そら の いろ
“Gue serius Ra. Dan gue nggak mencoba buat ngeduluin kuasa
Tuhan. Ksatria udah divonis nggak akan bisa bertahan lewat dari 20
tahun.” Jawabku tegas.
Aku melihatnya mendekap mulut
tanda tak percaya. “Lo bercanda kan?! Dari mana lo bisa ngomong gitu!?
Sedangkan umur manusia itu salah satu rahasia Illahi!” katanya keras.
“Waktu
kecil Ksatria suka banget main bola, sampai dia berumur 5 tahun nggak
ada tanda-tanda kelainan pada tubuhnya. Tapi, waktu dia udah mulai masuk
SD, sekolahnya ngadain pertandingan persahabatan. Dia ikut andil masuk
ke tim futsal yang emang khusus buat pemula. Gue inget banget waktu itu
dia begitu semangat menggiring bola ke sana ke mari, sampai di tengah
pertandingan dia pingsan karena sesak napas.” Sampai di sini aku
berhenti untuk menarik napas sejenak. Ku tatap gadis di sebelahku yang
kini tengah mendengarkan ceritaku dengan tekun.
“Dia
pingsannya lama, sampai-sampai kami harus membawanya ke rumah sakit.
Setelah diperiksa, barulah kami tau kalau jantungnya ada kelainan. Aku
yang waktu itu masih kecil nggak tau kelainan apa itu. Tapi yang jelas
kalau Ksatria terlalu menguras energinya untuk olah fisik dia pasti
langsung drop. Sampai pernah waktu itu dia harus dioperasi karena udah
gawat banget. Dari sanalah kami tau kalau umur Ksatria udah ditetapkan
akhirnya. Dia nggak akan bisa bertahan sampai melewati 20 tahun.
Ketetapan itu bisa saja berubah lebih cepat kalau dia melakukan suatu
kesalahan fatal.” Lagi-lagi aku menghela napas sejenak.
“Sejak
Ksatria tahu umurnya tak panjang, dia minta pada kami untuk pergi jauh
dari tempat asal kami, meninggalkan seluruh keluarga besar kami di sana.
Alasannya berbuat seperti itu karena dia nggak ingin membuat semua
orang mengasihaninya. Dia paling nggak suka dikasihani. Akhirnya kami
memutuskan untuk tinggal di Bogor yang mana di sini kami tak memiliki
sanak saudara.” Kataku mengakhiri kisah hidup Ksatria.
“Jadi, alasannya buat home schooling itu...?” tanya Aura ragu.
“Ya,
dia nggak mau berinteraksi dengan orang lain, sebisa mungkin dia
menghindari untuk terlibat dengan orang lain. Baginya, bergaul dengan
lebih banyak orang lain, Cuma akan menyisakan banyak luka di hati
mereka.” Jawabku pasti.
“Tapi kenapa dia harus menghindari
gue juga kak!?” tanyanya tajam. “Gue nggak mempermasalahkan kondisinya
dia yang kayak gimana. Gue Cuma pengen satu hal, gue Cuma pengen jadi
lebih deket sama dia. Jadi temennya aja gue udah seneng kak. Jujur, gue
masih nggak percaya sama yang lo bilang tentang umurnya yang nggak bisa
ngelewatin 20 tahun. Gue yakin kalau Tuhan udah berkehendak pasti dia
bisa ngelewatin umur itu.” Lanjutnya dengan suara bergetar.
“Memang
ada kemungkinan dia melewati umur 20 tahun. Tapi Cuma dengan satu
kondisi. Dia harus segera mendapatkan transplantasi jantung sebelum umur
20 tahun.” Jawabku tegas.
“Berarti masih ada kemungkinan dia hidup lebih lama kan!? Kalau gitu sama aja masih ada harapan!” simpulnya cepat.
“Ya,
memang masih ada harapan, tapi kecil. Sejak dia terdaftar sebagai
penerima donor pada saat dia berumur 10 tahun. Sejak saat itu sampai
sekarang kabar baik itu belum juga muncul.” Sambung Yudha lirih. “Apa
lagi kondisinya sekarang sudah jauh berbeda dari yang dulu.”
“Gue
tetep yakin, dia pasti berumur panjang. Walau kecil itu juga harapan
kak! Lo jangan pesimis gitu dong!” ujarnya tegas sebelum bangkit dari
duduknya. “Kasih tau gue dia di kamar nomer berapa!?”
“506.”
Jawabku singkat. Setelah mendengar jawabanku dia berlari memasuki lobby
rumah sakit. Aku memandangnya takjub, aku tak menyangka reaksinya akan
menjadi seperti ini. Ternyata dia tak selemah yang kubayangkan. Ku rasa
aku bisa bernapas lega sekarang.
@@@
Waktu
seakan berjalan begitu lambat hari ini. Setelah bosan dengan tayangan
infotaimen yang menayangkan hal yang sama berulang kali. Aku memutuskan
untuk sedikit menghirup udara segar. Aku melangkah menuju sebuah beranda
kecil yang terletak di belakang kamarku, beranda itu mengarah ke sebuah
taman dengan pemandangan khasnya. Bermacam jenis bunga yang tumbuh
berdesakan dengan rumput Jepang yang tertata rapi. Aku menghembuskan
napas panjang.
Menunggu, terkadang menjadi sesuatu yang
begitu membosankan. Terlebih lagi dalam kasusku. Menungggu sebuah reaksi
yang sewaktu-waktu dapat membuatku terpuruk. Kemungkinannya hanya dua.
Tersakiti atau menyakiti. Ku harap bukan keduanya.
Krieet....
Suara
derit pintu yang terbuka menyentakkan kesadaranku. Terdengar samar
helaan napas di belakangku. Badanku menegang, kaku tak bergerak. Entah
sejak kapan aku menahan napas. Sengaja aku tak berbalik, aku belum siap,
bahkan ketika sebuah kenyataan sudah berada tepat di depan mata.
Lima
menit berlalu tanpa sebuah pembicaraan. Ku rasa kami memang membutuhkan
itu. Saling menerka reaksi masing-masing. Aku menunggunya bicara dan
aku yakin dia juga menungguku untuk bicara. Tapi, apa yang harus
kumulai!? Aku di sini hanya menunggu, menunggu reaaksinya atas sebuah
kenyataan yang baru saja ia dengar.
“Kenapa kamu diem aja?” sebuah pertanyaan yang menggantung di udara.
Aku menarik napas sejenak. “Nggak ada yang perlu aku jelasin lagi.” Jawabku mencoba mengimbanginya dengan ber-aku kamu.
“Nggak ada!?” katanya mencibir, nada kekesalan terdengar jelas di sana.
“Kamu udah tau semuanya, kan?” kataku datar. “Apa yang kamu denger dari abang. Semua itu benar.”
Hening kembali merayap di antara kami.
“Pertanyaanku masih sama. Apa maksudmu menghindariku?” tanyanya langsung.
“Kamu udah denger, kan. Apa yang dibilang bang Yudha?” ujarku balik bertanya.
“Aku mau denger langsung dari kamu!?” tegasnya.
Aku
mendongak, menatap langit tak bermega di atas sana. Warna birunya
benar-benar membuatku damai. Ku hela napas sejenak sebelum menjawab
pertanyaannya. “Jawabanku sama. Aku nggak mau bikin kamu kecewa. Aku
nggak mau kamu menderita karenaku.” Jawabku tegas.
“Kecewa!?
Menderita!? Lo tau apa tentang semua itu!?” sentaknya tak lagi ber-aku
kamu. “Lo tau, dengan lo nyoba ngehindarin gue tanpa alasan dan bahkan
bersikap anti pati ke gue, semua itu yang bikin gue kecewa dan sakit
hati, ketimbang harus mendengar kenyataan pahit tentangmu dari orang
lain. Gue bener-bener kecewa sama lo. Kenapa sih lo nggak nyoba buat
percaya sama gue!? Lo bahkan ngehindarin gue tanpa mau tau gimana
perasaan gue ke lo!?”
“Apa lagi yang harus gue tau!? Asal
lo tau, bukan lo orang pertama yang ngejar-ngejar gue. Bukan lo orang
yang pertama tau kenyataan pahit tentang gue.” jawabku dengan nada naik
beberapa oktaf. “Apa lo tau gimana reaksi mereka waktu tahu semua
kenyataan pahit itu!? Mereka berubah, perlahan tapi pasti mereka pergi
ninggalin gue dan nganggep gue Cuma seseorang yang perlu dikasihani.
Seseorang tanpa harapan. Menyedihkan.” Lanjutku miris.
“Apa
bedanya dengan sekarang!? Lo juga pasti ngelakuin hal yang sama kayak
mereka! Simpati diawal, baik di luar tapi busuk di dalam. Mereka ngira
gue nggak tau apa kalau mereka dalam hati pada ngerendahin gue!?
Ngomongin gue kalau gue ini manusia tak berguna yang sebaiknya cepet
mati daripada bikin semua orang menderita karena gue, mungkin mereka
nggak tahan terus-terusan ngebaikin gue, ngasihani gue, ngomongin
harapan kosong di depan gue, hingga mereka lama kelamaan mulai ngejauhin
gue.” aku mnegehela napas sejenak, menetralkan degup jantungku yang
perlahan berdetak semakin cepat. “Gue nggak mau semua itu terjadi lagi.
Makanya selama ini gue mati-matian berusaha ngehindarin lo. Lo nggak tau
kan gimana rasanya hidup dari belas kasihan orang lain!? Hidup dari
kebaikan orang lain!? Bener-bener menyedihkan! Emang mereka pikir dengan
begitu gue jadi seneng apa!? Nggak! Gue muak! Gue jijik! Kalau gue
boleh milih, mendingan gue cepet mati ketimbang harus hidup lebih lama
lagi di bawah bayang-bayang rasa kasihan mereka. Apa salah gue ke
meraka!? Sampai mereka tega ngelakuin hal itu ke gue. Apa mau gue, gue
punya umur pendek!?” jelasku panjang lebar mengungkapkan semua
kekesalanku padanya.
Aku tahu kalau sikapku ini salah. Dia
hanya orang baru yang mencoba menerobos benteng pertahananku. Dia nggak
tau apa-apa tentang masa laluku. Masa di mana aku harus menjalani hidup
dari belas kasihan orang lain. Tak seharusnya aku berbuat begini
padanya. Karena aku tau, dia berbeda dengan mereka.
“Mungkin
gue emang bukan yang pertama ngejar-ngejar lo. Gue juga bukan orang
pertama yang tau tentang kenyataan pahit yang harus lo hadepin. Tapi gue
akan mencoba jadi orang pertama yang nggak akan lari dari lo. Walau gue
tau kenyataan yang bakal gue hadapi berat. Tapi gue yakin, kalau gue
bisa ngadepin itu semua, asal lo mau ngebiarin ue ada di sekitar lo.
Asal lo tau, gue nggak sama kayak mereka.” Jawabnya lirih.
“Sekarang
lo boleh bilang kayak gitu, bilang kalau lo nggak akan ninggalin gue,
tapi lo nggak tau kan ke depannya lo bakal tetep bisa ngomong gitu apa
nggak!? Gue Cuma nggak mau berharap terlalu banyak. Satu hal yang pasti,
cepat atau lambat lo bakal terluka karena gue. Menderita karena gue,”
kataku tak kalah lirih.
“Terluka!? Karena apa!? Kalau lo
nggak berbuat sesuatu yang bisa bikin gue kecewa, gue yakin gue akan
baik-baik aja.” Ujarnya mencoba meyakinkanku.
“Gue nggak bisa selamanya ada di samping lo!? suatu saat gue pasti bakal ninggalin lo,” ujarku keras.
“Setiap manusia yang lahir ke muka bumi pasti suatu saat akan pergi.” Jawabnya kalem.
“Tapi, gue bakal ninggalin lo lebih dulu.” Kataku sendu.
“Kita nggak akan pernah tau gimana jalannya takdir.” Jawabnya tenang.
“Gue bener-bener nggak ada harapan, Ra!” tegasku.
“Semua
yang hidup pasti punya harapan. Walau itu kecil dan kelihatan nggak
mungkin. Tapi, namanya tetep aja harapan, dan harapan pasti suatu saat
bakal terwujud, walau kita nggak pernah tau dengan cara apa dia jadi
kenyataan.” Jelasnya pelan.
Ku dengar langkahnya yang
mencoba menghampiriku. “Gue bener-bener menyedihkan. Hidup gue singkat.
Nggak ada yang bisa diharepin dari orang yang menyedihkan kayak gue. Gue
Cuma bisa jadi beban buat lo. Gue Cuma bisa bikin lo menderita, bahkan
Cuma karena lo kenal gue.” ujarku lirih. Ku tengadahkan wajahku, menjaga
agar apa yang mendesak keluar tidak tertumpah.
Aku
merasakan sentuhan lembut tangannya di bahuku. “Lihat gue,” katanya
lirih, seraya membalikkan tubuhku. Kutatap dia dengan penuh kehampaan.
Dia
cantik, gaun putih itu membuatnya semakin menarik di mataku. Dia meraih
wajahku, menatap yakin ke dalam manik hitam milikku. Ada yang
menghangat di dada kiriku. Perasaan ini dulu pernah kurasakan, saat ayah
yang selalu berusaha menghiburku di kala aku sedang terpuruk. Saat aku
mersakaan sebentuk kasih sayang dalam rengkuhannya. Sudah lama aku tak
merasakan perasaan sehangat ini. Samar dia tersenyum ke arahku, aku
mencoba membalas senyumnya, walau terasa kaku dan getir.
“Aku
Cuma bisa bikin kamu menderita, menderita karena kehilangan yang
disebabkan oleh kepergianku yang lebih dulu darimu,” desahku lirih.
“Menderita
karena tak lagi bersamamu, lebih baik. Daripada aku harus menderita
tanpa pernah bersamamu," jawabnya tegas dengan seulas senyum manis yang
membuatku merasa dapat melewatkan sisa-sisa hidupku dengan bahagia,
hanya dengan melihatnya.
Aku maraihnya ke dalam dekapanku,
merasakan irama jantungnya yang berdetak cepat, secepat laju sepeda
kala sedang berjalan menuruni bukit yang curam. Aku dapat merasakan
hangat napasnya di dadaku. Aku yakin sekarang dia dapat mendengar
detakan jantungku yang begitu kuat. Aku tak tahu apa yang mendorongku
melakukan hal ini. Tapi, mendengarnya bicara seperti itu membuatku
kembali berharap pada kemungkinan 0,01% yang selama ini kuragukan. Ku
rasa dia memang berbeda, dia tak akan meninggalkanku seperti mereka yang
yang telah mencampakkanku. Aah... Aku bersyukur karena Tuhan telah
menakdirkan kami untuk bertemu. Mungkin jika dia tak menemukanku,
sekarang aku masih mengeluhkan garis nasibku. Sendiri meratapi nasib,
benar-benar salah satu ciri orang yang menyedihkan, dan selama ini aku
hidup seperti itu, sebelum akhirnya dia menemukanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar