Jumat, 12 Oktober 2012

colour of sky 10

そら の いろ


Hari sudah beranjak malam saat aku membuka mata, dinding putih di sekelilingku pun sudah berubah jingga akibat pantulan sinar matahari yang mulai memasuki peraduannya. Aku menggeliat pelan, mencoba meregangkan otot-ototku yang mulai kaku karena terlalu lama berbaring. Ku sapu pandanganku ke seluruh kamar, tapi tak melihat sosok yang ku cari. Aku hanya melihat handphonenya yang tergeletak di sofa, yang selama ini telah beralih fungsi sebagai ranjang keduanya.



“Mungkin ia sedang ke toilet,” batinku.



Terdengar bunyi pintu yang dibuka perlahan, memperlihatkan sosok pria berjas putih dengan stetoskop tergantung di lehernya, ia datang bersama seorang suster yang selama ini merawatku.



“Hai, Ksatria. Udah enakan?” tanya dokter Raka dengan senyumannya yang khas.



Aku hanya mengedikkan bahu. “Dok, kapan sih aku boleh pulang? Bosen tau dok, di sini terus,” ujarku merengek untuk yang kesekian kalinya. Doker Raka hanya tersenyum kecil sambil memeriksa denyut jantungku. Sementara si suster sibuk mengecek infus dan mencatat apa yang di lakukan oleh dokter Raka.



“Sabar, kalau kamu nggak macem-macem, sebentar lagi juga udah boleh pulang kok,” jawabnya ringan.



“Iya, tapi kapan?! Terus ini, aku nggak mau ah, pake kayak ginian terus, lepas aja ya dok?” pintaku dengan membuat ekspresi seperti Shinchan kala sedang membujuk mamanya agar diberi chocobi tambahan.



Dokter Raka hanya tertawa kecil melihat ekspresi yang ku buat. “Kalau yang ini...” ujarnya seraya menunjuk ke arah kardiogram. “Besok udah boleh dilepas kok.” Jawabnya menenangkanku.



“Bener ya?” tanyaku memastikan. Dokter Raka hanya tersenyum kecil.



“Oh ya, di mana abangmu? Bukannya tadi dia bilang mau menginap lagi?” tanya dokter Raka setelah menyadari bahwa tak ada seorang pun yang menemaniku di sini.



“Entah, waktu aku bangun abang udah nggak ada di sini. Mungkin ke toilet.” Jawabku ringan.



“Oke Ksatria, keadaanmu hari ini sudah mulai baik. Tapi inget, jangan sampai kecapekan, jangan sampai stress, dan satu lagi kurangi latihan fisik.” Ujarnya berkali-kali mengingatkanku tentang hal yang sama.



Aku hanya mengangguk bosan. “Eeem... Dok, boleh tanya satu hal nggak?” kataku sebelum dokter Raka meninggalkan ruanganku.



Beliau menoleh sebentar pada suster yang mengikutinya tadi. Ku rasa dia memerintahkan pada suster itu untuk meninggalkannya sendiri bersamaku. Karena setelah itu dia pergi dan dokter Raka menghampiriku, ekspresinya sangat serius di mataku. Entah mengapa hal itu membuatku gugup.



“Apa yang ingin kau tanyakan Ksatria?” jawabnya ramah.



“Eeemm... a... Apakah sampai sekarang masih belum ada dok?” tanyaku was-was.



Beliau menarik napas sejenak, memandangku dengan teduh, membuat hatiku mencelos karena sudah mengira jawaban yang akan beliau lontarkan. “Sampai sekarang kami sedang menunggu pendonor yang sesuai untukmu. Kamu yang sabar aja, memang sulit untuk mendapatkan donor, apalagi untuk keadaanmu. Sangat susah. Tapi kamu jangan pesimis atau khawatir, karena kamu sudah saya tempatkan pada prioritas pertama dalam daftar penerima transplantasi.” Jelasnya, yang membuatku mengalihakan pandanganku ke arah lain.



“Kalau sampai pendonor itu nggak ada, berarti aku juga harus siap dengan semua kemungkinannya, kan dok?” tanyaku lirih.



“Kamu jangan pesimis dong Ksatria. Saya yakin kalau suatu saat nanti, pasti ada orang yang mau menjadi pendonor untukmu. Kamu yang sabar aja. Jaga kesehatan, jangan sampai terjadi hal seperti ini lagi. Karena akan sangat berbahaya kalau hal seperti ini terulang kembali.” Ujarnya menasehatiku.



“Sampai kapan aku harus bersabar, dok!? Waktuku tinggal 3 tahun lagi. Itu juga paling lama, kata dokter semua itu dapat sewaktu-waktu berubah. Bukan berubah menjadi lebih lama, tapi menjadi lebih singkat.” Ujarku sendu.



“Sabarlah Ksatria. Kamu nggak boleh menyereah secepat ini. ingat mamamu yang sudah berusaha membanting tulang untuk biaya pengobatanmu, kamu harus membuatnya bangga dengan menunjukkan semangat hidupmu yang tinggi. Kamu jangan terpaku dengan apa yang saya katakan dulu. Karena yang menentukan akhirnya bukan saya, tapi kamu sendiri.” Kata dokter Raka berat.



Aku terdiam mencerna perkataannya. “Dok, walau aku tahu, hidupku tak akan lama lagi, bisakah aku melakukan satu hal yang sedikit beresiko?” tanyaku hati-hati. Ku tatap mata cokelat bening miliknya dengan penuh permohonan.



“Apa yang ingin kamu lakukan? Jika itu tak terlalu bahaya bagi mu, kurasa saya bisa mempertimbangkannya.” Jawabnya bijak dengan seulas senyum yang entah kenapa membuatku jauh lebih tenang.



“Dengan kondisiku saat ini, bisakah aku melakukan....” bisikku pada dokter Raka.



Sejenak ia memandangku kaget. “Bagaimana dok? Bisa apa nggak?” tanyaku lagi, setelah tak mendengar jawabannya.



“Kamu yakin akan melakukan hal itu?” tanya dokter Raka ragu.



“Yakin banget dok!” sahutku mantap. “Jadi gimana?”



“Saya perlu memeriksa lebih lanjut kondisimu. Kalau kamu benar-benar fit, kurasa tak akan ada masalah. Tapi kalau boleh saya beri saran. Lebih baik kamu pertimbangkan lagi permintaanmu itu. Karena kalau kamu salah melangkah akan berakibat pada kondisimu. Bisa jadi akan semakin memburuk.” Jawabnya hati-hati.



“Asal dokter memberi izin. Aku pasti akan hati-hati. Jadi, dokter tenang aja.” Ujarku pasti dengan sebuah senyum lebar.



“Orang kadang-kadang emang bisa ngelakuin hal gila Cuma karena cinta.” Ujarnya sebelum meninggalkanku kembali sendiri.



“Ah, kayak dokter nggak pernah muda aja.” Sahutku sebelum beliau benar-benar menghilang.



Aku menghela napas lega. Sebentuk senyum terbit di wajahku, matahari sudah benar-benar tenggelam, ruangan yang tadi bernuansa jingga kini sudah mulai gelap. Bang Yudha belum datang, dokter Raka tadi tak menghidupkan lampu kamar sebelum pergi. Aku berharap abang bisa cepat kembali. Aku tak suka sendiri dalam kegelapan seperti ini.



###



Setelah menghabiskan makananku, aku berjalan kembali menyusuri koridor rumah sakit. Berada di sini setiap waktu membuatku merasa bahwa rumah sakit ini sudah seperti rumah ke duaku. Bahkan pegawai cafetaria pun sudah mengenalku dengan baik, jadi tak heran kalau aku sering mendapatkan diskon setiap kali aku makan di sana. Sebuah keuntungan bagiku. Lebih dari itu, anak pemilik salah satu kios di cafetaria yang menjual berbagai kudapan khas Jogja benar-benar membuatku tertarik.



Tingkah lakunya yang masih menjunjung ciri khas wanita Jawa, benar-benar membuatku kagum. Jarang ku temui di zaman bebas seperti sekarang ini seorang wanita Jawa yang masih mengagungkan adat istiadat kelakuan sepertinya. Anggun Prameswari, nama gadis itu, orangnya seanggun namanya. Tutur katanya lemah lembut, tak jarang aku harus memintanya mengulangi perkataannya karena suaranya yang begitu lembuut.



Sepasang mata bening yang dibingkai oleh kedua alisnya yang tebal, membuatnya terlihat cantik, kulitnya yang kuning langsat memancarkan aura kewanitaan yang begitu mempesona. Wajahnya yang ayu rupawan dihias dengan sebuah hidung bangir dan dua buah lesung pipi yang membuatnya semakin menawan.



Awal perkenalanku dengannya belum lama, diawali dengan sebuah kejadian memalukan yang mengharuskanku berurusan dengannya. Hingga sekarang kami menjadi akrab seperti ini. Aku suka berlama-lama di sini, hanya sekedar melihatnya melayani pengunjung yang datang. Terkadang aku harus menekan rasa maluku, karena bolak balik ke kedainya hanya untuk memesan segelas air putih, agar bisa lebih lama menatapnya.



Hari sudah beranjak malam, lampu-lampu neon yang terpasang di setiap sudut cafetaria sudah mulai menyala. Aku melakukan peregangan kecil untuk mengusir kekauan pada ototku karena terlalu lama duduk. Aku lirik sebuah jam dinding di salah satu sudut cafetaria. Pukul 06.15 WIB. Pasti sekarang Ksatria sedang uring-uringan sendiri di kamar. Setelah membayar dan sedikit melontarkan kata-kata gombal pada Anggun, aku melangkah pergi meninggalkan cafetaria untuk kembali ke kamar 506.



Di sepanjang koridor, aku melihat beberapa suster sedang berbincang dengan keluarga pasien, koridor lumayan sepi pada jam segini. Mungkin orang-orang lebih memilih berada di dalam kamar ketimbang berjalan-jalan. Perlahan aku mendorong pintu yang di depannya tertempel sederet angka. 506. Mataku mengerjap cepat menyesuaikan dengan keadaan kamar yang gelap. Kuraba dinding di sekitar pintu untuk menemukan saklar lampu.



Ruangan yang tadi gelap kini telah berubah terang benderang, mataku sedikit silau merasakan perubahan yang tiba-tiba. Belum juga aku sempat merebahkan tubuhku, aku sudah disambut tatapan kesal dari Ksatria. Aku lupa kalau dia tak suka sendirian dalam gelap. Mengapa dia tak berusaha memanggil suster untuk membantunya menghidupkan lampu!?



“Dari mana aja sih lo, bang!? Lama banget!” gerutunya kesal.



“Kantin,” jawabku singkat. Kuhempaskan pantatku di salah satu kursi yang ada di sebelah ranjangnya. “Gimana? Apa kata dokter Raka?” tanyaku mencoba mengalihkan kekesalannya.



“Besok ini udah boleh dilepas.” Jawabnya kesal seraya menunjuk ke arah kardiogram.



“Baguslah, berarti kamu udah bisa jalan-jalan ke luar.” Kataku lega.



“Tapi gue mau pulang Bang. Bosen gue di sini terus.” Omelnya.



“Kalau emang dokter Raka udah ngebolehin kamu pulang. Ya kita pasti pulang. Dia udah bilang boleh pulang belom?” selidikku.



Dia hanya mencibir, tanda bahwa dokter Raka tak mengabulkan permintaannya. “Udah makan belom?” tanyaku lagi.



“Gimana mau makan kalau nggak kelihatan apa-apa!?” jawabnya kesal. “Lagian, lo nih ke sini mau nemenin gue apa mau ngeceng sih, bang?”



“Ya, nemenin lo, lah. Lagian mau ngecengin siapa di sini!? Suster-suster penggossip itu?” jawabku seraya menyiapkan makanan untuknya agar dia bisa cepat minum obat.



“Nggak usah ngeles deh. Gue tau kok, lo sekarang lagi ngecengin anaknya jurangan gudeg kan?” sindirnya.



“Sok tau lo!” kilahku. Dengan perlahan kusuapi Ksatria dengan makanan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Dia memang seperti itu, kalau lagi bed rest berubah jadi manja banget. Apa-apa maunya disuapin. Bikin bete aja!



“Lah, gue bukan sok tau, Bang. Tapi emang tau. Namanya Anggun kan?” katanya lagi. Kali ini disertai kedipan nakal.



“Udah makan dulu nih.” Kilahku kesal seraya menyuapinya. Tau dari mana dia soal Anggun!?



“Lo nggak usah heran gitu bang. Gue tau semua ini juga dari suster-suster yang keluar masuk kamar gue. Mereka pada jelous tuh sama nasibnya si Anggun yang dideketin sama lo. Padahal apa sih bagusnya lo, bang!? Muka sangar gitu, apa menariknya!?” cibirnya tajam.



“Apa lo bilang!? Gue nggak menarik!” kataku kesal, kuberi dia sebuah toyoran di kepalanya. “Enak aja, justru ini yang menjual! Wajah boleh gahar, tapi hati? Chairil Anwar.” Ujarku bangga.



Dia tertawa keras mendengar jawabnku. “Apa bang!? Chairil Anwar!? Yang bener aja lo!?”



“Yeee... nggak percaya lo!? mau gue bacain syair-syair cinta yang udah gue tulis!?” tantangku.



“Ogah. Walau gue nggak banyak kenal cewek, bukan berarti gue maho ya Bang.” Jawabnya dengan sebuah tampang yang nggak banget.



“Terus kalau bukan maho, apa dong? Homo!?” kejarku usil.



“Yee... itu mah sama aja. Jomblo bukan berarti homo yaa...” kilahnya.



Aku hanya tertawa mendengarnya. Aku senang kalau keadaan di antara kami seperti ini. Bercanda nggak jelas, meributkan hal yang nggak penting, mendebatkan sesuatu yang kecil. Hal-hal seperti ini lah yang membuatku selalu merindukan Ksatria yang dulu. Yang tak pernah mengeluh tentang hidupnya, yang tak pernah bertanya kapan aku akan mati? Sosoknya yang dulu sudah pergi entah ke mana. Melihatnya kembali sepeti dulu, membuatku bisa merasakan semangat hidupnya yang mulai muncul lagi.



“Bang, soal permintaan lo tadi. Gue rasa gue udah nggak bisa menghindar lagi.” Ujarnya tiba-tiba setelah menelan beberapa obat.



“Permintaan yang mana?” tanyaku tak mengerti.



“Hari Minggu besok.” Katanya singkat.



Ingatanku melayang sebentar memutar pembicaraan kami tadi siang. “Yakin lo?” kejarku.



Dia hanya menggangguk mantab. “Gue rasa lo bener. Semakin cepat dia tau, lukanya juga akan cepet sembuh.” Jawabnya lirih.



“Gue nggak mau lo ngelakuin ini karena terpaksa Ksat. Kalau emang lo belum siap, mendingan jangan.” Ujarku berusaha membujuknya.



“Gue udah pikirin mateng-mateng setiap konsekuensinya. Dan gue udah putusin kalau gue nggak akan nyembunyiin keadaan ini lebih lama lagi.” Jelasnya.



“Lo yakin mau ngasih tau dia yang sebebarnya?” selidikku.



“Bukan gue yang akan ngasih tau dia.” Jawabnya singkat.



“Kalau bukan lo. Terus siapa? Gue!?” tanyaku tajam.



Dia hanya diam dan mengangguk pelan. “Gue nggak sanggup kalau harus gue sendiri yang bilang ke dia. Mendingan lo aja.” Ujarnya sebelum menutup matanya. Mungkin dia sudah akan kembali tidur.



“Kenapa lo berubah pikiran secepat ini Ksat? Apa yang bikin lo kayak gini?” tanyaku lirih.



“Karena gue tau bang. Waktu yang gue punya semakin sempit. Kalau gue harus menunda lebih lama lagi, gue takut semuanya akan terlambat.” Jawabnya pelan, sebelum benar-benar terlelap.



&&&



Hari Sabtu, satu hari sebelum hari pengakuan. Aura melewati hari itu dengan was-was. Kemarin, Yudha telah memberi tahu keputusan yang diambil Ksatria. Walau agak terkejut tapi dia senang karena Ksatria sudah mulai terbuka dengannya. Terakhir sebelum Yudha pergi, ia berpesan kepadanya untuk menyiapkan hati dan mental untuk menghadapi apapun itu, besok.



“Lo kenapa lagi?” sapa Mega yang bosan melihat tingkah sahabatnya yang angin-anginan seperti ini.



“Gue harus gimana Ga? Kak Yudha bilang gue harus nyiapain hati ama mental. Emang sepahit apa sih kenyataan yang harus gue hadepin?” ujarnya balik bertanya.



“Ya mana gue tau. Tapi persaan gue bilang semua itu ada kaitannya dengan penyakit Ksatria.” Ujar Mega berspekulasi.



“Kalau gue sampai harus nyiapin mental sama hati. Berarti bukan penyakit ringan semacam flu, kan yang dideritanya?” imbuh Aura pelan.



“Bisa jadi. Mungkin penyakitnya masih sodaraan ama flu burung.” Canda Mega.



“Sembarangan aja lo kalo ngomong! Sekarang mah udah nggak zaman flu burung. Yang lagi tren sekrang tuh tom si kucing.” Balas Aura.



“Nah itu lo tau. Btw, si ani naek busway, jam berapa besok lo mau ketemu si dia?” tanya Mega dengan meanikkan ke dua alisnya, menggoda Aura.



“Nggak tau juga gue. Katanya kak Yudha kemaren sih, tunggu aja kabar selanjutnya.” Jawab Aura singkat.



“Terus, gimana sama persiapan mental lo?” selidik Mega.



“Entahlah, sampai sekarang gue juga nggak ngerti kenapa harus nyiapin mental segala. Yaah... Liat aja besok, kalau lo nemuin mata gue bengkak hari Senin, berarti kenyataan yang harus gue hadapi emang pahit.” Canda Aura sendu.



“Oke laah... Kita liat aja besok.” Simpul Mega mengakhiri percakapan singkat mereka.



&&&



Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba juga. Pagi ini Aura mengenakan gaun terusan berwarna putih selutut, dengan renda di bagian bawahnya. Rambutnya yang panjang sebahu ia gerai dan ia hisa dengan bando yang berwarna putih juga. Entah kenapa hari itu dia ingin sekali mengenakan pakaian yang serab putih, mungkin ini salah satu caranya utnuk menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan mengguncang jiwanya.



Setelah memastilkan sekali lagi tak ada yang salah dengan penampilannya, dia menyambar tas tangan kecil yang ada di meja rias lalu ke luar denga sebuah senyum cerah. Yudha yang sudah menunggu di ruang tamu pun terpesona dengan penampilan Aura pagi ini. setelah saling melempar senyum, keduanya pun berpamitan pada orang tua Aura untuk segera ke rumah sakit.



“Yakin nih kak, gue nggak perlu bawa apa-apa lagi?” tanya Aura memastikan. Pasalnya tadi Yudha bilang agar dia tak usah membawa buah tangan saat berkunjung ke rumah sakit.



“Yakin. Udah ah, buruan ntar keburu siang, panas.” Kata Yudha yakin, seraya mengulurkan helm berwwarna biru kepada Aura.



“Ya udah deh kalau gitu,” putus Aura seraya memakai helm yang telah diberikan padanya.



Setelah memastikan orang yang diboncengnya duduk dengan nyaman, Yudha pun langsung memacu motornya menuju rumah sakit. Tadi ia telah mengatakan pada Ksatria kalau mereka kemungkinan akan sampai di sana dalam waktu satu jam. Jadi, dia bisa menyiapkan apapun itu dengan tenang.



@@@



Pagi ini aku terbangun dengan gelisah, semalam aku bermimpi bertemu dengan ayah, kami sempat mengobrol sebentar sebelum sesuatu yang sangat menyilaukan memotong obrolan kami. Aku masih berusaha mengingat apa yang dikatakan ayah dalam mimpi tadi malam. Tapi, sekeras apapun aku mencoba, namun ingatan itu tak kunjung datang.



Setelah dokter Raka memeriksa kondisiku pagi ini dan menepati janjinya untuk melepaskan alat-alat yang dapat merekam pergerakan jantungku. Hal pertama yang ku lakukan adalah membersihkan diri. Dua hari tak tersentuh air bersih membuat keseluruhan badanku terasa lengket dan tak nyaman. Khusus hari ini aku meminta pada dokter Raka supaya melepaskan selang infus yang ada di tanganku. Aku tak mau terlihat sangat lemah dihadapannya.



Setelah menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk membasuh tubuh lengketku, aku pun menuju lemari kecil yang menyimpan sebagian baju gantiku. Aku amati isinya, benar-benar menyedihkan. Tak ada satupun yang cocok untuk ku kenakan dalam momen paling bersejarah dalam hidupku. Berkali-kali aku mencoba beberapa kemeja namun belum ada satupun yang cocok.



Akhirnya pilihanku jatuh pada kemeja yang menyerupai bajo koko, berwarna putih yang ada di dasar lemari. Aku mengamati penampilanku lewat sebuah cermin kecil yang menggantung di kamar mandi. Lumayan. Ah, kurasa aku harus menaburkan sedikit bedak di wajahku agar menyamarkan rona pucat yang masih membayang di sana. Tapi, di mana aku dapat menemukan benda itu?



Setelah tak menemukan benda yang ku cari, akhirnya aku memutuskan bahwa aku akan menghadapinya dengan penampilan seperti ini. Pipi cekung, mata sendu, dan raut wajah pucat. Benar-benar menggambarkan seorang pasien rumah sakit. Setelah membasuh wajahku sekali lagi agar terlihat lebih segar, aku memutuskan untuk menunggunya di kamar dengan menyaksikan kegiatan di seputar taman luar yang terpantul lewat jendela kaca kamarku.



“Aah... Aku harus siap. Now or Never.”



###



Satu jam kemudian, kami tiba di rumah sakit. Setelah memastikan motorku aman di tempat parkir. Aku mengajak Aura ke suatu tempat di sekitar taman rumah sakit. Aku memilih sebuah bangku panjang yang ada di bawah sebuah pohon angsana. Di depannya tersaji berbagai kumpulan bunga yang menarik bagi kupu-kupu.



“Kenapa kita malah ke sini kak?” tanya Aura heran.



“Udah, duduk dulu di sini.” Jawabku singkat, seraya menjatuhkan tubuhku di bangku tersebut, ku lihat ia dengan ragu mengikuti jejakku.



“Kenapa kita nggak langsung masuk aja sih kak?” tanyanya heran, aku yakin dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Ksatria. Tapi, aku harus menahannya sebelum ia benar-benar siap untuk bertemu dengannya.



“Bukannya waktu itu gue udah pernah bilang. Sebelum lo ketemu dia lo harus nyiapin mental sama hati lo.” kataku memulai.



Dia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawabannya.



“Apa seakarang lo udah siap?” tanyaku memastikan.



“Ya.” Jawabnya tegas.



Aku menghela napas panjang sebelum memulai menjelaskan sebuah fakta yang selama ini ia sembunyikan darinya. “Apa yang pengen lo tau dari Ksatria?” tanyaku memancing.



“Yang dari dulu pengen gue tau Cuma satu. Alesannya dia kenapa gue nggak boleh deket sama dia.” Jawab Aura mantap.



“Alesannya Cuma satu. Karena umurnya nggak panjang, makanya dia nggak mau lo deket sama dia.” Jawabku pelan.



“Nggak panjang itu maksudnya apa, kak!? Dari mana lo tau dia nggak berumur panjang!? Lo jangan ngeduluin Tuhan deh kak!” protesnya dengan nada tak terima.



“Gue serius Ra. Dan gue nggak mencoba buat ngeduluin kuasa Tuhan. Ksatria udah divonis nggak akan bisa bertahan lewat dari 20 tahun.” Jawabku tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar