecewa, gue yakin gue akan baik-baik aja.” Ujarnya mencoba meyakinkanku.

“Gue nggak bisa selamanya ada di samping lo!? suatu saat gue pasti bakal ninggalin lo,” ujarku keras.

“Setiap manusia yang lahir ke muka bumi pasti suatu saat akan pergi.” Jawabnya kalem.

“Tapi, gue bakal ninggalin lo lebih dulu.” Kataku sendu.

“Kita nggak akan pernah tau gimana jalannya takdir.” Jawabnya tenang.

“Gue bener-bener nggak ada harapan, Ra!” tegasku.

“Semua yang hidup pasti punya harapan. Walau itu kecil dan kelihatan nggak mungkin. Tapi, namanya tetep aja harapan, dan harapan pasti suatu saat bakal terwujud, walau kita nggak pernah tau dengan cara apa dia jadi kenyataan.” Jelasnya pelan.

Ku dengar langkahnya yang mencoba menghampiriku. “Gue bener-bener menyedihkan. Hidup gue singkat. Nggak ada yang bisa diharepin dari orang yang menyedihkan kayak gue. Gue Cuma bisa jadi beban buat lo. Gue Cuma bisa bikin lo menderita, bahkan Cuma karena lo kenal gue.” ujarku lirih. Ku tengadahkan wajahku, menjaga agar apa yang mendesak keluar tidak tertumpah.

Aku merasakan sentuhan lembut tangannya di bahuku. “Lihat gue,” katanya lirih, seraya membalikkan tubuhku. Kutatap dia dengan penuh kehampaan.

Dia cantik, gaun putih itu membuatnya semakin menarik di mataku. Dia meraih wajahku, menatap yakin ke dalam manik hitam milikku. Ada yang menghangat di dada kiriku. Perasaan ini dulu pernah kurasakan, saat ayah yang selalu berusaha menghiburku di kala aku sedang terpuruk. Saat aku mersakaan sebentuk kasih sayang dalam rengkuhannya. Sudah lama aku tak merasakan perasaan sehangat ini. Samar dia tersenyum ke arahku, aku mencoba membalas senyumnya, walau terasa kaku dan getir.

“Aku Cuma bisa bikin kamu menderita, menderita karena kehilangan yang disebabkan oleh kepergianku yang lebih dulu darimu,” desahku lirih.

“Menderita karena tak lagi bersamamu, lebih baik. Daripada aku harus menderita tanpa pernah bersamamu," jawabnya tegas dengan seulas senyum manis yang membuatku merasa dapat melewatkan sisa-sisa hidupku dengan bahagia, hanya dengan melihatnya.

Aku maraihnya ke dalam dekapanku, merasakan irama jantungnya yang berdetak cepat, secepat laju sepeda kala sedang berjalan menuruni bukit yang curam. Aku dapat merasakan hangat napasnya di dadaku. Aku yakin sekarang dia dapat mendengar detakan jantungku yang begitu kuat. Aku tak tahu apa yang mendorongku melakukan hal ini. Tapi, mendengarnya bicara seperti itu membuatku kembali berharap pada kemungkinan 0,01% yang selama ini kuragukan. Ku rasa dia memang berbeda, dia tak akan meninggalkanku seperti mereka yang yang telah mencampakkanku. Aah... Aku bersyukur karena Tuhan telah menakdirkan kami untuk bertemu. Mungkin jika dia tak menemukanku, sekarang aku masih mengeluhkan garis nasibku. Sendiri meratapi nasib, benar-benar salah satu ciri orang yang menyedihkan, dan selama ini aku hidup seperti itu, sebelum akhirnya dia menemukanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar